Hari berganti hari. Matahari terbit dan terbenam, mengukir waktu di langit yang tak berujung. Rara, Awan, dan Arga terus mengarungi lautan, mengumpulkan apa saja yang bisa membantu mereka bertahan hidup. Mereka telah berhasil membuat rakit yang lebih stabil dari papan kayu dan terpal, meski masih jauh dari sempurna.
Suatu pagi, saat kabut tipis masih menyelimuti permukaan air, Awan melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdebar kencang. Di kejauhan, ada bayangan besar yang mengambang. Bukan puing-puing biasa, tapi sesuatu yang lebih terstruktur—seperti bangunan.
"Lihat itu!" seru Awan, menunjuk ke arah bayangan itu.
Rara dan Arga segera menoleh. "Itu... seperti kapal," gumam Rara, matanya menyipit mencoba melihat lebih jelas.
Mereka mendayung lebih cepat, harapan baru menggelora di dada. Saat mereka semakin dekat, bayangan itu semakin jelas. Itu memang sebuah kapal, tapi bukan kapal biasa. Kapal itu terlihat seperti kapal kargo besar, tapi sekarang sudah setengah tenggelam, miring ke satu sisi. Bagian buritannya masih mengapung, sementara bagian depannya sudah terendam air.
"Kita harus hati-hati," kata Rara, memegang pisau lipat yang mereka temukan sebelumnya. "Kita tidak tahu apa yang ada di sana."
Mereki mendekati kapal itu dengan perlahan. Kapal itu sunyi, seperti makhluk raksasa yang sedang tertidur. Mereka berhasil menemukan tali yang tergantung di sisi kapal, dan dengan susah payah, mereka memanjatnya untuk naik ke dek.
Dek kapal itu berantakan. Ada barang-barang berserakan di mana-mana—kotak-kotak yang sudah rusak, pakaian basah, dan bahkan beberapa peralatan elektronik yang sudah tidak berfungsi. Tapi yang paling menarik perhatian mereka adalah sebuah pintu yang terbuka, mengarah ke dalam kapal.
"Kita harus mencari persediaan," kata Rara, memimpin mereka masuk ke dalam kapal.
Di dalam, kapal itu gelap dan lembap. Lampu-lampu sudah mati, dan hanya sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah dinding. Mereka berjalan pelan, mencoba beradaptasi dengan kegelapan.
Tiba-tiba, Arga menjerit kecil. "Ada... ada seseorang di sana!"
Rara dan Awan segera menoleh. Di sudut ruangan, ada seorang pria tua duduk bersandar ke dinding. Pria itu terlihat lemah, wajahnya pucat dan tubuhnya kurus. Tapi yang paling mengejutkan adalah senyum kecil yang tersungging di bibirnya.
"Tenang... aku tidak akan menyakiti kalian," kata pria itu, suaranya lemah tapi tenang.
"Kamu siapa?" tanya Rara, masih waspada.
"Nama saya Pak Joko," jawab pria itu. "Aku adalah salah satu awak kapal ini. Tapi sekarang... kapal ini sudah tidak berguna lagi."
Awan mendekat, matanya penuh simpati. "Apa yang terjadi di sini?"
Pak Joko menghela napas panjang. "Tsunami... itu datang tiba-tiba. Kami mencoba menyelamatkan kapal, tapi ombaknya terlalu besar. Banyak yang hilang... dan aku terjebak di sini sejak itu."
Rara melihat sekeliling. "Apakah ada persediaan di sini? Makanan, air, atau obat-obatan?"
Pak Joko mengangguk pelan. "Ada. Di ruang penyimpanan bawah. Tapi... hati-hati. Kapal ini tidak stabil. Bagian depannya sudah terendam, dan bisa saja tenggelam sepenuhnya suatu saat nanti."
Mereka segera bergerak, mengikuti petunjuk Pak Joko. Di ruang penyimpanan, mereka menemukan harta karun yang tak terduga: kotak-kotak makanan kaleng, botol air mineral, dan bahkan beberapa kotak P3K.
"Kita harus membawa ini ke rakit," kata Rara, mulai mengumpulkan barang-barang itu.
Tapi tiba-tiba, kapal itu bergoyang keras. Suara gemuruh menggelegar, dan mereka bisa merasakan kapal itu bergerak semakin miring.
"Kita harus pergi! Sekarang!" teriak Pak Joko, wajahnya panik.
Mereka berlari menuju dek, membawa apa saja yang bisa mereka bawa. Saat mereka mencapai rakit, kapal itu mulai tenggelam lebih cepat. Air laut naik dengan cepat, menenggelamkan bagian buritan kapal.
Dengan susah payah, mereka melompat ke rakit dan mendayung sejauh mungkin dari kapal yang tenggelam. Mereka menyaksikan kapal itu perlahan menghilang ke dalam lautan, meninggalkan gelembung-gelembung udara yang naik ke permukaan.
"Kita hampir saja..." gumam Awan, masih terengah-engah.
Tapi Rara tersenyum, memegang kotak makanan yang mereka selamatkan. "Kita berhasil. Ini akan cukup untuk beberapa minggu ke depan."
Arga memandang ke arah di mana kapal itu tenggelam, matanya berkaca-kaca. "Apa kita akan baik-baik saja?"
Rara merangkulnya. "Kita akan baik-baik saja. Selama kita bersama, kita akan menemukan cara untuk bertahan."
Pak Joko, yang kini duduk di sudut rakit, mengangguk pelan. "Kalian kuat. Dan mungkin... ini adalah awal dari sesuatu yang baru."
Mereka terdiam, memandang lautan yang luas. Di tengah kehancuran, mereka menemukan harapan. Dan mungkin, di suatu tempat di ujung lautan ini, ada jawaban untuk semua pertanyaan mereka.