Chereads / On the Wavering Board / Chapter 2 - Bab 2

Chapter 2 - Bab 2

Puing-puing yang mengambang di kejauhan ternyata lebih besar dari yang mereka duga. Rara dan si pemuda—yang kini mereka sepakati untuk sementara dipanggil "Awan" karena dia sering menatap langit seolah mencari jawaban—berhasil mencapai tumpukan puing itu setelah berjuang melawan ombak kecil yang terus menggoyang keseimbangan mereka.

Tumpukan puing itu terdiri dari potongan kayu, plastik, dan bahkan beberapa barang elektronik yang sudah rusak. Ada juga sebuah lemari es yang mengambang terbalik, pintunya terbuka lebar, seolah memamerkan isinya yang kosong.

"Lihat ini!" seru Rara tiba-tiba, menarik perhatian Awan. Dia mengarahkan pandangannya ke sebuah kotak plastik besar yang terikat erat dengan tali. Dengan susah payah, mereka berhasil menarik kotak itu ke dekat mereka.

"Barang darurat?" tanya Awan, matanya berbinar penuh harap.

Rara membuka kotak itu dengan hati-hati. Isinya membuat mereka tersenyum lega: beberapa botol air mineral, sekotak makanan kaleng, dan bahkan sebuah pisau lipat. "Ini harta karun!" seru Rara, mengangkat botol air dan memberikannya kepada Awan.

Awan meminum air itu dengan lahap, baru menyadari betapa hausnya dia selama ini. Setelah meminum setengah botol, dia berhenti, merasa bersalah. "Kita harus hemat," katanya, menutup botol itu rapat-rapat.

Rara mengangguk setuju. "Kita tidak tahu kapan akan menemukan persediaan lagi. Tapi setidaknya, ini cukup untuk beberapa hari."

Mereka terus menjelajahi tumpukan puing itu, mengumpulkan apa saja yang bisa berguna. Rara menemukan selembar kain terpal yang bisa digunakan untuk menampung air hujan, sementara Awan menemukan beberapa potong kayu yang cukup kuat untuk dijadikan dayung.

Tiba-tiba, Awan mendengar suara. Suara itu samar, seperti teriakan dari kejauhan. Dia menoleh ke arah Rara, yang tampaknya juga mendengarnya.

"Ada orang lain!" kata Rara, matanya berbinar.

Mereka segera mendayung ke arah suara itu, menggunakan papan kayu dan pintu yang mereka jadikan rakit darurat. Semakin dekat, suara itu semakin jelas. Itu adalah suara seorang anak kecil, menangis minta tolong.

Di tengah lautan, mereka melihat seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun, terombang-ambing di atas sebuah kasur busa. Anak itu terlihat kurus dan ketakutan, matanya merah karena menangis.

"Tolong... tolong aku..." teriak anak itu, suaranya parau.

Rara dan Awan segera mendekat. Dengan hati-hati, mereka menarik anak itu ke rakit mereka. Anak itu gemetar, tubuhnya dingin karena terlalu lama terpapar air laut.

"Tenang, kamu aman sekarang," kata Rara, merangkul anak itu dengan lembut. "Namamu siapa?"

"A... Arga," jawab anak itu, masih gemetar.

"Arga, kamu sendirian?" tanya Awan, mencoba menenangkannya.

Arga mengangguk, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu di mana keluargaku. Air datang tiba-tiba... dan aku terbawa arus."

Rara dan Awan saling memandang. Mereka tahu perasaan itu—ketakutan, kebingungan, dan kesepian. Tapi sekarang, mereka tidak sendirian. Mereka punya satu sama lain.

"Kita akan bertahan bersama," kata Rara, memegang tangan Arga dengan erat. "Kita akan mencari cara untuk bertahan hidup, dan mungkin suatu hari nanti, kita akan menemukan tempat yang aman."

Awan mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi keraguan. Tapi melihat Arga yang begitu kecil dan tak berdaya, dia tahu mereka harus berusaha. Mereka harus bertahan, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tapi juga untuk orang-orang seperti Arga yang masih punya harapan.

Mereka melanjutkan perjalanan, membawa serta Arga dan persediaan yang mereka kumpulkan. Di tengah lautan yang luas, mereka tahu masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Tapi setidaknya, mereka tidak sendirian.

Dan mungkin, di suatu tempat di ujung lautan ini, ada jawaban untuk semua pertanyaan mereka.