Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Sub Rosa by jihanvelia

🇮🇩jihanvelia
4
Completed
--
NOT RATINGS
98
Views
Synopsis
Di depan semua orang di kantor, kami hanyalah sebatas supervisor dan karyawan yang berbeda bidang; kami hanya saling berteguran ketika ada hal penting. Kami tidak akrab dan tidak dekat sama sekali. Akan tetapi, di belakang semua orang...kami saling membutuhkan, terutama untuk urusan hasrat seksual.
VIEW MORE

Chapter 1 - 1. What About Us

Chapter 1 :

What About Us

 

******

 

AKU memandangi wajah Elvis saat ia dan gerombolan supervisor lainnya datang menghampiri kami. Aku hanya datang bersama supervisorku, Peter, orang satu-satunya yang mengadakan acara makan-makan ini. Aku tak mau tahu mengapa Peter membawaku dan karyawannya, tetapi sebenarnya aku sedikit paham bahwa Peter dan aku berada dalam hubungan pertemanan yang di luar batas. Maksudku, aku tahu Peter dan aku dekat. Peter juga terang-terangan berkata bahwa dia ingin melindungiku, setelah beberapa bulan kami berteman.

Sesungguhnya Peter bukanlah orang yang mau dibantah, meskipun pria berkebangsaan Amerika itu memiliki wajah yang penuh senyuman setiap harinya. Jika kau mengimpikan seorang pimpinan yang ramah dan murah senyum, maka Peter adalah salah satu pemuas impianmu. Akan tetapi, Peter bukanlah orang yang bisa sembarangan kau ajak bercanda.

Elvis hanya memandangku dengan tatapan memicing, tatapan yang hanya bertahan selama setengah detik. Wow, this sight. Aku akui, aku memandangnya dengan pandangan penuh sarat akan harapan bahwa ia akan memandangku setidaknya selama dua atau tiga detik. Sialitu tidak mungkin mengingat supervisor yang satu itu terkenal sangat dingin. Aku menghela napasku, meredakan gejolak yang sungguh tak bisa kutahan bertepatan dengan Peter menepuk pundakku agak kencang.

"Oke, mari masuk ke dalam!" teriaknya dengan suara cheery-nya.

Elvis dan teman-temannya mulai melangkah melewati kami untuk masuk ke dalam restoran fast food pinggiran kota yang menjadi pilihan Peter. Peter selalu memiliki selera yang aneh dalam bidang apa pun, termasuk fakta bahwa dia menjadikan fotoku sebagai wallpaper ponselnya.

Aku dan Peter berjalan di belakang rombongan itu dan aku tidak terkejut saat Peter merangkulku. Aku hanya berdecak dan terkekeh geli, memandangi Peter yang tertawa akan tingkahnya sendiri. Percayalah, pria satu ini benar-benar menyenangkan di luar kepribadian anehnya.

Kami sampai di meja yang paling dekat dengan dapur restoran sederhana itu, di mana kami duduk di lantai dengan hanya dibatasi meja panjang yang tingginya hanya sampai bawah dadaku. Kemudian, Peter tentulah mengambil posisi duduk di sebelahku. Aku menatap ke depan dan melihat Elvis bersama teman-temannya duduk di seberang kami. Akan tetapi, tiga orang dari mereka ada yang mengambil posisi duduk di sisi kami.

Aku melihat teman-teman Elvis menawari Elvis untuk memesan sesuatu. Aku tersenyum tipis dan beralih melihat ke arah Peter. Peter tersenyum padaku.

"Kau mau makan apa, Sweety? Kita pesta sejenak!" gelaknya.

Aku mengangguk dan tersenyum kaku. Aku kemudian menatapnya, semangatnya tiba-tiba menular padaku.

"Apa kau akan membahas masalah pekerjaan di sini, Pete?"

Peter memesan sesuatu kemudian melihatku. "Ha ha ha, bagaimana caranya kau selalu tahu apa yang kulakukan? Kau benar-benar tipeku," ujarnya dengan menjejalkan humor yang kupikir bukanlah humor sama sekali. Namun, aku tertawa.

Pesanan datang dan kami semua mulai makan. Wow, seriously, ini restoran pinggiran kota yang tahu benar selera orang Amerika. Peter sering ke sini?

Aku menyomot piza dan memainkan mozarella di atasnya. Mengemutnya perlahan dan aku sadar ada yang memperhatikanku. Aku menghadap ke depan dan aku melebarkan mataku, mengetahui dia, dengan mata cokelatnya, memandangiku penuh dengan intimidasiAku membuang wajahku dan menggigit pizaku dengan cepat.

Sesekali mengobrol dengan Peter, lalu diam mendengarkan para supervisor membicarakan bisnis mereka. Aku sebenarnya seperti kambing congek di sini. Peter benar-benar sialan.

Dua jam cukup bagiku untuk bertahan dengan semua itu dan aku beruntung bahwa Peter menyadari bahwa aku sudah tidak nyaman. Dengan ramah dia menyarankan kami untuk pulang bersama-sama dan tentu saja, aku akan marah bila dia tak mengantarku pulang ke rumah. Jujur saja, pekerjaanku belum selesai.

 

******

 

Aku sedang mengetik dokumen di laptopku saat kudengar pintu kamarku diketuk. Aku terbiasa mengunci pintu kamarku, walaupun aku tahu aku telah mengunci pintu luar flat-ku. Entah mengapa, keamanan yang terjamin akan membuatku merasa nyaman untuk melakukan segala sesuatu.

Mataku terbelalak saat kudengar suara pintu kamarku yang diketuk. Aku menatap perlahan ke arah pintu kamarku dan aku cukup yakin itu siapa. Yang jelas, dia adalah satu-satunya orang yang memiliki kunci duplikat pintu luar flat-ku. Aku langsung berdiri dan membuka kunci pintu kamarku.

"Who—" Begitu kubuka pintunya, sosok itu langsung menyerbuku.

Dia menciumku dengan liar dan langsung menendang pintu kamarku. Aku sudah hafal ciuman ini. Aku hafal sentuhan ini, yang nyaris setiap malam selalu menyentuhku. Dia menciumku dengan panas, melesakkan lidahnya masuk ke dalam mulutku dan aku mengerang. Aku memegangi lehernya dan dia menggendongku, merapatkanku ke dinding. Aku mendesah saat dia menjilati leherku dan mulai merobek pakaianku.

Aku selalu membutuhkan ini darinya. Aku selalu tahu bahwa kami berdua saling membutuhkan. Aku mendongak saat ciuman panasnya menjalar ke atas hingga ia menggigit daguku dan aku berteriak. Kuremas rambut cokelatnya hingga ia terlihat semakin bersemangat karena remasanku di rambutnya. Dia menggeram saat mendengar desahanku yang menjadi-jadi hanya karena ciumannya di tubuhku.

Dia meremas sebelah payudaraku yang masih terlindungi bra hitam; ia melakukannya dengan cepat. Aku menjerit. Demi Tuhan, ini begitu nikmat. Aku semakin mendongak dan dia melepaskan kaitan braku dalam sekali sentakan.

"Sialan, Shay, kau benar-benar sialan," umpatnya padaku.

"Sejak kapan kau dekat dengan Peter, eh?" ejeknya sarkastis.

Aku tahu dia tersenyum miring dan ia langsung membabi-buta meremas payudaraku. Aku semakin tak terkendali. Aku membutuhkannya!

"Elvis!" teriakku saat ia berbalik dan mengempaskanku ke ranjang.

Ia menarik celana dalamku dengan cepat dan ia membuka jaket kulitnya beserta kaus v-neck hitamnya. Bentuk tubuh Elvis yang sangat kusukai kini terpampang lagi di depanku, kemudian dia kembali menciumi leherku.

"Katakan padaku, Shay," ujarnya, berbisik saat bunyi kecupannya membelai telingaku. "Sejak kapan Peter segencar itu?"

Aku mendesah, tetapi aku memukul lengannya dan mencoba memusatkan pikiranku alih-alih menatap wajah tampannya.

"Dia supervisor kami, Elvis, kau tahu itu," ujarku.

Elvis mulai membuka ritsleting celana jeans-nya dengan tergesa. Ia langsung menyatukan tubuh kami saat ia terlepas dari seluruh pakaiannya dan aku berteriak kencang. Aku bersyukur aku sudah basah saat dia menggerayangi tubuhku sebelumnya.

"Shit, Shay, how can you always be this tight even though we did it almost every day?" erangnya di lekukan leherku dan desahanku semakin menjadi-jadi.

Aku meremas lengannya dan berusaha untuk berbicara, meskipun ini sangat, sangat nikmat. Aku memerah saat aku tahu bahwa Elvis cemburu. Dia cemburu.

"Kau sendiri yang memutuskan bahwa kita harus bertingkah tak saling kenal jika di kantor—argh," erangku, menyadari bahwa dia mulai bergerak. Elvis menggeram. Napasnya terdengar sangat memburu.

"Aku akan bermalam di sini malam ini," ujar Elvis sembari mengerang, menyatukan tubuh kami lebih dalam. Dia tertunduk di ceruk leherku saat kutarik punggungnya, merasa bahwa barusan dia telah menyentuh g-spot-ku. Aku mengerang hebat.

"Elvis! Please—"

"Kau tahu, Shay, di luar dingin sekali," ujar Elvis dengan senyum miringnya.

Aku menatapnya penuh harap dan jantungku berdebar. Aku menggeleng dengan cepat karena aku benar-benar tidak tahan, lalu dia melanjutkan, "dan kau akan menikmati ini sepanjang malam, Sayang."

"Tolong, aku tak ingin mendengarmu berbicara! Just do it quickly!"

Demi Tuhan, bahkan tidak ada status apa pun yang mengikat kita dalam sebuah komitmen, Mr. Francisco! Sampai kapan ini akan berlanjut? Aku mulai memikirkan hal ini akhir-akhir ini. Sementara itu, Elvis tiba-tiba menghujamkan miliknya ke dalamku dengan cepat dan sangat kuat. Aku menjerit bukan main.

Elvis menarik kedua tanganku dan menguncinya di atas kepalaku. Aku semakin berkeringat, desahanku semakin tak terkontrol. Ranjang berderit kencang dan pinggulku bergoyang cepat bersamanya, kemudian saat aku nyaris mendapatkan pelepasan pertamaku, Elvis berbisik padaku:

"Sebut namaku, Sayang. Buktikan bahwa semua desahanmu itu hanya untukku."

Sial!

Aku tahu, kami berdua lebih nyaman dengan hubungan yang seperti ini. Setidaknya kenyataan bahwa kami saling mencintai sudah membuat kami tenang satu sama lain. Akan tetapi, aku mulai gila. Aku mulai tak bisa untuk tak memperhatikannya ketika di kantor. Setahun lebih menjalani hubungan tanpa komitmen, semua itu membuat kami semakin saling membutuhkan satu sama lain. Aku mulai tergila-gila padanya, tetapi aku juga mengakui bahwa hubungan seperti ini juga lumayan nyaman untukku. Aku cukup tahu bahwa Elvis memiliki begitu banyak perempuan yang tergila-gila padanya di kantor. Apakah aku merasakan cemburu setiap harinya? Oh, itu pertanyaan terbodoh sepanjang masa.

First of all, aku mencintainya.

Kemudian, saat Elvis terjatuh di atas tubuhku, napas kami bersusulan dan saling memburu. Elvis pun tersenyum miring dan mengecup leherku.

 

"Great, Shay. Love you." []