Chapter 3 :
Love
******
AKU menaruh gelas kosong itu ke atas meja. Itu adalah gelas keduaku malam ini. Vodka menjadi minuman pilihanku saat ini dan aku tahu ini gila karena aku sedang hamil. Hamil anak dari seorang pria yang bahkan tak mau berkomitmen dengan wanita mana pun. Aku menatap ke samping kananku dan mendapati Peter menatapku dengan mata yang memicing.
Peter membuka mulutnya dan berbicara padaku, tetapi aku mengernyit. Aku tak mendengarnya sama sekali. Suaranya terdengar seperti sedang berkumur-kumur karena kalah oleh suara musik yang keras di kelab ini.
"Apa?!" teriakku. "Aku tak bisa mendengarmu!"
Peter tertawa.
"Kau pasti sedang ada masalah, Shay!" teriaknya, mengulang perkataannya.
Aku menaikkan alisku, kemudian terkekeh.
"Maukah kau menceritakan masalahmu padaku?" tanya Peter.
Aku menyatukan alisku.
Whoa, kami bukanlah sahabat. Peter menyukaiku dan kami dekat karena alasan itu, tetapi aku sudah menolaknya. Dia sendiri berkata bahwa dia akan tetap menjagaku dan mencintaiku, meskipun kukatakan padanya bahwa aku belum ingin berhubungan dengan siapa pun.
Padahal sebenarnya, aku mencintai orang lain. Tidak mungkin kukatakan hal itu kepada Peter karena hubunganku sendiri tak seharusnya diketahui oleh orang lain. Namun, malam ini, entah mengapa aku ingin menceritakannya.
Apakah begini efek hamil? Haha, ada-ada saja. Hamil seorang bayi yang ayahnya bisa dipastikan enggan mengakui bayi tersebut? Aku jadi ingin melampiaskan emosiku ke siapa saja. Aku jadi ingin mengatakan seluruh isi hatiku kepada orang yang peduli padaku dan mengungkapkan hubungan kami. Aku benar-benar menjadi emosional.
"Apa kau benar-benar ingin tahu, Peter?" tanyaku saat kutatap Peter dengan serius.
Melihatku menatapnya dengan tatapan serius, Peter pun mengernyit dan memantapkan posisi duduknya untuk benar-benar menghadapku. Pria itu mengangguk pelan.
"Katakan padaku, Sweety. Apa pun itu."
"Kau takkan percaya," ujarku sembari menggeleng.
Peter memegang bahuku secara tiba-tiba.
Aku menatapnya dengan mata membulat.
"Cerita, Shay," paksanya. Setelah itu, dia perlahan tersenyum. "Aku akan percaya. Apa pun itu."
Aku meneguk ludahku. Mataku menatapnya sendu. Kupikir, mungkin saja aku harus menceritakan ini padanya. Dia adalah satu-satunya orang yang dekat denganku selain kedua orangtuaku. Ini aneh juga mengingat dia adalah atasanku sendiri. Aku tak peduli lagi dengan Elvis, terserah dia mau mengatakan apa. Aku menarik napasku dalam-dalam.
"Aku.., sebenarnya aku memiliki hubungan dengan Elvis, Peter," kataku sembari melipat bibirku. Ludahku kutenggak dengan susah payah.
Apa reaksi Peter? Aku bahkan tertunduk saat kuucapkan kalimat itu.
Peter diam. Tak ada respons. Aku kemudian menatap ke arah Peter dan kulihat Peter bukannya terbelalak, ia malah menatapku dengan mata yang memicing.
Apa yang salah?
"Berarti pandanganku tak salah," ujar Peter.
Aku mengernyit. Kugelengkan kepalaku perlahan sebagai pertanda bahwa aku tak mengerti.
Peter melepaskan pegangannya dari bahuku dan tersenyum manis setelah ia membuang napasnya.
"Tadi pagi aku melihatnya menatapmu dengan cara seperti itu, kalian bertatapan dengan cara yang tak biasa dilakukan oleh dua orang yang tak dekat di kantor. Selama ini, setahuku kalian bahkan tak pernah berbicara. Malah aku tak berpikir bahwa kalian saling kenal satu sama lain."
Aku meneguk ludahku pelan. Pantas saja Peter menaikkan alis saat melihat kami tadi pagi.
"Kami sudah menjalani hubungan ini selama setahun lebih, Peter."
Kini, Peter sukses terbelalak. Pria itu menggeleng.
"Kau serius?" tanyanya dengan suara yang sama sekali tidak santai.
Sudah kuduga dia akan bereaksi seperti ini.
Aku tersenyum sendu.
"Kami menjalani hubungan tanpa komitmen karena Elvis tidak suka berkomitmen," ujarku.
Peter kemudian semakin merapat ke arahku dan mendengarkanku dengan saksama. Aku bernapas sejenak, kemudian melanjutkan.
"Kami telah...beberapa kali berhubungan seks. Hampir setiap hari. Namun, kami tidak memiliki komitmen satu sama lain. Kami memilih untuk bertingkah seperti biasa, tak saling sapa, tak dekat sama sekali di kantor. Di depan semua orang, kami seperti itu, tetapi di belakang semua orang. Kami saling membutuhkan satu sama lain. Kami juga saling mencintai, tetapi...kami lebih nyaman seperti ini."
Peter tampak beberapa kali terkejut dengan ucapanku, tetapi dia tetap mencoba untuk diam, meski matanya sekarang sudah melebar sempurna.
Aku tertunduk.
"...dan kemarin adalah batasanku karena aku sekarang sedang hamil anaknya."
Peter menganga. Tubuhnya menegang.
Bahkan Peter tampak sangat shock.
"Shay...kau...kau hamil?!" Ia menggeleng tak percaya.
"Apa kau...apa kau sudah bicara padanya?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng.
"Belum. Tadi malam aku menemuinya dan meminta kepastian darinya, tetapi jawabannya sama. Ia tetap dingin. Ia masih tak ingin berkomitmen dan memang, memang aku belum mengatakan tentang janin yang ada di dalam rahimku. Aku memilih untuk memastikan terlebih dahulu apakah ia benar-benar memikirkanku dan memutuskan untuk mau berkomitmen denganku atau tidak. Namun, ternyata..." Aku menggeleng. "Bagaimana mungkin dia akan menerima anak ini bila dia sendiri tak mau berkomitmen denganku? Dia tak mau berkomitmen saja, membuatku cukup yakin bahwa dia...tak akan menerima anak ini, meskipun dia mencintaiku."
Tanpa bisa kuprediksi, Peter tiba-tiba memelukku.
Mataku terbelalak.
"Hei. Aku di sini," ujar Peter. "Aku di sini, Sweety. Ingatkah kau bahwa aku menyukaimu? Ayolah! Meskipun aku seperti ini, perasaanku padamu tidak pernah main-main. Aku bisa menikahimu, dan aku serius. Kita—"
Suara pukulan keras membuatku terperanjat. Peter jatuh ke lantai kelab dan aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. Aku menatap ke depan dan napasku tertahan di tenggorokan saat kulihat Elvis berdiri di sana, dia mulai kembali memukuli Peter. Peter menatap Elvis dengan mengangkat alis dan protes dengan suara khas miliknya.
"What the fuck, Mr. Francisco?! What's wrong with you?!" teriak Peter.
Kepribadian ramahnya membuatnya tak terlihat mengerikan, dia malah tak marah saat dipukul, melainkan hanya protes dengan menyatukan alis karena keterkejutan yang luar biasa.
"Jangan berani-berani mengatakan hal seperti itu padanya!" ujar Elvis dingin.
Aku ternganga. Semua orang berkumpul mengelilingi kedua orang yang sedang berkelahi itu. Kemudian semua orang terenyak dan heboh saat melihat Peter tiba-tiba berdiri dan balas memukul Elvis. Aku spontan berdiri dari dudukku dan menerobos kerumunan itu.
"Kau bahkan tak mau berkomitmen dengannya, Mr. Francisco! Apa kau bahkan memikirkannya? Dia sedang hamil anakmu!" teriak Peter dan saat itulah air mataku menggelinang.
Aku langsung berteriak begitu aku sampai di depan mereka berdua, tepat saat Elvis telah berhasil memukul Peter kembali.
"HENTIKAN!" teriakku kencang.
Elvis berhenti. Ia langsung menatapku dengan tajam dan langsung menghampiriku. Dengan cepat dan kasar, Elvis meraih tanganku dan menarikku keluar dari kelab.
"Lepaskan aku, Elvis!" teriakku.
Tubuhku benar-benar seperti diseret. Elvis kini telah berhasil membawaku keluar dari kelab dan aku terus mencoba untuk melepaskan diri. Namun, kekuatannya lebih besar dariku.
"Ayo pulang, Shay," ujar Elvis dingin. "Jangan pernah menceritakan hal pribadi kepada orang lain. Ceritakan hal seperti itu hanya kepadaku. Hanya padaku! Kita akan pergi ke rumahku sekarang dan kau akan menerima hukumanmu."
Mataku terbelalak.
******
Aku menoleh ke belakang dan menyadari bahwa kepala Elvis ada di bahuku. Tangan kekar Elvis memelukku dari belakang dengan posesif. Aku tersenyum dan langsung membalikkan posisiku menghadap ke arahnya.
Aku menatap wajah tampannya. Rahangnya yang tegas dan hidungnya yang mancung, kemudian bentuk mata yang sesuai dengan ciri khas tatapan tajamnya, serta rambut berwarna coklatnya. Dia ternyata sudah bangun lebih dulu daripada aku. Aku melipat bibirku dan kembali tersenyum.
"Pagi, Sayang," sapanya dengan suara seraknya.
Kuyakin itu adalah suara pertamanya yang ia keluarkan hari ini. Aku mengangguk.
"Pagi," jawabku. Aku mengusap rahangnya. Dia terpejam karena perlakuanku dan aku terkekeh. Ini pagi yang indah untuk memulai hari ini, mengingat apa yang terjadi semalam.
Elvis tadi malam membawaku ke rumahnya dan kami berakhir di sini, di ranjang miliknya. Saat itu rumahnya sepi, hanya ada nanny yang membuka pintu rumahnya saat kami sampai. Ayah Elvis sudah meninggal sejak tiga tahun yang lalu dan ibunya Elvis sudah tidur begitu kami sampai.
Elvis melemparkanku ke ranjangnya begitu kami masuk ke kamarnya dan ia langsung menyiksaku dengan cumbuannya. Ia bahkan hanya menendang pintu kamar dan aku tak yakin ia sempat mengunci pintu kamar itu. Dia memukul bokongku dan mengikat kedua tanganku sembari mengumpat karena ia marah padaku. Ia tidak mengampuniku karena aku kembali bergaul terlalu dekat dengan Peter, terutama sampai menceritakan hal yang bahkan Elvis sendiri tak tahu kepada Peter. Elvis berkata bahwa dia mendengar semuanya. Semuanya, termasuk fakta bahwa aku waktu itu meminta komitmen padanya karena aku sedang hamil anaknya.
Elvis meminta maaf padaku tepat saat dia orgasme di dalamku. Beribu maaf ditambah ciuman di perutku sebagai salam pertama darinya untuk anaknya yang ada di dalam rahimku. Dia juga mengatakan hal-hal semacam kecemburuannya yang semakin memuncak setiap hari saat melihatku terus bersama Peter, dia mengatakan bahwa dia akhir-akhir ini sering membuntutiku dan berkata bahwa dia kesal melihatku langsung pergi dari kamarnya begitu dia menolak ajakanku untuk berkomitmen. Dia kesal saat aku keluar dari kamarnya dan menangis, meskipun dia sendiri tak siap untuk berkomitmen saat itu.
Kami selalu seperti ini. Seks menjadi jalan untuk segala hal di dalam kehidupan kami berdua. Kami berhubungan seks saat sedang bergairah, saat sedang bertengkar, saat sedang dibakar api cemburu, saat sedang berusaha melampiaskan kekesalan dan penyesalan...semua itu diselesaikan dengan seks. Mungkin hubungan seperti ini aneh, tetapi ini adalah jalan ternyaman bagi kami berdua untuk berbicara.
"Elvis, apa kau tak takut ada yang masuk? Kita masih belum berpakaian dan pintumu...kurasa kau tak menguncinya tadi malam," ujarku.
Elvis tersenyum miring.
"Aku tahu—"
"Elvis?!! Will you go to the office this mo—"
Suara itu membuat kami berdua kontan terduduk.
Aku refleks menarik selimutku sampai ke atas, menutupi kedua payudaraku, tetapi pintu kamar Elvis sudah terbuka lebar sebelum aku berhasil berlari untuk bersembunyi. Elvis juga menatap ke arah pintunya dengan mulut yang sedikit terbuka.
"TUHANKU!!" teriak ibunya Elvis begitu melihat kami berdua di ranjang.
Mataku kontan terbelalak dan aku menganga. Ibunya Elvis menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan menggeleng, ia berpegangan di kenop pintu dan tampak bertumpu agar tidak jatuh. Matanya membulat sempurna.
"Elvis..." ujar ibunya Elvis sembari menggeleng tak percaya, wanita paruh baya itu melihatku sebentar, kemudian masuk perlahan-lahan ke dalam ruangan. Langkah kakinya begitu kaku karena shock.
Sekali lagi, ibunya Elvis menatap kami berdua secara bergantian dan berakhir menatap Elvis dengan kernyitan di dahinya.
"Elvis—kau—dengan Shay—" Ibunya Elvis menggeleng. "Jelaskan padaku sekarang juga!!" teriaknya kemudian.
Aku tertunduk dan menggigit bibirku. Aku mengerti apa yang ada di pikiran ibunya Elvis. Dia selama ini mengira bahwa kami adalah teman yang sangat dekat, yang saling mengunjungi satu sama lain hampir setiap hari. Bahkan ibunya Elvis telah menganggapku sebagai anaknya.
Namun, apakah benar begitu? Apakah ibunya Elvis tak pernah sekali pun mencurigaiku? Dia tak tahu bahwa aku sering bermalam di rumah ini, bermain saat ia tidur dan pulang saat ia belum bangun. Namun, apakah benar bahwa dia sama sekali tak tahu?
Elvis tertunduk sejenak dan bernapas samar. Setelah itu, Elvis menatap ibunya.
Ibunya kembali berbicara dengan suara kencang, matanya masih melebar tak percaya.
"Aku selalu mengira bahwa kalian berteman baik!! Apa ini?! Aku sayang Shay, Elvis, tetapi yang kalian lakukan ini. Apa yang tak kuketahui?!"
"Aku sudah lama berhubungan dengan Shay, Mom," ujar Elvis dan ibunya jelas terbelalak. Elvis kemudian melajutkan, "Shay sekarang sedang hamil. Sejak pertama kali kau melihat Shay datang ke rumah ini, saat itulah kami mulai berhubungan. Namun, tak ada yang mengetahui hubungan kami. Aku ingin menikahinya, jika Mom mengizinkanku untuk melakukannya secepatnya. Aku ingin menjadikannya sebagai istriku."
Mataku terbelalak.
Tak lama kemudian, mataku langsung berkaca-kaca. Aku menatap Elvis dengan pandangan penuh haru.
Dia ingin menikahiku. Dia pasti sudah berpikir matang-matang dan memilih untuk menghancurkan keegoisannya yang tidak ingin berkomitmen terhadap perempuan. Dia sudah ingin berkomitmen.
Ibunya Elvis langsung menatapku, kemudian menatap ke arah Elvis lagi. Wanita itu langsung menggeram dan menutup matanya. Satu detik setelahnya, wanita itu membuka matanya lagi.
"Ya. Kalian harus menikah secepatnya. Ibu akan mengurusnya secepat mungkin," ujar ibunya Elvis. Aku menatap ke arah ibunya Elvis dan mataku melebar. Setelah itu, wanita paruh baya itu pun menatap ke arahku. "...dan Shay, Sayang, ayo ikut aku. Kita cari wedding organizer-nya nanti siang, oke? Kita harus mulai mengurus semuanya sekarang."
Spontan saja aku menganga. []