Chereads / Sub Rosa by jihanvelia / Chapter 2 - Commitment

Chapter 2 - Commitment

Chapter 2 :

Commitment

 

******

 

15 BULAN YANG LALU

 

"AKU tak mau ada komitmen di antara kita." Elvis berkata padaku begitu mobilnya berhenti di depan rumahku.

Aku memicingkan mata, menghadap ke arahnya dan melihatnya menatap tajam ke depan. Aku sendiri tak tahu ia melihat ke arah mana, tetapi wajahnya kini tak menghadap ke arahku sama sekali.

Aku sendiri mengakui bahwa aku tidak siap untuk berkomitmen. Tadi malam adalah pertama kali kami melakukannya! Sesungguhnya, aku belum begitu kenal dekat dengannya. Sebuah kesalahan di dalam hidupku adalah di mana aku terjebak dengan pesonanya, pesona pria dewasa yang membuatku gila. Aku bergairah setiap kali aku melihatnya, begitu pula dirinya.

Kami saling mengungkapkan perasaan kami tadi malam. Sungguh, aku dan Elvis terjebak saat kami bertatapan satu sama lain sewaktu kami pertama kali bertemu. Aku ingat malam itu ketika aku menghadiri undangan pernikahan kenalan Bibiku, Bibi Rachel. Rachel mengajakku ke acara pernikahan glamour anak seorang bangsawan. Aku hanya memakai dress milik Rachel yang sangat fit di tubuhku saat itu.

Aku dibawa Rachel ke sebuah meja berbentuk bundar, yang di atasnya terletak susunan botol-botol anggur. Sial, gaunku benar-benar sempit dan membuatku sulit bergerak, sementara Rachel kini sedang tertawa sembari berpelukan dengan kenalan-kenalannya.

"Shay, apa kau kurang enak badan?" tanya Rachel begitu ia menyadari bahwa aku tampak gelisah.

Aku tersenyum pada Rachel dan mengedikkan bahu. Rachel balas tersenyum padaku dan mengarahkan dagunya ke depan, hal itu membuatku mengarahkan pandanganku ke depan.

Hal yang pertama kali kulihat adalah sepasang bola mata berwarna coklat yang menatapku dengan tatapan dingin. Matanya memicing ketika pandangan kami saling bertemu. Napasku tertahan; seolah ada tarikan magnet yang menyatukan pandanganku dengan pandangannya sehingga aku tak dapat mengalihkan tatapan mataku. Jantungku seakan berhenti berdegup. Tatapan dinginnya membuatku melupakan semua hal yang ada di sekitarku sehingga aku tidak merasakan apapun selain fakta bahwa aku tengah terpaku karena memandanginya.

Matanya seolah mampu mengendalikan seluruh pusat diriku. Setelah itu, aku sadar bahwa sosok pemilik kedua mata berwarna coklat itu adalah seorang pria yang memiliki rupa dan tubuh yang sebanding dengan model majalah pria dewasa. Paras yang menarik, tubuh yang seksi, dan tuksedo fit body yang membuatnya semakin memesona.

Aku bukan wanita penggila seks. Aku belum pernah berhubungan seks dalam hidupku. Namun, entah mengapa pria ini berhasil membangkitkan sesuatu di dalam diriku. Tatapannya itu seolah tengah menggali informasi dari dalam diriku dan semakin membuatku bergairah.

"Dia adalah sepupu dari Hellen, sang pengantin wanita hari ini," ujar Rachel.

Setidaknya aku masih bisa mendengar ucapan dari Rachel, meskipun fokusku masih kepada pria itu. Aku meneguk ludahku, sementara tatapan pria itu masih menatapku penuh dengan intimidasi.

Aku mengangguk kepada pria itu, memberi salam sederhana tanpa ingin berbicara dan memutuskan kontak mata kami. Hingga kemudian kami bersalaman. Sensasi dari tangan hangatnya yang memegang tanganku terasa sangat nyata. Aku tiba-tiba merasakan bahwa mungkin saja kami tengah memikirkan hal yang sama.

Aku bahkan telah jatuh cinta pada pria itu, pada saat ini, saat pertama kali aku melihatnya.

"Hei," sapaku.

Dia mengangguk samar, matanya masih fokus menatapku. Dia semakin memicingkan mata dan tatapannya itu serasa membunuhku.

 

"Hei."

 

Fuck. Suaranya sangat seksi. Apa dia tahu seberapa dalam suaranya, sehingga membuatnya terdengar seperti telah memendam suara itu seharian? Atau seperti dia baru saja fokus terhadap sesuatu? Sial.

Tautan tangan kami terlepas, tetapi hubungan kami ternyata tak lepas sampai di situ.

Dua hari setelah perkenalan itu, kami bertemu lagi. For God's sake, dia ternyata adalah salah satu supervisor di perusahaan tempatku bekerja. Dia memang terkenal dingin. Dia adalah supervisor yang berbeda divisi denganku dan hal itulah yang ternyata membuat kami tak pernah saling melihat satu sama lain selama ini. Pertemuan kedua kami itu terjadi saat makan malam supervisor yang mana seperti biasa, Peter mengajakku.

Sejak saat itu, kami berdua sering bertemu dan berkomunikasi. Namun, itu tidak berlaku ketika di kantor karena Elvis melarangku untuk bersikap seperti aku mengenalnya ketika di kantor. Aku setuju dengan hal itu karena beberapa waktu setelah itu, perlahan kuketahui bahwa para penggemar Elvis begitu menginginkan pria itu di ranjang dan akan menyerang siapa pun yang mendekatinya.

Lagi pula, Elvis tidak suka merasa dekat dan terikat dengan perempuan, meskipun hanyalah sebatas teman. Hal itu membuatku nyaman dengan keputusan bahwa 'aku harus bersikap seolah tak mengenalnya di kantor' dan ketika kami saling jatuh cinta pun aku malah terbiasa dengan akting kami yang berpura-pura tak saling mengenal itu. Kami berdua lebih nyaman seperti ini.

"Aku tidak suka berkomitmen," ujar Elvis lagi. Aku menatap ke depan, memandangi barisan besi-besi pagar rumahku dari balik kaca depan mobil Elvis. Elvis kembali berujar dengan suara yang terdengar dingin, "Aku lebih nyaman kita berhubungan seperti ini."

Aku mengangguk dan menghela napas.

"Aku tahu. Aku juga lebih nyaman seperti ini. Mengetahui bahwa kau mencintaiku sudah membuatku cukup nyaman untuk melakukannya denganmu semalam. Aku pulang dulu," ujarku sembari beranjak ke luar dari mobil.

Elvis hanya berdeham dan dia agaknya memperhatikanku hingga aku benar-benar sampai di dekat pagar rumahku. Aku berbalik dan melambaikan tangan padanya yang masih ada di dalam lalu memutar mobilnya dan perlahan mobilnya itu melaju pergi meninggalkanku.

Aku tersenyum dan membalikkan badan, lalu berjalan masuk ke dalam rumahku.

 

******

 

Aku melangkah masuk ke rumah Elvis begitu nanny yang ada di rumahnya membukakan pintu. Aku bertemu ibunya Elvis; ibunya Elvis langsung berdiri saat aku melangkah ke ruang tamu.

"Ke mana Elvis, Mom?"

"Shay?" panggil ibunya. "Sudah dua hari kau tak kemari. Kau sudah makan malam, Sayang? Elvis ada di kamarnya," ujarnya dengan terburu-buru, menyadari bahwa langkahku juga sedang terburu-buru.

"Aku sudah makan malam, Mom," ujarku dengan cepat. "Thank you. I'll go to his bedroom."

Aku melangkah dengan cepat, menaiki tangga ke lantai dua di mana kamar Elvis berada. Kamar yang selalu kudatangi setiap hari, kamar yang mana di sana aku dan Elvis juga sering melakukannya, kamar yang benar-benar aku tahu di mana posisinya. Aku bahkan hafal posisi seluruh benda di kamar itu dan aku hafal betul bahwa aroma Elvis menyebar di seluruh sudut kamar itu. Aku mengetuk pintunya begitu aku sampai depan kamarnya.

Elvis langsung membuka pintu kamarnya dua detik kemudian. Hal pertama yang kulihat saat pintu itu terbuka adalah Elvis dengan kaus merahnya dan pandangan bola mata tajamnya yang menatapku dingin. Aku langsung masuk dan menutup pintunya.

"Ayo bicara," ujarku langsung.

Mata Elvis memicing. Ia memiringkan kepala, tangannya masih berada di dalam saku celana training abu-abu ber-merk Nike yang sering ia pakai. Aku bahkan ingat beberapa kali celana itu terlempar ke bawah ranjang saat kami berhubungan seks. Sial, pikiranku mulai liar.

Bola mata coklatnya memandangku dengan tatapan dingin.

"You just need to talk."

"Mari mulai bicarakan tentang hubungan kita ini, Elvis," ujarku. Aku menatapnya dengan serius dan aku tahu bahwa aku tengah mengepalkan tanganku di kedua sisi tubuhku. "Aku.."

Kudengar Elvis mendengkus. Aku spontan langsung menatap ke arahnya.

"Ada ap—"

"Apakah hanya komitmen yang dipikirkan oleh seluruh wanita?" tanya Elvis dingin. "Kau ternyata sama. Kau boleh berhenti jika kau tidak ingin lagi berhubungan denganku."

Mataku terbelalak.

Mendadak mataku terasa perih. Saat tetesan air mata mulai jatuh ke pipiku tanpa kusadari, aku terenyak. Aku menggeleng, tertunduk, dan mengusap air mataku. Aku menatap air mata yang ada di jemariku itu dengan pandangan tak percaya.

Aku, menangis? Menangis, hanya karena meminta sebuah hubungan yang jelas?

Sejak kapan aku benar-benar ingin sebuah hubungan yang pasti? Aku tak pernah meminta hal ini kepada Elvis karena aku juga sudah nyaman berhubungan tanpa status dengannya. Baru kali ini aku meminta. Namun, tak kusangka Elvis akan sekejam ini.

Namun...mengapa aku menangis?

"Elvis—"

"Ada apa denganmu? Mengapa kau tiba-tiba meminta hal seperti ini," tanya Elvis tajam. "Aku tak suka itu. Berhenti meminta komitmen dariku atau kita berhenti saja berhubungan."

Aku mendadak menggeram. Ini gila. Aku dan dia harus memiliki hubungan yang pasti mulai dari sekarang dan jawabannya itu kini menyakitiku, mengingat aku memiliki sesuatu darinya sekarang. Tanganku terkepal dan aku benar- benar tenggelam dalam amarah.

"Aku bahkan baru kali ini memintanya darimu! Apa kau bahkan memikirkanku?! Sampai kapan kita harus menjalani hubungan seperti ini? Kau bilang kau mencintaiku!!!"

"Aku mencintaimu, tetapi jika kau meminta komitmen, aku tak bisa," jawabnya dingin.

Aku menggeram. Mataku menatapnya dengan nyalang, sementara air mata terus membanjiri pipiku.

"SIMPAN SAJA CINTAMU ITU!!!"

Aku lantas berbalik dan aku mendengar dia memanggilku. Aku mengusap air mataku dan membuka pintu kamarnya, lalu aku berlari ke luar. Sebelum pergi dari sana, aku menutup pintu kamarnya dengan kencang.

Sial! Shay, mengapa kau harus mengemis seperti ini? Ini tiba-tiba dan Elvis pasti terkejut.

Kau hanya harus berkata jujur bahwa kau sedang hamil, 'kan? Kau hamil!

Sial, aku mengandung anakmu, Elvis. Dia ada di rahimku sekarang, setelah setahun lebih kita hanya menjalani hubungan tanpa status, hubungan di mana kita saling membutuhkan saat di ranjang. Hari ini pertama kalinya aku meminta komitmen darimu dan awalnya kuharap kau akan bertanya atau mencari tahu ada apa di balik permintaanku. Namun, kau menjawabku dengan jawaban seperti itu.

Where can I go now, with your baby?

 

******

 

Aku sedang menyeduh kopi di ruangan khusus untuk membuat kopi yang biasa para karyawan gunakan di kantor saat tiba-tiba Peter menghampiriku. Wajahnya benar-benar terlihat berseri pagi ini. Aku menoleh ke samping kiriku dan mendapati bahwa dia tengah mengintip dari bahu kiriku.

Aku tersenyum. "Hei. Pagi."

Aku kembali menatap ke gelas kopiku dan Peter terkekeh. Ia melangkah ke seberang meja tempatku membuat kopi. Ia menumpukan kedua telapak tangannya di meja dan memperhatikanku dengan tatapan jail.

"Making a coffee?" tanyanya dengan ramah. Berbasa-basi. Aku tertawa.

"Do you want it too?" tanyaku sembari mengedikkan bahu padanya dan dia tertawa.

"Oke. Buatkan aku segelas, Manis," godanya dan aku kini benar-benar tertawa.

Aku sebenarnya malas sekali tertawa karena rayuannya yang tak mampu membuatku merona itu, tetapi karena aku sedang bad mood karena Elvis, aku mengajak diriku untuk tertawa.

"Oke, akan ku—"

"Aku yang akan membuatkannya."

Mataku terbelalak. Aku mengenal suara ini. Jantungku seolah berhenti berdegup dan tanpa sadar aku menahan napasku.

Mengapa dia bisa ada di sini?

Aku melihat ke arah Peter sembari meneguk ludahku. Tampak Peter tengah mengangkat kedua alisnya saat menatap ke arah orang yang sekarang tampaknya sedang berdiri di belakang tubuhku itu.

"Ah, Mr. Francisco," ujar Peter dengan ramah dan saat itulah kusadari bahwa Elvis mulai melangkah hingga berdiri di sampingku.

Tatapan kami sempat bertemu dan Elvis menatapku dengan tajam. Tatapan itu terasa setajam dan setipis silet, lalu saat aku menoleh ke arah Peter, ternyata di depanku Peter telah melihat kami berdua secara bergantian dengan menyatukan alis. Elvis pun berhenti menatapku.

Kulirik Elvis yang mulai langsung mengambil gelas. Peter diam sebentar. Dua detik kemudian, Peter menatap ke arah Elvis sembari memberikan senyuman ramah yang kali ini agak terkesan dipaksakan.

"How's work?" tanya Peter.

Elvis mengedikkan bahu. "Busy as usual, but good."

Peter kemudian menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri, menolak niat Elvis yang ingin membuatkannya kopi. "Ahhh no no no, tidak usah, Mr. Francisco. Biarkan Nona Shay yang membuatnya. Aku suka kopi buatannya."

Elvis berhenti. Setelah itu, Elvis mengayunkan kepalanya dan menatap ke arah Peter.

"Biar aku saja."

Saat Peter tampak menaikkan sebelah alisnya, aku mulai tahu bahwa ada yang salah dengan tatapan Elvis kepada Peter saat ini. Mungkin ini waktunya bagiku untuk pergi.

"Em... Aku pergi duluan kalau begitu. Permisi, Mr. Gerald. Dan..." Kulirik Elvis sebentar dan aku seperti biasa bersikap seolah aku benar- benar tidak akrab dengannya. "Mr. Francisco."

Peter melebarkan matanya hingga matanya membulat lucu.

"Oh...yeah, Shay. Have a nice day!" teriak Peter, kemudian Peter tersenyum dengan sangat manis kepadaku. Peter sampai melambaikan tangannya padaku. Aku hanya tersenyum dan merunduk singkat, kemudian permisi dari ruangan itu. Saat aku sudah keluar dari sana, aku mengernyit.

What the hell was that? []