Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Persona : Beyond infinity.

Kindred_26
--
chs / week
--
NOT RATINGS
184
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Sang Bodoh yang memulai kisahnya.

"Aku mungkin si bodoh

Namun, aku adalah representasif dari awal yang baru, penuh potensi dan sebuah determinasi untuk mengambil resiko."

_

" Para ahli memperkirakan fenomena ini akan berlangsung selama satu tahun penuh, dari perkembangan terakhir menunjukkan sepertinya jangkauan kabut meluas setidaknya setiap 1 Minggu dan intensitas curah hujan masih tetap sama sejak 2 bulan terakhir yaitu berkisar antara 0,4 mm hingga 8 mm perhari."

_

Sudah menjadi rutinitas setiap pagi, stasiun televisi menyiarkan kondisi cuaca yang melingkupi kota selama 2 bulan terakhir ini. Batavia, adalah kota pelabuhan yang sangat terkenal di wilayah Asia dan pemerintahan kota yang diberikan otonomi benar-benar memanfaatkan kondisi itu dengan membuat infrastruktur terbaik yang sangat berguna dalam menopang aspek paling menonjol dari kota ini, jalur monorail, trem, bangunan transit bagi para kurir ekspedisi dan lainnya. Kota ini merangkap, sebagai kota pelabuhan sekaligus kota administrasi. Dapat dikatakan bahwa kota ini adalah tempat yang sangat menjanjikan sebagai lokasi untuk mencari nafkah baik bagi warga asli maupun mereka yang meninggalkan kampung halamannya hingga pemerintah memberlakukan aturan keras bagi siapapun yang ingin menetap dengan memiliki kartu identitas khusus bagi para pendatang demi memiliki izin tinggal permanen di kota ini.

Pusat kota adalah daerah yang sangat sibuk, disisi lain daerah yang penuh hiruk pikuk itu terdapat banyak perkampungan yang mengambil manfaat dari situasi tersebut dengan mendirikan rumah kost yang dapat disewa oleh para pekerja yang memperoleh keberuntungannya untuk dapat bekerja pada gedung-gedung tinggi di pusat kota ataupun sektor lain yang tak kalah menjanjikannya. Dan di tengah gedung-gedung tinggi tersebut terdapat sebuah Megastruktur setinggi 800 meter bernama Menara Wisnu Kencana yang menjadi simbol kota, selaku pusat pemerintahan dan administrasi kota yang di dirikan oleh Pemkot yang bekerjasama dengan perusahaan swasta, PT. Brahmaputra.

Ya, selama 20 tahun kota ini telah mempertahankan kejayaannya. Menjadi salah satu penopang ekonomi negara sekaligus bukti konkret bahwa kemajuan teknologi dapat berjalan harmoni beriringan dengan kelestarian alam sebab betapapun nampak futuristiknya Batavia, tidak ada satupun kondisi alam yang dikorbankan demi infrastruktur bahkan tidak ada kesan distopia sama sekali sejak kota ini mengalami revolusi besar-besaran, setidaknya sejak fenomena itu...

_

Rintik-rintik hujan membasahi jalanan, orang-orang berjalan lalu lalang dibawah gedung yang menaungi mereka dari hujan yang tak berhenti selama 2 bulan itu.

Pepohonan yang berada ditengah median jalan raya menitikkan air ke aspal yang nampak tergenang, namun tak butuh waktu lama sistem drainase segera beroperasi mengirimkan air hujan menuju terowongan bawah tanah dan mengalirkannya ke laut.

" Sial banget hari ini juga hujan pula, kapan sih berhentinya?" Keluh seorang pengendara motor yang nampaknya seorang kurir sembari memacu laju kendaraanya.

Tak peduli siapapun yang mengeluh saat itu, tidak akan merubah keadaan bahwa hujan tidak akan berhenti hari itu.

Seorang pemuda menatap kearah jalan, dari dalam kafe. Kaca besar yang memisahkan ruangan tersebut dengan trotoar nampak berembun cukup tebal. Dengan seksama, ia menggerakkan jemarinya dan menggambar sesuatu yang cukup abstrak.

" Termenung menatap menara itu lagi, Noel? Tanya seorang wanita yang mengenakan seragam kafe kepada si pria.

" Ah tidak, hanya saja aku merasakan sesuatu yang janggal dan perasaan itu tidak kunjung hilang bahkan setelah beberapa Minggu." Jawabnya sembari tersenyum kecil.

Wanita itu mengambil posisi duduk disebelah Noel lalu mengambil buku catatan dan menggambarkan sesuatu seperti sebuah skema disana, Noel memperhatikan dengan seksama dan nampak terkekeh sedikit ketika wanita tersebut menyelesaikan tulisannya.

" Wow wow, kau tidak perlu repot-repot Sintia, aku tidak apa-apa. Aku mungkin hanya kelelahan karena mengejar deadline tapi jujur saja kesehatan mental ku ini benar-benar baik."

Sintia lantas menggembungkan pipinya, dia mengangkat note tersebut menunjuk-nunjuk skema tersebut kemudian memasukkannya ke saku baju Noel sembari menekan-nekan saku tersebut.

" Ingat ya Noel, ibu mu memintaku agar menjagamu bukan tanpa alasan. Jadi ketika aku merekomendasikan agar kau mengunjungi psikolog maka aku serius mengenai hal itu. Lagipula ini psikolog loh Noel bukan psikiater, dia tidak akan meresepkan obat untukmu kau hanya harus mengobrol dengannya dan aku sudah membuat janji untuk mu besok siang."

Sintia lalu bangun dari kursi dan pergi meninggalkan meja, Noel hanya menggelengkan kepalanya melihat respon berlebihan Sintia, ia tertawa kecil ketika mengingat betapa Sintia nampak selalu berusaha menjaganya sejak dulu padahal usia mereka sama dan situasi akhir dari upaya tersebut hampir selalu berbuah sebaliknya, ya pada akhirnya malah Noel yang melindungi Sintia. Namun ia tidak pernah mencoba untuk mengabaikan saran wanita itu, ia menghormati Sintia layaknya saudara perempuannya sendiri.

" Setidaknya berbincang-bincang dengan orang ini tidak terlalu buruk sih, ya seharusnya..." Noel memperhatikan tulisan pada notes tersebut dan ternyata terdapat sebuah kartu nama yang mana tertulis jelas nama yang tertera disana.

Dr. Eiden. Ph.D

_

" Hari ini, setidaknya aku bisa menyelesaikan beberapa resume dan dapat dengan segera menyusun laporan tapi jujur saja kenapa aku merasa ada kekurangan ya?"

Noel mengerenyitkan dahinya, siang itu ia telah menuntaskan dua per tiga dari deadline yang semenjak kemarin sudah ia paksakan agar dapat selesai sebelum akhir pekan dan ia belum mendapatkan keterangan apapun untuk melanjutkan satu per tiga sisanya. April ini, nampak tidak begitu sibuk. Bahkan ketika ada beberapa koleganya mengambil cuti hari raya dan kondisi kantor hari ini cukup sepi.

Ia mengenakan headphone, mendorong sedikit kursi kerjanya lalu menyetel musik favoritnya.

" Fwah, hari biasa, posisi staff biasa, jobdesk biasa, tanggung jawab biasa, gaji pun biasa. Sungguh hidup yang sangat rata-rata tapi jujur saja ketenangan ini benar-benar tidak bernilai."

Ia meregangkan kedua tangannya keatas, lalu berdiri kemudian melakukan peregangan. Disekitar meja kantor, beberapa koleganya nampak sibuk dengan dunianya sendiri, ada yang bermain game, teleponan, minum kopi dan hal lainnya. Noel melihat sekitarnya, lalu tersenyum lebar senyum yang dipenuhi oleh rasa syukur. Ia kemudian duduk kembali dan mengambil salah satu buku diujung meja kerjanya, buku pemberian sintia :

" 10 kiat untuk menjadi pria kaya."

" Buku apaansih ini?" Celetuk Noel, yang selalu tak habis pikir mengapa Sintia punya selera yang sangat payah.

" Hai Noel, nerdy banget lagi banyak waktu luang malah baca buku."

Noel terkejut, bahunya ditepuk dan ia pun menoleh.

" Mana, lah kamu bukannya tadi kebawah ya?" Respon Noel bingung.

Mana menggelengkan kepala kemudian memegang bahu Noel sembari menghela nafas

" Noel, itu sudah 15 menit yang lalu.."

" Iyakah.."

" Iyaa, lagipula ini kan aku mengambil pesanan untuk makan siang kita. Yaudah mau istirahat atau lanjut baca buku?"

" Hehe, yaudah ayo."

Noel meletakkan kembali buku tersebut, menaruh headphone yang ia kenakan lalu menuju kafetaria bersama Mana.

_

" Hei Noel, kamu percaya tidak dengan alam bawah sadar kolektif?" Tanya Mana.

" Hmm, alam bawah sadar kolektif? Sepertinya aku pernah dengar. Maksud mu seperti metaverse ya ?" Respon Noel sembari menikmati makan siangnya, ia kemudian mengambil segelas susu yang berada di sebelah kanan hidangan miliknya.

" Kau tau, tema-tema abstrak seperti ini sebenarnya memiliki kesan mendalam untuk ku. Beberapa hal yang berkaitan dengan akar dari semua konflik yang aku sedang pelajari, yaitu : Hasrat."

Suasana kafetaria yang nampak agak sepi membuat percakapan mereka agak dingin, beberapa orang nampak sibuk dengan urusan mereka dan dari semua itu, Mana nampak termenung dengan mata agak berkaca-kaca. Ia lantas menatap Noel dengan tatapan serius, pandangan itu membuat Noel terkekeh ia merasa lucu dengan rekan kerjanya yang tiba-tiba menaruh perhatian ya walaupun ia tau bahwa Mana dapat sangat mudah berubah ekspresi namun hal seperti itu selalu terasa fresh dimatanya.

" Hei, ada apa ini tiba-tiba sekali membahas sesuatu seperti ini? Aku kira kita kesini untuk makan siang." Ledek Noel.

Mana menaruh pandangannya kebawah, ia nampak murung hingga membuat Noel tidak enak hati dan agak gugup.

" Bukan begitu, Noel. Aku mendengar beberapa rekan kita membicarakan perihal seorang psikolog yang sedang naik daun. Saat interview ia membahas perihal tema alam bawah sadar ini. Aku menguping dari salah satu OB kalau ia mengalami satu atau dua hal janggal setelah mengikuti saran meditasi dari orang tersebut. Dan kau tau Noel, tidak sembarang orang dapat memperoleh janji temu dengan orang ini. Bahkan ada banyak orang yang mencoba membayar mahal agar dapat sekedar berbincang-bincang dengannya dan semua itu ia tolak dengan satu jawaban singkat : Chemistry, bahwa orang-orang tersebut tidak cukup chemistry untuk dapat membuat janji temu dengannya."

Mana lalu mengenakan kacamata dan menunjukkan jari telunjuknya ke atas sembari mengutip ucapan seorang ahli.

" Alam bawah sadar sebagaimana yang di ungkapkan oleh Carl Jung adalah kumpulan ingatan dan pola naluriah yang diwariskan secara genetik dari naluriah."

Noel hanya menggelengkan kepalanya melihat bagaimana Mana bertingkah, bagi dirinya sikap koleganya itu benar-benar tidak bisa ditebak dan cenderung sangat acak.

Sesaat kemudian, Noel seperti mengingat sesuatu perihal psikolog yang mana bicarakan.

" Psikolog naik daun, maksud mu eiden?"

" Aku tak menyangka ternyata kamu cukup fomo juga ya Noel." Ucap Mana dengan kepalanya yang mengangguk penuh antusias.

" Aku tidak menyangka jika Sintia melakukan hal sejauh itu hingga dapat memperoleh janji bagiku untuk bertemu dengan orang ini." Benak Noel.

" Ada apa Noel?"

" Tidak, hanya saja temanku memberikan aku sebuah kartu nama seorang psikolog dan memintaku untuk mengunjungi psikolog itu dan orang yang dimaksud adalah si Eiden ini."

" BENARKAH!?" Respon Mana dengan semangat membuat Noel agak terkejut.

" I-iya, emang kenapa?"

" Ayo cepat kamu hubungi, aku penasaran jika memang benar itu nomornya aku kan bisa ikut kamu agar dapat konsultasi gratis hehe.."

" Hah, ini kamu mencoba frugal atau gimana ya.."

" Hehehe.."

Namun Noel memikirkan saran Mana dan segera mengambil ponselnya lantas menelepon nomer tersebut tak lupa ia me-loudspeaker percakapan mereka. Cukup lama telepon berdering hingga ada seseorang yang mengangkatnya.

" Siang, dengan Doktor Eiden?"

" Maaf, saya adalah asisten Dokter Eiden. Ada yang bisa saya bantu?"

Mana nampak salah tingkah, ia mencoba meraih telepon milik Noel namun Noel menahan kepala Mana agar tidak dapat mengganggunya.

" Saya sudah menunggu telepon dari mu, Noel Ardhiyasa..."

Tiba-tiba saja Noel berkeringat dingin mendengar suara itu, suara familiar itu yang nampaknya sering ia dengar.

_

Waktu serasa berhenti, Noel menyadari sesuatu mengenai orang ini dan Sintia benar-benar memperoleh nomer ini langsung dari pemiliknya.

Jantung Noel tiba-tiba berdegup kencang, ia agak sesak dan semua serasa agak kabur namun ia berusaha menguasai dirinya dan merespon ucapan orang itu.

Disisi lain, Mana melihat Noel dengan tatapan aneh karena ia melihat semuanya tiba-tiba saja terasa membingungkan.

" Hei Noel, kamu baik-baik saja?"

Noel hanya terdiam selama beberapa detik.

1 detik.

2 detik..

3 detik...

4 detik....

" Bagaimana Sintia dapat memperoleh nomer telepon ini?"

Hal pertama yang terlintas dipikirannya adalah cara Sintia mendapatkan nomer telepon orang ini karena bagaimanapun juga menurut dirinya semua ini nampak kebetulan.

" Hmm, coba saya ingat kembali.. ah, aku berkunjung ke kafe miliknya, untuk minum kopi disana."

Noel mendengar dengan seksama...

" Aku memesan espresso double shot dan garlic bread.."

" Espresso dan garlic bread, bagaimana mungkin kau.."

Mana mendengar percakapan mereka, baginya semua ini nampak tidak masuk akal.

" Iya betul, aku berada disana 2 hari lalu, untuk bertemu dengan mu. Noel Ardhiyasa..."

Mana terkejut, lalu mengambil ponsel Noel. Ia membiarkan pikiran intrusifnya menang dan mulai menyerang Eiden.

" Hei dokter, aku pikir kau orang terhormat ternyata kau hanya orang aneh dan penguntit ya?"

Pernyataan itu sontak membuat orang-orang di kafetaria melirik mereka, dan dari ponsel tersebut terdengar suara tertawa yang nampaknya dari si dokter. Namun dari suara itu juga ada suara perempuan yang nampaknya mengomel dan ingin menyerowok merespon balik ucapan Mana.

" Biarkan aku membalas hinaan wanita itu dokter, biarkan!!"

" Hahaha, sudah-sudah Nora hentikan."

Semua nampak hening selama beberapa saat, terdengar suara dari balik telepon yang sepertinya Dokter itu sedang menasehati asistennya.

" Maaf maaf, sepertinya asisten ku kesal dengan ucapan teman perempuan mu Noel."

" Mana!?" Lirik Noel tajam dan dibalas acuh oleh Mana. " Maafkan aku atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh orang tidak beradab ini Dok, aku benar-benar minta maaf."

" Haha, tidak mengapa. Sudah lama sekali tidak ada yang seperti itu aku merasa terhibur.."

Wajah Noel nampak memerah karena malu, sedangkan Mana menyilangkan tangan memasang ekspresi kesal.

" Ya memang benar aku menunggumu, Noel. Ya bagaimanapun juga kita sudah memiliki janji temu jadi jangan lupa untuk mengunjungi ku dalam waktu dekat. Detail alamatnya akan Nora kirimkan via pesan, dan jangan lupa agar teman perempuan mu itu kamu ajak, sepertinya dia akan akrab dengan Nora disini."

Dari balik suara telepon, perempuan yang sepertinya bernama Nora itu merespon ucapan Eiden dengan mengomel dan selang 3 detik kemudian telepon itu dimatikan.

Noel nampak bingung dengan percakapan itu, ia merasa lucu dan takut disaat bersamaan.

" Ah sial, obrolan macam apa tadi itu.."