Seorang pria dengan kacamata bulat di wajahnya yang tirus kepucatan. Keringat membasahi keningnya, sesekali terjatuh di depan komputer yang ada di depannya. Rambut yang biasanya dia biarkan berantakan telah tercabut karena rontok dan beberapa ada di tangannya.. Mulut pucatnya menggeretakkan gigi. Mata nya menatap tajam layar komputer dengan tangan yang sangat lincah mengetikkan keyboard komputer.
"Ayolah, lebih cepat," batinnya.
Jantungnya berdetak dengan kencang sampai sampai dia merasa lemas karenanya. Rasa lelah telah membuat tangannya menjadi lemah, tetapi dia tetap memaksakan dirinya untuk menyelesaikan tugasnya. Tugas terakhir, walau dia sendiri berharap bahwa masih ada secercah harapan ini bukan tugas terakhirnya. Walau kesempatan itu hanya satu persenpun dia masih sangat berharap.
Konsentrasinya yang sangat tinggi itu menjadi terganggu ketika sebuah suara benturan keras di iringi teriakan manusia yang kesakitan membahana dari balik pintu di belakang dia. Erangan kesakitan orang yang sangat memekakkan telinga itu perlahan menghilang diiringi nyawanya.
"Oh , sial", pria itu menggerutu ketakutan
Sosok yang menyerang tempat penelitian telah semakin mendekat tanpa ada yang bisa menghentikan mereka. Bahkan berbagai robot keamanan yang dilengkapi senjata berat yang dapat menghancurkan manusia dengan mudah tidak dapat menghentikan serangan yang terjadi secara tiba-tiba ditengah malam itu.
Tidak ada informasi apapun soal penyerangan itu, padahal dia dan para peneliti lainnya telah diyakini oleh orang-orang yang mempekerjakan mereka bahwa keamanan tempat itu sangat terjamin dan tidak mudah ditembus oleh kelompok yang memioiki niat jahat. Bahkan jika terjadi serangan mereka akan segera mendapatkan informasi dengan cepat dan dibawa segera ke bunker perlindungan.
Dengan menggunakan namanya yang sudah dikenal luas oleh kalangan peneliti dan dijanjikan akan mendapat bayaran serta dukungan dalam penelitian, para bos besar mengajak para peneliti untuk bekerja di tempat ini. Tentu saja banyak peneliti yang tertarik walau pada akhirnya itu semua hanya janji kosong belaka dan menjadi penyesalan pria itu beserta rekan-rekan penelitinya yang telah meregang nyawa lebih dulu.
Suara dentuman keras terdengar saat pintu besi setebal lima sentimeter berulang kali dihantam. Pintu itu mulai menunjukkan penyok-penyok yang semakin banyak akibat benturan yang terus-menerus dilakukan. Pria itu yang merasa nyawanya berada di ujung tanduk mempercepat tugasnya.
"Cepatlah," teriaknya dengan tergesa-gesa dan putus asa.
Keringat mengalir deras, menetes dari pelipisnya, sementara jantungnya berdebar semakin liar. Tangannya gemetar hebat, tetapi kecepatan jarinya mengetik tak berkurang—tiap baris kalimat harus terkirim, tidak peduli apapun. Tepat saat dia hendak menekan tombol kirim, suara mengerikan terdengar. Pintu besi yang sudah ringsek itu terlempar terbuka dengan dentuman memekakkan telinga, menyingkapkan bayangan beberapa sosok berjubah hitam yang berdiri di ambang dengan aura yang menusuk tajam.
"Akhirnya terkirim," ucap pria itu dengan perasaan lega dengan jari telunjuk menekan tombol kirim..
Namun, perasaan lega itu seketika tergantikan oleh kepanikan saat serangan eon hitam menghantam, merobek telinga kirinya. Rasa panas yang membakar bercampur dengan nyeri yang menusuk membuat tubuhnya gemetar tak terkendali
"Akh," jeritnya.
Dia terjerembab di lantai, tubuhnya menggigil hebat sementara tangannya yang berlumuran darah mencengkeram telinga yang terluka. Matanya membelalak ngeri, tak bisa berpaling dari sosok berjubah gelap dengan topeng tengkorak yang perlahan mendekat seperti bayangan kematian. Udara di sekitarnya membeku, menyesakkan dengan aroma anyir yang merayap hingga menusuk ke paru-parunya. Namun, di balik kengerian yang menyelimutinya, dia berusaha keras menenangkan diri, mengingatkan dirinya pada barang yang masih tersembunyi di balik pakaiannya—satu-satunya harapan yang membuatnya bertahan.
Napasnya tersengal, tetapi senyum tipis terukir di bibirnya, nyaris seperti ejekan terhadap rasa takut yang terus mencengkeramnya. "Kalian terlambat," katanya lirih, suaranya rendah namun tajam, menggema di antara keheningan yang mencekam. Matanya menatap tajam sosok berjubah gelap itu—bukan sebagai perlawanan, tetapi sebagai pengingat bahwa dia masih memegang kendali.
Meski tubuhnya gemetar dan rasa nyeri terus menjalar, keyakinannya tak goyah. Tugasnya telah selesai, dan kartu as yang tersembunyi di balik lab coat-nya menjadi satu-satunya alasan senyum itu tetap bertahan, dia akan selamat hanya tinggal menunggu kesempatan yang ditunggu datang. Senyumnya melebar, penuh arti, saat udara di sekitarnya semakin dingin dan berat.
Tidak mempedulikan perayaan kecil pria yang tidak berdaya itu, sebuah tendangan melayang kearah tubuhnya dan membuat tubuh lemahnya terlempar beberapa meter.
Bos, semua informasinya sudah dikirim ke alamat yang tidak teridentifikasi," ucap seorang wanita dengan suara dingin, matanya tajam menatap layar komputer.
Wanita itu mengenakan topeng tengkorak yang menutupi wajahnya dari hidung ke bawah, hanya menyisakan sepasang mata yang memancarkan kilatan tajam. Dengan gerakan cekatan, jari-jarinya menari di atas keyboard, memeriksa setiap file dan jejak aktivitas di komputer pria itu.
"Dia mengenkripsi alamat tujuan. Semua data ini diarahkan ke server anonim—mustahil dilacak dalam waktu singkat," tambahnya, sedikit nada frustrasi terdengar. "Komputernya juga terprogram untuk menghapus semua file setelah pengiriman selesai. Dia benar-benar merencanakan ini."
Dia menatap ke arah bosnya, ekspresinya tetap tenang meski situasi jelas semakin runyam. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Hahaha, seperti yang sudah kubilang, kalian terlambat! Semua yang kalian lakukan sekarang sia-sia. Misi kalian sudah gagal," pria itu tertawa serak, dengan nada mengejek penuh kebencian. Setiap tawa terhenti seiring aliran darah yang terus mengalir dari lukanya, tapi dia seolah menikmati setiap detik akhir kehidupannya, membiarkan mereka merasakan kegagalan yang tak bisa dihindari.
Sosok bertopeng tengkorak itu tetap diam, tak terpengaruh oleh perkataan si pria. Tatapannya tetap tajam, penuh perhitungan. "Perintahkan AIra untuk melacak kemana informasi ini dikirim," ucapnya dengan suara tegas, tidak terburu-buru. Langkahnya mantap saat mendekati pria yang terbaring di lantai, darah menggenang di sekitarnya.
Ruangan itu hening, hanya terdengar suara napas berat dari pria yang terluka. Sosok bertopeng itu tetap diam, menatap pria itu dalam keheningan yang hampir menakutkan, seolah mencoba meresapi setiap detik yang berlalu. Kemudian, setelah beberapa lama, sebuah pertanyaan keluar dengan nada yang tak biasa, lebih dalam dari sekadar rasa ingin tahu.
"Profesor Venili, mengapa kalian melangkah terlalu jauh?"
Profesor Venili menyipitkan matanya, kebingungan tergambar jelas di wajahnya saat ia mencoba menangkap makna di balik pertanyaan yang tidak ia duga. Wajahnya tampak seperti terhenti sejenak, mulutnya sedikit terbuka, seolah mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang datang begitu mendalam. Namun, semakin ia berpikir, semakin ia menyadari bahwa ini bukan pertanyaan biasa. Ada sesuatu yang lebih—semacam simpati yang tersembunyi, meski disembunyikan di balik nada yang dingin dan penuh kewaspadaan
"Aku tidak mengerti maksudmu," jawab pria itu, suaranya bergetar meskipun ia berusaha terlihat tenang. "Tentu saja semua penelitian kami demi kebangkitan eon yang lebih jauh," lanjutnya dengan nada yang kaku. Tapi di dalam hatinya, ia tahu sesuatu yang lebih gelap sedang menunggu. Diam-diam, tangan kanannya bergerak menuju lab coat-nya, meraba senjata "terakhir" yang tersembunyi di baliknya—kartu truf yang ia simpan untuk menghadapi saat-saat seperti ini.
"Kebangkitan dunia Eon? Apakah kalian menyadari apa yang telah kalian perbuat itu begitu menjijikkan?" Nada suara sosok bertopeng itu tiba-tiba berubah, tajam dan menggema di ruangan.
"Kau pikir kekuatan Eon saat ini sudah mencapai puncaknya? Dunia ini… telah hancur karena perang tak berujung. Kita membutuhkan kekuatan untuk memperbaiki seluruh kerusakan di dunia ini! Dan Eon, bersama para penggunanya, adalah harapan terakhir yang kita miliki!" Pria itu berteriak, matanya dipenuhi campuran kemarahan dan putus asa.
Sosok bertopeng itu bergerak tanpa ragu. Tangannya terangkat, dan kekuatan hitam Eon menjalar seperti ular berbisa, mengitari tubuh pria itu. Dalam hitungan detik, pria itu terangkat ke udara, wajahnya menegang dalam kepanikan.
"Harapan terakhir? Kalian mengorbankan ratusan jiwa tidak bersalah dalam penelitian kalian" Suara dingin itu menusuk telinga. Dengan gerakan kasar, sosok bertopeng menghentakkan tangannya, membuat tubuh pria itu terpental ke dinding. Bunyi dentuman keras mengisi ruangan, disusul erangan kesakitan yang teredam.
"Katakan sejujurnya, apa tujuan sebenarnya kalian melakukan penelitian dengan mengorbankan banyak nyawa manusia?" lanjutnya.
Venili itu mengerang karena rasa sakit dari tubuhnya yang teramat sangat. Tetapi sebuah tawa kecil keluar dari mulutnya.
"Mereka hanya pengorbanan kecil, pada akhirnya setiap kebangkitan butuh pengorbanan. Bahkan eon tidak akan pernah mencapai seperti saat ini jika tidak ada pengorbanan, dengan pengorbanan itu kami mencapai sesuatu!" teriaknya lalu mengeluarkan kartu as yang selalu dia simpan.
Sebuah botol kaca kecil yang bening dengan penutup hitam diatasnya. Di Dalam botol itu, sebuah benda hitam yang mengeluarkan aura yang terkesan lengket dan menjijikkan. Memberikan kewaspadaan kepada dua orang yang ada di hadapan profesor Venili.
Profesor Venili membuka penutup botol itu dan tanpa menunggu dikeluarkan. Benda hitam itu keluar dengan sendirinya dan masuk kedalam tubuh profesor Venili melalui mulutnya. Dia tertawa dengan sangat keras dan napasnya mengeluarkan asap hitam lalu tidak lama setelah itu tubuhnya mengejang lalu roboh dan menggelepar.
Bagaikan bayangan gelap yang merayap, tubuh Venili mulai berubah dengan cara yang tidak wajar. Kulitnya tampak bergerak sendiri, menggeliat seperti ada sesuatu di bawah permukaannya, hingga akhirnya merekah perlahan. Bagian tubuhnya yang mengejang seolah dipahat ulang, setiap otot dan tulangnya memanjang dan melengkung ke arah yang tidak masuk akal, menciptakan siluet yang tidak lagi menyerupai manusia.
Kepalanya mendadak terangkat dengan paksa, suara retakan samar terdengar saat wajahnya berubah. Rahangnya meregang hingga hampir tak berbentuk, menciptakan celah gelap yang lebar, sementara matanya memudar, digantikan oleh sorot merah menyala yang memancarkan rasa ancaman. Di tempat jari-jarinya, kini terbentuk bilah tajam yang mencuat, tampak seperti senjata alami yang dibuat untuk mencabik-cabik apa saja yang ada di hadapannya.
Tubuh Venili kini berdiri dalam wujud baru, postur tubuhnya condong ke depan dengan gerakan lambat namun penuh tekanan. Dari mulutnya, terdengar suara geraman rendah yang semakin keras, memekakkan telinga, seolah-olah memberikan rasa takut kepada orang-orang yang ada di dekatnya.
"Bos, itu!" ujar wanita yang merasakan aura yang semakin kuat keluar dari tubuh profesor Venili.
"Ya, pecahan Oblivark," lanjut sosok bertopeng sembari menggemeretak giginya.
Amarah membakar dari balik topeng tengkorak yang menutupi wajahnya, menyisakan hanya sepasang mata yang memancarkan kilatan dingin penuh dendam. Sosok itu berdiri kaku, tubuhnya mengeluarkan aura hitam pekat yang berdenyut, seperti gelombang pasang yang menyapu udara di sekitarnya. Eon hitam yang membara di sekelilingnya menggeliat liar, mengeruhkan ruangan dan menciptakan tekanan yang begitu berat hingga terasa menusuk ke dalam dada siapa pun yang mendekat.
Rasa haus darah yang tak terbendung memancar dari setiap gerakan kecilnya—napas yang terdengar berat dan kasar, genggaman tangannya yang mengepal hingga berderak, membuat posisi bertarung dengan posturnya yang condong ke depan, seperti pemangsa yang bersiap menerkam. Aura gelap itu membanjiri ruangan dengan dingin menusuk, membawa bau logam yang tajam dan mencekik.
Wanita yang berdiri di dekatnya merasa paru-parunya mulai menolak udara. Tekanan yang dihasilkan oleh eon hitam itu begitu mencekam, seperti berada di bawah permukaan laut yang semakin dalam. Dadanya terasa berat, dan setiap helaan napas yang ia coba paksakan terasa sia-sia. Tubuhnya gemetar dengan kuat.
"Jangan ikut campur, biar aku yang menghadapinya," ujar sang bos dengan suara penuh amarah. Wanita itu mengangguk lalu segera menjauh dari medan peran yang akan terjadi.
Hanya tersisa dua sosok di sana—Profesor Venili yang tubuhnya telah direnggut oleh kekuatan Oblivark, kini menjelma menjadi wujud mengerikan, dan sosok bertopeng tengkorak yang dikelilingi eon hitam pekat yang bergolak dengan tekanan luar biasa. Keduanya saling bertatapan, mata penuh kebencian dan niat membunuh, seperti dua predator puncak yang bersiap memperebutkan wilayah mereka.
Suasana di antara mereka terasa berat, dipenuhi aura mencekam dari kekuatan masing-masing. Ketegangan itu terpecah dalam sekejap. Tanpa aba-aba, keduanya bergerak serempak, kecepatan mereka nyaris mustahil diikuti mata telanjang. Mereka melancarkan serangan yang meluapkan seluruh kekuatan mereka, menciptakan ledakan dahsyat yang mengguncang ruang di sekitarnya.
Lalu siapakah yang akan memakan dan dimakan?