Kalian tahu masa-masa sekolah adalah masa yang akan selalu dikenang oleh setiap orang yang pernah menghadapi kehidupan remajanya. Mendapat pacar yang imut, menjadi populer dikalangan siswa bahkan membuat prestasi gemilang dari hobi yang ditekuni adalah impian semua remaja lima belas tahun. Jika ada remaja yang tidak mengincar semua hal tersebut maka mereka adalah orang yang sangat membosankan dan tidak memiliki teman. Biasanya mereka akan dikucilkan dari siswa-siswa bahkan tidak akan pernah diingat hingga mereka lulus.
Tentu saja aku, Rei Morvaine seorang remaja laki-laki berumur 15 tahun memiliki keinginan untuk menjadi populer dikalangan siswa. Memiliki pacar yang imut merupakan hal bagus tapi mengingat betapa ketatnya aturan keluargaku mungkin tidak akan pernah memiliki hal itu sampai berumur 19 tahun.
Jadi aku tidak memikirkan apakah akan mendapat pacar atau tidak, tetapi menjadi populer adalah tujuanku. Tentu saja tidak ada yang lebih baik dari dikenal oleh seluruh orang di akademi, sebuah jalan pintas menuju kehidupan lebih baik, begitulah yang aku pikirkan.
Aku telah belajar mati-matian materi akademi yang kutemukan di internet. Bahkan harus merasakan neraka dari seorang wanita maid yang bekerja di kediamanku hanya untuk membuat aku belajar tentang eon, melatih fisikku hingga aku terkapar di lantai tanpa bisa menggerakkan satu incipun tubuhku.
Tapi hasilnya, wow, sangat menakjubkan. Aku memiliki tubuh yang tidak banyak lemak tapi otot-otot mulai terbentuk di lenganku, perutku menampakkan sedikit kotak-kotak walau hanya sedikit terlihat. Mungkin aku telah mendapat tubuh ideal untuk seorang remaja setelah menghadapi neraka itu.
Wajahku? Tentu saja aku sangat percaya diri aku adalah pria yang tampan dengan rambut hitam yang panjang setelinga sedikit keriting, hidung mancung dan kulit yang putih sedikit kecoklatan karena akhir-akhir ini aku berlatih di bawah terik sinar matahari.
"Aku adalah remaja ideal yang sempurna," batinku dengan bangga.
Walau begitu aku memiliki saudara kembar laki-laki yang kupanggil kakak karena dia keluar duluan dari rahim ibuku dari pada aku. Namanya Ren Morvaine, aku mengakui bahwa dia lebih tampan dengan rambut putihnya, sangat cekatan dan terampil, tetapi dia sendiri aku anggap seseorang yang penuh dengan rahasia, ada kalanya dia membantuku dalam memahami tentang eon, tetapi dia sendiri tidak terlalu pandai dalam menggunakannya.
"Aku hanya memahami teori tetapi tidak pandai praktek," itulah yang selalu dia katakan kepadaku.
Lalu ketika kami latihan bertarung baik menggunakan eon maupun tidak, dia selalu mengalahkanku. Bahkan ketika aku yakin kemenangan sudah di depan mata, dia selalu membalikkan keadaan dengan cara-cara yang aku sendiri tidak mengerti.
"Aku hanya beruntung," katanya.
Kehidupan sekolah? Dia tidak terlalu memusingkannya, hanya ingin menjalani kehidupan biasa dengan tenang, tanpa ada banyak gangguan.
"Aku lebih senang orang-orang akademi melupakan kehadiranku," ucapnya ketika aku bertanya.
Yah, itu pilihan dia. Aku tidak perlu bertanya lebih lanjut atau memaksakan kehendakku kepadanya. Lebih baik aku memikirkan rencana hebat untuk menjadi populer dikalangan siswa maupun guru.
###
Rencana hebat apanya! Karena kejadian konyol ini, ya, sangat konyol bahkan aku sendiri tidak mempercayainya karena sedang mengalaminya. Gara-gara hal ini tujuanku menjadi berantakkan.
"Aku tersesat?" ucapku dengan mulut terbuka tidak percaya.
Dihadapanku saat ini adalah sebuah jalan buntu dinding berwarna hitam yang tidak memiliki celah sedikitpun untuk dilewati. Aku lihat jam di tanganku menunjukkan pukul delapan lewat lima belas, tersisa tinggal lima belas menit lagi hingga pembukaan untuk siswa baru.
Aku telah bangun sejak pukul enam pagi hanya untuk melakukan semua persiapan hingga aku yakin tidak akan ada masalah dalam perjalanan menuju akademi. Karena jarak akademi yang jauh dari kotaku harus melewati 1 kota untuk sampai ke kota Briem dimana akademi tujuanku berada. Sisa waktunya, aku terus berputar-putar di kota Briem tanpa henti untuk mencari akademi, seharusnya tidak perlu melakukan itu jika aku melihat GPS dari Smartphoneku, tetapi sialnya smartphoneku telah kehabisan baterai karena aku lupa mengisinya semalam.
Aku tertunduk lesu, pasrah bahwa semua yang kulakukan selama ini menjadi sia-sia dan impian menjadi populer malah hanya angan-angan saja. Sampai aku merasakan pundakku di tepuk dari belakang.
Aku menoleh dan melihat seorang pria tua dengan wajah keriput yang dihiasi janggut putih yang panjang, tubuhnya kurus dan kecil, tangannya memegang tongkat yang terbuat dari kayu mungkin untuk menopang tubuhnya yang renta. Anehnya dia memakai kacamata hitam.
"Halo anak muda apa kau siswa dari akademi Lumina?," tanya kakek itu dengan suara seraknya
"Iya kek," jawabku sambil mengangguk
"Sepertinya kau tersesat," ujar si kakek "kalau begitu, mari kutuntun menuju akademi."
Seolah malaikat penyelamat telah datang, aku merasa sangat lega dan kekhawatiranku menjadi hilang seketika karena pertolongan yang ada di hadapanku.
"Baik, kek!" jawabku dengan semangat.
Aku berjalan di sebelah kakek itu,
"Anak muda, kau dari kota mana?" tanyanya memecah keheningan diantara kami selama perjalanan.
"Eh, ah, aku dari kota Tenebralis," jawabku langsung
"Oho, kau dari kota yang penuh rahasia itu," si kakek melirik ke arahku.
"Apa maksud kakek dengan kota penuh rahasia?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
"Yah, kota itu terdapat sebuah keluarga yang penuh misteri dan rahasia. Ada yang mengatakan seluruh wilayah kota itu adalah milik keluarga itu. Ada pula yang mengatakan kalau kota itu sudah dijaga oleh raja sejak lama, hmm, benar-benar kota yang menarik," jawab si kakek dengan panjang lebar.
Aku yang seumur hidup tinggal di kota itu menjadi terkejut sekaligus keheranan dengan jawaban kakek. Hal ini adalah pertama kalinya aku mendengar ada sebuah keluarga yang menguasai sebuah kota, mengapa aku tidak pernah mendengar nama keluarga itu ya?
"Apa kakek tahu nama keluarga itu??" tanyaku dengan penasaran.
Sang kakek terkekeh kecil
"Anak muda, aku tidak mengira kau tidak tahu dengan nama keluarga yang sudah diketahui oleh banyak orang".
Aku hanya menggarukkan kepala dengan malu
"Morvaine, itulah nama keluarga yang penuh misteri itu," jawabnya
"HAH!" secara refleks aku mengeluarkan sebuah suara kejutan yang keras sehingga orang-orang di sekitar melihat kearah kami.
Sang kakek terkekeh lagi melihat responku yang begitu, tapi sebelum aku kembali melakukan pertanyaan si kakek tiba-tiba berhenti.
"Kita sudah sampai," ujarnya.
Sebuah gerbang besar berdiri kokoh dengan batu merah menjadi pondasinya. Lalu sebuah tulisan besar LUMINA ACADEMY terpampang dengan elegan. Berbagai ukiran indah dan terkesan mistis dengan cat emas menjadi penghias gerbang itu.
"Terima kasih kek, sudah membawaku kemari," jawabku sambil membungkukkan kepala.
"Hoho, sungguh anak muda yang sopan, jika kau ingin berterima kasih datanglah ke tokoku tiap pagi, aku menjual gulai lontong, lotek dan cemilan pagi hari," katanya lalu pergi sambil melambaikan tangan.
Aku menatap kepergian sang kakek itu dan berjanji dalam hati untuk mengunjungi toko dia. Tidak terlalu lama aku melihat si kakek, sebuah badan tinggi besar nan kokoh menghalangi pandanganku. Aku mendongak ke atas,
"Beruang!" teriakku
Akibatnya sebuah jeweran dari tangan kokoh yang kasar membuat telingaku kesakitan.
"Kau anak baru dan sudah berani menghina instruktur?" ujar pria berbadan tegap itu.
Sembari menahan rasa sakit jeweran yang masih berlangsung, aku mencoba berdalih
"Maaf pak, tidak sengaja."
"Dan kau berani datang terlambat di hari pertamamu?" jewerannya tambah kuat seolah-olah akan mencopot telingaku.
Tidak! Masih ada tersisa 1 menit sebelum acara penyambutan siswa baru dimulai.
"Maaf pak! Tadi aku tersesat dan masih ada 1 menit jika aku berlari pasti akan tepat waktu," jawabku masih membela diri dengan memberi alasan.
Guru berbadan besar itu membuang nafasnya dengan keras.
"Inilah masalah anak muda zaman sekarang, tidak pernah menghargai waktu," keluhnya "kau segera berlari dan pergi langsung menuju Aula yang berada disana. Tidak perlu berjalan belok tinggal lurus saja.".
Akhirnya jewerannya terlepas dari telingaku yang sudah memerah bagaikan tungku yang panas. Walau masih menahan rasa sakit, aku pamit kepada guru beruang itu dan segera berlari tanpa menunggu balasan dari dia menuju aula yang di sebutkan.
Dari kejauhan sudah terlihat gedung aula yang sangat besar itu, bahkan terlihat menonjol karena ada patung dengan orang yang penuh dengan armor berwarna keemasan di dekatnya dan sebuah api yang terbuat dari eon membara keluar dari kedua tangannya. Kabar baiknya aku tidak perlu tersesat menemukan aula yang dimaksud. Kabar buruknya, aku tidak melihat siswa-siswi dimanapun, sepertinya semua orang sudah berada di dalam gedung aula itu.
"Oh sial, reputasiku akan rusak," keluhku.
Tes, tes..
Dari dalam aula sudah terdengar suara pengeras suara wanita yang keluar. Aku mempercepat lariku tidak mempedulikan apa yang telah aku lewati. Hingga akhirnya aku mencapai pintu aula dan membuka pintunya.
"Maaf aku terlambat," kataku dengan nafas yang masih terengah-engah.
Tentu saja karena suaraku yang cukup keras sehingga membahana di seluruh ruangan aula, ribuan mata langsung menatapku dengan berbagai macam ekspresi. Mau itu instruktur, kakak kelas, maupun anak baru sepertiku. Hatiku sedikit gemetar menahan rasa malu
"Ayolah, ini bukan jenis kepopuleran yang aku inginkan," batinku.
Seorang instruktur wanita datang menghampiriku dengan tergesa-gesa, tatapannya yang tajam menghujani diriku karena datang terlambat.
"Siapa namamu dan kelas berapa?," tanyanya dengan ketus
"Rei Morvaine, siswa tahun pertama hadir," jawabku.
Tidak mau mengomeliku dengan keras guru itu menggelengkan kepalanya sambil memegangi kepala.
"Kau segera ambil bangku angkatan pertama dan duduklah sesuai namamu,"
Aku mengangguk dan baru saja akan melangkah, guru itu menarik tanganku.
"Setelah ini selesai segera temui aku di kantor," perintahnya dengan tatapan yang sangat menusuk
Aku menelan ludah membayangkan apa yang akan terjadi kepadaku di hari pertama dalam kehidupan sekolah. Dengan perasaan lemas dan lesu aku berlari kecil menuju bangku yang ditunjuk.
Selagi berjalan mencari kursi dengan namaku, siswa-siswi baru menatapku dengan berbagai ekspresi penasaran, tidak suka atau bahkan tidak peduli sama sekali. Beberapa saling berbisik lalu tertawa seolah meledek diriku yang datang terlambat.
"Sial, kehidupan populer impianku sudah hancur," ujarku dalam hati, seolah ingin menangis.
Sebuah tangan melambai tidak jauh dari tempat aku berdiri. Seorang remaja laki-laki berambut putih melambaikan tangannya.
"Kak Ren!" ujarku
Aku segera menuju temptanya dan ternyata sebuah kursi kosong dengan namaku berada di dekatnya.
"Kau terlambat," kata Ren
Aku duduk di kursi itu lalu menyandarkan punggung.
"Aku tersesat," jawabku dengan perasaan gusar.
Dia tertawa kecil
"Yah, semua orang pasti pernah tersesat. Tapi tidak di hari pertama juga," jawabnya dengan terkekeh sambil menyindirku.
Lalu Aku membalas dengan menepuk bahunya.
Tidak lama kemudian dimulailah kegiatan penyambutan siswa angkatan tahun pertama. Yang malah terjadi kehebohan. Tebak gara-gara siapa, ya, gara-gara aku lagi!