"Akan kuhancurkan wajah menyebalkanmu itu," ujar seorang siswa angkatan baru yang sedang berdiri di hadapanku.
Siswa laki-laki yang baru aku tahu namanya ini entah mengapa dipenuhi kebencian terhadap diriku? Wajahnya yang menurutku biasa saja itu menampakkan urat emosi hingga sangat jelas. Tangannya terkepal di depan mataku, seolah memberikan ancaman yang dia pikir akan membuatku takut.
Maksudku adalah, hei, aku dan dia sama-sama siswa baru di akademi Lumina ini. Tidak pernah sekalipun aku bertemu dengannya atau bahkan membuat masalah seperti menginjak sepatunya yang terlihat baru dan mahal itu.
Apa mungkin dia marah karena serangan yang baru saja aku lakukan? Jangan salahkan aku, salahkan dirinya yang tidak siap dengan serangan seperti itu bahkan kepala akademi yang membuat pertarungan ini terjadi tidak mempermasalahkannya. Lebih anehnya lagi, seluruh siswa didalam akademi yang berada di dalam aula bersorak-sorai dengan keras.
"Ayo! Pukul dia".
"Patahkan giginya".
"Haah–" aku membuang napas dengan lemah.
Jika kalian penasaran mengapa saat ini semua orang ingin mematahkan gigiku, mungkin kita harus kembali 20 menit sebelum kejadian ini terjadi. Ketika pembukaan penerimaan siswa baru dimulai.
20 menit yang lalu
Setelah kejadian keterlambatanku membuat acara tertunda, akhirnya kegiatan penyambutan dimulai. Seorang siswi perempuan angkatan kedua yang merupakan ketua osis menjadi pembawa acara, parasnya yang cantik membuat seluruh siswa-siswi baru menatap dengan kagum, selain itu suaranya yang lembut namun tegas membacakan susunan acara yang akan dilaksanakan pada hari ini tanpa ada kesalahan.
"Wow, seorang ketua osis bisa secantik itu, kupikir semua ketua osis adalah orang kutu buku dengan kacamata bulat berbingkai tebal," pikirku.
OSIS di Akademi Lumina adalah organisasi bergengsi yang menjadi kebanggaan para siswa. Meski begitu, mereka tetap terikat pada aturan ketat akademi. Anggota OSIS di sini bukanlah siswa biasa—mereka adalah individu luar biasa dengan kecerdasan, latar belakang keluarga terpandang, atau keunikan yang membuat mereka menonjol. Hanya yang terbaik dari yang terbaik yang berhasil masuk ke dalamnya. Bergabung dengan OSIS bukan hanya soal prestise, tetapi juga peluang untuk langsung meningkatkan status sosialmu di lingkungan akademi.
"Hm, apa aku masuk ke osis saja ya?" Khayalanku menjadi liar.
Aku segera menggelengkan kepala, kembali pada kenyataan. Masuk ke OSIS bukanlah hal mudah—kau harus menjadi yang terbaik dan mendapatkan dukungan dari siswa serta guru. Namun, melihat situasi hari ini, masalah yang baru saja aku alami sudah cukup untuk membuat kepercayaan orang-orang padaku merosot tajam.
"Yah, sayang sekali," tanpa kusadari suara didalam kepala malah keluar.
"Maksudmu?" tiba-tiba Ren bertanya dengan setengah berbisik.
"Oh tidak, aku merasa ketua osis yang sedang berbicara di depan sangat cantik," bisikku.
Ren mengangkat kedua alisnya lalu mengalihkan pandangan menuju podium tempat ketua osis yang sedang berbicara.
"Yah, anak-anak perempuan dari keluarga Avarielle memang terkenal akan kecantikan mereka," ujarnya dengan wajah datar.
Avarielle? Bukankah itu nama salah satu keluarga paling terkenal di kerajaan ini, bagian dari delapan pengguna Eon terkuat? Tak hanya unggul dalam kekuatan Eon, pengaruh mereka di dunia politik juga luar biasa besar, membuat orang jarang berani menantang mereka. Dan sekarang, Ketua OSIS adalah putri dari keluarga hebat itu. Tak heran, aura dan ketenangannya benar-benar mengagumkan.
"Tapi, dari mana kau tahu dia berasal dari keluarga Avarielle?" tanyaku
Ren menyerahkan sebuah pamflet berjudul "SELAMAT DATANG DI AKADEMI LUMINA." Di sudut pamflet itu, ada foto Ketua OSIS dengan tulisan nama di bawahnya, "Rina Avarielle." Foto tersebut menunjukkan Rina sedang berpose dengan senyuman yang menurutku imut, meski sama sekali tidak mencerminkan kewibawaannya yang begitu kuat seperti saat ini. Pamflet itu dirancang dengan detail, menampilkan informasi penting tentang Akademi Lumina—dari aturan, fasilitas, hingga jadwal orientasi siswa baru. Warna-warna cerah dan desain elegan pamflet itu seolah mencerminkan prestise akademi, memberikan kesan bahwa tempat ini lebih dari sekadar sekolah; ini adalah panggung untuk para calon elit masa depan.
"Dari mana kau mendapatkannya?"
"Anggota osis memberikannya saat masuk ke aula," jawabnya.
Tidak lama setelah ketua osis membacakan susunan kegiatan dimulailah kegiatan sebenarnya. Dimulai dari menyanyikan lagu akademi Lumina yang para siswa diminta untuk berdiri. Siswa baru tidak perlu bingung karena lirik lagu sudah tertera di dalam pamflet itu.
Tak sampai tiga menit lagu usai, acara berlanjut ke sesi kata sambutan. Dimulai oleh perwakilan instruktur, hingga akhirnya tibalah giliran kepala Akademi Lumina, pak Pramana Virelius. Sosoknya menjulang tinggi, dengan wajah tua yang penuh keriput, dihiasi jenggot putih panjang yang melambangkan kebijaksanaannya. Sepasang mata hijau tajamnya menyapu setiap sudut aula, membuat siapa pun yang ditatap merasa seolah ditelanjangi. Jas hitam yang dikenakannya semakin mempertegas auranya yang penuh wibawa. Seluruh aula terdiam membeku, bahkan para instruktur pun tak berani mengeluarkan sepatah kata.
"SELAMAT PAGI SEMUA!"
Suara pertamanya menggema di seluruh aula, lantang dan menggelegar seperti petir yang memecah langit. Bersamaan dengan itu, aura eon yang kuat terpancar dari tubuhnya, menyebar seperti gelombang tak terlihat. Tekanan itu segera memenuhi ruangan, membuat setiap siswa merasakan beban yang menekan dada mereka. Beberapa terlihat mengernyit, berusaha menahan diri agar tidak kehilangan kesadaran karena tekanan yang begitu mendominasi.
"Ke, kepala akademi. Mohon untuk menahan eonnya," ujar seorang instruktur wanita terlihat panik.
Tidak lama kemudian Eon yang keluar secara intens itu berakhir dalam sekejap. Seolah tidak pernah ada Eon yang dikeluarkan.
"Haha, maafkan aku, melihat anak-anak muda ini membuat darah tuaku ikut mendidih," dia tertawa dengan terbahak-bahak dan menggelegar.
Instruktur di sebelahnya mencoba menasehati sang kepala akademi.
Setelah berdeham kecil pak Pramana berkata:
"Selamat datang di Akademi Lumina! Tempat kalian akan membentuk diri menjadi lebih dari sekadar manusia biasa! Di sini, kalian akan menempa jiwa dan raga hingga batas terakhir, melampaui setiap keterbatasan! Serap semua ilmu yang diberikan, lawan kemalasan, hancurkan kelemahan! Kalian bukan lagi anak bayi, tetapi calon pemegang kekuatan eon tertinggi! Berjuanglah hingga titik darah penghabisan!" ucapnya dengan penuh semangat. Sekilas eon nya keluar sedikit tapi menghilang saat itu juga
"Benar - benar orang tua yang penuh semangat," batinku.
Aku melayangkan pandanganku ke sekeliling. Sorot mata para siswa kini menyala penuh semangat, seolah kata-kata kepala akademi telah menyalakan api yang lama terpendam dalam diri mereka. Tangan-tangan mereka terkepal erat, mencerminkan tekad yang tak tergoyahkan. Wajah-wajah mereka memancarkan keyakinan, seakan tak ada rintangan yang terlalu besar untuk dihadapi di masa depan..
"HIDUP AKADEMI LUMINA!"
Seorang siswa berdiri dan mengepalkan tinjunya ketas. Memberikan bahan bakar api kepada seluruh siswa yang lain untuk membakar semangat mereka.
"Hidup akademi Lumina!,"
"Hidup akademi Lumina!"
Seluruh siswa sontak mengulangi kata-kata yang sama membuat seisi ruangan menjadi riuh karena suara mereka.
"Hei, hei mereka menjadi terbawa arus," batinku.
Mau tak mau aku juga mengikuti hal yang sedang terjadi.
Plak!
Sebuah tepukan tangan dari kepala akademi menggema di seluruh aula, disertai pancaran eon yang begitu kuat hingga menciptakan getaran halus di udara. Suara itu cukup untuk membuat para siswa yang sebelumnya berdiri dan berseru penuh semangat terhenti seketika. Seolah dikendalikan oleh kekuatan tak terlihat, mereka terdiam dan perlahan kembali duduk di kursi masing-masing, tak berani melawan aura tegas yang menguasai ruangan.
"Tapi—" katanya, suaranya tiba-tiba merendah, namun justru terasa jauh lebih mengintimidasi. Nada itu memancarkan aura dingin yang membuat suasana di aula seolah membeku. Para siswa menatapnya penuh penasaran, menanti kelanjutan kata-katanya dengan tegang.
"Semangat saja tidak ada gunanya!" lanjutnya, suaranya tajam seperti bilah pedang. "Saat ini, yang kita butuhkan adalah pembuktian." Sebuah senyum mengembang di wajahnya—bukan senyum ramah, melainkan senyuman yang membawa ketakutan, seolah mengisyaratkan bahwa ujian besar telah menanti.
Kepala akademi merentangkan tangannya dan mengeluarkan sebuah eon hijau yang sangat kuat lalu menyebar ke seluruh penjuru ruangan. Tiba-tiba kursi-kursi yang diduduki siswa terangkat ke langit. Termasuk kursiku sehingga memaksaku berpegang erat dengan kursi agar tidak jatuh.
"Ke, kepala akademi. Apa yang anda lakukan? Hal ini tidak ada dalam acara!" Komplain ketua osis.
Mengabaikan protes ketua osis, ia menarik napas panjang penuh eon lalu menghembuskannya dengan keras. Seakan menanggapi perintah, kursi-kursi yang melayang anggun ke udara seperti tertiup angin yang tak terlihat bergerak ke setiap sudut aula, membawa orang-orang yang duduk di atasnya hingga tersusun membentuk lingkaran rapi di pinggir ruangan. meninggalkan area tengah yang kini sepenuhnya kosong, seperti panggung besar yang menanti sebuah pertunjukkan.
"Dasar orang tua gila!" Umpatku dalam hati sembari mengelus bokong yang sedikit sakit.
Setelah membuat atraksi gila yang membuat bingung seluruh orang yang ada di aula, dia merapikan jasnya. Sambil mengelus jenggot putihnya, kepala akademi berkata:
"Jika kalian masih punya darah muda yang bergejolak, sebuah pertarungan pasti akan menjadi tontonan yang menarik untuk semua orang di sini," ucapnya dengan nada tajam, disertai seringai licik yang membuat bulu kudukku meremang. Matanya berkilat penuh ancaman, seolah menikmati kekacauan yang akan terjadi. "Tampaknya... ada seseorang yang berani melanggar aturan di hari pertamanya di akademi," lanjutnya, suaranya merendah namun menekan, seperti gemuruh sebelum badai besar menerjang".
Aku merasakan firasat buruk sehingga merasakan detak jantung yang bertambah cepat.
Kepala akademi memanggil instruktur wanita yang menjumpaiku tadi dan berbicara beberapa patah kata. Lalu keduanya melihat ke arah tempat aku duduk saat ini
"Rei Morvaine, aku menyukai semangatmu untuk melanggar aturan akademi di hari pertamanya. Oleh karena itu, aku akan memberikan kesempatan kepadamu untuk menebus dosa yang telah kau lakukan dengan bertarung di depan semua penonton saat ini". Katanya.
Tiba-tiba eon hijau menyelimuti tubuhku seolah ditarik oleh sesuatu yang sangat kuat, diriku melayang menuju ruang kosong yang ada di tengah tanpa bisa mengatasinya. Tentu saja hal itu membuatku panik.
"Sebagai informasi untuk seluruh siswa baru, anak ini berada di peringkat dua dalam penerimaan siswa baru. Hanya untuk hari ini, aku akan mengizinkan siapapun merebut rank yang dia miliki. Tentu saja akan ada banyak keuntungan dari mendapat rank yang lebih tinggi".
Hei, hei, apa yang dilakukan orang tua gila ini! Aku sudah berencana menggunakan itu untuk menaikkan popularitasku. Jika seseorang merebutnya, semua persiapanku saat ini hanya menjadi sia-sia.
Pengumuman itu langsung membuat seluruh siswa baru riuh. Beberapa di antara mereka tampak memiliki sorot mata yang berapi-api, penuh semangat dan ambisi. Sementara itu, aku merasa seperti seekor kelinci yang terjebak di tengah kawanan serigala, menunggu saat untuk diterkam.
"Apakah aku boleh menolak?" aku mengacungkan jari dengan penuh harap
"Tidak!" jawab kepala akademi dengan tegas.
Tubuhku terasa kehilangan sebagian energinya di tengah keributan yang semakin memanas. Sorak-sorai di sekeliling tidak cukup menutupi keraguan yang terlihat di wajah mereka. Tentu saja, meski kesempatan itu ada, siapa pun tahu bahwa lawan mereka adalah aku—seseorang yang berada di peringkat dua. Aku sedikit menegakkan dada, membiarkan fakta itu mengisi diriku dengan sisa kepercayaan diri. Dalam hati, aku berharap ini cukup untuk menggagalkan tantangan dari Kepala Akademi. Namun, harapan itu seketika buyar saat seseorang tiba-tiba melompat ke tengah arena, tepat di hadapanku.
Anak laki-laki dengan tubuh kurus dan berdiri dengan tegap. Rambutnya cukup panjang dan lebat sehingga menutupi mata sebelah kirinya. Kalung tengkorak teruntai dari lehernya dan anting hitam menggantung di telinganya. Matanya yang memiliki pupil merah menatapku seperti melihat musuh yang harus dibantai.
"Hufik Ignaleth, siap menerima tantangan," ujar anak laki-laki itu.
Kepala akademi tersenyum dengan lebar, sepertinya dia sangat ingin membuat diriku menjadi tontonan untuk seluruh orang saat ini tapi persetan dengan apa yang ada di kepala dia, lebih baik aku mempersiapkan diri untuk menghadapi anak yang bernama Hufik ini.
"Aturannya sederhana, kalian harus mendapatkan tiga poin untuk memenangkan tantangan ini. Yang harus kalian lakukan hanyalah membuat lawan kalian menyerah, tidak sadarkan diri maupun keluar dari pembatas yang aku buat," katanya dan tangannya merentang mengeluarkan eon hijau. Lalu sebuah kubah hijau tembus pandang terbentuk mengelilingi kami membentuk pembatas yang besar.
"Akan aku ambil peringkat yang tidak pantas kau miliki itu!" ancamnya tajam saat mata kami bertemu.
Aku hanya bisa menatapnya tanpa berkata-kata. Jalan pikirannya benar-benar tak masuk akal. Bukankah peringkat itu diperoleh dari hasil ujian dan tes eon? Jika seseorang mendapatkan peringkat buruk, bukankah itu berarti usahanya kurang? Jadi, kenapa dia bertingkah seolah aku mencuri peringkat ini darinya?
"Orang dengan keluarga tidak jelas sepertimu tidak layak berada di peringkat dua!" lanjutnya, suaranya penuh dengan nada merendahkan. "Hanya mereka yang berasal dari keluarga terpandang yang pantas berada di posisi itu. Jadi—"
Apakah dia berniat mengoceh selamanya? Aku tidak ingin mendengar ceramahnya lebih lama lagi. Saat dia terus berbicara, aku diam-diam membentuk bola eon hitam seukuran kepalan tangan. Energi itu berdenyut pelan di tanganku, menunggu saat yang tepat.
Dengan gerakan cepat, aku melepaskannya. Bola eon meluncur dengan kekuatan penuh, terbang begitu cepat hingga dia tak punya waktu untuk mengantisipasi serangan mendadak itu. Wajahnya berubah seketika—kaget bercampur dengan ketidaksadaran akan apa yang baru saja terjadi.
"Uahh!" dia terkejut
Lalu terpental keluar dari kubah eon karena tabrakan dengan eon hitam yang aku ciptakan.
"Point pertama untuk Rei Morvaine," umum kepala akademi.
Aku merasa ini akan menjadi pertarungan yang mudah, tapi entah mengapa orang-rrang di seluruh ruangan tidak suka dengan serangan dadakan yang aku buat.
Dan itulah kejadian sekitar 20 menit yang lalu.
"Akan kuhancurkan wajah menyebalkanmu itu," ujar Hufik.
Tangannya terkepal erat, begitu kuat hingga terlihat seakan siap meremukkan tubuhku hanya dengan satu pukulan. Wajahnya memerah—aku tak yakin apakah karena malu, marah, atau mungkin keduanya—setelah serangan sederhana dariku berhasil mencuri satu poin darinya. Sorakan di sekelilingku berubah menjadi cemoohan tajam yang ditujukan padaku, seolah-olah seluruh ruangan mendukung pria itu tanpa ragu. Aku hanya bisa menghela napas dalam hati. Cemoohan mereka? Biarlah. Tak ada gunanya kuambil pusing. Fokusku sekarang adalah babak kedua—tempat aku harus membuktikan bahwa aku tidak akan kalah begitu saja.
"Babak kedua dimulai," ucap kepala akademi.
Aku memejamkan mata dan membuang nafas untuk menenangkan diri karena menggunakan eon ketika kehilangan ketenangan hanya akan mempengaruhi kekuatan yang akan keluar. Tidak lama kemudian aku membuka mata dan mengambil kuda-kuda untuk bertarung.
"Terimalah tinjuku," teriakny Hufik
Dia melesat maju dengan kecepatan tinggi, tubuhnya merunduk dengan tangan terangkat di depan wajahnya, mengambil sikap seorang petinju yang siap menyerang. Langkahnya tak lurus—dia bergerak dalam pola zig-zag yang aneh, hampir seperti sedang menari di tengah pertempuran. Gerakannya terlihat tidak biasa, namun ada ketangkasan yang sulit diabaikan, seolah dia berusaha membingungkan lawannya dengan irama langkahnya yang tak terduga.
"Dia pasti bercanda," pikirku.
Aku keluarkan bola eon hitam yang sama seperti sebelumnya dari kedua tangan lalu menerbangkan menuju Hufik. Dia menghindari eon hitam pertama dengan membungkukkan sedikit badannya lalu dengan reflek yang luar biasa dia menghindari serangan kedua dengan melompat ke samping sambil membalikkan tubuhnya.
"Dasar bodoh! aku tidak akan terkena serangan yang sama dua kali," teriaknya.
"Benarkah?" tanyaku dengan senyuman sinis.
Dia sama sekali tidak menyadari jebakan yang telah kupasang. Dua Eon hitam yang tampak melayang melewatinya tiba-tiba berputar balik dengan kecepatan tajam. Sebelum dia sempat menyadarinya, kedua Eon itu menghantam punggungnya dengan keras, membuat tubuhnya terdorong ke arahku.
Aku menatapnya yang melayang tak terkendali, mendekat dengan kecepatan tinggi. "Haruskah aku memukul wajahnya?" pikirku, seraya menimbang-nimbang opsi dengan sedikit senyum di sudut bibirku.
Tapi segera kuputuskan hanya menghindar karena tidak ingin membuat masalah lebih lanjut membuat Hufik terbang keluar dari pembatas dan tubuhnya menghantam tanah dengan kuat. Sehingga membuatnya kehilangan kesadaran.
Ruangan mendadak sunyi, seakan teriakan-teriakan cemoohan yang tadi memenuhi udara lenyap tanpa jejak, seperti tak pernah ada. Keheningan itu terus menyelimuti hingga akhirnya suara kepala akademi memecahnya, membawa semua orang kembali pada fakta kemenaganku.
"Point kedua dimenangkan oleh Rei Morvaine. Jika siswa Hufik tidak bangun setelah hitungan kesepuluh maka kemenangan menjadi milik Rei. Tapi sepertinya Rei Morvaine tetap menang," ujarnya dengan suara sedikit rendah ketika menyebut kemenanganku.
Seluruh orang dalam ruangan mulai menghitung bersama, dari satu hingga sepuluh. namun hingga hitungan terakhir, tubuh Hufik tetap tak bergerak sedikit pun. Tidak ada tanda-tanda dia akan bangkit. Akhirnya, kemenangan jatuh ke tanganku.