Chereads / The Last Guardian of Time / Chapter 2 - Kunci Kuno

Chapter 2 - Kunci Kuno

Sparta, 9 a.m.—the city was wide awake

Suasana kota begitu ramai, hilir kendaraan cukup padat, meskipun tak sepadat pagi tadi. Tentu karena sekarang orang-orang dewasa sedang sibuk bekerja di ruangan, sedangkan anak-anak masih berkutat dengan buku pelajaran di sekolah.

Tepat di rak buku sebelah jendela, seorang perempuan cantik nan rapi memilih menghabiskan setengah harinya di tempat sepi ini—perpustakaan kota. Perempuan elegan dengan rambut coklat sebahu itu dari tadi telah menyusuri beberapa rak buku sejarah. Namun, raut wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda terbitnya sebuah senyuman manis. Beberapa kali ia mendengus pelan sembari memilah buku-buku tebal, hingga akhirnya ia bisa tersenyum lega.

"Ya, ini dia! 'Sejarah Artefak Sparta'. Benar-benar buku tua yang entah pernah disentuh atau tidak," ucap Rain memandang miris buku di tangannya.

Salah satu tempat kesukaan Narainee adalah perpustakaan, tepatnya tempat yang damai tanpa gangguan. Namun, bukan berarti Narainee merupakan perempuan anti sosial. Ia memiliki batas, di mana ia bisa sendiri dan berkumpul bersama orang-orang. Narainee Elecia, perempuan mandiri yang cerdas dan penuh keingintahuan.

Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Rain yang sedang membolak-balik halaman buku kusam. Ia meraih tas yang berasa tak jauh darinya, lalu mengambil benda hitam yang sempat mengganggu perhatian. Nama Guinna tertera di layar.

"Holla, Lieverd!" sapa Rain setelah mengangkat telepon.

Terdengar decakan kecil dari ujung telepon. "Kupikir itu menggelikan. Ah, kamu sekarang di mana? Aku merasa sangat bosan di rumah."

"Oh, malangnya sahabatku. Kamu pasti tidak tahan lama-lama tanpa teman bicara. Namun, maafkan aku, Guinna. Aku sedang berada di tempat yang mengerikan bagimu," sahut Rain seraya terkekeh geli.

Guinna adalah satu-satunya sahabat baik Rain. Sejak duduk di bangku sekolah menengah atas, mereka selalu bersama. Hingga saat mereka menyelesaikan pendidikan sekolah menengah, barulah mereka berpisah. Minat mereka lumayan jauh. Rain yang ingin mendalami bidang sejarah, sedangkan Guinna di bidang seni. Walaupun mereka hampir tidak bertegur sapa karena Guinna salah paham dengan maksud Rain.

"Betapa sialnya hari ini. Enyahlah dari perpustakaan, kurasa buku-buku itu ingin melemparkan diri ke arahmu karena sudah malas dibaca olehmu, Rain." Guinna menghela napas mendengar penuturan dari sahabatnya.

Rain kembali mulai fokus dengan buku sejarah di depannya, tetapi tetap merespons Guinna. "Kurasa mereka memanggilku untuk segera membaca mereka juga, Guin. Benar, akan aku habiskan hari ini untuk mereka. Buku-buku tersayang ...."

"Dasar kau perempuan menyebalkan."

Setelah mengatakan itu Guinna langsung memutuskan telepon sepihak. Melupakan bayangan wajah Guinna yang kesal, Rain kembali berhadapan dengan buku sejarah. Matanya mengamati tiap kata. Entah sejak kapan ia terbiasa dengan kalimat-kalimat panjang tanpa gambar, padahal ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, Rain merupakan salah satu siswi yang malas membaca. Sebuah keberuntungan bisa berteman dengan tumpukan buku, pikirnya.

"Wah, kunci yang menarik!"

Rain memekik cukup kencang, matanya terbelalak kaget, ia juga menyentuh dadanya berharap organ jantung miliknya tetap pada posisi aman. Setelah dirasa dalam kondisi aman, Rain menatap tajam seseorang yang menggangu dirinya yang damai. Oh, Rain mengenal lelaki ini.

"Kau?! Apa-apaan ini?" tanya Rain bernada tinggi.

Belum sempat lelaki itu menjawab, Rain langsung ditegur atas perbuatannya. "Jika ingin membuat keributan silakan di luar, kami ingin membaca dengan tenang."

Gadis berambut cokelat itu mengangguk sopan, merasa tidak enak hati dengan pengunjung lain. Walaupun ini bukan penuh kesalahannya, lelaki di sampingnya juga perlu disalahkan. Tidak sopan mengambil barang yang sedari tadi memang Rain keluarkan dari tas. Selain itu, Rain benar-benar terkejut dengan kedatangannya yang sunyi. Tatapan permusuhan dilayangkan oleh Rain, sedangkan lelaki yang ditatap hanya tersenyum mengejek.

Masih dengan senyumnya. "Maaf, aku membuatmu terkejut."

"Kau tidak sopan. Tidak permisi duduk di sampingku dan langsung mengambil barangku. Lihatlah, aku sampai ditegur oleh pengunjung lain," kata Rain lalu mengambil alih kunci kuno yang tiba-tiba direbut Arash.

"Itu karena kamu saja yang terlalu fokus. Aku sudah permisi tadi. Ya, meski tanpa balasan," ucap Arash dengan senyum simpul. "Bolehkah aku melihat lagi kunci itu?"

Dahi Rain mengernyit. "Tidak! Jika kau tidak keberatan, sekarang aku ingin waktu sendiri, Tuan Blu," tolak Rain seraya memberi jarak cukup jauh antara mereka.

"Ah, jangan formal seperti itu. Kita adalah rekan kerja, panggil aku Arash ...." Lelaki bermata abu-abu terang itu sengaja menggantung ucapannya. "Yang tampan dan baik hati!"

Rain menggelengkan kepala dengan mata yang membulat. Ia tidak habis pikir dengan tingkah aneh lelaki berbola mata abu-abu terang itu. Ingin sekali rasanya Rain menjambak rambut atau setidaknya mencakar wajah sok tampan di depannya. Namun, Rain harus menahan hasrat mengacak wajah Arash. Ia tidak bisa begitu mudah merusak nama baik sebagai perempuan cerdas dan berwawasan.

Rain menghela napas panjang. "Ingatlah umurmu, Tuan Blu," tutur Rain mengalah.

Tanpa mengurangi keceriaan di wajahnya, Arash pun membalas, "Aku akan mengganggumu kalau masih memanggilku tuan Blu."

"Duduk diam saja, Tuan Blu. Ah, maksudku A ... rash," jawab Rain dengan ragu. "Hah! Baiklah, Arash. Jangan sampai kamu merusak kunci ini, aku sedang tidak ingin mematahkan tangan seseorang. Tangkap!" Dengan terpaksa akhirnya Rain melempar pelan kunci kuno yang ia temukan.

Lelaki yang dikenal dengan nama Arash Teano Blu, selalu Rain memanggilnya tuan Blu. Arash tersenyum ceria melihat kunci kuno itu, raut wajahnya menunjukkan ketertarikan yang sangat besar. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai sejarawan, tentu hal ini adalah bagian yang menarik. Ia akan meneliti hingga menemui titik terang. Itulah yang dari tadi dilakukan Rain. Namun, sayang sekali perempuan itu beruntun mendapatkan gangguan.

"Kamu menemukan ini di mana? Tentu ini bukan kunci yang diciptakan di masa sekarang, karena bahan dan desainnya berbeda. Kapan kamu menemukan kunci ini? Apakah saat kamu meneliti salah satu reruntuhan?" tanya Arash secara beruntun.

Lagi-lagi Rain menghembuskan napas, Rain tahu kalau Arash adalah tipe yang tidak ada beda dengan dirinya. Keingintahuan yang tinggi. "Tidak bisakah kamu bertanya satu per satu?" Rain bertanya balik berniat menegur halus sebelum menjawab tiga pertanyaan itu.

"Benar, aku menemukan kunci ini saat sedang meneliti reruntuhan seminggu yang lalu. Tentu kamu ada di tim yang sama denganku waktu itu, kan?"

Arash mengangguk pelan. "Bisakah kamu menceritakan saat kamu menemukan kunci ini? Aku merasa sangat tertarik, kurasa ada hal lain tentang kunci ini."

Perempuan itu kali ini menurut, ia menutup buku sejarah tebal itu. Mengingat Arash adalah sejarawan, mungkin lelaki ini mengetahui sejarah-sejarah artefak negara. Jadi, ia tidak perlu membaca seluruh halaman. Dirasa mood membacanya juga sudah hilang karena beberapa gangguan tadi.

Rain memperbaiki cara duduknya, sedikit mengarah ke Arash sebagai bentuk menghargai lawan bicara. Kata demi kata diucapkan Rain dengan jelas, meskipun dengan nada bicara yang pelan karena tidak ingin mengganggu pengunjung lain lagi. Hingga mereka berdua masuk ke dalam kejadian satu minggu yang lalu.

**

"Ini terlihat seperti bangunan yang terbakar. Kira-kira kejadian apa yang menimpa tempat ini, ya? Sepertinya tempat ini tidak terletak di kota, meski sudah didirikan sejak abad ke-5."

Rain memilih berpisah dengan timnya. Sekarang ia sedang meneliti di bagian utara reruntuhan. Bisa dibilang, ini adalah reruntuhan yang lumayan luas, dibandingkan dengan reruntuhan-reruntuhan yang mereka kunjungi di tahun ini. Perempuan dengan aura elegan itu memperhatikan dengan teliti, beberapa tiang masih berdiri. Ada satu ruangan yang seakan mengambil alih seluruh perhatian Rain, ruangan putih tanpa goresan apa pun.

"Wah! Sekarang lihat ruangan ini. Kenapa masih hampir utuh, ya?" tanya Rain pada dirinya sendiri.

Rain memperhatikan seluruh ruangan. Benar-benar tidak ada hiasan ataupun bekas ukiran di dinding ruangan, berbeda dengan reruntuhan tempat lain. Perempuan itu juga bingung, lokasi ini tidak begitu jauh dari pusat kota terdekat, tetapi reruntuhan ini baru ditemukan bulan lalu. Apa tidak ada warga sekitar yang menjamah hutan kecil ini? Tidak masuk akal.

Berjalan memutari ruangan, suara kakinya terdengar jelas. Rain memang suka menyendiri saat meneliti reruntuhan, ia hanya ingin fokus menggunakan semua indera yang dimiliki tanpa terganggu oleh orang lain. Saat dirasa tidak menemukan apa pun, Rain segera berbalik arah, ia akan beranjak dari ruangan ini. Namun, tidak sengaja kakinya menendang sesuatu hingga terdengar bunyi nyaring. Segera Rain mengambil benda yang ia tendang tadi.

"Kunci? Sepertinya ini kunci ruangan. Aku kira apa," kata Rain seraya menjatuhkan kembali kunci itu.

Rain segera keluar melangkah dari ruangan, tinggal beberapa langkah lagi. Namun, kakinya terasa berat. Otaknya menyuruh Rain untuk cepat meninggalkan ruangan ini, tetapi hatinya menyuruh menetap di sini. Ia meremas kedua tangan dengan deru napas tak teratur. Apa-apaan ini?!

Tiba-tiba Rain menatap ke arah benda yang membuatnya tidak tenang. "Merepotkan! Aku akan membawamu, berenti mengintimidasi."

Rasanya kepala Rain hampir pecah dengan tekanan aura itu. Ia memang mempunyai kelebihan membaca aura, tetapi sering kali ia tak suka mengakui bahwa ini kelebihan. Beberapa kali hal ini sempat terjadi, meskipun tak sekuat yang baru saja terjadi. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya setelah Rain dengan berani mengambil kunci kuno ini.

**

"Jadi kamu menemukan kunci ini di ruangan sebelah utara?" tanya Arash disusul dehaman Rain.

Arash memutar kunci itu ke segala arah. "Memang seperti kunci ruangan, tapi aku penasaran dengan desainnya. Kenapa aku tidak pernah melihat desain seperti ini?"

"Awalnya aku juga berpikir seperti itu. Mungkin saja hanya kunci ruangan biasa, tetapi bisakah kamu membersihkan debu di gagang kunci itu?" tanya Rain seperti memiliki arti lain.

Tanpa harus memohon, Arash dengan cepat membersihkan debu-debu itu. Sampai terjadi sesuatu yang di luar nalarnya. Matanya membulat, tanpa sadar ia membuka setengah mulutnya. Untung saja ia tidak begitu dramatis sampai melempar kunci itu ke sembarang arah. Setelah sadar dari keterkejutannya, Arash menatap Rain berharap meminta penjelasan.

Perempuan yang ditatap menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Jangan menatapku, Arash. Aku bukan 'orang pintar' yang bisa mengetahui segala hal," ungkapnya.

"Carilah buku, dekatku."

Rain mengernyitkan dahi. "Kamu menyuruhku mencari buku artefak lain?" tanya Rain sedikit ragu.

Arash menggelengkan kepala. "Bukan, Rain. Aku hanya membaca tulisan di kunci ini. Kuharap kamu tidak melupakan kalau aku menguasai beberapa bahasa," lontar Arash tanpa melihat ke arah Rain.

Setelah Arash membersihkan debu itu, muncul tulisan yang sudah luntur. Walaupun tulisan itu tidak ditulis dengan tinta, tetapi bisa saja debunya telah menempel karena lamanya kunci ini ditaruh di reruntuhan. Melupakan keterkejutannya, mata Arash menatap keliling kunci itu, hingga dapatlah tulisan tadi. 'Ζήτησον βιβλίον τι, πλησίον ἐμοῦ'

"Apa rencanamu selanjutnya, Rain?"