Sore ini cuaca masih cerah, beruntung mereka memiliki kantor yang dikelilingi pepohonan sehingga membuat ruangan sejuk. Terlebih berada di lantai 3 sudah bisa melihat jelas hilir kendaraan yang ramai, beberapa menikmati sore dengan bersepeda, bahkan berjalan kaki bersama teman ataupun keluarga.
Eurydice Company. Sebuah perusahaan terkenal yang telah menciptakan arkeolog dan sejarawan hebat. Perusahaan inilah tempat kerja Rain dan Arash. Awalnya Rain hanya anak magang yang kebetulan diterima baik berkat kecerdasannya. Ini adalah tahun pertama Rain bekerja sebagai pekerja tetap di perusahaan, berbeda dengan Arash yang sudah lebih dulu masuk ke perusahaan. Umur mereka hanya terpaut satu tahun, Arash 25 tahun, sedangkan Rain baru menginjak umur 24 tahun.
Rain sedang berada di ruangan berwarna abu-abu dengan luas yang cukup untuk menampung 6 orang. Ruangan kerja Rain dan tim. Selain Arash, Rain masih memiliki 4 rekan lagi.
Seseorang menepuk pelan bahu Rain. "Sudah sore, mau bermalam di kantor yang menyeramkan ini?" tanya perempuan berambut sebahu itu.
"Astaga, Sourinna! Kamu mengagetkanku," keluh Rain seraya mengalihkan pandangan dari komputer.
Perempuan bernama Sourinna hanya tertawa kecil membalas perkataan Rain. Rain baru bergabung dengan tim ini setelah dinyatakan sebagai karyawan tetap. Ia langsung ditempatkan bersama Arash, Sourinna, dan tiga rekan lainnya. Mengingat Rain adalah rekan terakhir mereka di tim, kemungkinan begitu. Jadi, mereka sudah menganggap Rain seperti seorang adik.
"Adik kecil kita ini memang tidak bisa lepas dari keterkejutan. Kemarin dia sampai ditegur pengunjung perpustakaan karena berteriak hanya dengan kedatanganku," ucap Arash disambut tawa oleh rekannya.
Sourinna menatap jahil. "Oww! Apakah kemarin ada yang berkencan? Namun, miris sekali kalian, seperti tidak ada tempat romantis selain perpustakaan." Perkataan ini membuat Rain panik.
"Hei! Kami tidak berkencan. Tuan Blu yang entah karena setan apa, tiba-tiba ada di sampingku," bela Rain tidak ingin terjadi kesalahpahaman. Walaupun ia tahu mereka hanya bercanda.
"Louis, beritahu adik kecilmu untuk tidak memanggilku tuan Blu lagi. Ah, seperti baru mengenalku kemarin, padahal aku yang membimbingnya saat magang." Arash mengeluh sembari menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa.
Louis hanya tersenyum kecil sambil menggeleng kepala melihat tingkah mereka yang seperti remaja. Louis merupakan rekan tertua mereka, berumur 35 tahun. Lelaki ini sudah menikah dan memiliki anak yang lucu. Karena anak yang lucu itulah Rain begitu akrab dengannya, bahkan Rain sering mampir ke rumah Louis untuk bertemu istri dan anaknya.
"Ngomong-ngomong, Perempuan Korea. Bukankah kamu punya kepentingan penting dengan calon suamimu? Pergilah, jangan menggoda Rain. Aku kasihan melihat wajahnya yang lugu itu." Seorang perempuan yang duduk di pojok ruangan menghentikan pembicaraan mereka.
"Terima kasih, Letta! Aku hampir lupa dengan janji itu. Aku pergi sekarang. Sampai jumpa besok, Teman-teman!" kata Sourinna hampir berteriak agar teman-temannya bisa mendengar perkataan itu. Ia berpamitan sambil berlarian panik.
"Akhirnya pekerjaanku selesai! Oi, Arash, cepatlah kalau tidak mau kutinggal di kantor," ujar Andreas dengan seringai, seakan ia ingin mendesak Arash dan membuat lelaki itu terburu-buru menyelesaikan pekerjaan.
Arash menoleh sebentar, ia tidak tertarik. "Pergilah! Aku akan pulang bersama Rain."
Tangan Rain yang awalnya sibuk menekan keyboard komputer mendadak berhenti. Ingin melakukan apa lagi lelaki itu? Hati Rain mendecak tak suka. Ruangan tiba-tiba sunyi, semua menghentikan pergerakan. Merasa suasana jadi aneh, Arash juga ikut berhenti. Dengan tatapan bingung ia melihat rekannya.
"Ada apa? Pekerjaan kalian sudah selesai semua?" tanya Arash bingung.
"Kalian memiliki hubungan?" Louis menatap tersangka bergantian.
Rain menepuk jidatnya. "Hentikan itu, Louis. Kami tidak memiliki hubungan apa pun, tentunya selain rekan kerja. Kau juga kenapa mendadak ingin pulang bersamaku, Arash?" tanya Rain dengan mata berkilat tajam.
Lelaki yang menjadi tersangka itu pun tersenyum menunjukkan gigi rapinya. "Memangnya tidak boleh? Kita, kan, rekan kerja."
"Tentu tidak. Aku ada janji dengan sahabatku di cafe Nouth," balas Rain kembali menghadap komputer, kemudian mematikannya.
Melihat Rain segera merapikan meja kerja, Arash juga mengikuti pergerakannya. Tanpa berniat menyelesaikan pekerjaan, ia segera mematikan komputer dan merapikan meja kerjanya. Membuang sampah kertas. Lalu beranjak dari kursi untuk menghampiri meja kerja Rain.
Saat Arash telah berdiri di samping meja Rain, perempuan itu menatapnya datar. "Bukan masalah besar. Aku akan ikut dan menunggu kalian, lalu kita bisa berbicara," kata Arash tanpa beban.
"Wah, wah, sepertinya kita akan pergi ke dua pesta dalam waktu dekat. Andreas, ajak aku sebagai partner-mu, ya!" Violetta juga segera mematikan komputernya. Ia tertawa menatap Rain yang kesal.
Karena tidak sanggup lagi digoda oleh rekannya, Rain menatap tajam ke arah Arash. Kemudian tatapannya melunak melihat Arash yang tidak letih terus tersenyum. Lagi-lagi Rain mengalah, ia akan mengajak Arash untuk ikut dengannya.
"Huh! Pekerjaanku selesai, aku pergi dulu," ucap Rain beranjak dari meja kerjanya. "Cepatlah, Arash!"
Arash kegirangan mendengar kalimat singkat itu yang artinya, Arash diizinkan untuk ikut. "Baik, aku pergi dulu!" ujar Arash pamit, sebelum ia mengejar langkah Rain.
Setelah melewati jalanan yang ramai dengan kendaraan di mana-mana karena arus pulang kerja, akhirnya mereka sampai di cafe Nouth. Sebuah cafe bernuansa klasik, dengan beberapa meja tersusun di luar ruangan. Cafe ini juga terasa nyaman, wajar kalau selalu ramai pengunjung.
Bunyi lonceng terdengar ketika Rain mendorong pintu cafe. Matanya mulai menyusuri ke sudut-sudut ruangan untuk mencari sahabatnya, Guinna. Arash lebih dulu menyadari bahwa seseorang melambaikan tangan ke arah mereka, ia menepuk bahu Rain, lalu menunjuk ke arah seorang perempuan.
"Apakah itu temanmu?" tanya Arash setelah menunjuk ke sudut ruangan dekat kasir.
Rain mengangguk, kemudian mengajak Arash untuk menghampiri Guinna. "Yash! Ayo, kita ke sana," ajak Rain sembari melangkahkan kakinya.
"Wah! Lelaki mana lagi yang kamu bawa, Rain?" tanya Guinna dengan kedipan mautnya.
Rain membulatkan mata. "Arash, sebenarnya aku tidak ingin memperkenalkan perempuan ini denganmu. Dia sahabatku, Guinna," tutur Rain yang sudah menetralkan wajahnya.
Arash tersenyum canggung dengan sapaan kedua sahabat itu. Namun, ia tetap dengan sopan menyambut tangan Guinna. Baru saja mereka duduk, sahabat Rain langsung melempar pertanyaan interogasi kepada mereka berdua. Seperti, apakah mereka memiliki hubungan, sudah kenal lama atau belum, sudah membawa Rain untuk berkenalan dengan orang tua Arash atau belum, serta pertanyaan lain yang membuat Arash kewalahan.
Bukannya tidak mencegah Guinna melempar banyak pertanyaan kepada Arash, Rain juga cukup kewalahan. Ia sudah paham betul bagaimana sikap Guinna saat tahu Rain didekati oleh lelaki. Pernah saat masih sekolah, lelaki yang cukup dekat dengan Rain hampir dikeluarkan dari sekolah atas kasus kekerasan terhadap perempuan. Itu juga ulah perempuan itu.
"Kami hanya rekan kerja. Saya meminta untuk ikut karena ada beberapa hal yang ingin kami bicarakan, tapi Rain bilang kalau ada janji dengan sahabatnya," respons Arash yang kali ini tidak berniat memancing emosi Rain.
Guinna hanya tersenyum tipis seraya mengangguk paham. Tak lama setelah itu terdengar dering telepon, ternyata dari ponsel Guinna. Ia segera meraih benda hitam itu, lalu terdengar suara seorang wanita dewasa. Raut wajah Guinna terlihat antusias.
"Maaf, Rain! Ibu menyuruhku untuk menemaninya ke perkumpulan mereka. Sepertinya kita bisa berbincang lain waktu, kamu juga segeralah istirahat. Oh, tapi ada baiknya kamu bersantai dulu di sini bersama Arash," kata Guinna setelah menutup tasnya.
Rain tak bergeming, tangannya menopang dagu. Setelah terdengar bunyi kursi bergeser barulah ia berkata, "Mana bisa kamu melewatkan perkumpulan itu? Pantas wajahmu sangat antusias, ternyata akan segera cuci mata."
Perkumpulan yang dimaksud hanyalah reuni pertemanan ibu-ibu. Walaupun begitu, mereka juga sering kali mengajak anak-anak mereka. Alasannya supaya silaturahmi mereka tidak terputus hingga tua. Tentu Guinna tidak membuang kesempatan, ia juga berteman dengan banyak lelaki tampan karena reuni ibunya.
Guinna tertawa sebelum berpamitan. "Ya, kamu sudah tahu itu. Aku pergi dulu. Arash, tolong temani Rain, ya."
Setelah kepergian Guinna, mereka masih berteman dengan kesunyian masing-masing. Cafe ini begitu ramai, tapi mereka tetap merasa canggung. Suasana tempat yang mendukung mereka untuk berbincang nyaman pun tak cukup untuk menghentikan kecanggungan mereka.
Arash mengetuk-ngetuk meja. "Apa kamu sudah memiliki rencana?" tanya Arash yang sudah tidak tahan dengan kecanggungan ini.
Alis Rain bertaut mendengar suara lelaki itu. "Rencana? Rencana apa?"
"Tentu saja rencana tentang kunci itu. Jujur saja, Rain, aku tidak bisa tidur semalaman hanya karena memikirkan kunci yang kamu temukan," ucap Arash jujur.
Tangan yang awalnya menopang dagu Rain, sekarang telah rapi ditekuk di atas meja. "Aku berniat untuk mendatangi reruntuhan itu lagi, mungkin besok. Kenapa?" Kali ini wajahnya terlihat antusias.
"Aku akan ikut, kalau kamu mengizinkan," pinta lelaki bermata abu-abu terang itu. Pupil matanya melebar, seakan memaksa Rain untuk mengizinkan ia pergi.
"Tentu, dengan senang hati! Kita adalah rekan. Lagipula, aku akan membutuhkan seorang ahli bahasa sepertimu. Mari, pergi besok!" balas Rain dengan senyuman manis, hingga membuat matanya seperti bulan sabit.
Mereka memanggil waiters. Setelah beberapa menit berbincang, mereka hampir lupa untuk memesan sesuatu. Akan terlihat tidak sopan kalau mereka pergi dari cafe tanpa memesan apa pun. Itu yang dikatakan Rain. Setelah mengenal Rain hampir satu tahun, Arash merasa jika perempuan itu memiliki tata krama yang sangat bagus. Walaupun dia tetap bisa terlihat kesal ketika digoda oleh rekan-rekannya di kantor.
**
Tanpa membawa apa pun, Rain dan Arash kembali mendatangi reruntuhan. Kaki mereka terus melangkah menuju ruangan di sebelah utara, tempat Rain menemukan kunci. Hanya ada mereka berdua di sini. Berbeda dengan kebanyakan reruntuhan yang dijadikan tempat wisata, reruntuhan ini justru jarang didatangi. Mungkin hanya para peneliti yang berminat ke sini, padahal lokasi reruntuhan ini tidak jauh dari kota, bahkan beberapa meter lagi sudah masuk permukiman warga desa.
"Petunjuknya kita hanya perlu mencari buku ataupun sesuatu di dekat kamu menemukan kunci ini. Jadi, di mana kamu menemukan kunci, Rain?" tanya Arash setiba mereka di ruangan itu.
Memang benar-benar tidak ada yang menarik. Ruangan ini kosong, bahkan meja dan kursi saja tidak ada. Hanya beberapa runtuhan dinding yang berserakan di mana-mana. Mereka menghabiskan waktu beberapa menit menyusuri ruangan yang dipenuhi puing-puing, tetapi tidak menemukan apa pun, bahkan benda kecil sekalipun.
"Aku menemukan kunci itu di sini, tapi tidak ada buku. Apa kita terlalu berharap?" tanya Rain sedikit merasa putus asa.
Arash memberi kunci itu ke tangan Rain. "Memang apa yang kamu harapkan? Taruh saja kunci itu ke dalam tasmu, kemudian bantu aku mengangkat runtuhan dinding ini," ujarnya yang mulai membuang runtuhan dinding ke sembarang arah.
Walaupun bingung dengan apa yang dilakukan Arash, Rain tetap mengikuti arahannya. Setelah meletakkan kunci ke dalam tas, Rain mulai mengangkat runtuhan dinding. Matanya terus memperhatikan. Dengan keringat yang mulai membasahi wajah, Rain tidak sengaja memegang sesuatu. Benda padat, memiliki sudut hampir 90°, tetapi masih tumpul. Bukan runtuhan dinding.
"Apa yang kutemukan?" kata Rain menatap Arash.
Arash membuka sedikit mulutnya yang akan mengatakan sesuatu. Namun, sebelum itu Rain terlebih dulu berkata, "Arash! Aku menemukan brankas. Eh, ini besi atau tembaga, tapi transparan?"
Tak mengindahkan ucapan Rain, Arash justru melihat langsung isi dari brankas itu. "Buku! Ambil kunci tadi, lalu buka brankas ini, Rain."
Tak disangka, ternyata mereka telah menemukan apa yang mereka cari dari tadi. Kunci itu memang kunci brankas. Terdapat sebuah buku, seperti diary dengan cover buku yang asing di mata mereka. Goresan hitam, putih, dan cokelat. Tidak ada nama pemilik di cover, bahkan di dalam buku. Walaupun sedikit ragu, mereka membuka buku itu dan lagi-lagi menemukan bahasa kuno.
"Ada yang aneh, mendadak ada tekanan dari buku ini."
Arash menatap Rain penuh kebingungan. Ia bergumam, tetapi masih bisa didengar oleh Arash. Ia yakin bahwa Rain sedang meracau. Namun, tiba-tiba Arash juga merasakan sedikit tekanan di ruangan ini, entah perasaan apa. Mengerti ada sesuatu yang tidak beres dengan Rain, tangan kanannya menyentuh lembut pundak perempuan berambut cokelat di sebelahnya. Tanpa memikir apa pun, ia menutup diary itu dan menyerahkan kepada Rain.
"Kubacakan diary ini di rumahmu. Tolong masukkan kunci dan diary ke tasmu lagi," putus Arash seraya menuntun Rain berjalan.
"Manusia sialan itu!" pekik Rain menatap nyalang dengan tatapan kosongnya.