Saat ini mereka sedang duduk bersebelahan, terdiam, dan sibuk dengan pikiran masing-masing tanpa mempedulikan teh yang kian dingin tak tersentuh. Pikiran Arash berputar, berusaha memahami kejadian tadi, kenapa Rain bereaksi demikian?
Rain akhirnya menggapai cangkir tehnya, lalu meminum hingga tersisa setengah. "Aku bisa merasakan aura," ucapnya tiba-tiba, seakan tahu arah kebingungan lelaki di sampingnya.
Arash melirik sebentar. "Baiklah, aku tidak terlalu memikirkan itu. Bagaimana kalau kita langsung membuka diary ini? Apa kamu–"
"Aku baik-baik saja, Arash. Tadi hanya reaksi spontan karena aku merasakan aura baru," potong perempuan itu.
Hening menyelimuti mereka lagi. Suara rintik hujan mulai terdengar di luar, menambah suasana yang dapat mereka rasakan. Karena melihat Arash ragu, tanpa banyak bicara, rain mengambil diary dari pangkuan Arash.
Dia memandanginya sejenak sebelum berkata, "Kira-kira ini miliki siapa, ya? Hanya 6 halaman yang terisi."
Setelah buku terbuka, Arash memperhatikan sekejap. Kemudian mengambil alih. "Biarkan aku yang membaca. Kamu dengar baik-baik, aku sedikit kesulitan untuk mengartikan tulisan drama seseorang," ucapnya dengan nada serius.
"Jadi, mohon bantuannya."
Suara ritme rintik hujan terdengar semakin cepat. Karena mengalami situasi menegangkan, mereka tidak sadar ternyata cuaca di luar lumayan buruk. Tak lama terdengar suara guntur, meskipun tak begitu kencang. Suasana ini membuat mereka semakin serius.
"Halaman pertama."
Apa salah kami?
Menebar cinta di bumi
Memangnya mereka siapa?
Aku, ah tepatnya kami, tidak takut!
Kami benci penghalang
Para penghalang!
Lelaki itu membaca dengan nada datar, tetapi sangat jelas. Setelah membaca isi halaman pertama, dia mengernyit keheranan. "Sepertinya ini tulisan seorang perempuan," gumamnya.
Rain mengangguk kecil. "Mungkin perempuan yang cintanya tak direstui," komentarnya.
Arash mengangguk pelan sebelum melanjutkan membaca. "Halaman kedua," ucapnya dengan nada yang sama.
Jadi, kebaikanku selama ini sia-sia
Mari kita tertawa
Kau manusia sialan!
Setan haus kekuasaan
Mereka harusnya mencium kakiku
Bukan justru menaruhku di tempat kumuh.
Mata Rain menerawang, dia juga memperhatikan gaya tulisan diary itu. Tulisannya cantik, tetapi seperti tidak begitu rapi. Apa penulisnya menulis ini dengan cepat? Tulisannya bergerigi, seakan si penulis dipenuhi ketakutan.
"Kebaikannya tak terbalas. Lalu manusia, tapi selanjutnya setan, ya?" gumam Rain sambil mengelus kepalanya yang terasa gatal.
Arash tersenyum karena bisa mendengar perkataan Rain meski samar. "Perumpamaan, manusia bisa melebihi setan kalau keinginannya tak tercapai. Intinya penulis dikhianati, lalu tempat kumuh ... dia dikurung atau diasingkan. Mungkin begitu?" tutur Arash membuat Rain mengangguk paham.
"Sepertinya tebakanmu masuk akal, tapi, eh—" Perkataan perempuan itu terhenti sejenak, menatap Arash. "Kamu bilang tidak bisa mengartikan tulisan drama seseorang!" kata Rain kesal.
"Aku bukan bilang tidak bisa mengartikan, tapi sedikit kesulitan mengartikan."
Rain tersenyum kecut. "Justru kamu baru saja melakukannya dengan baik."
Menghentikan perdebatan kecil mereka, Arash kembali membalik halaman buku selanjutnya yang masih isi diary penulis. Arash mengakui tulisan ini begitu rapi, apalagi kalau dibandingkan dengan tulisan di masa sekarang. Dia mulai berteori, diary ini adalah milik seseorang yang hidup di masa sebelum teknologi mulai berkembang.
Lelaki yang sempat larut dalam pemikiran singkatnya, sekarang melanjutkan bacaannya. "Halaman ketiga."
Ya, manusia sialan!
Di mana kau kekasih?
Mereka jahat, sangat jahat
Tidak puas memisahkan kita
Dia lebih kejam
Ah, besi-besi sialan!
Rain menutup mulutnya dengan satu tangan."Kasihan sekali, penulis ini merasa menderita. Besi-besi itu bisa jadi sebuah penjara. Dia menunggu kekasihnya untuk menolong?"
"Aku sempat berpikir penulis bukan berasal dari masa kini," ujar Arash tidak sanggup menahan suaranya untuk keluar.
"Lalu menurutmu, bagaimana? Aku juga berpikir begitu. Sangat jarang orang-orang zaman sekarang menulis secantik ini," balas Rain dengan jujur.
Memang benar. Setelah teknologi mulai berkembang berkelanjutan, orang-orang menjadi mulai sibuk untuk mengetik melalui keyboard komputer. Begitupun anak sekolah. Hal ini membuat mereka kesulitan menulis dengan tulisan tangan yang rapi.
"Baiklah, aku lanjutkan. Halaman keempat."
Wahai, Dewa yang abadi
Kutahu kau melihat kekejaman ini
Ah, lihatlah ruang hampa ini
Cih, debu-debu sudah berteman
Entah apa kabar bunga indah di tamanku
Kira-kira warna apa mereka bermekaran?
Di mataku sekarang hanya merah kelam
"Menurutku, penulisnya adalah orang berpengaruh. Mungkin seorang putri. Lalu bunga berwarna merah kelam, itu bunga apa?" Rain kembali menatap wajah Arash. Namun, tatapannya tak lagi seperti hari kemarin—tatapan permusuhan.
Arash menatap balik, mata mereka bertemu langsung. Kemudian Arash lebih dulu mengalihkan pandanganya, ia berusaha fokus memikirkan makna dari diary. Menurutnya, tidak mungkin akan semudah ini mereka mengartikan. Jika memang seseorang menulis isi diary ini saat ia dikurung, maka kata-kata isi diary pasti memiliki makna lain dari yang ditulis.
"Kurasa itu bukan warna bunga. Akan aku lanjutkan, setelah selesai barulah kita memikirkan makna keseluruhannya," ucap lelaki yang sedang memangku buku diary. "Halaman kelima."
Oh, hari terakhir?
Bahkan belum seminggu
Rasanya aku ingin hilang
Ya, pasrah tak salah juga
Apa kabar kekasih?
Semoga kita bertemu di kelahiran selanjutnya
Kuharap ....
Rain merapatkan bibirnya, tak tahu ingin mengatakan apa. Ia seorang arkeolog, bukan psikiater yang bisa memahami perasaan orang. Namun, ia memiliki sebuah pemikiran sederhana untuk menyimpulkan isi dari lima halaman diary ini. Napasnya terdengar pelan, ia segera mengatur napas sebelum kemudian mengeluarkan suaranya.
"Bolehkah aku menyimpulkan isi dari diary ini?" tanya perempuan cantik itu.
Arash meliriknya seraya membenarkan duduknya. "Tentu. Jika kamu ingin, maka kamu bisa mengatakannya."
Rain mulai berbicara pelan, seolah takut suaranya akan pecah. "Penulisnya—dia tidak direstui mengenai percintaan. Dia memiliki kekuasaan, tetapi dikhianati oleh seseorang. Tidak cukup dengan dipisahkan, dia dikurung di sebuah penjara. Kemudian di hari selanjutnya, dia mulai pasrah dan menyimpan dendam untuk seseorang. Kurasa orang itu adalah orang yang sama, orang yang memisahkannya dengan sang kekasih. Lalu terakhir ... dia dihilangkan dari dunia. Dia—kemungkinan dia telah dibunuh. Apa dia berharap akan hidup kembali bersama kekasihnya? Apa itu sudah terjadi?"
"Kenapa ini terasa begitu menyakitkan, Arash? Padahal aku tidak mengenal penulisnya," tanya Rain sambil menggenggam tangannya erat, matanya tampak berkaca-kaca.
Deru napasnya lagi-lagi tak beraturan, wajah perempuan itu mulai memucat, bahkan kulitnya seperti tak lagi dialiri darah. Dengan tubuh yang sedikit bergetar, dia menatap lurus ke depan, tatapannya kosong. Kenapa dia begitu berlebihan? Bukankah begitu banyak kasus yang serupa? Sebuah percintaan yang tak mendapat restu. Bukan hal yang asing di masa sekarang.
Arash berusaha menenangkan perempuan di sampingnya. Namun, mendengar suara ribut dari luar, dia memilih untuk memastikan apa yang sedang terjadi di luar terlebih dulu. Saat Arash berdiri di dekat jendela untuk memperhatikan keadaan di luar, ternyata badai besar. Sudah lumayan lama tidak terjadi badai separah ini.
"Badai," gumamnya.
Arash kembali menghampiri Rain yang sudah kedinginan. Ketika Arash Kembali ke tempat duduk, Rain semakin pucat. Tubuhnya semakin bergetar dengan mata memerah. Tangan Arash terangkat memegang kening Rain, ternyata demam.
"Di luar sedang badai dan kamu sedang demam. Aku akan mengantarmu ke kamar, lalu memasak bubur. Kita belum sempat makan," ucap Arash sebelum menyentuh bahu dingin Rain.
Rain mulai berdiri dan berusaha menguatkan kakinya untuk melangkah. "Aku akan ke kamar sendiri, kamu langsung masak saja. Maaf menyusahkanmu, Arash," ujarnya diiringi senyuman lemas.
"Bukan masalah besar, kamu sudah seperti adikku," sahut Arash seraya mengangguk dan berjalan ke arah dapur.
Rain mulai menggerakkan kakinya untuk melangkah pelan. Tubuhnya benar-benar lemas, bahkan untuk berdiri saja dia sangat kesusahan. Tak ingin membuat Arash lebih kesusahan, perempuan itu tetap berusaha untuk melangkah. Namun, baru berapa langkah berjalan, dia terjatuh diiringi bunyi keramik jatuh yang tak sengaja digapai. Mendengar bunyi itu Arash langsung menghampiri dan menemukan Rain yang tak sadarkan diri.
Beberapa menit yang lalu, Rain pingsan tak jauh dari ruang tamu. Sekarang pun wajahnya masih terlihat pucat. Kini Rain duduk bersama Arash di kasurnya. Lelaki itu penuh kesabaran menyuapi Rain dengan perlahan. Setelah membawa tubuh Rain ke kamar dan menyelimuti tubuhnya, Arash melanjutkan kegiatan memasak bubur. Saat dia kembali dengan sepiring bubur, Rain sudah setengah sadar.
"Ternyata kamu begitu emosional," lirihnya pelan, tangannya terarah menyuapi Rain. "Aku tidak bisa membawamu ke rumah sakit, karena di luar masih badai. Entah kapan badai ini berhenti."
"Maaf, hari ini aku sangat menyusahkanmu." Ekspresinya berubah murung, Rain tampak menyesal karena tak bisa menahan emosinya keluar.
Arash mengelus rambut indah perempuan yang sedang lemas di sampingnya, tatapan yang ditunjukkan teduh menenangkan. Rain bisa merasakan perasaannya lebih tenang karena tingkah manis yang diberikan oleh Arash. Lelaki itu seperti seorang kakak yang sangat mengkhawatirkan adiknya.
Wajahnya berseri-seri dan tak menghentikan tangannya mengusap lembut kepala Rain. "Apakah aku terlihat kesusahan?" tanya Arash tersenyum manis.
"Aku sudah membaca ulang keseluruhan diary itu, bahkan sampai halaman keenam. Lekaslah sembuh, aku yakin kamu akan sangat antusias setelah kubaca isi halaman keenam," kata lelaki itu disambut tawa menenangkannya.
Arash segera bangkit untuk menaruh piring bekas bubur itu ke dapur. "Kamu istirahat saja. Aku sudah menghubungi Guinna, sahabatmu akan datang setelah badai berhenti."
"Benarkah?" tanya Rain.
"Iya, dan sepertinya badai sudah berhenti. Aku akan menunggu Guinna di ruang tamu," ujar Arash mulai berjalan keluar kamar.
"Besok kamu tidak perlu bekerja, aku akan mengurus izin untukmu."
Karena masih sangat lemas, Rain hanya sanggup mengangguk tanpa mengatakan apa pun. Dia menatap punggung Arash hingga pintu kamarnya tertutup. Tunggu, bagaimana cara lelaki itu menghubungi Guinna? Pikir Rain.
**
Secerah mentari siang ini, hubungan Arash dan Rain pun semakin hangat. Sering kali mereka melempar dialog, diikuti oleh rekan lain. Suasana hangat yang tak pernah dia rasakan dulu.
Rasanya mentari telah berada tepat di atas kepala, artinya mereka bisa beristirahat sejenak. Beberapa dari rekan kerja Rain sudah lebih dulu menuju kantin kantor, ada juga yang memilih makan di luar seperti Arash dan Rain. Arash membawa Rain ke sebuah restoran kecil dengan menu makanan daerah setempat karena dia tidak terlalu menyukai makanan luar negeri.
"Sambil menunggu pesanan, apa kamu ingin kubacakan halaman terakhir dari diary itu?" tanya Arash mengawali pembicaraan.
Tidak seperti ketika mereka terpaksa berbicara berdua di cafe klasik hari itu, sekarang mereka merasa lebih nyaman berbicara satu sama lain. Suasana di antara mereka pun terasa santai. Tidak ada lagi Arash yang mengetuk meja karena canggung.
Setelah meletakkan tasnya di sudut meja, Rain menjawab, "Tentu, aku juga sudah penasaran. Tolong bacakan, ya."
Lelaki berwajah tegas itu mulai membacakan isi dari diary, lebih tampak seperti sebuah syair. Kalimat demi kalimat yang seakan menyelimuti sesuatu. Rain menyimak dengan seksama, wajahnya tidak terlalu tegang, tapi tetap menunjukkan kefokusannya.
Di bawah bayang gunung yang tinggi,
Di antara laut biru dan tanah yang suci,
Terpendam dalam lingkaran yang abadi,
Di tempat para Dewa mengawasi.
Satu bintang memandu jalan,
Ke gerbang waktu yang terlupakan,
Dengan cawan perunggu di tengah kehijauan,
Hanya yang bijak bisa temukan.
Air mengalir di gua yang hening,
Membisikkan rahasia yang tersembunyi,
Dari masa lalu yang tak terbayangkan,
Kunci keseimbangan ada di sini.
Lingkaran ini penuh dengan cahaya bulan,
Saat dua matahari menyatu dalam satu malam,
Temukan cawan, temukan kedamaian,
Atau sejarah akan diulang kembali.
Dengarkan suara yang tak terdengar,
Ikuti jejak yang tak terlihat,
Hanya yang murni hati dan pikirannya,
Dapat menyelamatkan dunia dari kegelapan
"Wow! Syair yang indah. Bukankah begitu, Ar?" ujar Rain sembari mengintip tulisan tangan indah itu.
"Jadi, mulai dari mana kita mengartikan syair ini?"