Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Spoiled Girl and Cold Prince

koeceng_olen
--
chs / week
--
NOT RATINGS
143
Views
Synopsis
Chaby, gadis dengan mata bulat dan rambut panjang yang selalu terurai, berjalan dengan langkah gontai menuju gerbang sekolah. Ia baru saja menginjak bangku SMA, namun rasa gugup dan takut mencengkeram hatinya. Bukan takut akan pelajaran atau teman baru, melainkan takut akan dunia luar yang terasa begitu asing dan menakutkan. Masa lalu yang kelam telah menorehkan luka dalam di hatinya, membuatnya tumbuh menjadi gadis yang manja dan bergantung pada kakaknya, satu-satunya keluarga yang peduli padanya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1

Chaby, dengan mata berkaca-kaca, mengulurkan tangan kecilnya ke arah Danzel. "Kak, boleh Chaby makan ice cream?" pintanya dengan suara lirih. Danzel, dengan wajah dingin dan tanpa sedikit pun rasa iba, menggelengkan kepalanya. "Tidak boleh," jawabnya singkat.

Chaby menunduk, bibirnya bergetar menahan tangis. "Tapi Chaby pengen," rengeknya. "Chaby udah janji mau belajar rajin." Danzel tetap diam, matanya menatap lurus ke depan. Chaby mencoba sekali lagi, "Kak, please... Chaby janji besok gak akan nonton kartun lagi."

Danzel menghela napas, "Chaby, kamu harus belajar. Ujianmu sudah dekat. Tidak ada waktu untuk bermain-main." Chaby terdiam, air matanya mulai menetes. Ia merasa tak berdaya menghadapi kakaknya yang selalu tampak dingin dan tak kenal ampun.

"Kak, Chaby cuma pengen makan ice cream sekali aja," mohon Chaby, suaranya bergetar. "Chaby janji gak akan minta lagi." Danzel masih terdiam, matanya masih menatap lurus ke depan.

Chaby mengusap air matanya dan mencoba tersenyum. "Kak, Chaby sayang kakak. Kakak sayang Chaby gak?" tanyanya dengan suara pelan. Danzel masih terdiam, matanya masih menatap lurus ke depan.

Chaby tertunduk, hatinya terasa sakit. Ia merasa tak dicintai kakaknya. Ia berbalik dan berlari meninggalkan Danzel, air matanya mengalir deras. Ia berlari ke kamarnya, mengunci pintu, dan menangis sejadi-jadinya.

Danzel masih terdiam di tempatnya, matanya menatap lurus ke depan. Ia merasa bersalah, tetapi ia tak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Chaby. Ia tahu bahwa ia harus bersikap tegas agar Chaby bisa sukses.

Ia ingin Chaby menjadi orang yang sukses, seperti dirinya. Ia ingin Chaby bisa meraih semua yang tak bisa ia raih. Ia ingin Chaby bisa hidup bahagia. Namun, ia tak tahu bagaimana caranya untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada Chaby. Ia takut jika ia menunjukkan kelemahannya, Chaby akan menganggapnya lemah.

Danzel menghela napas, ia merasa terjebak dalam dilema. Ia ingin melindungi Chaby, tetapi ia tak tahu bagaimana caranya. Ia ingin mencintai Chaby, tetapi ia tak tahu bagaimana caranya.

Ia hanya bisa berharap bahwa suatu saat nanti, Chaby akan mengerti apa yang ia lakukan. Ia hanya bisa berharap bahwa suatu saat nanti, Chaby akan bisa merasakan kasih sayangnya.

Setelah malam yang penuh ketegangan, Danzel duduk di tepi tempat tidurnya, menatap adiknya yang ter tidur pulas. Chaby, dengan wajah manisnya yang tersenyum dalam mimpi, adalah satu-satunya cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti kehidupan mereka. Setiap kali Danzel berpikir tentang apa yang terjadi di rumah, hatinya terasa berat. Pertengkaran orangtuanya terus berlanjut, dan sering kali, Chaby menjadi sasaran kemarahan yang tak beralasan.

Danzel masih ingat dengan jelas malam itu ketika Mama kembali pulang dalam keadaan marah, suaranya membahana di seluruh rumah. "Kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan, Danzel!" teriaknya, mengabaikan usaha Danzel untuk menenangkan situasi. Dalam sekejap, semua kemarahan itu dilampiaskan pada Chaby, gadis kecil yang tak berdaya. Danzel merasa hatinya hancur ketika Mama memukul Chaby, dan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menarik adiknya ke dalam pelukannya, melindungi Chaby dari amukan yang tak beralasan.

"Semuanya akan baik-baik saja, Chaby," bisiknya saat mengusap kepala adiknya. Namun, dalam hatinya, Danzel tahu bahwa mereka tidak bisa terus hidup seperti ini. Mereka harus pergi, mencari tempat yang lebih baik, tempat di mana Chaby bisa tersenyum tanpa rasa takut.

Keputusan itu datang dengan cepat. Pada malam hari, ketika semua orang terlelap, Danzel mengemas barang-barang penting mereka ke dalam sebuah tas kecil. Ia mengambil beberapa pakaian, beberapa mainan Chaby, dan yang paling penting, foto keluarga mereka yang diambil saat mereka masih bahagia. Ia tidak bisa meninggalkan kenangan itu, meskipun kenyataan saat ini terasa sangat menyakitkan.

Ketika Danzel membangunkan Chaby, gadis itu tampak bingung. "Kak, kita mau ke mana?" tanyanya sambil menguap. Danzel tersenyum lembut, berusaha menenangkan adiknya. "Kita akan pergi berpetualang, Chaby. Kita akan mencari tempat baru, tempat di mana kita bisa bahagia," jawabnya sambil merangkul Chaby.

Dengan langkah hati-hati, mereka keluar dari rumah yang penuh kenangan pahit itu. Setiap langkah terasa berat, tetapi Danzel tahu bahwa mereka tidak bisa mundur. Mereka harus melangkah maju, tidak peduli seberapa sulitnya.

Malam itu, mereka berjalan menyusuri jalanan sepi, hanya diterangi oleh cahaya rembulan. Danzel menggenggam tangan Chaby erat-erat, berjanji dalam hatinya untuk melindungi adiknya apapun yang terjadi. Meskipun mereka tidak tahu apa yang menanti di depan, satu hal yang pasti: Danzel akan selalu ada untuk Chaby, dan mereka akan menghadapi segala tantangan bersama.

Satu malam berlalu, dan perjalanan menuju kehidupan baru dimulai. Mereka tidak tahu ke mana arah mereka akan pergi, tetapi harapan akan masa depan yang lebih baik selalu menyala dalam hati Danzel. Dengan semangat dan cinta yang tak tergoyahkan, mereka melangkah menuju hari-hari baru, meninggalkan semua kepedihan di belakang.

Danzel menghela napas, memandang wajah polos Chaby yang tertidur lelap di sampingnya. Keduanya terbaring di sebuah penginapan sederhana di pinggiran kota Seoul. Keberanian Danzel untuk membawa kabur Chaby dari rumah telah membuahkan hasil. Mereka berhasil lolos dari cengkeraman orang tua mereka yang penuh amarah dan kekerasan.

Namun, perjalanan mereka baru saja dimulai. Danzel tahu bahwa mereka harus mencari tempat baru untuk memulai hidup yang lebih baik. Danzel teringat akan sahabatnya, seorang pemuda Indonesia bernama Ardi, yang ia kenal saat masih bersekolah di Seoul. Ardi adalah sosok yang hangat, penuh semangat, dan selalu mendukung Danzel dalam segala hal.

"Ardi pasti bisa membantu," gumam Danzel dalam hati.

Danzel menghubungi Ardi melalui telepon, menceritakan situasi mereka dan memohon bantuannya. Ardi, yang dikenal dengan sifatnya yang baik hati dan loyal, langsung bersedia membantu. Ia menyusun rencana untuk membantu Danzel dan Chaby keluar dari Korea Selatan dan menuju Indonesia.

Ardi, dengan jaringan dan koneksi yang luas di Indonesia, berhasil membantu Danzel dan Chaby mendapatkan paspor dan visa baru. Ia juga menyiapkan tempat tinggal sementara bagi mereka di Jakarta. Danzel dan Chaby pun memulai perjalanan baru mereka, meninggalkan Seoul dan semua kenangan pahit di belakang.

Setibanya di Jakarta, Danzel dan Chaby disambut hangat oleh Ardi. Ardi membantu mereka beradaptasi dengan kehidupan baru di Jakarta. Ia mengajarkan mereka bahasa Indonesia, mengenalkan mereka pada budaya Indonesia, dan membantu mereka mencari pekerjaan.

Danzel, dengan kecerdasannya yang luar biasa, berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan teknologi di Jakarta. Ia bekerja dengan tekun dan gigih, membuktikan kemampuannya dan meraih kepercayaan dari atasannya.

Ardi, yang memiliki jiwa wirausaha yang kuat, mengajak Danzel untuk membangun perusahaan baru bersama. Danzel, yang memiliki pengalaman dan pengetahuan di bidang teknologi, dan Ardi, yang memiliki jaringan dan koneksi di Indonesia, menjadi pasangan yang serasi dalam membangun perusahaan baru.

Perusahaan mereka, yang bergerak di bidang aplikasi mobile, berkembang pesat. Dalam kurun waktu empat tahun, perusahaan mereka berhasil menjadi salah satu perusahaan besar di Indonesia. Danzel dan Ardi, dengan kerja keras dan dedikasi mereka, berhasil meraih kesuksesan dan membangun kehidupan baru yang lebih baik di Jakarta.

Chaby, yang tumbuh di lingkungan yang penuh kasih sayang dan perhatian dari Danzel dan Ardi, tumbuh menjadi gadis yang ceria dan penuh semangat. Ia bersekolah di Jakarta, berteman dengan anak-anak Indonesia, dan menikmati kehidupan barunya di Jakarta.

Danzel, yang dulu merasakan kepahitan dan kesedihan di Seoul, akhirnya menemukan kebahagiaan dan ketenangan di Jakarta. Ia menemukan keluarga baru di Ardi dan Chaby, dan ia merasa bersyukur atas semua yang telah ia lalui.

Danzel dan Chaby, yang dulunya terjebak dalam kehidupan yang penuh kekerasan dan ketidakpastian, akhirnya menemukan tempat yang aman dan nyaman di Jakarta. Mereka membangun kehidupan baru yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan, dan mereka merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui.

Danzel mengepalkan tangannya, menatap bayangan dirinya di cermin. Wajahnya yang masih muda terukir garis-garis tegas, matanya memancarkan tekad yang membara. Ia ingat dengan jelas bagaimana Chaby, adik perempuannya, selalu menjadi korban kekerasan orang tua mereka.

Chaby, gadis kecil yang lemah lembut, selalu mendapat perlakuan kasar dari orang tua mereka. Danzel, yang lebih tua beberapa tahun, hanya bisa melindungi Chaby dari kekejaman itu dengan sekuat tenaga. Ia selalu berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga Chaby, untuk memastikan bahwa adiknya tidak akan pernah merasakan lagi kepahitan yang sama.

"Aku akan menjadi orang yang kuat, Chaby. Aku akan melindungi kamu," bisik Danzel, matanya berkaca-kaca.

Danzel tahu bahwa kekuatan bukanlah hanya tentang otot atau fisik. Kekuatan sejati terletak pada tekad dan tekad itu harus diiringi dengan kemampuan. Ia harus memiliki kekuasaan, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk melindungi Chaby. Ia ingin memastikan bahwa tidak ada orang yang akan berani meremehkan Chaby, adiknya yang lemah lembut.

Danzel bertekad untuk meraih kesuksesan. Ia ingin menjadi orang yang berpengaruh, yang memiliki kekuasaan untuk melindungi Chaby dari segala bentuk kejahatan. Ia ingin membangun kerajaan bisnisnya sendiri, bukan untuk kesenangan pribadi, tetapi untuk memberikan rasa aman dan kebahagiaan bagi Chaby.

"Aku akan melakukan apapun untuk kamu, Chaby," janji Danzel dalam hati.

Danzel, dengan tekad dan kerja kerasnya, akhirnya meraih kesuksesan. Ia membangun perusahaan yang besar dan berpengaruh. Ia memiliki kekuasaan dan pengaruh yang cukup untuk melindungi Chaby dari segala ancaman.

Danzel tahu bahwa ia telah memenuhi janjinya. Ia telah menjadi orang yang kuat, yang mampu melindungi Chaby dari segala bentuk kejahatan. Ia telah memberikan adiknya masa depan yang lebih baik, masa depan yang bebas dari kekerasan dan kesedihan.

Danzel tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia telah mencapai puncak kesuksesan, tetapi ia tahu bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya terletak pada kasih sayang dan perlindungan yang ia berikan kepada Chaby.

"Aku akan selalu ada untuk kamu, Chaby," bisik Danzel, matanya berkaca-kaca.

Danzel memeluk erat foto Chaby yang tersimpan di meja kerjanya. Ia tahu bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk adiknya. Ia telah memberikan Chaby masa depan yang lebih baik, masa depan yang penuh dengan kasih sayang dan perlindungan.

Danzel, dengan tekad dan kerja kerasnya, telah membuktikan bahwa kekuatan sejati bukanlah tentang kekayaan atau kekuasaan, tetapi tentang kasih sayang dan perlindungan yang tulus.

Danzel mengedarkan pandangannya di dalam apartemen yang nyaman itu. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara, menciptakan suasana hangat yang menyenangkan. Ia melihat Ardi, sahabat terbaiknya, duduk santai di sofa dengan buku terbuka di pangkuannya. Pria itu tampak begitu tenang, dengan rambutnya yang sedikit berantakan dan mata yang fokus pada halaman yang sedang dibacanya.

"Sejak kapan lo di sini?" tanya Danzel, suaranya penuh rasa ingin tahu.

Ardi menoleh, tersenyum lebar. "Baru saja, bro. Aku datang lebih awal untuk menyiapkan semuanya. Lagipula, kita punya banyak hal yang perlu dibahas," jawabnya sambil menutup buku dan meletakkannya di sampingnya.

Danzel mengangguk, merasa lega melihat sahabatnya. Ketika mereka berdua meninggalkan Seoul, Ardi adalah satu-satunya orang yang memberikan dukungan penuh. Tanpa Ardi, mungkin mereka berdua tidak akan pernah menemukan jalan menuju Jakarta, tempat mereka bisa memulai hidup baru.

"Chaby di mana?" tanya Ardi, mengingat adik Danzel yang selalu ceria.

"Dia di kamarnya, lagi belajar. Aku kasih dia waktu untuk beristirahat sejenak dari semua pelajaran baru," jawab Danzel, merasa bangga pada adiknya yang cepat beradaptasi di lingkungan barunya.

Ardi mengangguk, "Bagus, dia butuh itu. Dan lihat, dia sudah bisa bicara bahasa Indonesia dengan baik. Itu semua berkat kursus dan pelajaran yang kita berikan."

Danzel tersenyum, mengingat betapa kerasnya Chaby berusaha untuk belajar. Ia ingat saat-saat di mana Chaby merasa frustrasi ketika berusaha mengucapkan kata-kata dalam bahasa baru. Namun, dengan kesabaran dan semangat yang tinggi, Chaby berhasil mengatasinya. Danzel merasa bangga pada adiknya, yang meski lemah di masa lalu, kini menunjukkan ketahanan yang luar biasa.

"Kamu benar, Ardi. Chaby memang hebat. Aku ingin dia tumbuh dengan baik, jauh dari semua kepahitan yang pernah kami alami," ucap Danzel, nada suaranya menunjukkan betapa seriusnya ia dalam hal ini.

Ardi menatap Danzel dengan penuh pengertian. "Kamu sudah melakukan banyak hal untuk dia. Dia beruntung punya kakak sepertimu. Dan kita berdua akan memastikan dia mendapatkan semua yang dia inginkan," kata Ardi, menegaskan komitmennya untuk mendukung Danzel dan Chaby.

Mereka berdua duduk di sofa, membahas rencana untuk masa depan perusahaan dan bagaimana mereka bisa mengembangkan bisnis mereka lebih jauh. Danzel merasa bersemangat ketika berbicara tentang visi dan ide-ide baru. Ardi selalu bisa membuatnya merasa optimis, dan Danzel tahu bahwa bersama sahabatnya, mereka bisa mencapai lebih banyak lagi.

Ketika obrolan mereka berlanjut, Danzel tidak bisa tidak merasa bersyukur. Dari perjalanan yang sulit, mereka telah menemukan rumah dan keluarga baru di Jakarta. Dan meskipun jalan di depan mereka mungkin penuh tantangan, dengan Ardi di sampingnya dan Chaby sebagai motivasinya, Danzel yakin bahwa mereka dapat menghadapi apa pun yang datang.

"Terima kasih sudah ada di sini, Ardi. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa kamu," ucap Danzel tulus.

Ardi hanya tersenyum, "Sama-sama, bro. Kita ini tim. Selamanya."

Dengan semangat yang baru, mereka melanjutkan pembicaraan, merancang masa depan yang lebih cerah, tidak hanya untuk mereka sendiri, tetapi juga untuk Chaby, gadis kecil yang telah menjadi pusat dari semua usaha dan perjuangan Danzel.

Ardi menatap Danzel dengan sorot mata yang penuh makna. Selama ini ia selalu membantu Danzel merawat Chaby dan melihat gadis itu tumbuh menjadi gadis cantik seperti sekarang ini. Ia ingat bagaimana Chaby yang dulu masih kecil, seringkali menangis dan merengek saat Danzel sedang sibuk bekerja. Ardi selalu ada untuk menenangkan Chaby, menggendongnya, dan menghiburnya dengan cerita-cerita lucu.

"Lo udah daftarin sekolah barunya?" tanyanya menatap Danzel. Pria itu mengangguk.

"Iya, udah. Aku daftarin di sekolah internasional yang bagus. Harapannya, Chaby bisa belajar bahasa Inggris dengan baik dan bisa bergaul dengan anak-anak dari berbagai negara," jawab Danzel, suaranya penuh dengan harapan.

Ardi tersenyum, "Bagus, bro. Aku yakin Chaby akan senang di sekolah barunya. Dia anak yang cerdas dan cepat belajar. Dan dengan dukungan lo, dia pasti bisa beradaptasi dengan cepat."

Danzel mengangguk, "Semoga saja. Aku ingin dia bisa mendapatkan pendidikan yang terbaik, agar dia bisa meraih mimpinya."

Mereka berdua terdiam sejenak, masing-masing larut dalam pikirannya. Ardi mengingat kembali saat-saat ketika mereka berdua masih muda, bermimpi untuk meraih kesuksesan dan membangun kehidupan yang lebih baik. Danzel adalah sahabat terbaiknya, dan Ardi selalu mendukungnya dalam segala hal.

"Lo tahu, bro," kata Ardi, memecah keheningan. "Aku bangga sama lo. Lo udah berjuang keras untuk Chaby. Lo udah menjadi kakak yang luar biasa."

Danzel menoleh, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Ardi. Aku juga bangga punya sahabat sepertimu. Kita udah melewati banyak hal bersama. Dan aku yakin, kita bisa melewati apa pun yang datang di masa depan."

Ardi mengangguk, "Tentu saja. Kita tim, bro. Selamanya."

Mereka berdua tersenyum, saling memahami dan saling mendukung. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan masih banyak tantangan yang harus mereka hadapi. Namun, dengan persahabatan yang kuat dan tekad yang bulat, mereka yakin bahwa mereka bisa mencapai semua mimpi mereka, untuk diri mereka sendiri, dan untuk Chaby, gadis kecil yang telah menjadi sumber kekuatan dan inspirasi bagi mereka berdua.

Kepala Ardi terangkat, menatap Danzel yang sedang menyusun beberapa berkas di meja kerjanya. Ada kekhawatiran di mata sahabatnya itu, mencerminkan betapa pentingnya momen yang akan datang.

"Oh iya, besok ada interview karyawan baru. Lo harus ada," ucapnya pelan, seolah mengingatkan Danzel akan tanggung jawab yang tidak bisa diabaikan.

Danzel menghentikan aktivitasnya sejenak, menatap Ardi dengan serius. "Tentu saja, aku akan ada. Kita butuh tim yang solid untuk mengembangkan perusahaan ini," jawabnya sambil mengangguk.

Ardi tersenyum lega, merasa senang mendengar komitmen Danzel. Mereka telah bekerja keras untuk membangun perusahaan dari nol, dan kini saatnya untuk memperluas tim agar bisa menghadapi tantangan yang lebih besar. Danzel tahu bahwa memilih orang yang tepat untuk bergabung dalam tim adalah langkah krusial untuk mencapai kesuksesan yang lebih besar.

"Siapa saja yang sudah daftar?" tanya Danzel, penasaran.

Ardi membuka laptopnya, menunjukkan daftar nama-nama calon karyawan yang telah mendaftar. "Ada beberapa yang menarik. Beberapa di antaranya punya pengalaman yang cukup baik, terutama di bidang teknologi dan pemasaran. Kita butuh orang-orang yang bisa beradaptasi dengan cepat," jelasnya.

Danzel mengamati daftar tersebut dengan seksama, memperhatikan latar belakang setiap calon. Ia merasa bersemangat melihat banyaknya talenta yang ingin bergabung dengan perusahaan mereka. "Kita harus memastikan bahwa kita tidak hanya memilih berdasarkan pengalaman, tetapi juga karakter. Kita butuh orang-orang yang sevisi dan sejalan dengan nilai-nilai perusahaan kita," katanya dengan tegas.

Ardi mengangguk setuju. "Aku setuju. Dan aku rasa, kita juga perlu memberi mereka gambaran tentang apa yang kita perjuangkan di sini. Kita bukan hanya membangun perusahaan, tetapi juga komunitas yang saling mendukung."

Danzel merasakan semangat Ardi yang menular. Mereka berdua memiliki visi yang sama untuk perusahaan ini, dan itu membuat kerjasama mereka semakin kuat. Danzel merasa bersyukur memiliki sahabat seperti Ardi yang selalu mendukung dan memotivasi.

"Baiklah, kita buat rencana untuk interview besok. Kita harus memastikan semuanya berjalan lancar," ucap Danzel sambil tersenyum.

Ardi tersenyum kembali, semangat mereka terasa semakin membara. "Oke, kita akan buat sesi interview ini jadi pengalaman yang menyenangkan bagi semua calon. Kita butuh energi positif untuk membangun tim yang hebat."

Danzel mengangguk, merasakan betapa pentingnya momen ini bukan hanya untuk perusahaan, tetapi juga untuk mereka berdua. Mereka sedang membangun sesuatu yang lebih dari sekadar bisnis; mereka sedang menciptakan masa depan yang akan memberikan dampak positif bagi banyak orang, termasuk Chaby yang selalu menjadi motivasi di balik setiap langkah mereka.

Dengan semangat baru, mereka melanjutkan diskusi tentang rencana interview, saling bertukar ide dan strategi. Danzel merasa yakin bahwa dengan kerjasama dan tekad yang kuat, mereka akan menemukan orang-orang yang tepat untuk bergabung dalam perjalanan mereka.

"Lo nggak pulang lagi?" Danzel bertanya, melirik ke arah Ardi yang kini menguap lebar sambil menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa.

"Gue nginap aja," jawab Ardi dengan suara setengah mengantuk, lalu menutup kedua matanya, seolah tidak peduli dengan dunia di sekitarnya.

Danzel menatap jengah pria itu. Bagaimana tidak, hampir tiap hari Ardi menginap di apartemennya. Bukannya ia tidak suka, tapi ia tidak mau dapat telepon terus dari mama sahabatnya yang selalu heboh menanyakan keadaan putranya. Bahkan terkadang, ia kena marah juga karena mama Ardi berpikir dialah alasan Ardi jarang pulang ke rumahnya sendiri.

"Jangan-jangan mereka berdua sudah dianggap gay lagi oleh mamanya," pikir Danzel sambil geli sendiri memikirkan hal itu. Bayangan tentang reaksi mama Ardi yang berapi-api ketika mengetahui kedekatan mereka membuatnya tersenyum kecut.

"Eh, Ardi!" Danzel berteriak, berusaha membangunkan sahabatnya yang kini terlelap. "Kalau lo terus-terusan di sini, lo akan bikin mama lo khawatir. Dia pasti lagi telepon nanya-nanya tentang lo."

Ardi membuka matanya sedikit, menatap Danzel dengan tatapan setengah sadar. "Ah, udah biasa. Dia pasti cuma cemas, kayak biasanya," jawabnya sambil menguap lagi. "Lagipula, di sini lebih nyaman. Lo juga suka kan, kalau ada teman? Gak kesepian."

Danzel menggelengkan kepala, meski di dalam hatinya ia merasa senang memiliki Ardi di sampingnya. Persahabatan mereka selalu memberikan warna dalam hidupnya, terutama di saat-saat sulit. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan kekhawatiran mama Ardi.

"Lo tahu kan, mama lo itu tipe yang protektif. Dia pasti khawatir, apalagi kalau dia tahu berapa lama lo nginap di sini," Danzel memberi peringatan.

Ardi mengangkat bahunya sambil tersenyum nakal. "Biarin saja. Nanti juga dia lupa. Yang penting kita bisa chill di sini."

"Chill? Lo malah tidur!" Danzel tertawa, merasa terhibur dengan sikap santai sahabatnya.

"Ya, tapi itu bagian dari chill, kan?" Ardi membalas, lalu menarik bantal dan menutup wajahnya.

Danzel menggelengkan kepala, tidak bisa menahan senyum. Ia tahu betapa Ardi menikmati kenyamanan apartemennya. Meski terkadang merasa terbebani dengan panggilan dari mama Ardi, Danzel juga merindukan kehadiran sahabatnya di sampingnya. Mereka sering bicara tentang banyak hal, dari rencana bisnis hingga impian masa depan.

Setelah beberapa saat, Danzel memutuskan untuk membiarkan Ardi tidur. Ia kembali ke meja kerjanya, menyelesaikan beberapa dokumen yang perlu diperiksa. Namun, pikirannya terus melayang ke arah sahabatnya. Dalam hati, ia berharap agar Ardi bisa pulang lebih sering, bukan hanya untuk menghindari drama dari mama, tetapi juga agar Ardi bisa merasakan kenyamanan dan keamanan di rumahnya sendiri.

Ketika malam semakin larut, Danzel merasakan kehangatan persahabatan mereka. Meskipun kadang-kadang ada kerumitan yang datang bersama dengan kehadiran Ardi, ia tahu bahwa di balik semua itu, ada kasih sayang dan dukungan yang tulus.

"Sampai kapan pun, kita akan selalu ada untuk satu sama lain," bisik Danzel pada dirinya sendiri, menyadari bahwa dalam perjalanan hidup ini, persahabatan adalah salah satu hal terpenting yang bisa dimilikinya.

"Morning baby" sapa Ardi dengan semangat, senyum lebar menghiasi wajahnya saat Chaby muncul di depan mereka.

Gadis itu memandang dua pria tampan itu bergantian. Mereka duduk di meja makan dengan pakaian yang sudah rapi, siap memulai hari. Danzel, dengan kemeja putihnya yang terlipat rapi, tampak tenang dan berwibawa. Sementara Ardi, dengan kaos oblongnya yang casual, memancarkan aura ceria dan penuh energi.

Penampilan Chaby tak kalah rapi dari mereka. Gadis itu sudah berpakaian lengkap dengan seragam barunya, lengkap dengan dasi yang terikat sempurna di lehernya. Hari ini hari pertamanya masuk SMA, dan ia tidak mau sampai terlambat terus dihukum di hari pertamanya sekolah.

"Duduk," perintah Danzel lembut, menyodorkan sepotong roti bakar ke piring Chaby.

Chaby mengunyah cepat-cepat roti itu, berusaha menghabiskan dengan cepat. Ia ingin segera pergi ke sekolah dan tidak ingin membuat dua pria itu menunggu terlalu lama.

"Kamu nggak buru-buru, kan?" tanya Ardi, mengamati Chaby yang tampak gelisah.

"Nggak kok, masih ada waktu," jawab Chaby, meskipun raut wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran.

Danzel tersenyum, memahami kekhawatiran Chaby. "Tenang saja, kami akan mengantarmu," ujarnya sambil berdiri dan mengambil tas Chaby.

Chaby terdiam sejenak, matanya berbinar. Ia merasa sangat beruntung memiliki dua pria yang selalu mendukung dan menjaganya. "Terima kasih," ucap Chaby, hatinya dipenuhi rasa bahagia.

"Sama-sama, baby," jawab Ardi sambil mengacak rambut Chaby dengan gemas.

Danzel menggelengkan kepala, melihat tingkah Ardi yang selalu bersikap kekanak-kanakan. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia tahu bahwa Ardi hanya ingin membuat Chaby merasa nyaman dan bahagia.

Mereka bertiga berjalan keluar dari apartemen, siap memulai hari baru. Danzel dan Ardi bergantian mengantar Chaby ke sekolah, memastikan bahwa gadis itu sampai dengan selamat.

"Hati-hati di sekolah, ya," pesan Danzel sebelum berpisah dengan Chaby.

"Jangan lupa makan siang," tambah Ardi dengan nada yang sedikit bercanda.

Chaby mengangguk, hatinya dipenuhi rasa syukur. Ia merasa sangat beruntung memiliki dua pria yang selalu menjaganya dan memberikannya rasa aman.

"Sampai jumpa nanti," ucap Chaby, melambaikan tangan kepada mereka berdua.

Danzel dan Ardi tersenyum, melambaikan tangan sebagai jawaban. Mereka berdua kembali ke apartemen, dengan perasaan bahagia karena telah memberikan kebahagiaan kepada Chaby.

"Dia akan menjadi gadis yang hebat," ucap Danzel, matanya tertuju pada sosok Chaby yang semakin menjauh.

Ardi mengangguk setuju. "Iya, dia kuat dan mandiri. Kita harus mendukungnya."

Mereka berdua kembali ke apartemen, dengan perasaan yang penuh harapan. Mereka tahu bahwa Chaby akan menghadapi masa depan yang cerah, dan mereka akan selalu ada di sisinya untuk memberikan dukungan dan cinta.