Hampir saja Chaby bisa masuk ke dalam sekolah, namun nasib berkata lain. Ia terlambat beberapa langkah, dan gerbang sudah tertutup rapat. Satpam yang bertugas dengan tegas mengunci gerbang, membuat Chaby mengutuk dirinya sendiri. Ia terlalu terpesona dengan bangunan mewah itu hingga lupa waktu.
Dengan perasaan panik, Chaby mencoba merayu satpam dengan senyum manis. "Maaf non, sekolah ini tuh ketat banget. Kalo udah jam tujuh tepat gerbangnya harus ditutup, gak boleh di buka lagi sampai pulang sekolah." jelas satpam dengan nada tegas. "Sekali ini aja pak, yah?" paksa Chaby memelas. "Nanti saya yang di marahin, maaf banget ya non." jawab satpam dengan nada menyesal.
Chaby ingin memaksa lagi, namun tiba-tiba ia merasakan tepukan lembut di bahunya. Ia berbalik dan melihat seorang gadis cantik dengan senyuman lebar. Chaby tidak mengenal gadis itu, namun gadis itu langsung berbisik, "Gue tahu cara lain buat masuk kedalam." Gadis itu kemudian berbalik dan pergi, meninggalkan Chaby yang masih bingung. "Maksudnya apaan sih, main datang dan pergi nggak jelas begitu." gumam Chaby dalam hati
"Ayo ikut gue" seru gadis itu lagi, menyadari Chaby masih terpaku di tempatnya. Chaby menatap gadis itu dengan rasa penasaran. Ia memutuskan untuk mengikuti gadis asing itu, penasaran ingin tahu ke mana ia akan dibawa.
Gadis itu berambut ikal, tinggi semampai, dan memiliki wajah yang menurut Chaby sangat cantik. Ia penasaran dengan siapa gadis itu dan apa maksudnya mengajak Chaby masuk ke sekolah melalui cara lain.
Chaby terkesiap. Di depannya berdiri tembok tinggi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Gadis itu menatap bergantian tembok dan cewek yang ia tidak tahu namanya itu. Tinggi tembok itu kira-kira lebih dari dua meter. "Inikah yang kamu maksud dengan jalan lain masuk sekolah?" tanya Chaby, suaranya sedikit gemetar. "Maksudnya kita akan memanjat tembok itu?"
Chaby mendesah panjang. Bagaimana caranya ia memanjat tembok setinggi itu? Ia bukanlah gadis tomboi yang biasa memanjat-manjat seperti itu. "Tenang aja, gampang kok. Ikut aja gue," kata gadis itu santai, sambil tersenyum. Ia kemudian menunjuk sebuah pipa besi yang menempel di tembok. "Kita panjat lewat pipa itu."
Chaby mengerutkan kening. "Serius? Itu kelihatan licin dan berbahaya." "Percaya sama gue, Chaby. Gue udah sering lewat sini," jawab gadis itu, sambil mulai memanjat pipa besi tersebut. Chaby ragu-ragu. Ia takut, tapi rasa penasarannya lebih besar. Ia pun memutuskan untuk mengikuti gadis itu.
Dengan hati-hati, Chaby mulai memanjat pipa besi. Tangannya gemetar, kakinya terasa lemas. Ia berusaha fokus agar tidak jatuh. "Hati-hati, Chaby Jangan lihat ke bawah," teriak gadis itu dari atas.
Chaby mengangguk, meskipun ia tidak yakin bisa mengikuti saran gadis itu. Ia terus memanjat, perlahan tapi pasti. Akhirnya, ia berhasil mencapai puncak tembok. Ia menarik napas lega, lalu menoleh ke arah gadis itu. "Kamu siapa sih? Kenapa kamu ngajak aku lewat sini?" tanya Chaby, penasaran.
Gadis itu tersenyum. "Namaku Anya. Dan aku ngajak kamu lewat sini karena aku tahu kamu pasti bisa."
Chaby terpaku di atas tembok. Ia melihat Anya, gadis yang membantunya memanjat, sudah melompat ke bawah dan mencapai tanah dengan mulus. Namun Chaby sendiri tak berani bergerak sedikitpun. Rasa takut menguasai sekujur tubuhnya. Ia terlalu takut untuk melompat, takut jatuh dan kakinya patah.
Ia tersangkut di atas tembok, tak berdaya. "Ya ampun, kenapa aku mau-maunya melakukan tindakan bodoh kayak begini sih?" gumam Chaby dalam hati.
"Cepet lompat," teriak Anya pelan, dari bawah. Chaby menoleh ke arah Anya. "Aku takut," jawab Chaby, suaranya gemetar. "Nggak usah takut, aku pegang kamu kok." Anya berteriak lagi, sambil mengulurkan tangannya ke arah Chaby.
Chaby ragu-ragu. Ia masih takut, tapi ia juga tak ingin mengecewakan Anya. Ia pun memutuskan untuk melompat. Dengan hati-hati, ia menggerakkan kakinya, lalu melompat. Anya langsung menyambutnya, menopang tubuhnya agar tidak jatuh.
"Kamu berhasil!" seru Anya, sambil tersenyum lega. Chaby tersenyum tipis. "Makasih, Anya. Aku kira aku bakal mati di atas sana."