"Ketika langit mulai meredup,
Sebuah tanya muncul, bisu namun memanggil.
Di setiap langkah yang diambil,
Ada bayangan pertanyaan yang mengikuti.
Tak ada jawaban yang pasti, hanya pencarian tanpa henti,
Sebagai jejak yang tersembunyi di antara kata-kata yang hilang.
Akankah jejak itu bisa di temukan? ataukah malah tenggelam hilang begitu saja dalam kegelapan dan keraguan."
*********
Di sebuah kota megah yang terlelap di bawah langit yang hampir gelap, ada sesosok manusia yang berdiri di tengah keramaian, namun tetap merasa dirinya kesepian. Manik coklat menyala yang memandang ke depan, tetapi pikirannya seolah terhanyut dalam sebuah perjalanan yang tak terdefinisikan. Suara bising, hiruk-pikuk orang-orang, dan langkah kaki yang beradu dengan jalanan tak mengurangi rasa kosong yang menyelimutinya. Ya pikirannya bagaikan sebuah kapal yang sedang terombang ambil di lautan lepas.
Pertanyaan pertama itu muncul seperti bisikan angin: Apa yang sebenarnya yang sedang dicari di dunia yang fana ini?
Di sana, di balik setiap sudut kota yang dipenuhi jejak langkah manusia dan hingar bingar kehidupan, ada satu tanya yang terus berputar di dalam kepalanya. Tanya yang tak terucap, tak terjawab, dan tak diketahui asal-usulnya. Seolah-olah setiap detik yang berlalu adalah sebuah pencarian yang tak pernah selesai, dan dia hanya bisa mengikuti tanpa tahu kemana arah akhirnya.
Dia bukan satu-satunya yang terperangkap dalam pencarian ini. Di luar sana, ribuan orang mungkin juga bertanya—mencari, meraba, dan melangkah tanpa arah yang jelas. Namun, tanya yang satu ini lebih dari sekadar kebingungan biasa. Itu adalah seruan dalam sunyi, yang memaksa siapa pun yang mendengarnya untuk bertindak. Menyadari bahwa di balik setiap keputusan, ada kepingan yang hilang, menunggu untuk ditemukan atau malah di biarkan untuk menghilang dari pemikiran dan peradaban.
Sebelum langkah-langkahnya semakin jauh membawa raga dan pikirannya, ia berhenti sejenak. Memandang langit yang hampir gelap, dia merasa bahwa setiap tanya yang muncul membawa beban, tetapi juga janji akan sesuatu yang lebih besar. Tanpa jawaban, tanpa petunjuk. Hanya ada perjalanan yang dimulai dari sebuah pertanyaan.
Dan perjalanan itu, baru saja dimulai. Karena semuanya berawal dari sebuah pertanyaan.
***********
Setiap hari berlalu dengan kebiasaan yang sama. Pagi dimulai dengan hiruk-pikuk kota, suara kendaraan yang bersaing dengan riuhnya manusia yang berlalu-lalang. Di antara semuanya, dia tetap berjalan dengan langkah yang teratur, seperti mengikuti sebuah alur yang tak pernah dia pilih sendiri. Dunia bergerak di sekelilingnya, namun dia tetap terjebak dalam ruang kosong di dalam dirinya.
Ada perasaan yang selalu muncul setiap kali dia melangkah, sebuah rasa seolah-olah ada sesuatu yang hilang. Rasa itu mulai mengganggu, seperti potongan puzzle yang tak kunjung ditemukan. Terkadang dia merasa seperti sedang berdiri di persimpangan jalan yang tak terlihat ujungnya. Pilihan-pilihan datang, namun tak satu pun yang terasa benar. Seperti jalan yang terhampar, namun tak ada petunjuk arah yang jelas.
Tanya itu datang lagi.
"Apa yang seharusnya aku lakukan?"
Bukan pertama kali dia bertanya, tapi kali ini rasanya lebih kuat. Lebih mendesak. Ada sesuatu yang harus ditemukan. Sebuah jawaban yang telah lama dia cari tanpa sadar, tersembunyi di balik bayang-bayang masa lalu yang terlupakan.
Dia melangkah menuju sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota. Pintu kaca terbuka dengan pelan, dan suara bel yang berbunyi nyaring menyambut kedatangannya. Tempat ini sudah menjadi rutinitasnya, tempat di mana dia bisa duduk sejenak, menenangkan pikirannya yang mulai kacau. Di balik cangkir kopi, dia mencoba merenung, menenangkan hatinya yang terus berdebar.
Seorang barista muda menyapanya dengan senyuman tipis, tanpa banyak bicara. Dia tahu bahwa di tempat ini, setiap orang datang dengan cerita mereka sendiri, dengan tanya mereka masing-masing yang belum terjawab. Dan mungkin, kafe ini hanyalah tempat untuk mencerna kebingungan itu, untuk sesaat melupakan pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawabannya.
Namun, hari ini berbeda.
Di meja dekat jendela, seorang pria duduk dengan buku yang terbuka di depannya. Matanya terfokus pada halaman yang terbaca, tetapi seolah ada sesuatu yang lebih. Sesuatu yang menarik perhatian, meskipun dia tidak tahu mengapa.
Dia merasa seperti mengenal pria itu. Tapi itu tidak mungkin. Tidak ada kenangan, tidak ada sejarah. Hanya ada rasa yang aneh, seolah sudah ada sebuah pertemuan yang belum terjadi, sebuah pertemuan yang tertunda.
Matanya bertemu dengan mata pria itu. Sesaat, dunia seperti terhenti. Dia bisa merasakan gelombang tanya yang sama. Sesuatu yang belum terucap, tapi terasa kuat, seperti dua kepingan puzzle yang akan menyatu.
Tanya itu, sekali lagi, datang.
"Apakah ini kebetulan?"
Dia tidak tahu jawabannya. Dia hanya tahu bahwa perjalanan ini, pencarian ini, kini membawa ke arah yang berbeda. Mungkin, jawaban itu ada di sana, di dalam pertemuan yang tak terencana ini. Mungkin ini adalah awal dari segala tanya yang belum terjawab.
Namun ia lebih memilih untuk tak memperdulikannya. Ah cinta pada pandangan pertama, sebuah tahapan yang kebetulan membuat manik coklat nya tertarik untuk beradu pandang lebih lama. Pffttt rasanya geli dan aneh, membayangkan adegan romansa jatuh cinta pada pandangan pertama. Haha sungguh menggelikan.
"hi Gav? tidak bersekolah hari ini?" tanya barista muda dengan nada ramah
Gavrielle Ophelia Seraphina—nama panjangnya yang begitu indah dan penuh makna—bukan sekadar serangkaian kata yang terdengar eksotis. Nama-nama itu, masing-masing memiliki sejarah dan cerita yang dalam bagi keluarganya.
Gavrielle adalah nama yang jarang ditemukan, namun memiliki akar dalam bahasa Prancis yang berarti "pembawa pesan dari Tuhan." Nama ini diberikan oleh sang bunda Anastashia, yang percaya bahwa kelahiran Gavrielle adalah anugerah yang tak terduga, sebuah berkat yang membawa harapan baru. Sejak kecil, Gavrielle selalu merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar yang menuntunnya dalam hidup, dan ibunya yakin bahwa nama ini melambangkan takdirnya untuk menemukan dan membawa perubahan, meski dia sendiri belum tahu perubahan seperti apa yang dimaksud.
Ophelia, nama kedua yang disematkan padanya, adalah nama yang diambil dari karakter dalam tragedi Hamlet karya William Shakespeare. Dalam cerita tersebut, Ophelia adalah sosok yang menderita akibat cinta dan kehilangan, tetapi juga menggambarkan keindahan yang rapuh. Nama ini diberikan oleh ayah Gavrielle, yang menginginkan agar putrinya selalu mengingat bahwa kehidupan, meskipun penuh dengan tanya dan kehilangan, juga bisa menjadi indah. Ayahnya percaya bahwa keindahan sejati datang dari kemampuan untuk menghadapi kesulitan dan keraguan dengan hati yang terbuka, seperti Ophelia yang indah namun penuh dengan luka.
Sedangkan Seraphina, nama ketiga yang ia miliki, datang dari tradisi keluarganya yang lebih tua—nama yang mengacu pada malaikat serafim. Serafim digambarkan sebagai malaikat paling dekat dengan Tuhan, yang berada di hadapan-Nya dan memiliki tugas untuk menjaga kebenaran dan kedamaian. Nama ini dipilih oleh nenek Gavrielle, yang ingin memberikan kekuatan dan kedamaian bagi cucunya, berharap bahwa suatu hari nanti, Gavrielle akan mampu menjalani hidup dengan kebijaksanaan dan kasih sayang yang mendalam.
Secara keseluruhan, nama Gavrielle Ophelia Seraphina bukan hanya sekadar pemberian, tetapi sebuah warisan yang menyatukan berbagai harapan, keyakinan, dan filosofi dari orang-orang yang mencintainya. Nama ini seolah membawa beban dan takdir yang besar, sebuah panggilan untuk menemukan makna hidup yang lebih dalam, meskipun banyak kali Gavrielle merasa bahwa dia tidak cukup siap untuk memikulnya.
Namun, meski terasa berat, ia tak bisa menghindar dari nama yang telah diberikan. Sebuah nama yang selalu mengingatkannya bahwa dia tak hanya hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang ia harus temukan, sesuatu yang tersembunyi di balik tanya-tanya yang tak pernah berhenti menghantui pikirannya.
kini usia nya menginjak 18 tahun. Gadis itu menjalani kehidupan yang tampak biasa di permukaan. Namun, di balik senyuman lembutnya dan tatapan mata yang sering teralihkan, ada dunia yang lebih dalam yang sedang ia coba pahami.
Gavrielle tidak banyak berbicara tentang dirinya. Dia cenderung diam, lebih suka mengamati dunia dari kejauhan daripada terlibat langsung. Mungkin karena di dalam dirinya ada tanya-tanya yang selalu bergelayut, pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan mudah. Di sekolah, dia dikenal sebagai siswa yang pintar namun cenderung tertutup. Ia lebih sering duduk di pojok kelas, memperhatikan teman-temannya yang sibuk dengan kehidupan mereka, sementara dirinya terjebak dalam kerumunan pikirannya sendiri.
Di luar sekolah, Gavrielle adalah seorang pembaca yang tekun, menghabiskan waktu di perpustakaan atau kafe-kafe kecil yang jauh dari keramaian, ya dan contohnya adalah sekarang ini. Dia gemar menulis di jurnal pribadi, mencatat segala hal yang ia rasakan dan pikirkan, meskipun sebagian besar itu tidak pernah dibaca oleh orang lain. Setiap halaman adalah potongan mozaik dari dirinya yang belum sepenuhnya ia kenal. Bagi Gavrielle, kata-kata adalah cara untuk mengungkapkan tanya yang tak terjawab, untuk menemukan makna dalam kehidupan yang terkadang terasa kabur.
Meskipun ia tampak tenang dan terkendali, ada sesuatu dalam dirinya yang terasa hilang. Sebuah perasaan kosong yang terus mengganggu, seolah ada bagian dari dirinya yang tidak pernah bisa terisi. Mungkin itu yang membuatnya terus mencari, terus bertanya. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggunya, sesuatu yang harus ia temukan, meskipun ia tidak tahu apa itu.
Di luar penampilannya yang tenang, di balik kecerdasannya yang sering tak terlihat oleh banyak orang, ada jiwa yang penuh rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu yang sering kali membuatnya merasa seolah-olah dia adalah orang asing dalam hidupnya sendiri.
Di sekolah, dia hanya memiliki beberapa teman dekat, namun mereka pun tidak sepenuhnya memahami sisi-sisi dalam dirinya yang tersembunyi. Mereka tahu dia pintar, namun mereka tidak tahu betapa dalamnya keraguan dan tanya yang ia rasakan setiap hari. Sering kali, ia merasa seperti sedang bermain peran, berusaha menjadi seseorang yang seharusnya dia jadi, meskipun jauh di dalam hatinya, dia merasa berbeda.
Namun, kehidupan Gavrielle bukan hanya tentang pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Itu adalah perjalanan untuk menemukan dirinya sendiri—untuk merangkai kepingan-kepingan yang hilang, menemukan tujuan di tengah kebingungan, dan akhirnya mencari jawaban yang tak pernah ia ketahui sebelumnya.
Kini, di usia nya yang akan menginjak 18 tahun, dengan dunia yang terasa begitu besar dan tak terjamah, Gavrielle tidak tahu bahwa langkah-langkahnya yang sederhana akan membawanya pada sebuah pertemuan yang akan mengubah segalanya.
"ah tidak hari ini sekolah libur, guru guru di sekolah ku sedang mengadakan rapat" jawab nya lembut
"baiklah, kau ingin memesan sesuatu?" tanya barista sambil memberikan senyuman nya
"tentu, seperti biasa"
jawab Gavrielle dengan suara lembut, matanya mengarah pada menu yang tidak terlalu ia perlukan. Ia sudah tahu apa yang akan ia pilih—sebuah cangkir matcha panas rendah gula kesukaannya, tepat seperti yang ia suka setiap kali datang ke sini. Tanpa embel-embel, tanpa kerumitan.
Barista itu mengangguk, seolah sudah menghafal pesanan rutin Gavrielle.
"Tentu, satu matcha panas seperti biasa. Tunggu sebentar ya."
Gavrielle mengangguk lalu mulai melangkahkan kedua kakinya menuju ke meja dekat jendela, duduk dengan anggun dan menikmati suasana matanya mengembara ke luar, menikmati pemandangan kota yang sepi di sore hari. Meskipun pesanan itu tak berubah, hari-harinya semakin terasa penuh dengan pertanyaan yang terus bergelayut dalam pikirannya. Namun, di tempat ini, di antara aroma kopi, teh, bahkan matcha kesukaannya yang menguar dan suara bisu dunia luar, ia bisa merasakan sedikit kedamaian—meskipun itu hanya untuk sesaat.
Setelah beberapa menit menunggu, ia meluruskan punggungnya dan menatap ke luar. Kota di luar tampak sibuk, namun entah kenapa suasana di dalam kafe terasa jauh lebih tenang. Beberapa orang duduk di meja lain, sibuk dengan percakapan mereka, sementara sebagian lainnya tenggelam dalam dunia mereka sendiri, seperti dirinya. Ada sesuatu yang damai dalam kebisingan yang terdengar jauh dari tempat ini—seolah dunia bergerak begitu cepat, tetapi di sini, di sudut kafe kecil ini, waktu melambat.
Tidak lama, barista muda itu mendekat dengan senyuman dan secangkir matcha hangat yang ia pesan. Foam yang tebal dan halus melapisi permukaan matcha di tambah dengan bubuk hijau, dan aroma hangatnya segera memenuhi udara di sekitarnya. Gavrielle mengangguk kecil sebagai tanda terima kasih saat barista itu meletakkan cangkir di depannya.
"Terima kasih," katanya dengan suara rendah, meskipun hampir tidak terdengar di antara suara mesin kopi yang berdengung.
Setelah barista itu pergi, Gavrielle menatap matcha di depannya, jari-jarinya ringan menyentuh tepi cangkir yang hangat. Ia memutar cangkir perlahan, memperhatikan pola foam yang terbentuk, seperti sebuah gambaran dari pikirannya yang terpecah-pecah. Satu tegukan pertama terasa biasa—matcha panas dengan sedikit rasa manis dari foamnya. Tetapi bagi Gavrielle, setiap tegukan selalu membawa sedikit kenyamanan. Meskipun dunia di luar sana terus berputar, ada ketenangan dalam cangkir ini yang sulit ia temukan di tempat lain.
Namun, di balik kedamaian itu, pikirannya tak bisa berhenti berpacu. Ada pertanyaan yang terus menghantuinya, yang semakin menggelayut di benaknya: Apa yang sebenarnya ia cari? Seperti pecahan mozaik yang hilang, sebuah potongan yang tak pernah ia temukan, meskipun ia sudah berusaha mencarinya di setiap sudut kehidupannya.
Sambil menikmati minuman favoritnya, matanya tertuju pada seseorang di meja lain—seorang pria tua berusia sekitar 65 tahun yang duduk dengan buku terbuka di depannya bersama seorang gadis kecil sekitar 8 tahun. Sesaat, mata mereka bertemu. Pria itu tersenyum tipis, sebuah senyuman yang tidak terlalu ramah, namun lebih seperti senyuman penuh pengertian.
Melihat pria tua itu membuatnya jadi berwisata masalalu. Dahulu, ia sering dibawa oleh sayang ayah berjalan jalan disekitaran kota. Duduk di Cafe dan memesan, sang ayah memesan kopi hitam yang terlihat pahit dan pekat, sementara Gavrielle memesan susu coklat hangat atau tidak minuman hijau yang bagi sebagian orang memiliki rasa seperti rumput, yap matcha minuman yang sedang ia teguk pelan saat ini.
Dia mengalihkan perhatian dengan membuka tas ranselnya yang tergeletak di samping kursi. Tugas yang seharusnya sudah dia kerjakan sejak seminggu lalu kini menanti di atas meja, bersama dengan buku-buku yang berserakan, siap untuk dibereskan. Terkadang, rutinitas adalah hal yang terbaik—hal yang bisa menenangkan kegelisahan yang terus mengganggu.
Dia mengeluarkan buku catatan dan mulai membuka halaman-halaman yang penuh dengan coretan dan catatan singkat dari kelas. Salah satu tugasnya adalah menulis analisis tentang karya sastra yang baru saja dibaca di sekolah, namun ia tidak bisa mengabaikan rasa jenuh yang muncul begitu saja setiap kali menghadap tugas semacam ini. Tidak seperti teman-temannya yang tampak begitu antusias dengan pelajaran, Gavrielle selalu merasa seperti tugas-tugas itu hanyalah bentuk pelarian dari pertanyaan yang lebih besar. Pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan kata-kata dalam buku atau rumus yang rumit.
Tapi, seperti biasanya, ia memulai dengan menulis. Pensilnya menyentuh kertas, menuliskan kalimat pertama dari analisisnya. Pikirannya terfokus pada kata-kata yang muncul, mencoba untuk menyusun argumen dan penjelasan yang logis, namun tetap saja, bayangan tanya yang mengganggu tetap ada di sana. Tugas ini, seperti banyak hal lainnya, terasa seperti rutinitas yang harus diikuti, tetapi entah kenapa, ia tidak bisa sepenuhnya terhubung dengan hal itu. Seperti ada sesuatu yang lebih penting yang memanggilnya, meskipun dia tidak tahu apa itu.
Beberapa kali, ia menatap ke luar jendela, mencari jawaban dalam lanskap yang berubah dengan cepat, namun tidak ada yang mengungkapkan apa pun. Sebuah hiruk-pikuk yang tak terucapkan di luar sana, seolah dunia juga sedang sibuk mencari sesuatu, sama seperti dirinya. Namun, dia tahu bahwa mencari jawaban dari dunia luar hanya akan mengaburkan fokusnya. Jadi, ia menarik napas dalam-dalam dan mencoba kembali untuk menyelesaikan tugas itu.
Namun, saat matanya kembali menatap kata-kata yang tertulis di halaman tugas, pikirannya malah mengembara. Apakah ini yang seharusnya aku lakukan? Dia tidak tahu jawaban pasti untuk pertanyaan itu, tetapi satu hal yang dia tahu—dia merasa terjebak. Terjebak dalam rutinitas yang tidak memberi kepuasan, terjebak dalam kehidupan yang tampaknya tidak memiliki arah yang jelas. Bahkan tugas yang semula tampak mudah kini menjadi sebuah beban, sebuah simbol dari ketidakpastian yang mengisi setiap ruang dalam hidupnya.
Tiba-tiba, sebuah ketukan halus pada meja menyadarkan Gavrielle. Dia menoleh, dan melihat barista muda itu sudah berdiri di samping mejanya, dengan tatapan penuh perhatian.
"hei Gav, sepertinya kau sedang banyak pikiran?," katanya dengan lembut. "Jika kamu butuh bantuan atau sesuatu, jangan ragu untuk bilang kepadaku okw."
Gavrielle tersenyum kecil, merasa sedikit canggung. "Baiklah, Terima kasih aku akan memberitahu jika aku mengalami kendala" jawabnya, namun sedikit terkejut dengan perhatian yang diberikan. Barista itu tidak tahu, tetapi kata-katanya malah membuatnya merasa lebih sadar akan dirinya sendiri—bahwa meskipun dia sedang terjebak dalam rutinitas dan tugas, ada sesuatu yang lebih penting untuk dipertanyakan.
Setelah barista itu pergi, Gavrielle kembali menatap bukunya, namun kali ini, ada rasa aneh yang muncul. Sebuah perasaan bahwa tugas-tugas ini, meskipun penting, hanyalah sekelumit dari apa yang seharusnya dia cari dalam hidupnya. Sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum ditemukan. Perlahan, dia mulai menulis kembali, mencoba mencari kata-kata yang benar, tetapi kali ini, setiap kata yang ditulis terasa lebih seperti langkah menuju sebuah pemahaman yang lebih dalam. Ah sudahlah ayo fokus pada tugas daripada terus terjebak di dalam belenggu pertanyaan tidak jelas.