Chereads / Mozaik Tanya / Chapter 2 - Akar dan Sayap

Chapter 2 - Akar dan Sayap

Langit sore mulai berubah warna saat Gavrielle tiba di depan rumahnya, sebuah bangunan besar yang berdiri anggun di tengah-tengah pekarangan luas. Ia melewati gerbang besar rumahnya yang terbuat dari besi tempa dengan ukiran halus. Di sepanjang jalan setapak menuju pintu utama, pepohonan tinggi menambah kesan megah dan sejuk. Rumah besar ini, dengan atap menjulang dan jendela besar yang membingkai cahaya matahari, menyimpan sejarah panjang yang terukir dalam setiap sudutnya. Gaya arsitektur yang memadukan keanggunan Eropa dan keindahan Jawa menciptakan atmosfer yang tak bisa ditemukan di tempat lain. Rumah ini bukan hanya tempat tinggal, melainkan simbol kekuatan, kehormatan, dan tradisi yang sudah mengakar.

Di ruang tamu, dinding-dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan keluarga yang sudah ada sejak beberapa generasi. Namun, satu foto keluarga yang tergantung di dinding utama selalu menarik perhatian. Sebuah foto besar dengan bingkai emas yang memancarkan kesan klasik dan megah. Dalam foto itu, seorang pria berdiri tegak dengan aura ketegasan yang hampir tak terlukiskan—Karran Sudjidwo Mahendra, sang ayah. Wajahnya tampak penuh wibawa, dengan mata tajam dan senyum yang jarang terlihat. Karran adalah keturunan keluarga bangsawan Jawa yang dihormati, terkenal dengan sifat tegas dan jarang bicara. Wajahnya selalu serius, namun di balik itu ada kekuatan yang tak terbantahkan. Sebagai seorang jaksa, dia dikenal karena keberaniannya menghadapi hukum dengan penuh integritas, namun sifatnya yang pendiam membuatnya sulit dipahami oleh banyak orang.

Di sebelah Karran, berdiri seorang wanita dengan aura keanggunan yang tidak bisa disangkal—Anastashia Anindita van der Velde, sang ibu. Anastashia berasal dari keluarga ningrat Jawa Barat yang memiliki darah Belanda mengalir dalam dirinya. Perpaduan darah suku sunda yang kental dan penuh kebudayaan juga ketegasan, dengan pengaruh Belanda yang membawa kelembutan dan keanggunan, menjadikan Anastashia sosok yang memancarkan kehangatan sekaligus kewibawaan. Sebagai seorang dosen sastra Inggris, Anastashia memiliki cara berbicara yang lembut, namun penuh makna. Dia tidak hanya mengajar bahasa, tetapi juga mengajarkan kehidupan kepada anak-anaknya melalui kebijaksanaan yang terkadang disampaikan dengan cara yang tak terduga.

Malam itu, setelah pulang dari kafe, Gavrielle melangkah masuk ke dalam rumah megah yang tampak lebih sepi dari biasanya. Dia melewati ruang tamu yang dihiasi dengan perabotan antik dan lukisan-lukisan indah, yang semuanya tampak seolah berbicara tentang kejayaan masa lalu dan masa kini keluarga ini. Namun, di balik kemegahan itu, Gavrielle sering merasa ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Meskipun rumah ini penuh dengan penghormatan dan prestasi, ia merasa tidak pernah benar-benar menemukan dirinya sendiri di antara semua ekspektasi yang terpasang begitu tinggi.

Gavrielle berhenti sejenak di depan foto keluarga yang tergantung di dinding. Ayahnya, Karran, tampak tegas seperti biasa, namun ada kesan kedalaman yang sulit diungkapkan dalam tatapannya. Ibunya, Anastashia, meski tersenyum dalam foto itu, tampak begitu berbeda dengan Karran—lebih lembut, namun tetap penuh kewibawaan. Keduanya adalah sosok yang saling melengkapi, namun sering kali memberi perasaan seolah-olah dunia mereka begitu jauh dari dunia Gavrielle sendiri.

"Gavrielle," suara lembut ibu terdengar dari balik pintu. Larissa keluar dari ruang kerjanya, di mana biasanya dia tenggelam dalam tumpukan tugas mengajar dan menulis. "Kamu baru pulang dari kafe? Apa yang kamu pikirkan?"

Gavrielle menghela napas pelan, menatap ibunya.

"Aku hanya memikirkan tugas, ma. Tapi juga memikirkan banyak hal..." jawabnya, mencoba menyembunyikan kebingungannya di balik kata-kata yang sederhana.

Anastashia mendekat, berdiri tepat di samping Gavrielle dengan perhatian yang penuh. Ikut memandangi foto besar penuh makna yang terpasang di dinding rumah mereka.

"Terkadang, tugas memang membuat kita terbebani. Tapi kamu tahu, anakku, kita tidak bisa hanya mengandalkan apa yang ada di luar sana. Kamu harus mendengarkan dirimu sendiri, dan jangan takut untuk meragukan apa yang telah kamu pelajari."

Gavrielle menatap ibunya, merasakan kehangatan dari kata-kata yang sederhana namun penuh arti. Di sisi lain rumah ini, ia tahu bahwa ayahnya, Karran, sedang berada di ruang kerjanya. Dia jarang sekali keluar dari sana setelah malam tiba, dan ketika ia berbicara, kata-katanya selalu memiliki bobot yang besar. Ayahnya, yang begitu tegas dan penuh kewibawaan, lebih memilih kesunyian, seolah dunia bisa dipahami dengan diam.

Saat Gavrielle melangkah ke arah dapur, suara langkah kaki terdengar di tangga. Karran muncul dari ruang kerjanya, mengenakan jas hitam yang rapi, hari ini adalah jadwal ayahnya pulang lebih awal ke rumah. Karena jika hari hari biasa ayahnya akan pulang larut malam dan tak akan mungkin sang ayah pulang se dini ini. Pria itu menatapnya sesaat, lalu melanjutkan langkahnya tanpa berkata sepatah kata pun. Semua yang ada pada Karran—keheningan, ketegasan, bahkan ketidakhadirannya—membuat Gavrielle merasa seolah ia sedang berusaha memahami sebuah teka-teki besar yang tak pernah terpecahkan.

Karran Sudjiwo Mahendra, dengan segala ketegasan dan kediamannya, adalah sosok yang mengukir jalan hidup keluarga ini, dengan hukum sebagai dasar dari segala keputusan yang diambil. Di balik wajahnya yang jarang tersenyum, ada dunia yang penuh dengan peraturan dan prinsip yang jelas, namun terkadang sulit untuk diikuti.

Di rumah ini, segala sesuatu teratur dengan ketat—baik dari sisi keluarga maupun profesional. Tetapi bagi Gavrielle, meskipun rumah ini megah dan penuh sejarah, dia merasakan ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya, sesuatu yang sulit ditemukan di antara segala ketegasan dan kehangatan yang diciptakan oleh orang tuanya.

Di ruang makan yang luas dan megah, suasana terasa sepi, seperti sebuah perayaan dalam diam. Lampu kristal yang berkilau di atas meja makan memantulkan cahaya lembut, menciptakan kilauan halus di setiap sudut ruangan. Meja makan besar yang terbuat dari kayu jati dihiasi dengan peralatan makan porselen yang bersih dan tersusun rapi, setiap sudutnya berkilau sempurna. Dengan aksen emas yang elegan, piring-piring itu dipenuhi hidangan yang sudah disiapkan dengan penuh kehati-hatian, mencerminkan keanggunan dan kesempurnaan yang selalu dijaga di rumah ini.

Gavrielle duduk tegak di kursinya, tangan diletakkan dengan hati-hati di atas paha, tatapan matanya sedikit menunduk, menjaga jarak antara dirinya dan anggota keluarga lainnya. Keluarganya selalu menjaga ketenangan di meja makan, sebuah tradisi yang tak bisa diabaikan, sebuah aturan tak tertulis yang mengatur setiap pergerakan mereka. Tidak ada obrolan ringan, tidak ada tawa riang. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka terasa terukur, penuh dengan makna dan penghormatan.

Di ujung meja, ayah Gavrielle, Karran Sudjidwo Mahendra, duduk dengan postur yang sangat terjaga. Karran, seorang jaksa yang berasal dari keluarga bangsawan Jawa Timur, bukan tipe orang yang banyak berbicara. Ia lebih memilih berbicara dengan tindakan daripada kata-kata. Ketegasannya tidak terucap dalam kalimat panjang, melainkan dalam setiap tatapan dan sikap yang mengandung wibawa. Selama makan malam, ia memandang setiap orang dengan mata yang tajam, seolah mengingatkan mereka akan pentingnya tradisi dan disiplin.

Di sisi lainnya, Anastashia, ibu Gavrielle, dengan darah ningrat Jawa Barat dan Belanda yang mengalir dalam dirinya, duduk dengan elegan. Meski ia memiliki darah yang mengalirkan ketegasan dan kecerdasan, Anastashia lebih banyak menunjukkan kelembutan dan kasih sayangnya, terutama dalam suasana seperti ini. Suaranya lembut dan terukur, meskipun tegas ketika ia berbicara. Seperti ayahnya, Anastashia memahami bahwa makan malam adalah waktu untuk berbagi, namun tanpa kehilangan kehormatan dan tata krama.

Malam itu, setelah mengangkat garpu dan menyuap potongan ayam bakar yang disajikan, suasana tetap sunyi. Hanya terdengar suara-suara lembut peralatan makan yang bersentuhan dengan porselen, sebuah simfoni yang tenang di tengah keheningan yang menenangkan. Setiap gerakan terasa penuh kesadaran, seperti sebuah upacara yang tidak terucapkan namun sangat dihormati.

Gavrielle, yang biasanya lebih terbuka dengan orang lain, merasa sejenak ada jarak yang tak terucapkan antara dirinya dan orang tuanya. Di meja makan ini, kata-kata bukanlah jembatan, melainkan sekadar hiasan yang harus diucapkan dengan hati-hati. Ia hanya sesekali mengangkat wajahnya, menyapa mata ibunya yang penuh kasih, atau ayahnya yang jarang tersenyum tetapi selalu hadir dengan ketegasan yang kuat.

Ketika mereka hampir selesai, Anastashia akhirnya memecah keheningan dengan suara lembut namun penuh arti.

"Gavrielle, bagaimana dengan persiapan tes masuk perguruan tinggi mu? Sudah cukup siap?"

Pertanyaan itu disampaikan dengan cara yang sangat bijaksana, tidak ada tekanan di dalamnya, hanya sebuah perhatian yang penuh kasih. Gavrielle menatap ibunya sejenak, kemudian mengangguk pelan.

"aku sudah menyelesaikan sebagian besar materi, ma. Tinggal fokus pada beberapa hal terakhir."

Karran, yang selama ini hanya mengamati, mengalihkan pandangannya ke arah Gavrielle. Suaranya yang dalam dan tegas mengalir begitu saja.

"Kamu harus tetap disiplin, Gavrielle. Ini bukan hanya tentang ujian, tetapi tentang persiapan untuk kehidupan yang lebih besar. Jangan biarkan apapun mengalihkan perhatianmu."

Gavrielle menundukkan kepala, memahami sepenuhnya apa yang dimaksud ayahnya. Karran berbicara sedikit, tetapi setiap kata-katanya selalu mengandung pelajaran hidup yang tak bisa dipungkiri.

Suasana kembali hening setelah itu, dan tidak ada yang mengucapkan kata-kata lebih lanjut. Mereka hanya melanjutkan makan dengan penuh perhatian, setiap gerakan yang dilakukan oleh masing-masing anggota keluarga terjaga dan penuh ketelitian. Makan malam ini, seperti makan malam-makan malam sebelumnya, adalah sebuah rutinitas yang dipenuhi dengan kehormatan, kedamaian, dan keheningan yang berarti.

Ketika semua selesai, tanpa banyak bicara, mereka berdiri dari meja makan dengan perlahan. Karran dan Anastashia mereka berdua tentu saja akan kembali ke ruang kerja mereka. Para pembantu membererkan meja makan dan mengumpulkan piring-piring, sementara Gavrielle merapikan dirinya sebelum menuju ke ruang belajar. Meskipun tidak ada banyak kata yang terucap, perasaan di antara mereka begitu kuat. Sebuah ikatan yang lebih dalam dari sekadar percakapan, sebuah pengertian tanpa kata-kata.

************

Setelah makan malam berakhir, Gavrielle berjalan perlahan menuju lantai dua rumahnya, meninggalkan ruang makan yang kini sunyi. Tangga kayu jati yang mengilap di bawah cahaya lampu gantung menjadi penghubung menuju kamarnya. Setiap pijakan kakinya menghasilkan melodi lembut yang bergema samar di lorong megah itu, seakan rumah yang besar ini berbicara dalam diam.

Kamarnya berada di ujung koridor, sebuah ruang yang terasa menjadi dunianya sendiri. Begitu Gavrielle membuka pintu, ia langsung disambut oleh aroma lavender yang lembut, berasal dari diffuser kecil di sudut ruangan. Kamarnya luas, dengan jendela besar yang dihiasi tirai tebal berwarna krem. Di atas ranjangnya, bantal-bantal empuk tersusun rapi di atas seprai putih bersih, menciptakan kesan nyaman yang membuatnya selalu merindukan ruangan ini.

Dinding-dinding kamarnya dipenuhi dengan rak buku yang penuh dengan novel dan jurnal, sebagian besar bertema sastra dan psikologi, dua hal yang paling ia sukai. Sebuah meja belajar terletak di dekat jendela, rapi dengan lampu baca kecil, laptop, dan beberapa tumpukan buku pelajaran. Di samping meja, ada papan tulis kecil berisi catatan dan targetnya untuk UTBK yang tertulis dengan spidol berwarna-warni.

Gavrielle menutup pintu dengan perlahan dan melepas sepatu flat-nya, membiarkan dirinya merasakan kelembutan karpet di bawah kakinya. Dia berjalan menuju jendela, membuka tirai, dan menatap keluar. Dari sana, ia bisa melihat taman belakang rumahnya yang luas, diterangi lampu-lampu kecil yang memancarkan kehangatan. Pohon-pohon tinggi berdiri diam di bawah sinar bulan, menambah nuansa damai pada malam itu.

Ia duduk di pinggir ranjang, mengambil napas panjang, mencoba meresapi keheningan kamarnya. Makan malam bersama keluarga selalu memberikan campuran perasaan—ketenangan sekaligus tekanan. Ayahnya yang tegas dan ibunya yang penuh perhatian, keduanya memiliki cara berbeda dalam memberikan arahan. Namun, Gavrielle tahu, semua itu berasal dari cinta dan harapan mereka.

Pandangannya beralih ke foto keluarga yang terpajang di meja samping tempat tidurnya. Dalam foto itu, ia berdiri di tengah, dikelilingi oleh ayah, ibu, dan sang adik. Wajah mereka tampak bahagia, meski ia tahu di balik senyuman itu, ada beban tanggung jawab yang masing-masing mereka pikul. Gavrielle meraih bingkai foto itu dan tersenyum kecil.

"Kalian selalu ingin yang terbaik untukku ya," gumamnya lirih.

Ia meletakkan kembali foto itu, lalu beranjak ke meja belajarnya. Di sana, ia menyalakan lampu meja dan membuka laptopnya. Meskipun lelah, Gavrielle tahu malam ini ia harus menyelesaikan beberapa latihan soal sebelum beristirahat. Targetnya sudah jelas, dan tidak ada ruang untuk menunda-nunda.

Namun, sebelum memulai, ia menyandarkan tubuhnya sejenak ke kursi, menatap papan tulis di depannya. Tulisan besar di bagian atasnya berbunyi, "UGM Psikologi - March 3." Di bawahnya, daftar panjang berisi hal-hal yang harus ia capai sebelum hari ujian tiba.

"aku pasti bisa," bisiknya pelan kepada dirinya sendiri. Ia menguatkan hati, mengambil buku catatan, dan mulai tenggelam dalam pelajaran, meskipun mata dan pikirannya sedikit lelah.

Dalam keheningan malam, Gavrielle menemukan kedamaian di dalam dirinya, di antara buku-buku dan mimpi besar yang ia simpan dalam hati. Kamarnya, seperti dirinya, adalah perpaduan antara ketenangan dan ambisi—tempat di mana ia merasa aman untuk bermimpi dan berjuang.

Malam semakin larut, tetapi Gavrielle masih terjaga di meja belajarnya. Suara detik jam di dinding menjadi satu-satunya pengiring dalam keheningan itu. Ia menatap layar laptop yang penuh dengan soal latihan. Matanya mulai berat, namun pikirannya terus menolak menyerah.

Sesaat kemudian, Gavrielle memejamkan mata, mencoba mengistirahatkan kepalanya di atas lengan yang terlipat di meja. Angin malam yang masuk dari celah kecil jendela membuat suasana semakin nyaman, seolah memanggilnya untuk menyerah pada rasa kantuk. Ah tapi tak bisa meskipun matanya sudah lelah dan terasa berat, nyatanya ia tak bisa menyerah pada rasa kantuk nya.

Merasa sedikit muak dan butuh penyegaran, Gavrielle mengambil secangkir teh melati yang masih hangat dari atas meja. Ia membawa cangkir itu ke dekat jendela, duduk di sofa kecil yang ada di sudut ruangan. Pandangannya terpaku pada taman belakang yang tampak tenang di bawah cahaya rembulan. Sungguh tampak indah dan damai, itu yang kini ada di dalam fikirnya.

Di luar, daun-daun bergerak lembut tertiup angin, seolah menari di bawah sinar rembulan malam. Gavrielle memejamkan matanya, menghirup aroma teh yang menenangkan, membiarkan pikirannya melayang. Dalam keheningan ini, ia merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri, jauh dari tekanan dan harapan yang selalu membayangi.

"Hidup itu seperti malam ini," katanya lirih pada dirinya sendiri.

"Kadang gelap, tapi selalu ada cahaya yang menemani, walau kecil sekalipun."

Setelah beberapa saat, Gavrielle berdiri, meletakkan cangkir tehnya di meja, lalu kembali ke meja belajarnya. Kali ini, ia membuka buku catatan dan mulai mengerjakan soal-soal yang tertunda. Rasa lelahnya perlahan-lahan memudar, digantikan oleh semangat baru untuk melangkah maju, setapak demi setapak.

Malam itu, di tengah keheningan yang damai, Gavrielle menemukan kembali kekuatannya. Sebuah pengingat bahwa meski langkahnya berat, ia selalu punya alasan untuk terus berjuang. Meskipun begitu banyak pertanyaan ada di benaknya, pertanyaan beragam soal dunia dan kehidupan. Tapi sudahlah, toh memang pada dasarnya hidup adalah sebuah misteri, kita tak bisa memprediksi takdir karna semuanya telah di gariskan oleh sang pencipta. Begitulah Gavrielle, walaupun banyak hal yang ia sangat ingin tahu soal kehidupannya, namun anak itu enggan untuk menerka-nerka apalagi sampai memaksa takdir atau kehidupan nya harus berjalan sesuai rencananya. Karena menurutnya hidupnya adalah milik sang pencipta, dan tuhan nya lebih tahu mana yang terbaik untuk dirinya.