Seiring berjalannya hari, tubuh Gavrielle mulai merasakan beban rutinitas yang tak henti-hentinya. Tugas dan pelajaran yang terus menumpuk membuatnya sering kali terjebak dalam kesibukan tanpa akhir. Namun, ada satu waktu yang selalu ia nantikan, sebuah kesempatan untuk melepaskan diri dari segala tekanan dan menemukan kedamaian.
Ketika bel istirahat berbunyi, Gavrielle merasa seolah-olah waktu memberi ruang bagi dirinya untuk bernapas sejenak dari rutinitas sekolah yang tak pernah berhenti. Dengan langkah tenang, ia melangkah menuju selasar lantai dua, sebuah tempat yang telah menjadi saksi bisu bagi kisah-kisah persahabatan mereka. Di sanalah, bersama tiga sahabat perempuannya—Celine, Nadira, dan Viona—ia merasa seolah dunia luar perlahan menghilang, digantikan dengan ketenangan dan kehangatan yang hanya bisa diberikan oleh sahabat sejati.
Dari selasar itu, pemandangan taman sekolah terbentang luas, dengan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma bunga melati dari kebun kecil di sudut halaman, menyelimuti udara dengan kedamaian. Dalam kesederhanaan itu, Gavrielle menemukan tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus berpura-pura atau merasa terbebani. Ini adalah tempat di mana, meskipun dunia di luar sana terus berputar, ia bisa merasakan secercah kedamaian yang seringkali terlupakan.
Celine sudah duduk di bangku panjang, membaca novel sambil sesekali menyelipkan helaian rambut hitamnya ke belakang telinga. Celine berasal dari keluarga sederhana yang hangat. Ayahnya seorang guru matematika di sebuah SMP negeri, sementara ibunya mengelola toko roti kecil di rumah. Celine dan Gavrielle pertama kali bertemu di kelas 10 saat keduanya duduk sebangku selama satu semester. Kepribadian Celine yang tenang dan penuh perhatian membuat Gavrielle merasa nyaman, dan persahabatan mereka tumbuh alami.
Tak jauh dari Celine, Nadira sedang memakan keripik sambil bersandar di pagar selasar. Dengan rambut panjang yang selalu tergerai dan gaya bicara yang lantang, Nadira adalah sumber energi di antara mereka. Nadira berasal dari keluarga kaya raya; ayahnya seorang pengusaha properti, dan ibunya mantan model internasional. Meski begitu, Nadira adalah gadis yang rendah hati dan suka menantang norma. Ia bertemu Gavrielle saat mereka menjadi rekan satu tim dalam lomba debat sekolah. Dari situ, Nadira sering menarik Gavrielle keluar dari zona nyamannya.
Viona, yang duduk di ujung bangku dengan sikap santai, sibuk mengaduk minuman susu cokelatnya. Rambutnya yang bergelombang terikat rapi, dan senyum kecil sering menghiasi wajahnya. Viona berasal dari keluarga akademisi. Kedua orang tuanya adalah dosen universitas, dengan bidang keahlian masing-masing di fisika dan sastra. Ia bertemu Gavrielle di perpustakaan sekolah saat keduanya berebut buku yang sama. Percakapan mereka berlanjut dari soal buku hingga akhirnya menjadi sahabat.
Ketiganya langsung menyambut Gavrielle saat ia duduk.
"Lama banget sih, Gav," Nadira berseru sambil melambaikan bungkus keripik ke arah Gavrielle.
"Maaf, tadi ada tugas tambahan dari Bu Anita," jawab Gavrielle sambil mengeluarkan kotak bekalnya.
Viona tersenyum lebar. "Klasik Gavrielle. Selalu sibuk dengan pelajaran."
"Makanya, Gav," potong Nadira dengan suara lebih keras, "kamu tuh harus cari pacar. Biar hidupmu nggak cuma soal nilai terus."
Gavrielle hampir tersedak mendengar itu. "Kenapa tiba-tiba ngomongin pacar?"
Celine menutup novelnya dan menatap Gavrielle dengan lembut. "Karena kami khawatir, Gav. Kamu terlalu fokus sama belajar. Sesekali kamu perlu keluar dari rutinitasmu."
Viona mengangguk setuju.
"Iya, Gav. Kami tahu kamu ingin meraih banyak hal, tapi bukan berarti kamu nggak boleh menikmati hidup. Kadang-kadang, kamu perlu istirahat."
Gavrielle menghela napas sambil tersenyum kecil. Ia tahu niat mereka baik, tapi topik ini selalu membuatnya canggung.
"Aku baik-baik saja, kok. Aku nggak merasa ada yang kurang."
"Tapi siapa tahu, Gav. Kalau kamu punya pacar, dia bisa bantu kamu lebih santai," Nadira berkata dengan ekspresi penuh keyakinan.
"Dan kalau nggak cocok, tinggal putusin. Simpel," tambah Viona sambil terkikik, membuat mereka semua tertawa.
Meski topik ini membuat Gavrielle sedikit risi, ia tahu mereka hanya bercanda. Dalam hatinya, ia merasa bersyukur memiliki sahabat-sahabat seperti mereka yang peduli. Tapi, ia juga bertanya-tanya: "Apakah aku terlalu serius selama ini?"
Angin bertiup pelan, membawa percakapan mereka ke arah lain. Mereka mulai membahas rencana akhir pekan dan tugas kelompok, meninggalkan pembahasan tentang pacar. Gavrielle tersenyum dalam hati, menikmati momen sederhana bersama tiga sahabatnya yang selalu ada untuknya.
Setelah percakapan ringan tentang tugas sekolah dan rencana akhir pekan, Nadira yang tak pernah bisa berhenti menggali informasi, mulai mengalihkan perhatian mereka ke topik yang lebih menarik.
"Gav, kalian pernah ngobrol sama Althias, nggak?" Nadira bertanya dengan nada menggoda, matanya berbinar, jelas menunjukkan ketertarikan yang lebih dari sekadar keingintahuan biasa.
Nama itu, Althias Orion Samuderadiningrat, langsung mencuri perhatian. Semua yang duduk di sana saling berpandangan, dan tanpa perlu berbicara lebih banyak, mereka tahu bahwa percakapan ini akan mengarah ke sesuatu yang lebih mendalam.
Althias adalah salah satu sosok yang tak bisa diabaikan di sekolah mereka. Anggota OSIS yang juga menjadi ketua dari berbagai organisasi, siswa berprestasi dengan wajah tampan yang selalu menarik perhatian. Setiap langkahnya di koridor, setiap kalimat yang keluar dari mulutnya, selalu membuat orang-orang terdiam, terpesona, atau bahkan terkagum-kagum. Seolah-olah ia telah memadukan segala hal yang diinginkan orang banyak—kecerdasan, ketampanan, serta pengaruh yang besar di lingkungan sosial.
Viona, yang lebih sering diam, akhirnya memecah keheningan.
"Ah, Althias... siapa sih yang nggak tahu dia? Sejak aku masuk di sini, dia selalu menjadi topik yang paling hangat dibicarakan. Ada yang bilang, dia itu bukan hanya ketua OSIS yang populer, tapi juga punya daya tarik yang nggak bisa dilawan. Tapi... menurutku, dia seperti punya dunia sendiri."
Celine, yang seringkali lebih bijaksana dan sedikit lebih tertutup, mengangguk.
"Althias itu bukan hanya sekadar wajah tampan atau suara yang menyihir, kan? Dia juga punya semacam... kedamaian yang membungkusnya. Bahkan ketika dia berbicara atau berdiri di depan banyak orang, ada sesuatu yang begitu tenang dan terkontrol. Aku sering berpikir, apakah itu benar-benar dia, atau hanya persona yang dia tunjukkan untuk melindungi dirinya sendiri?"
"hei Gav, kau kan anggota OSIS. Pasti kau tau sedikit soal Althias" timpa Celine
Gavrielle menarik napas dalam, matanya menatap jauh ke luar jendela, mengingatkan dirinya sendiri tentang semua yang pernah ia dengar tentang Althias. Sejak tahun pertama di sekolah ini, nama Althias sudah beredar luas. Anak dari keluarga keturunan bangsawan yang kaya raya, dengan latar belakang yang sempurna: ayahnya seorang pengusaha ternama di bidang properti dan ibunya seorang diplomat yang sering bekerja di luar negeri, sering meninggalkan Althias untuk mengurus dirinya sendiri. Namun, Althias bukanlah orang yang membiarkan kemewahan itu mengubah dirinya menjadi seseorang yang arogan. Ia justru terlihat selalu sederhana, tanpa perlu memamerkan apa pun yang dimilikinya.
Althias adalah pria yang tampak selalu tahu apa yang dia inginkan, bahkan di usia mudanya. Di OSIS, ia tidak hanya dikenal sebagai pemimpin yang tegas, tetapi juga sebagai sosok yang mampu memotivasi teman-temannya untuk berbuat lebih, untuk menjadi lebih. Posisinya di OSIS bukan hanya karena pengaruh keluarganya, tetapi karena kemampuannya yang luar biasa dalam berbicara di depan umum dan memimpin berbagai kegiatan. Baginya, sekolah bukan hanya tentang belajar, tetapi tentang menciptakan perubahan.
Gavrielle menghela napas, seakan merenung lebih dalam.
"Aku jarang mengobrol dengan nya, tapi aku pernah mendengar cerita tentang dia. Dia bukan hanya sosok yang menonjol, tapi dia juga selalu berusaha keras. Ayahnya yang sukses dan ibunya yang sibuk membuat Althias terbiasa untuk mandiri. Aku rasa, dia ingin orang-orang melihatnya lebih dari sekadar anak orang kaya. Semua yang dia capai, dia lakukan dengan kerja keras dan komitmen."
Nadira yang sejak tadi diam, kini menambahkan dengan semangat,
"Tapi kalian tahu kan, Althias itu bukan hanya masalah prestasi atau ketampanan. Ada hal yang lebih dari itu. Dia selalu tampil sempurna di depan orang, tapi siapa yang tahu apa yang terjadi di balik itu? Menurutku, dia pasti punya beban yang besar. Hidupnya itu seakan penuh tekanan—entah dari orang tua, atau dari dirinya sendiri."
Viona menyandarkan tubuhnya pada pagar, matanya terfokus pada pemandangan di luar.
"Aku pernah ngobrol sebentar sama teman sekelasnya yang dekat dengan dia. Katanya, Althias itu tipe orang yang lebih suka menjaga jarak. Dia nggak terlalu terbuka dengan orang lain, mungkin karena dia merasa orang-orang selalu mengharapkan dia menjadi sosok yang tak terkalahkan. Mungkin, ada banyak hal yang dia sembunyikan, yang nggak pernah kita lihat."
Celine melanjutkan dengan penuh pemikiran. "Mungkin dia terlalu fokus pada semua yang harus dia lakukan—tugas sekolah, kegiatan OSIS, dan segala yang berkaitan dengan citra dirinya. Ada orang yang memang bisa menyeimbangkan semuanya, tapi kadang, aku khawatir dengan dia. Kalau terlalu banyak tekanan, bisa-bisa dia kehilangan arah. Dan itu bukan sesuatu yang bisa dia tunjukkan kepada dunia."
Gavrielle terdiam, sesaat membiarkan percakapan itu mengendap di pikirannya. Sosok Althias, dengan segala ketampanan dan kecerdasan yang dimilikinya, selalu terasa seperti teka-teki yang tak kunjung terpecahkan. Orang-orang melihatnya sebagai figur sempurna, tetapi dalam setiap tindakannya, selalu ada pertanyaan: Apakah di balik semua itu, Althias merasa cukup bahagia dengan hidupnya? Ataukah ada sisi lain yang tersembunyi di balik wajah yang selalu terlihat tenang dan terkontrol?
"Nadira benar," kata Gavrielle akhirnya, suaranya sedikit lebih lembut.
"Althias mungkin tampak sempurna di mata orang lain, tapi kita nggak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Mungkin, dia hanya ingin dilihat sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai sosok yang selalu memenuhi ekspektasi orang lain. Dan itu bisa jadi beban yang berat."
Mereka semua terdiam, meresapi kata-kata itu. Percakapan tentang Althias seakan membawa mereka lebih dalam ke dalam pemikiran masing-masing—tentang bagaimana mereka memandang dunia, dan bagaimana dunia sering kali memandang mereka.
Namun, di antara mereka, ada satu hal yang pasti: persahabatan yang mereka miliki, yang tak pernah bergantung pada siapa yang paling sempurna atau siapa yang paling banyak dikenal. Mereka hanya butuh satu sama lain, tanpa syarat. Jadi untuk apa memikirkan Althias lebih dalam, anak itu memang tampan namun bagi Gavrielle dan teman-temannya ia terlalu misterius dan sulit untuk di gapai. Lagipula keluarga keturunan bangsawan seperti Althias ataupun Gavrielle biasanya sudah di jodohkan oleh keluarga mereka sedari dini untuk mempertahankan garis keturunan.
Di tengah obrolan yang asyik itu, Gavrielle merasakan hatinya ringan. Ia bisa merasakan kedekatannya dengan mereka lebih dalam, jauh dari segala tekanan yang biasa menghantui hari-harinya. Sebagai seseorang yang lebih sering tenggelam dalam rutinitas dan tugas, momen seperti ini terasa seperti penyegaran, sebuah pelarian yang sejenak membuatnya melupakan segala kekhawatiran.
Namun, saat Viona baru saja menyelesaikan ceritanya tentang kejadian lucu di rumahnya, tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benak Gavrielle—sebuah ingatan yang cukup kuat untuk membuatnya terkejut.
Rapat OSIS.
Pikiran itu datang begitu saja, menembus kebahagiaan yang semula mengisi hatinya. Tiba-tiba, waktu seolah berjalan lebih cepat dari yang ia kira. Ia memandang jam tangannya dengan panik—rapat OSIS yang sudah dijadwalkan sejak pagi, rapat yang sangat penting, kini tinggal beberapa menit lagi. Ia baru saja mengingatnya setelah begitu asyik mengobrol, meninggalkan rapat yang sudah pasti membutuhkan perhatian penuh darinya.
"Astaga, aku harus pergi sekarang!" Gavrielle berkata tergesa-gesa, berdiri dengan cepat dan membuat teman-temannya menoleh kaget.
"Kenapa, Gav?" tanya Celine, kebingungannya terlihat jelas.
"Rapat OSIS!" jawab Gavrielle sambil buru-buru mengumpulkan tasnya.
"Aku lupa! Aku harus segera ke ruang rapat!"
Viona dan Nadira saling berpandangan, sedikit terkejut dengan perubahan mendadak pada Gavrielle. Mereka sudah terbiasa dengan sikapnya yang selalu terorganisir, tapi kali ini tampaknya ketegangan di wajahnya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sekadar rapat biasa.
"Gav, kamu nggak bisa santai sedikit lagi? kita bisa ke kantin dulu buat beli camilan," Nadira mengatakan, sedikit cemas namun tetap tersenyum.
Gavrielle memberi senyum kecil, meskipun ada sedikit rasa khawatir di hatinya.
"Aku nggak bisa, Nad. Kalau terlambat, nanti aku bisa nyusahin yang lain. Kalian aja dulu, ya?" Dengan itu, ia mulai melangkah cepat meninggalkan mereka.
Celine memandang dengan tatapan lembut. "Hati-hati, ya. Semoga lancar."
Gavrielle hanya mengangguk, dan dalam beberapa detik, langkah kakinya sudah membawa dirinya menjauh dari teman-temannya. Meski masih bisa mendengar tawa mereka yang kembali memecah keheningan, hatinya sudah terfokus pada satu hal: rapat yang menunggu di depan.
Saat ia berjalan cepat menuju ruang rapat, pikirannya berkelana. Beberapa detik yang lalu, ia bisa merasakan kedekatan dengan sahabat-sahabatnya, merasakan kebebasan dari rutinitas yang biasa mengikatnya. Namun kini, ia kembali ke realitas yang menuntutnya untuk berpikir cepat, untuk selalu siap, untuk tidak pernah terlambat.
Ada rasa cemas yang menggelayuti, tapi juga perasaan yang tak bisa dijelaskan—bahwa meski hari-hari bisa terasa berat dan penuh tuntutan, ada rasa tanggung jawab yang lebih besar di balik setiap keputusan yang ia buat. Dan kali ini, tanggung jawab itu memanggilnya untuk segera menuju ruang rapat OSIS, tempat di mana ia akan kembali mengenakan topi pemimpin yang mungkin terasa jauh dari kenyamanannya, namun tak pernah bisa dihindari.
*************
Di Ruangan Rapat
Ruang kelas yang biasa digunakan untuk pelajaran matematika terasa lebih sunyi dari biasanya, meskipun beberapa anggota OSIS terlihat sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk rapat yang akan segera dimulai. Kursi-kursi kayu tersusun rapi mengelilingi meja besar yang terbuat dari papan panjang. Di sudut ruangan, terdapat jendela besar yang memandang ke luar, memberikan pemandangan taman sekolah yang asri, seakan menyelimuti seluruh ruangan dengan ketenangan yang sedikit kontras dengan hiruk-pikuk yang terdengar dari luar.
Gavrielle duduk di kursi dekat jendela, di antara 2 anggota OSIS lainnya. Matanya tertuju pada agenda rapat yang ada di depannya, namun pikirannya terbang ke tempat yang jauh, terombang-ambing oleh kekhawatiran yang kerap datang tanpa permisi. Rapat hari ini memang penting, tetapi hatinya tetap tak bisa lepas dari pikiran tentang banyak hal—tentang harapan orang tuanya, tentang tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai anggota OSIS, dan beberapa hal lainnya yang terus berputar di kepalanya seperti sebuah gasing.
Di ujung meja, Althias duduk dengan postur tegap, seakan menjadi pusat gravitasi bagi setiap orang di ruangan itu. Wajahnya yang tampan dan tegas seolah memancarkan wibawa tanpa ia perlu berusaha. Namun, ada kesunyian dalam dirinya yang tak bisa diabaikan. Meskipun ia berbicara sedikit, keberadaannya selalu dirasakan dalam setiap detik yang berlalu. Ia adalah sosok yang terlahir untuk memimpin, namun kadang-kadang Gavrielle merasa bahwa beban yang dipikulnya begitu berat, terpendam dalam sikap tenangnya yang selalu menjaga jarak.
"Selamat datang, semua," suara Althias pecah di udara, tenang namun dalam, seperti aliran sungai yang mengalir perlahan namun pasti.
"Sebelum kita mulai membahas rincian acara bulan depan, mari kita pastikan bahwa semua bagian tim dapat berkoordinasi dengan baik. Setiap suara harus didengar, setiap ide harus diperhitungkan. Saya ingin rapat kali ini berjalan dengan lebih efisien."
Gavrielle mengangguk pelan, mencoba mengingatkan dirinya untuk tetap fokus. Ia bukan orang yang suka bicara banyak, namun ia sadar bahwa dalam rapat seperti ini, setiap orang diharapkan untuk memberikan pendapat. Meski ia terkadang merasa terasingkan oleh aura Althias yang begitu dominan, ia tetap tahu bahwa tanggung jawabnya sebagai anggota OSIS adalah untuk memberikan kontribusi yang berarti.
Ketika rapat mulai mengalir, semua orang memberikan usulan masing-masing. Namun, saat tiba gilirannya, Gavrielle menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan kegugupan yang menghimpit dada. Ia merasa Althias—dengan segala ketenangannya—akan memerhatikannya lebih dari yang lain. Ia mengangkat tangan dengan pelan, menunggu sejenak hingga rapat berhenti sejenak.
"Gavrielle, silakan," suara Althias terdengar lembut, meski matanya tetap menatap serius ke arah wajahnya, seakan memberi ruang bagi setiap kata yang akan keluar dari mulutnya.
Dengan hati-hati, Gavrielle mulai berbicara. "Mengenai proyek sosial kita, tim dokumentasi sudah hampir menyelesaikan proposalnya. Kami juga sedang bekerja sama dengan beberapa pihak eksternal untuk memastikan acara ini bisa berjalan dengan lancar."
Althias mendengarkan dengan seksama, tidak ada gangguan sedikit pun dalam tatapannya.
"Saya percaya dengan tim dokumentasi. Pastikan bahwa segala sesuatunya terperinci dengan baik. Saya ingin proposal ini bisa menggambarkan seberapa siap kita untuk menjalankan proyek ini."
Gavrielle merasa jantungnya berdetak lebih cepat, namun ada kehangatan yang mengalir dari kata-kata Althias. Meskipun ia jarang berbicara langsung dengannya, Gavrielle bisa merasakan kehadiran Althias yang mendalam—seakan dia lebih memperhatikan, lebih peduli daripada yang terlihat di permukaan. Itu adalah kualitas yang dimiliki oleh seorang pemimpin sejati, seseorang yang tak hanya memperhatikan hasil, tetapi juga proses dan orang-orang di sekitarnya.
Rapat kembali berlanjut dengan penuh diskusi, namun Gavrielle tetap merasa ada sesuatu yang bergema di dalam dirinya. Setiap kali Althias berbicara, ada sesuatu yang membangkitkan rasa kagum dalam dirinya, meskipun terkadang ia merasa terhalang oleh jarak yang ada di antara mereka—jarak yang diciptakan oleh status dan citra yang begitu tinggi, yang sulit ditembus.
Ketika rapat hampir selesai, Althias berdiri dan mengumpulkan semua materi rapat dengan cepat, wajahnya tetap tenang, seakan tidak ada yang bisa menggoyahkan ketenangannya. Ia menoleh ke arah Gavrielle yang masih duduk, lalu berbicara dengan suara yang lebih rendah, namun tetap jelas terdengar di antara keramaian.
"Gavrielle, saya rasa kamu melakukan pekerjaan yang baik di tim dokumentasi. Jangan ragu untuk menghubungi saya jika ada yang perlu dibicarakan. Kita akan selalu bekerja lebih baik bersama-sama."
Sebuah senyum kecil terbentuk di wajah Gavrielle, senyum yang seakan menyembunyikan perasaan campur aduk yang mengalir di dalam hatinya. Ada rasa bangga, namun juga sedikit canggung. Mungkin tidak ada banyak kata yang terucap, namun pengakuan itu cukup berarti. Di dunia yang penuh dengan tekanan dan ekspektasi, kata-kata sederhana dari seseorang yang tampak tak terjangkau seperti Althias bisa memberikan rasa aman yang sulit digambarkan.
Ketika rapat selesai, Gavrielle mengumpulkan barang-barangnya, perlahan meninggalkan ruangan dengan langkah yang lebih ringan. Meskipun ia tahu bahwa ia dan Althias mungkin tidak akan pernah benar-benar berada dalam jalur yang sama, perasaan yang tumbuh di dalam dirinya tidak bisa begitu saja diabaikan. Di luar sana, dunia terus berputar dengan segala kerumitannya, tetapi di dalam dirinya, ada sebuah pertanyaan yang terus bergema—apa yang sebenarnya tersembunyi di balik tatapan tenang Althias? Dan lebih jauh lagi, apakah ada ruang bagi mereka berdua untuk berjalan berdampingan, meski dunia mereka berbeda jauh?
Namun, untuk saat ini, Gavrielle memilih untuk berjalan perlahan, menikmati setiap momen yang ada. Karena, meskipun perjalanan ini penuh dengan ketidakpastian, ia tahu bahwa di dalam setiap pertemuan, di dalam setiap kata yang terucap, ada sesuatu yang bisa membawanya lebih dekat pada pemahaman tentang dunia dan dirinya sendiri.