Chereads / AKADEMI WAKTU / Chapter 17 - CHAPTER 17

Chapter 17 - CHAPTER 17

Keputusan untuk menarik kembali seluruh murid dan guru yang terlibat dalam dunia luar bukanlah keputusan yang mudah bagi Akademi Seraphis. Namun, ketika mereka menatap dunia tanpa sihir yang pernah mereka lindungi, yang kini dipenuhi dengan pengkhianatan dan ambisi pribadi, tidak ada lagi keraguan di hati mereka. Dunia ini telah memilih jalannya sendiri, dan Akademi, dengan segala pengetahuan dan kekuatan mereka, tidak akan lagi ikut campur dalam kekacauan yang sedang berkembang.

Akademi Seraphis, yang selama ini berdiri sebagai simbol kebijaksanaan dan perlindungan, kini melihat dunia luar dengan pandangan yang berbeda, pandangan yang penuh dengan sinisme dan ketidakpercayaan. Rael, yang selama ini menjadi penjaga keseimbangan waktu, kini merasakan perasaan yang lebih dalam, jauh melampaui keprihatinan terhadap dunia. Dunia tanpa sihir telah mengkhianati dirinya sendiri, dengan memuja ambisi dan keuntungan pribadi, sementara mereka yang setia kepada Akademi dan keseimbangan waktu telah dilupakan.

Di dalam Akademi, suasana terasa mencekam. Para murid dan guru yang kembali dari dunia luar duduk dalam keheningan, merenungkan keputusan yang baru saja mereka ambil. Mereka tahu bahwa dunia yang mereka tinggalkan telah berubah selamanya, dan mereka, dengan segala pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki, tidak bisa lagi memberi bantuan seperti yang dulu mereka lakukan. Mereka telah mengorbankan terlalu banyak, dan dunia yang mereka bantu tidak lagi menghargai mereka.

Dekan Auron, yang berdiri di hadapan sebuah peta besar dunia tanpa sihir yang kini dipenuhi dengan kekacauan, menggelengkan kepala dengan ekspresi kecewa. "Dunia ini terlalu terobsesi dengan kekuasaan dan ambisi. Mereka lebih memilih mengorbankan semuanya demi keuntungan pribadi daripada menjaga tatanan yang telah kami bangun dengan darah dan keringat." Suaranya rendah, namun penuh penekanan.

Rael, yang berdiri di sampingnya, memandang peta itu dengan tatapan tajam. "Mereka tidak melihat kita sebagai pelindung, Auron. Mereka hanya melihat kita sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka. Ketika kita menarik diri, mereka akan merasa kehilangan, tapi ini adalah konsekuensi dari pilihan mereka sendiri."

Para murid, yang sebagian besar masih muda dan idealis, merasakan kesedihan yang mendalam. Mereka telah dibesarkan dengan keyakinan bahwa Akademi Waktu adalah pelindung dunia ini. Mereka dilatih untuk menjaga keseimbangan waktu, membantu mereka yang membutuhkan, dan melawan kekacauan yang muncul. Namun kini, mereka melihat kenyataan pahit bahwa dunia yang mereka cintai telah berubah menjadi tempat yang tak lagi menghargai pengorbanan mereka.

Beberapa murid, yang sebelumnya bersemangat untuk melanjutkan misi mereka di dunia luar, kini mulai merasakan kebingungannya. Apakah mereka telah salah mengorbankan diri mereka untuk dunia yang pada akhirnya mengingkari mereka? Mereka bertanya-tanya apakah ada ruang untuk kebijaksanaan di dunia yang penuh dengan intrik politik dan kekuasaan. Sebagian merasa bingung dan kehilangan arah, namun sebagian lagi memilih untuk menerima kenyataan ini dengan hati yang lebih keras. Mereka tahu satu hal pasti: dunia luar tidak akan pernah sama lagi.

Di luar Akademi, kekacauan semakin merajalela. Para pejabat yang terlibat dalam konspirasi mulai menguat, berkoalisi untuk merebut lebih banyak kekuasaan dengan menjanjikan kebebasan dari pengaruh Akademi Seraphis. Mereka menggembar-gemborkan bahwa dunia tanpa sihir seharusnya mandiri, tanpa ada yang mengendalikan takdir mereka. Mereka berjanji untuk menutup semua hubungan dengan Akademi, mengganti sistem yang telah ada dengan yang lebih "merdeka" dan "adil". Namun, apa yang mereka sebut sebagai "kebebasan", pada kenyataannya hanyalah ilusi, ilusi yang mereka ciptakan untuk menutupi ambisi pribadi mereka.

Di tengah-tengah perayaan kemenangan mereka, dunia yang dulu tampak stabil kini berada di ambang kehancuran. Tower yang tersebar semakin tak terkendali. Sementara itu, gerbang-gerbang menuju dunia monster terbuka lebar, dan makhluk-makhluk buas mulai menguasai wilayah yang dulu damai. Namun, para pengkhianat ini tidak peduli, mereka lebih sibuk dengan perhitungan politik dan keuntungan pribadi mereka.

Rakyat, yang sebelumnya mengagumi Akademi Waktu dan berharap akan perlindungan mereka, kini mulai merasakan kehilangan. Mereka tak tahu siapa yang harus disalahkan, apakah mereka yang mengkhianati Akademi atau Akademi itu sendiri yang terlalu lama tinggal di balik temboknya. Ketika Akademi mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi campur tangan, semakin banyak orang yang merasa terlantar.

Namun, tidak ada yang lebih sinis daripada pandangan yang dimiliki oleh Akademi Waktu terhadap dunia tanpa sihir sekarang. Bagi mereka, dunia itu telah mengkhianati mereka dan dengan sengaja memilih untuk jatuh dalam perangkap kekuasaan yang lebih besar. Rael dan para pemimpin lainnya tidak lagi melihat dunia ini dengan kasih sayang atau kepedulian. Dunia ini telah memilih jalannya, dan Akademi Waktu tidak akan lagi mengorbankan diri mereka untuk menyelamatkan mereka yang tidak menghargai pengorbanan itu.

Namun, meskipun Akademi Waktu menarik diri, mereka tetap mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Mereka tahu bahwa dunia luar, dengan segala kebodohan dan pengkhianatannya, akan segera menghadapi akibat dari tindakan mereka sendiri. Keseimbangan waktu dan alam semesta yang telah mereka jaga selama ini semakin rapuh, dan meskipun Akademi menutup pintunya, mereka tidak dapat mengabaikan bahaya yang lebih besar yang terus mengintai.

Di dalam Akademi, para murid yang telah kembali dari dunia luar dibekali dengan pelatihan yang lebih keras, tidak hanya untuk melawan monster, tetapi juga untuk menghadapi ancaman yang lebih dalam: kekuatan manusia yang tergoda oleh godaan untuk mengendalikan takdir dan waktu itu sendiri. Meskipun dunia luar tidak lagi menjadi perhatian utama mereka, mereka tahu bahwa kekuatan jahat yang telah muncul ini harus dihentikan, atau dunia yang mereka tinggalkan akan hancur begitu saja. Mereka harus mempersiapkan diri untuk pertempuran besar yang akan datang, karena dunia tanpa sihir, meskipun telah meninggalkan mereka, masih terhubung dengan masa depan mereka.

Akademi Waktu mengasingkan diri dalam kesunyian, namun ketegangan di luar sana terus berkembang. Dunia tanpa sihir, yang dulu mengandalkan kebijaksanaan mereka, kini terjerumus ke dalam kesalahan yang tak terhindarkan. Sementara itu, di dalam Akademi, Rael dan para pemimpin lainnya hanya bisa menatap dunia luar dengan pandangan penuh ketidakpercayaan.

Para murid yang dulu bersumpah untuk menjaga dunia kini hanya bisa menunggu. Mereka menunggu saat dunia luar akhirnya menyadari kesalahan besar mereka. Mereka menunggu saat dunia luar, yang penuh dengan pengkhianatan, akhirnya bangkit dari keterlenaan mereka dan mungkin, ketika mereka siap, Akademi Waktu akan muncul kembali, bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai pengingat akan harga yang harus dibayar ketika keseimbangan waktu dan takdir diinjak-injak.

Hari itu, saat matahari mulai merunduk di balik pegunungan, sebuah suara menyentak ketenangan di dalam Akademi Seraphis. Di halaman utama yang sepi, sebuah kelompok murid sedang berkumpul di sekitar jendela besar yang menghadap ke dunia luar. Mereka melihat ke arah jalan yang menuju desa terdekat, di mana sesosok anak kecil terlihat duduk di atas tanah, menangis histeris.

Anak itu, dengan wajah penuh keringat dan mata merah karena tangisan, meratap dengan penuh kesedihan, memanggil nama orang tuanya yang telah tiada. Kedua orang tuanya, yang dulu merupakan pedagang di desa tersebut, telah menjadi korban dari kekacauan yang disebabkan oleh konspirasi politik yang semakin menggila. Dunia tanpa sihir, yang telah mereka percayai akan memberikan perlindungan, kini hanya memberikan ketidakadilan dan penderitaan.

Suara tangisan itu memenuhi udara, dan meskipun tidak ada yang menginginkannya, suara itu masuk ke dalam hati setiap orang yang ada di dalam Akademi. Seolah waktu berhenti sejenak, para murid yang semula terjebak dalam kebingungan dan kemarahan atas pengkhianatan dunia luar, mendapati diri mereka terhanyut dalam kenangan masa lalu mereka.

Seorang murid yang masih muda, Lira, berdiri di depan jendela dengan mata kosong. Wajahnya terlihat tegang, namun jantungnya berdegup kencang. Tangisan itu mengingatkan dirinya pada masa kecilnya, saat dia ditinggalkan oleh ibunya yang pergi ke dunia luar untuk melawan monster, hanya untuk tidak pernah kembali. Dia ingat bagaimana dia menunggu di pintu Akademi, berharap ibunya akan kembali dan memeluknya seperti dulu. Namun, tak ada yang pernah datang.

Di sisi lain, Eldrin, seorang murid yang lebih tua dan lebih berpengalaman, menundukkan kepalanya. Di dalam dirinya, memori tentang saudara perempuannya yang telah mati dalam suatu tragedi yang dipicu oleh perpecahan politik di dunia luar kembali muncul. Tangisan anak itu membangkitkan kembali perasaan kesepian dan kehilangan yang telah lama dia coba lupakan. Tak ada lagi yang tersisa dari dunia yang dulu dia percayai. Semua telah hilang.

Di dalam ruang utama, Rael memandang ke arah para murid yang mulai melarutkan diri dalam kesedihan. Meskipun dia bukanlah orang yang mudah terpengaruh oleh emosi, bahkan dia pun merasakan suatu perasaan yang sulit dijelaskan. Tangisan itu, meski berasal dari seorang anak kecil yang tak tahu apa-apa, seolah menyingkap luka yang dalam di hati semua orang di Akademi. Rael mengingat ibunya, yang telah meninggal dalam keadaan terburuk, dibunuh oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya. Dunia yang dulu dijaga oleh Akademi, kini telah meninggalkan banyak cerita tragis.

Dekan Auron, yang berdiri di dekat Rael, menatap ke luar jendela. Wajahnya yang biasanya tegas kini menunjukkan kelembutan yang jarang terlihat. "Terkadang, aku bertanya-tanya… apakah kita benar-benar membuat keputusan yang benar," gumamnya, suara yang hanya bisa didengar oleh Rael. "Akankah dunia ini berubah, Rael? Akankah mereka pernah sadar bahwa kita berjuang demi mereka?"

Rael tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap anak kecil itu, tangisan yang penuh dengan kesedihan yang mengiris hati. Dalam diam, dia merasakan apa yang dirasakan Auron, keraguan dan penyesalan, yang perlahan menyusup ke dalam kesadarannya.

Anak kecil itu, meski tak tahu bahwa di dalam Akademi ada sekelompok orang yang mendengarkan tangisannya, telah menjadi pengingat yang kuat bagi mereka semua. Pengingat bahwa meskipun mereka bersembunyi dalam tembok Akademi yang kokoh, dunia yang mereka tinggalkan masih penuh dengan penderitaan yang tak dapat diabaikan begitu saja.

Di dalam Akademi, suasana hening semakin pekat. Tangisan anak itu seakan memaksa para murid untuk kembali mengingat masa lalu mereka, masa ketika mereka masih memiliki orang yang mereka cintai dan dunia terasa lebih sederhana. Waktu itu, mereka percaya bahwa mereka bisa melindungi dunia dari kehancuran, bahwa mereka bisa membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Namun sekarang, kenyataan itu berbeda. Dunia tanpa sihir telah membuktikan bahwa mereka bisa berdiri tanpa bantuan Akademi, meskipun dengan cara yang penuh pengkhianatan. Mereka tidak lagi membutuhkan mereka, atau begitu mereka pikir.

Lira menatap ke luar jendela, matanya berkaca-kaca. "Bagaimana bisa dunia seperti ini? Bukankah kita dulu berjuang bersama untuk menciptakan perdamaian?" tanya Lira, suaranya bergetar. "Bagaimana bisa kita meninggalkan mereka begitu saja?"

Eldrin, yang berdiri di samping Lira, menghela napas. "Kita tidak bisa hanya mengandalkan kata-kata atau keyakinan lagi, Lira. Dunia telah memilih jalannya sendiri. Mungkin memang sudah waktunya bagi kita untuk menarik diri. Namun, jika kita masih bisa menyelamatkan sesuatu… bahkan sedikit pun… bukankah kita harus melakukannya?"

Mendengar kata-kata Eldrin, Rael akhirnya bergerak. Langkahnya mantap, meskipun hatinya penuh dengan kebimbangan. "Akademi Waktu tidak bisa lagi menjadi pelindung dunia ini," katanya dengan suara berat, namun jelas. "Namun, kita bisa menjadi pengingat. Pengingat bahwa dunia ini pernah diberi kesempatan untuk berubah dan jika mereka ingin melangkah ke depan, mereka harus menghadapi konsekuensinya."

Dekan Auron menatap para murid dengan ekspresi serius. "Kami mungkin telah menarik diri, namun bukan berarti kita akan membiarkan dunia ini jatuh begitu saja. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat dunia yang pernah kita lindungi terperosok dalam kehancuran."

Sementara itu, di luar Akademi, suara tangisan anak itu perlahan mulai mereda, tetapi kesunyian yang tercipta setelahnya seakan meninggalkan sebuah tanda tanya besar. Dunia luar kini harus menghadapi kenyataan mereka sendiri dan mungkin, hanya dengan menyadari kesalahan mereka, mereka bisa memahami apa yang telah hilang.

Pagi itu, ketika sinar matahari menyusup melalui jendela-jendela tinggi Akademi Seraphis, suasana di dalamnya terasa berbeda. Para murid yang sebelumnya tenggelam dalam keraguan dan kesedihan kini mulai merasakan suatu perubahan dalam diri mereka. Tangisan anak kecil yang melintasi jalan desa, meskipun sudah berhenti, meninggalkan bekas yang tak terhapuskan. Seolah-olah suara itu tidak hanya menggugah kenangan lama, tetapi juga memunculkan pertanyaan yang lebih besar dalam hati mereka, apakah keputusan untuk menarik diri sepenuhnya benar? Apakah mungkin masih ada cara untuk berjuang tanpa harus menyerahkan seluruh diri mereka?

Rael berdiri di depan sebuah jendela besar, menatap ke luar, namun pikirannya melayang jauh melampaui horizon yang terlihat. Tangisan itu terus bergema di telinganya, dan setiap kali ia mencoba untuk fokus, bayangan wajah anak itu, yang masih penuh dengan kepedihan, selalu kembali.

"Apa yang akan kita lakukan, Rael?" suara Auron terdengar di belakangnya, lembut namun penuh tekanan. "Akademi telah memilih untuk mengasingkan diri. Kami telah memilih untuk tidak lagi terlibat dalam dunia luar. Namun… apakah kita benar-benar bisa begitu saja membiarkan mereka menderita tanpa melakukan sesuatu?"

Rael tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat tangan dan menyentuh peta dunia yang tergeletak di atas meja di hadapannya. Dunia yang pernah mereka lindungi kini terbelah, penuh dengan pengkhianatan dan kekacauan. Setiap sudut dunia tampaknya dipenuhi dengan ketidakadilan yang terus berkembang. Namun, di dalam hati Rael, ada sebuah pertanyaan yang terus mengusik, apakah ada cara untuk memperbaikinya? Ataukah, seperti yang telah dikatakan oleh Dekan Auron, dunia ini memang sudah terlalu jauh jatuh ke dalam kegelapan untuk diselamatkan?

"Saya tahu," Rael akhirnya berbicara dengan suara rendah. "Tapi… dunia ini bukan hanya tentang sihir. Ini tentang apa yang kita tinggalkan di dalamnya. Tentang orang-orang yang terpaksa hidup dengan keputusan-keputusan yang bukan mereka pilih."

Auron mengangguk pelan. "Aku paham. Kita mungkin telah menarik diri, tapi jika kita membiarkan semuanya hancur, apakah itu berarti kita tidak lagi memiliki nilai? Dunia ini akan terus berjalan, dan jika kita tidak melakukan apa-apa, kita akan kehilangan arti kita."

Suasana dalam ruangan itu terasa mencekam, namun ada semacam kebulatan tekad yang mulai terbentuk di dalam hati setiap orang yang hadir. Para murid yang sebelumnya terperangkap dalam keraguan kini mulai memahami satu hal: mereka bukan hanya pelindung yang bisa memilih untuk mundur begitu saja. Mereka adalah bagian dari dunia ini, dan meskipun dunia itu telah berbalik melawan mereka, mereka masih memiliki pilihan untuk bertindak.

Keputusan untuk kembali ke dunia luar tidak mudah. Para murid, yang telah dilatih dengan segala pengetahuan dan kemampuan untuk menjaga keseimbangan, harus menghadapi kenyataan bahwa mereka bukan lagi sosok yang diterima di dunia yang mereka tinggalkan. Mereka adalah simbol dari pengorbanan, namun dunia itu kini menganggap mereka sebagai penghalang, sebuah relik masa lalu yang tak lagi relevan dengan kebutuhan mereka.

Namun, ketika Rael berdiri di depan para murid di halaman Akademi, dia merasakan sesuatu yang berbeda. Tidak ada lagi kebingungan atau keraguan di wajah mereka. Mereka telah memutuskan, dan keputusan itu, meskipun penuh dengan risiko, adalah keputusan yang datang dari hati yang penuh dengan kasih sayang dan tanggung jawab.

"Akademi Waktu mungkin telah menarik diri, tetapi kita tidak akan berdiam diri," kata Rael dengan suara yang mantap. "Dunia ini mungkin telah berbalik melawan kita, tetapi kita masih memiliki nilai. Kita masih bisa berjuang untuk mereka yang membutuhkan kita. Kita tidak akan meninggalkan dunia ini begitu saja. Kita akan kembali ke sana, bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai pengingat bahwa dunia ini tidak bisa terus berjalan dalam kekacauan."

Auron berdiri di samping Rael, matanya penuh dengan tekad yang sama. "Kita tidak akan membiarkan mereka terlantar begitu saja. Dunia ini masih memerlukan kita, dan kita tidak akan mundur hanya karena dunia memilih jalan yang gelap."

Dengan itu, para murid mulai bersiap. Mereka mengumpulkan perlengkapan mereka dan mempersiapkan diri untuk perjalanan yang panjang dan penuh tantangan. Dunia luar yang mereka tinggalkan kini penuh dengan bahaya, baik dari dalam diri manusia yang rakus akan kekuasaan, maupun dari ancaman monster-monster yang mulai merajalela setelah gerbang dunia mereka terbuka. Namun, mereka tahu bahwa meskipun dunia telah berubah, mereka tetap memiliki peran yang harus dijalankan.

Perjalanan menuju dunia luar terasa berat, namun tidak ada yang bisa menghalangi langkah mereka. Setiap murid yang berjalan dengan Rael dan Auron membawa harapan di dalam hati mereka, harapan bahwa meskipun dunia telah jatuh ke dalam kegelapan, masih ada cahaya yang bisa mereka bawa.

Di sepanjang perjalanan, mereka melintasi desa-desa yang hancur, tempat di mana masyarakat telah terpecah karena konspirasi-konspirasi jahat yang telah menggerogoti kepercayaan mereka terhadap Akademi. Mereka melihat banyak wajah yang penuh dengan keputusasaan, tetapi di mata mereka juga ada sesuatu yang lebih, sebuah pengertian yang muncul dari penderitaan.

Rael, yang memimpin perjalanan ini, berhenti sejenak saat mereka tiba di desa yang sama tempat anak kecil itu menangis. Desa itu sekarang tampak kosong, dengan rumah-rumah yang terbengkalai dan jalan-jalan yang sepi. Hanya beberapa orang yang masih bertahan di sana, dan mereka semua melihat dengan mata penuh harapan ketika melihat para murid Akademi kembali.

"Jangan khawatir," kata Rael pelan, sambil menatap penduduk desa yang masih ada. "Kami kembali bukan untuk menghakimi. Kami kembali untuk memberi tahu kalian bahwa meskipun dunia ini telah berubah, ada sesuatu yang tak bisa diambil dari kita, yaitu kemampuan untuk memilih untuk bertindak demi kebaikan."

Para murid Akademi Seraphis, dengan segala pengetahuan dan keterampilan mereka, kini menjadi simbol terakhir dari harapan. Mereka tahu bahwa jalan mereka tidak akan mudah, dan mungkin tidak ada jaminan bahwa dunia luar akan menerima mereka kembali. Namun, mereka siap untuk berjuang, tidak hanya untuk dunia yang telah mereka tinggalkan, tetapi juga untuk masa depan yang bisa mereka bentuk bersama.

Perjalanan para murid Akademi Waktu membawa mereka lebih jauh ke dalam dunia yang telah berubah. Di sepanjang jalan, mereka menghadapi kenyataan pahit bahwa apa yang mereka harapkan, bahwa dunia akan menyambut mereka dengan tangan terbuka, tidaklah terwujud. Dunia luar telah terpecah, dan ketidakpercayaan terhadap Akademi Waktu semakin menguat. Di setiap desa yang mereka lewati, mereka menemukan lebih banyak orang yang terperangkap dalam perangkap kebohongan, propaganda, dan ketakutan terhadap kekuatan sihir yang mereka bawa.

Namun, meskipun begitu, ada secercah harapan yang terus tumbuh di dalam hati mereka. Di setiap langkah, mereka bertemu dengan individu yang masih percaya akan kebaikan, yang berharap bahwa ada seseorang yang akan melindungi mereka. Setiap orang yang mereka temui, meskipun sebagian besar merasa terasing dari Akademi, tampaknya masih mengenal kebenaran yang dulu pernah diajarkan, bahwa keseimbangan dan kebijaksanaan lebih penting daripada kekuasaan semata.

Di sebuah desa yang terletak di pinggir hutan, mereka bertemu dengan seorang wanita tua yang menyambut mereka dengan penuh keharuan. Wajahnya yang keriput menampilkan kebijaksanaan yang telah lama terkikis oleh waktu, namun matanya masih menyimpan kilatan pengharapan. "Akademi Seraphis," katanya pelan, "kami tidak melupakan kalian. Kami tahu kalian pernah melindungi kami. Dunia ini memang telah terjatuh ke dalam kekacauan, tapi kalian kembali... itu sudah cukup untuk membuat kami percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, masih ada harapan."

Rael menatap wanita itu, hatinya terenyuh. "Kami mungkin telah menarik diri, tapi kami tidak pernah benar-benar meninggalkan dunia ini. Kami kembali, bukan untuk menghakimi atau memaksa, tetapi untuk menawarkan pilihan, untuk membangkitkan kembali harapan yang mungkin telah mati."

Wanita itu mengangguk, air mata perlahan mengalir di pipinya. "Kami tahu... Kami hanya takut bahwa dunia yang telah kami kenal akan hilang selamanya. Kami takut bahwa anak-anak kami tidak akan mengenal dunia yang penuh dengan kebaikan, hanya dunia yang penuh dengan pertarungan dan kebohongan."

Rael merasakan sesuatu di dalam dirinya bergolak. Ia tahu bahwa kata-kata itu bukan hanya sekadar keluhan. Itu adalah panggilan untuk bertindak, sebuah pengingat bahwa meskipun dunia telah berubah, mereka masih bisa memberikan kesempatan untuk bangkit kembali.

Namun, semakin mereka bergerak, semakin jelas bahwa dunia luar bukan hanya terancam oleh ambisi manusia yang tak terkendali, tetapi juga oleh ancaman yang lebih besar, sesuatu yang tidak bisa lagi mereka abaikan. Gerbang-gerbang dunia monster, yang semula terkunci rapat oleh perlindungan sihir Akademi, kini terbuka lebar. Monster-monster yang dahulunya terkurung dalam dimensi mereka mulai merajalela, menginvasi dunia yang sudah rapuh ini. Keberadaan makhluk-makhluk buas ini bukan hanya menyebabkan kehancuran fisik, tetapi juga meruntuhkan semangat banyak orang yang mulai kehilangan harapan.

Pada suatu malam, saat mereka beristirahat di bawah langit yang dipenuhi bintang, suara langkah berat terdengar dari kejauhan. Para murid dan Rael segera bersiap-siap, menyadari bahwa bahaya tidak hanya datang dari manusia, tetapi juga dari makhluk yang lebih kuat dan lebih liar. Dari balik pepohonan, muncul segerombolan makhluk tinggi dengan tubuh bersisik, mata merah menyala, dan taring tajam. Mereka adalah jenis monster yang hanya bisa ada ketika keseimbangan alam dan sihir telah terganggu.

Eldrin, yang memimpin barisan depan, menghunus pedangnya. "Bersiaplah, ini bukan lawan yang mudah."

Rael melangkah maju, tangannya terkepal erat. Ia tahu bahwa meskipun mereka kembali untuk memberi harapan, mereka juga harus siap menghadapi ancaman yang jauh lebih besar. Kekuatan yang selama ini terkunci dalam dunia sihir mulai mengamuk, dan meskipun Akademi Waktu menarik diri, mereka tidak bisa hanya berdiri diam.

Pertarungan sengit pun dimulai. Pedang dan sihir bertemu dalam benturan yang keras, cahaya dan bayangan saling berkejaran. Meskipun mereka telah dilatih untuk menghadapi monster dan ancaman dari luar, para murid merasa bahwa kali ini berbeda. Monster-monster yang menyerang bukanlah makhluk biasa, mereka dipenuhi dengan kekuatan yang lebih gelap, yang hanya bisa ada ketika dunia telah benar-benar terpecah.

Namun, dengan kerja sama yang solid dan tekad yang tak tergoyahkan, mereka berhasil mengalahkan gerombolan monster itu. Setelah pertempuran berakhir, napas mereka terengah-engah, tetapi mereka tahu bahwa ini baru permulaan. Dunia luar yang mereka tinggalkan kini dipenuhi dengan bahaya yang jauh lebih besar dari yang mereka duga. Setiap langkah mereka menuju dunia yang lebih luas, mereka harus siap menghadapi ancaman yang lebih dahsyat.

Malam itu, setelah pertempuran, Rael duduk seorang diri di bawah pohon besar, menatap bintang-bintang yang tersebar di langit. Meski kelelahan merambat di tubuhnya, pikirannya masih terus bekerja. Dunia ini, dengan segala perubahan dan kehancurannya, mungkin telah memilih jalannya. Namun, ia tahu bahwa Akademi Seraphis, meskipun tidak lagi berfungsi sebagai pelindung, masih memiliki peran yang lebih besar untuk dimainkan.

Dunia ini tidak akan kembali seperti semula, tidak akan pernah ada lagi dunia yang penuh dengan kedamaian dan keseimbangan seperti yang mereka impikan. Namun, ada sesuatu yang tidak bisa direnggut dari mereka, harapan. Harapan bahwa meskipun dunia ini terpecah dan penuh kekacauan, mereka masih memiliki kekuatan untuk memilih jalan mereka sendiri. Untuk bertindak, untuk melindungi, dan yang paling penting, untuk mengingatkan dunia bahwa keseimbangan bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi tentang pengorbanan dan kasih sayang yang saling mengikat.

"Rael," suara Auron terdengar dari belakang. "Kita harus kembali. Dunia ini sedang dalam bahaya lebih besar dari yang kita kira."

Rael mengangguk pelan, matanya penuh tekad. "Aku tahu. Tapi kita tidak akan melangkah mundur. Dunia ini mungkin telah memilih jalannya, tapi kita masih bisa membuat perbedaan. Kita akan terus berjalan, apapun yang terjadi."

Dengan itu, mereka kembali berangkat, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan di dunia yang penuh dengan kekacauan. Jejak yang menunjukkan bahwa meskipun dunia ini telah berubah, harapan tidak pernah padam, dan mereka yang berani berjuang untuknya akan selalu meninggalkan jejak dalam sejarah.

Keputusan untuk melangkah lebih jauh ke dalam dunia yang telah hancur sepertinya semakin menguji tekad para murid Akademi Seraphis. Setelah pertempuran dengan monster-monster yang mengerikan, mereka merasa bahwa dunia luar benar-benar telah berubah. Namun, apa yang terjadi berikutnya jauh lebih mengerikan, bukan karena kekuatan gelap atau ancaman monster, tetapi karena serangan yang datang dari mereka yang dulunya mereka lindungi: warga desa yang kini merasa takut dan terancam oleh keberadaan para murid Akademi.

Pada suatu malam yang tenang, ketika para murid beristirahat di luar sebuah desa yang tampaknya damai, kejadian yang tak terduga pun terjadi. Dalam kegelapan, para murid diserang oleh kelompok warga yang terbawa amarah dan ketakutan. Mereka datang dengan senjata sederhana: golok, kayu, dan batu, serta teriakan penuh kebencian yang memecah keheningan malam. Mereka menuduh para murid Akademi sebagai penyebab dari kehancuran dunia, sebagai pelindung yang kini dianggap sebagai ancaman. Semua yang terjadi adalah akibat dari pilihan mereka untuk menarik diri dari dunia yang mereka cintai.

"Pengkhianat! Kalian meninggalkan kami di saat kami membutuhkan kalian!" salah seorang pria berteriak sambil mengangkat batu besar. "Dunia ini hancur karena kalian tidak lagi menginginkan kami! Kalian hanya peduli pada sihir kalian, bukan pada kami!"

Para murid, yang masih terkejut, segera bersiap-siap untuk bertahan. Namun, Rael melangkah maju, mencoba menenangkan keadaan. "Kami tidak berniat untuk mengkhianati kalian," katanya dengan suara yang penuh ketenangan, namun hati yang bergejolak. "Kami kembali bukan untuk menyakiti, tetapi untuk membantu. Kami tahu dunia telah berubah, tapi kami masih ada di sini, dan kami ingin berbuat baik."

Tetapi kata-kata itu tampaknya tidak cukup. Warga desa yang sudah terlampau kecewa dan terluka dengan keadaan dunia ini, merasa bahwa Akademi Waktu adalah simbol dari segala penderitaan yang mereka alami. Mereka menyerbu, menambah tekanan dan ketakutan dalam setiap langkah mereka. Para murid, meskipun tidak ingin bertindak melawan mereka, terpaksa harus menghalau serangan itu. Mereka menggunakan sihir mereka dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang terluka parah, namun setiap serangan yang mereka halau semakin mendalamkan luka di hati mereka.

Rael, yang memimpin para murid, merasa hatinya seakan dihantam keras. Warga desa yang dulu mereka lindungi kini melihat mereka sebagai musuh. Mereka berusaha menghindari kekerasan, tetapi tidak ada yang bisa menghentikan amarah yang telah terkumpul begitu lama. Akhirnya, setelah beberapa waktu, serangan itu berhenti, bukan karena mereka berhasil menaklukkan para warga, tetapi karena suasana hening yang tiba-tiba menyelimuti desa itu. Warga desa, yang lelah dan kecewa, akhirnya mundur. Namun, mereka meninggalkan luka yang jauh lebih dalam daripada yang bisa dilihat oleh mata.

Meski tidak ada yang terluka parah dalam serangan itu, para murid Akademi Waktu merasakan sebuah luka yang lebih dalam. Tidak ada luka fisik yang tersisa, tetapi luka emosional yang tertinggal dalam hati mereka jauh lebih sulit untuk sembuh. Mereka yang pernah dianggap sebagai pelindung, sekarang dianggap sebagai ancaman. Mereka yang telah berjuang untuk keseimbangan dunia, yang telah mengorbankan begitu banyak untuk dunia yang mereka cintai, kini dipandang dengan rasa takut dan kebencian.

Di bawah cahaya bulan yang temaram, para murid duduk berkelompok di sekitar api unggun, masing-masing terbenam dalam pikirannya sendiri. Hati mereka terasa berat, dan wajah mereka yang biasanya penuh semangat kini tampak kosong, penuh dengan keputusasaan yang tak terucapkan. Mereka tidak tahu lagi apa yang sebenarnya mereka perjuangkan, dan apakah perjuangan itu masih layak.

Eldrin, yang biasanya penuh semangat, duduk terdiam dengan pandangan kosong. Pedangnya tergeletak di sampingnya, namun kini ia tidak tahu apakah senjata itu masih mewakili tujuan mereka, atau hanya alat untuk mempertahankan diri. "Bagaimana bisa mereka begitu mudah membenci kita?" tanyanya, suaranya penuh kesedihan. "Kita yang selama ini melindungi mereka, yang berkorban untuk mereka, kini dianggap sebagai musuh. Apa yang salah?"

"Aku tidak tahu," jawab Kaela dengan suara serak. Matanya yang biasanya penuh dengan keceriaan kini dipenuhi oleh kelelahan dan rasa bingung yang mendalam. "Mereka takut pada apa yang tidak mereka mengerti. Mereka tidak tahu siapa lagi yang bisa mereka percayai. Mereka merasa dikhianati, dan sekarang kami adalah lambang dari pengkhianatan itu."

Rael yang duduk sedikit lebih jauh, menatap ke dalam api unggun dengan tatapan kosong. "Mereka tidak bisa melihat kita seperti dulu lagi. Mereka telah memilih jalannya sendiri. Tapi... bagaimana kami bisa kembali ke sana? Bagaimana kita bisa membangun kembali kepercayaan yang telah hancur?"

Sejenak, kesunyian menyelimuti mereka. Hati mereka dipenuhi dengan rasa sakit yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Mereka yang dulu begitu yakin akan peran mereka dalam dunia ini, kini merasa kehilangan arah. Mereka bukan lagi pahlawan yang dibutuhkan dunia, melainkan pengingat akan keputusan-keputusan pahit yang telah mereka buat, dan bagaimana dunia itu telah berbalik melawan mereka.

Keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan, meskipun langkah mereka kini terasa lebih berat. Dunia yang mereka tinggalkan kini penuh dengan ketidakpercayaan, kebencian, dan ketakutan. Warga desa, yang mereka temui di sepanjang jalan, melihat mereka dengan pandangan penuh waspada. Tak ada lagi sambutan hangat atau pengakuan atas jasa mereka. Mereka adalah bayangan masa lalu yang terus mengganggu.

Namun, meskipun begitu, ada yang lebih dalam dari sekadar kebencian dan amarah. Di balik ketakutan itu, di balik kebencian itu, para murid mulai menyadari sesuatu yang penting, bahwa meskipun dunia ini telah berubah, mereka masih memiliki satu hal yang tidak bisa diambil dari mereka: hati mereka.

Rael, yang selama ini memimpin, akhirnya berbicara lagi kepada para murid. "Kita tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Dunia ini telah memilih jalannya, dan kita tidak bisa memaksakan mereka untuk mengikuti jalan kita. Tapi satu hal yang masih bisa kita lakukan adalah menunjukkan bahwa kita tidak menyerah, bahwa kita masih bisa memilih untuk melakukan yang benar, meskipun dunia ini tidak lagi peduli pada kita."

Auron mengangguk dengan lembut. "Kita tidak bisa mengubah dunia dengan kekuatan atau sihir. Tapi kita bisa mengubah diri kita, dan itu adalah langkah pertama untuk menunjukkan bahwa kita masih memiliki tujuan."

Meski hati mereka terluka, mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Dunia yang telah berubah ini membutuhkan lebih dari sekadar sihir dan kekuatan, dunia ini membutuhkan pemahaman, pengorbanan, dan kemampuan untuk melihat lebih jauh dari ketakutan dan kebencian yang ada.

Dengan tekad yang lebih kuat, para murid Akademi Waktu melanjutkan perjalanan mereka, bukan untuk mengembalikan dunia ke bentuk yang lama, tetapi untuk menemukan cara baru agar mereka bisa memberikan harapan, meski hanya sedikit, di tengah-tengah kekacauan yang telah menguasai dunia mereka.

Hari-hari berlalu, dan para murid Akademi Waktu terus melanjutkan perjalanan mereka, meskipun hati mereka masih dipenuhi dengan rasa sakit dan keraguan. Dunia luar, yang mereka tinggalkan, semakin memburuk. Mereka bertemu dengan semakin banyak orang yang terperangkap dalam ketakutan dan kebingungan, dan meskipun mereka berusaha memberikan harapan, semakin banyak pula yang menyambut mereka dengan ketidakpercayaan dan kebencian. Dunia telah berubah, dan mereka hanya bisa berusaha untuk bertahan.

Namun, suatu pagi yang tampaknya biasa, saat mereka tengah beristirahat di hutan, sebuah kejadian mengerikan terjadi. Dari kejauhan, mereka mendengar suara gemuruh yang tidak biasa. Tanah bergetar dengan kekuatan yang mengerikan, dan langit yang biasanya cerah tiba-tiba berubah menjadi kelam, seolah-olah alam semesta itu sendiri sedang merasakan kehancuran yang lebih dalam.

Tiba-tiba, dunia terasa membeku. Suara-suara berhenti, dan udara menjadi tegang. Seiring dengan getaran yang semakin kuat, mereka melihat sesuatu yang mustahil, waktu itu sendiri terhenti. Tidak ada lagi gerakan, tidak ada lagi suara, bahkan denyut jantung mereka terasa melambat, seolah-olah semuanya terhenti di tengah-tengah dunia yang sepi.

"Rael! Apa yang terjadi?" Kaela berteriak dengan panik, tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Semua di sekitar mereka tampak membeku, bahkan para monster yang biasanya mengancam pun terhenti dalam waktu yang begitu mencekam.

Rael, yang merasakan perubahan itu dengan sangat jelas, memegang kepala dengan gemetar. "Ini bukan sesuatu yang biasa," gumamnya, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. "Ini... ini bukan sihir biasa. Sesuatu yang lebih besar sedang terjadi."

Tiba-tiba, mereka menyadari bahwa waktu tidak hanya berhenti di tempat mereka berdiri, tetapi juga di seluruh dunia. Semua yang ada di sekitar mereka, semua makhluk, semua objek, semua pergerakan, terhenti. Ini bukanlah ilusi atau sihir yang dapat mereka atasi dengan sihir mereka sendiri. Ini adalah kekuatan yang jauh melampaui kemampuan mereka.

Rael menggenggam pedangnya dengan erat. "Kita harus segera kembali ke Akademi. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang mengancam semuanya."

Namun, meskipun ia berkata demikian, sesuatu yang lebih menakutkan mulai terjadi. Mereka mendengar suara yang rendah dan menggelegar, sebuah suara yang tidak datang dari dunia yang beku, tetapi dari kedalaman kegelapan yang menyelimuti mereka. Dari balik kegelapan yang menutupi langit, sebuah sosok muncul, sebuah bayangan misterius yang menatap mereka dengan mata yang penuh dengan kebencian.

Sosok itu, yang perlahan-lahan keluar dari kegelapan, mengenakan jubah hitam yang berkilau dengan cahaya yang aneh. Wajahnya tersembunyi di balik topeng yang hanya memperlihatkan sepasang mata yang berkilau dengan kekuatan magis yang mencekam. Tidak ada yang tahu siapa sosok ini atau apa yang ia inginkan, tetapi satu hal yang pasti: ia adalah ancaman terbesar yang pernah mereka hadapi.

"Saya adalah Khalos, penguasa waktu dan pemilik dari kekuatan yang menguasai alam semesta," suara itu menggema, meskipun sepertinya datang dari dalam pikiran mereka sendiri. "Akademi Waktu telah lama menjaga keseimbangan waktu, namun kalian telah gagal. Kalian telah memilih untuk menarik diri, dan sekarang kalian akan merasakan akibatnya."

Rael merasa hatinya berdebar kencang, tidak hanya karena ancaman itu, tetapi juga karena kebingungannya. "Kalian... Kalian yang menyebabkan penghentian waktu ini? Apa yang kalian inginkan dari kami?"

Khalos tertawa dingin, sebuah suara yang mengerikan dan penuh kebencian. "Apa yang saya inginkan? Saya hanya ingin dunia ini melihat kenyataan. Kalian adalah simbol dari ketidakmampuan. Akademi Seraphis, dengan kebijaksanaan dan sihir kalian, telah menganggap diri kalian lebih tinggi dari dunia ini. Tapi sekarang, semuanya berakhir. Waktu telah berhenti, dan dunia akan hancur."

Rael mencoba memahami apa yang dimaksud Khalos, tetapi semua yang ia dengar hanya kata-kata yang penuh kebencian dan amarah. Sosok ini tampaknya menginginkan kehancuran dunia yang telah dibangun oleh Akademi Seraphis, dan ia tidak akan berhenti sampai itu terjadi. Sebuah ancaman yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.

Khalos melangkah maju, dan dengan satu gerakan tangan, udara di sekitar mereka terasa semakin berat. "Akademi Waktu tidak lagi memiliki tempat di dunia ini. Kalian adalah pengingat akan kegagalan, dan waktu yang telah kalian kendalikan... sekarang akan menjadi milik saya."

Rael berusaha menggerakkan tubuhnya, mencoba untuk menanggapi serangan yang datang, namun seluruh tubuhnya terasa terhimpit oleh kekuatan yang luar biasa. Waktu terus terhenti di sekeliling mereka, dan dunia terasa semakin rapuh. Mereka berjuang, namun setiap gerakan terasa sia-sia.

Namun, di saat terakhir, ada sesuatu yang tidak terduga. Auron, yang telah lama menjadi kepala Akademi Seraphis, yang selama ini menyembunyikan sebagian besar pengetahuan dan kekuatan yang ia miliki, akhirnya bergerak. Dengan satu gerakan tangan, ia menciptakan sebuah pelindung sihir yang kuat, yang memblokir sebagian besar kekuatan Khalos. Meski pelindung itu hanya bertahan sebentar, cukup untuk memberi Rael dan para murid waktu untuk mundur.

"Auron!" Rael berteriak, melihat kepala Akademi mereka terhuyung mundur akibat dampak kekuatan yang datang dari Khalos. "Apa yang terjadi?"

Auron, yang tampak kelelahan, tersenyum lemah. "Kalian harus melanjutkan... saya akan mengalihkan perhatiannya. Kalian harus selamat. Dunia ini... dunia ini masih membutuhkan kalian."

Rael ingin menahan Auron, tetapi waktu mereka terlalu singkat. Dengan kekuatan Khalos yang terus mengancam, Auron mengarahkan sihir pelindung yang lebih kuat, tetapi akhirnya, tubuhnya terlempar oleh ledakan kekuatan yang dahsyat. Namun, dalam satu detik terakhir, Auron berhasil memaksa Khalos untuk mundur, meskipun ia harus mengorbankan dirinya.

Sebelum dunia mereka benar-benar diliputi kegelapan, Rael dan para murid merasakan ketegangan yang mengerikan. Namun, di tengah-tengah kegelapan itu, mereka mendengar suara Auron, yang masih menggaung di benak mereka: "Teruskan perjalanan ini, anak-anak. Dunia ini masih membutuhkan kalian. Jangan biarkan pengorbanan kami sia-sia."

Ketika waktu akhirnya kembali mengalir, meskipun dengan kecepatan yang tidak normal, dunia yang mereka lihat telah berubah. Semua yang terjadi seakan terhenti sejenak, memberi mereka kesempatan untuk bernafas. Namun, mereka tahu bahwa Auron tidak akan kembali. Pengorbanannya telah membebaskan mereka, tetapi dunia yang mereka tinggalkan kini berada di ambang kehancuran.

Rael, dengan air mata yang menetes di pipinya, memandang ke arah tempat Auron terakhir kali berdiri. Ia merasakan beban yang sangat besar kini berada di pundaknya. "Kami tidak akan membiarkan pengorbanan ini sia-sia, Auron. Kami akan terus melawan."

Dengan tekad yang lebih kuat, para murid Akademi Waktu kembali melangkah. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Dunia ini mungkin telah diselimuti kegelapan dan kebingungan, namun mereka masih memiliki harapan, harapan yang akan mereka bawa dalam setiap langkah mereka, untuk melanjutkan perjuangan yang tidak akan pernah berakhir.

Setelah pertempuran yang mengerikan dengan Khalos, dunia mereka tidak lagi sama. Walaupun mereka selamat, dunia di sekitar mereka semakin suram dan kacau. Akademi Seraphis, yang dulunya menjadi tempat penuh pengetahuan dan kebijaksanaan, kini terpecah-pecah, hanya menyisakan para murid yang tersisa dan sedikit pelatihan yang mereka miliki. Tanpa Auron yang menjadi pilar utama kekuatan mereka, kini Rael dan para pemimpin lainnya harus menemukan cara untuk bertahan hidup di dunia yang penuh dengan bahaya yang tak terduga.

Dunia ini semakin penuh dengan ancaman, baik dari manusia yang kini lebih terpecah, maupun dari kekuatan tak terlihat yang menyelimuti mereka. Sihir, yang dulunya menjadi senjata utama mereka, kini menjadi hal yang langka dan sulit digunakan dengan benar di tengah ketidakpastian ini. Tidak ada lagi pelindung yang kuat, dan para murid yang masih muda harus belajar untuk mengandalkan diri mereka sendiri.

Rael memutuskan untuk mengajarkan para murid sihir dasar, terutama sihir pertahanan yang paling mendasar, untuk memastikan mereka bisa bertahan hidup. Meskipun pengetahuan mereka tentang sihir jauh melampaui dasar-dasar, Rael tahu bahwa dalam dunia yang semakin kacau ini, kemampuan bertahan hidup menjadi hal yang paling penting.

Sementara dunia di luar semakin suram, di dalam Akademi Waktu yang kini lebih banyak dihuni oleh para murid, pelatihan pun dimulai. Rael memimpin mereka untuk mengingat kembali dasar-dasar yang pernah mereka pelajari di Akademi. "Sihir adalah alat, bukan tujuan. Jika kalian tidak bisa bertahan hidup, maka semua sihir yang kita miliki akan sia-sia," ujarnya dengan suara penuh tekad.

"Pertahanan adalah yang pertama. Kita akan mulai dengan sihir perisai dasar, yang akan melindungi tubuh kalian dari serangan langsung. Hal ini mungkin tidak akan cukup untuk melawan musuh yang lebih kuat, tetapi itu bisa memberi kalian waktu untuk bertahan."

Rael memimpin mereka untuk berlatih membuat perisai sihir dari energi murni. Awalnya, para murid kesulitan, karena sihir pertahanan dasar ini membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Mereka harus mengarahkan energi mereka dengan sangat presisi untuk menciptakan perisai yang kuat. Beberapa dari mereka, yang sebelumnya mengandalkan kekuatan sihir ofensif, merasa frustasi karena tidak bisa mengendalikan energi mereka dengan baik.

Namun, Kaela, yang sejak awal sudah memiliki kemampuan luar biasa dalam hal konsentrasi, menjadi salah satu yang pertama kali berhasil menciptakan perisai energi. "Lihat! Perisai ini cukup kuat untuk menahan serangan dasar," katanya sambil menunjukkan perisainya yang bersinar biru.

"Bagus, Kaela," Rael mengangguk, "Tetapi ingat, perisai ini tidak hanya untuk menahan serangan fisik. Sihir ini harus cukup kuat untuk melindungi kalian dari serangan sihir yang bisa datang dari mana saja. Jadi, latihlah ketenangan dan fokus."

Beberapa murid lainnya, yang sebelumnya merasa kurang percaya diri, mulai berlatih lebih keras. Mereka tahu bahwa dunia ini telah berubah dan mereka tidak bisa lagi bergantung pada kekuatan atau kebijaksanaan orang lain. Mereka harus belajar untuk bertahan sendiri.

Setelah beberapa hari berlatih, Rael memutuskan untuk memperkenalkan pelajaran lebih lanjut. Selain perisai sihir, mereka juga harus menguasai kemampuan dasar seperti penyembuhan dan pengendalian elemen, meskipun hanya dalam bentuk yang sederhana. "Kalian harus belajar untuk menggunakan sihir dalam cara yang efisien. Dunia ini tidak lagi memberi kita kemewahan untuk berpikir panjang. Ketahanan tubuh dan pikiran adalah yang utama," ujarnya saat memimpin mereka dalam latihan berikutnya.

Eldrin, yang terkenal dengan kemampuannya dalam menyerang, merasa agak ragu ketika harus berfokus pada sihir penyembuhan. "Rael, aku... aku tidak tahu apakah ini akan berguna. Aku lebih terbiasa dengan serangan."

Rael menatap Eldrin dengan serius, "Mungkin sekarang kamu tidak melihatnya, tetapi kemampuan ini bisa menyelamatkan hidupmu. Jika kita terjebak dalam situasi yang mengancam nyawa, sihir penyembuhan dasar bisa memberi kita waktu untuk melarikan diri atau bahkan melawan kembali."

Setelah itu, Rael mengarahkan mereka untuk berlatih sihir penyembuhan sederhana, seperti mengobati luka ringan. Mereka mulai dengan luka-luka kecil yang mereka buat sendiri dengan bantuan sihir pengendalian elemen. Setelah itu, mereka melatih penyembuhan internal untuk mengatasi kelelahan atau cedera ringan, yang akan sangat berguna ketika mereka harus bertahan lama di dunia yang penuh dengan ancaman ini.

"Penyembuhan bukan hanya tentang mengatasi luka fisik. Ini juga tentang memperbaiki keseimbangan dalam tubuh. Jika kalian tidak bisa menjaga tubuh kalian tetap sehat, maka sihir apapun yang kalian kuasai akan sia-sia," kata Rael.

Rael sendiri mengajarkan mereka teknik pengendalian elemen dasar seperti api dan air. "Elemen dasar seperti api dapat digunakan untuk perlindungan. Air dapat membantu kalian bertahan hidup dalam kondisi kekeringan. Ini adalah keterampilan bertahan hidup yang sangat penting di dunia yang penuh ketidakpastian."

Setelah beberapa minggu berlatih, para murid mulai menunjukkan kemajuan yang signifikan. Mereka tidak lagi bergantung sepenuhnya pada serangan atau kekuatan luar biasa mereka. Mereka mulai memahami bahwa sihir yang paling kuat bukanlah yang menghasilkan kerusakan terbesar, melainkan yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup dalam kondisi terburuk sekalipun.

Suatu hari, Rael memutuskan untuk menguji kemampuan mereka dalam simulasi pertempuran. Para murid akan bertarung satu sama lain, namun dengan aturan yang berbeda, mereka hanya diperbolehkan menggunakan sihir pertahanan dan penyembuhan.

Eldrin, yang merasa cemas dengan pengujian ini, segera mengaktifkan perisainya, sementara Kaela mencoba menyembuhkan luka-luka kecil yang ia buat pada dirinya sendiri. Rael mengawasi mereka dengan penuh perhatian. "Ingat, ini bukan tentang siapa yang menang atau kalah, ini tentang siapa yang bisa bertahan."

Pelatihan itu berlangsung sengit, dan meskipun tidak ada yang terluka parah, para murid merasakan betapa beratnya bertahan hidup tanpa kekuatan ofensif yang besar. Mereka harus mengandalkan ketenangan, strategi, dan kemampuan mereka untuk memprediksi serangan sebelum terjadi.

Setelah sesi latihan berakhir, Rael mengumpulkan mereka dan berbicara dengan serius, "Apa yang kalian lakukan di sini adalah langkah pertama untuk bertahan hidup di dunia yang baru. Kita tidak lagi berada di dunia yang penuh dengan keajaiban dan perasaan aman. Ini adalah dunia yang penuh dengan ketidakpastian, dan kalian harus siap untuk segala kemungkinan. Kekuatan yang sebenarnya bukan datang dari sihir yang bisa menghancurkan, tetapi dari ketahanan kalian untuk terus berdiri, bahkan ketika semuanya berusaha menjatuhkan kalian."

Meskipun hati mereka masih dipenuhi dengan kesedihan atas kehilangan yang mereka alami, terutama Auron dan meskipun dunia ini kini penuh dengan bahaya yang tak terhitung jumlahnya, para murid Akademi Waktu mulai memahami bahwa perjalanan mereka telah berubah. Mereka tidak lagi hanya bertindak sebagai pelindung dunia yang dulu mereka kenal, tetapi sebagai pejuang yang harus bertahan hidup dengan segala cara.

Rael menatap ke arah para muridnya, merasa sedikit lebih tenang. "Kita akan terus melangkah, satu langkah pada satu waktu. Dunia ini mungkin telah berubah, tapi kita masih punya harapan. Jika kita bisa bertahan, kita bisa membawa perubahan, meskipun hanya sedikit."

Dengan hati yang lebih kuat dan keterampilan yang lebih matang, para murid Akademi Waktu melanjutkan perjalanan mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka temui di masa depan, tetapi mereka tahu satu hal: mereka akan bertahan, dan dunia yang penuh dengan keputusasaan ini masih bisa diselamatkan, jika mereka tetap bertahan.