Tok tok tok...
Suara ketukan pintu dari luar ruangan HRD membuat Pak Hendri yang sedang berfokus melihat data-data karyawan, akhirnya berhenti sejenak.
Pak Hendri melepaskan kacamatanya, merapikan rambut dan bajunya, dan kemudian berkata.
"Silahkan masuk!".
Ceklek..
Pintu dibuka, seorang lelaki tinggi yang mengenakan jas dokter, kemudian masuk ke dalam ruangan. Lelaki itu adalah Dokter Zein Al-Ghifari.
"Selamat siang, Pak Hendri", kata Dokter Zein menyapa Pak Hendri dengan sopan dan ramah, kemudian berjalan mendekati mejanya sambil mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.
Dengan wajah tersenyum yang menawan, Dokter Zein menunggu jabatan tangan dari Pak Hendri. Pak Hendri sendiri pun cukup terkejut dengan ketampanan dokter muda yang ada di hadapannya ini.
Untung saja Pak Hendri adalah seorang pria. Jika tidak, sudah dipastikan dia akan langsung jatuh cinta kepada dokter muda di hadapannya ini.
Pak Hendri pun segera mengulurkan tangannya dan berjabat tangan dengan Dokter Zein.
"Silahkan.. Silahkan duduk, Dok", kata Pak Hendri tersenyum lebih ramah karena mendapati tamunya ini dari saat masuk ke ruangannya juga sudah bersikap ramah.
"Apa ada yang bisa saya bantu, Dok", kata Pak Hendri sambil tersenyum.
"Emmm... Bagaimana ya saya mengatakannya", balas Dokter Zein seolah sedang kebingungan.
Pak Hendri tertawa. Dia mengira dokter muda di hadapannya ini sedang ketakutan atau merasa grogi karena berhadapan dengannya.
"Ha ha.. Dokter jangan takut sama saya, santai saja lah", kata Pak Hendri penuh percaya diri.
Dokter Zein yang mendengar kata-kata yang keluar dari Pak Hendri, menatap Pak Hendri dengan aneh dan berpikir.
'Takut?! Gue takut ma lu?! Urat takut gue aja udah putus bertahun-tahun yang lalu', ujar Dokter Zein dalam hatinya.
Karena Dokter Zein hanya diam saja dan seperti melamun di hadapannya, Pak Hendri lalu berkata.
"Dok.. Dok.. halo?! Anda kenapa Dok?!", kata Pak Hendri sambil melambaikan tangan di depan wajah Dokter Zein.
Sadar sedang melamun, Dokter Zein langsung berkata.
"Jadi begini Pak Hendri. Saya di sini mewakili seluruh karyawan di RS Derisa ini, meminta kepada bapak untuk segera mengganti kebijakan-kebijakan yang memberatkan seluruh karyawan di sini. Di mohon bapak juga mengganti beberapa kebijakan itu seperti semula. Banyak karyawan dan juga dokter lain yang merasa sangat tertekan dengan kebijakan baru dari bapak ini", kata Dokter Zein yang langsung saja ke inti pokok permasalahannya.
"Ha ha ha..". Pak Hendri spontan tertawa.
"Saya kira ada apa. Dokter tidak perlu repot-repot mewakili seluruh karyawan, karena saya tidak akan menarik kembali kebijakan saya", kata Pak Hendri bersikeras.
"Pak, tolonglah. Kasihan para karyawan ini. Mereka sudah kelelahan dalam bekerja. Iya itu mending jika bapak menaikkan gaji mereka. Tapi bapak malah menambah jam kerja, memotong beberapa persen gaji, dan meniadakan upah lembur. Kasihan mereka pak", kata Dokter Zein yang mencoba menyadarkan pikiran Pak Hendri.
"Pak Dokter ini bukan orang pertama yang datang ke ruangan saya untuk membahas masalah kebijakan baru ini. Saya tetap dalam pendirian saya untuk mempertahankan kebijakan yang saya buat ini", kata Pak Hendri semakin merasa percaya diri saja.
Kemudian Pak Hendri juga melanjutkan.
"Bahkan Pak Widodo, Direktur RS Derisa ini, juga pernah berkata seperti halnya Pak Dokter ini. Tapi hasilnya saya rasa sama saja. Saya tidak akan mengubah kebijakan baru ini", kata Pak Hendri tegas dan mengangguk sambil menatap wajah Dokter Zein.
"Apa?! Pak Widodo juga pernah membahas ini dengan Pak Hendri?", kata Dokter Zein yang terkejut.
"Benar. Itu dua hari yang lalu tepatnya", kata Pak Hendri menguatkan ucapannya.
Pak Hendri semakin yakin dengan caranya. Bahkan Pak Widodo, sang direktur saja tidak berdaya, apalagi hanya seorang dokter.
Tapi sesaat kemudian, Pak Hendri malah melihat Dokter Zein yang tersenyum lebar dan kemudian menatap mata Dokter Zein yang berwarna coklat kehijauan. Warna mata yang sangat unik sekali. Itu jadi membuatnya merasa aneh dengan hal ini.
"Anda.. Kenapa tersenyum seperti itu Dok?. Apa Dokter akhirnya setuju dengan kebijakan saya?", kata Pak Hendri bertanya lagi.
"Oh tidak.. tidak... Saya hanya merasa sangat senang. Mungkin sebentar lagi saya akan berolahraga", kata Dokter Zein yang merasa sangat puas.
"Berolahraga? Maksudnya?", kata Pak Hendri yang penasaran dan kembali bertanya.
Dokter Zein tidak menjawab, akan tetapi malah langsung pamit.
"Saya pamit Pak Hendri, Selamat Siang", kata Dokter Zein sambil tersenyum semakin lebar.
"Baiklah Dokter. Selamat Siang. Selamat bekerja kembali. Oh iya, siapa nama anda, Dokter? Maaf saya lupa belum menanyakan nama anda. Dan Saya juga tidak melihat name tag di dada anda Dokter", kata Pak Hendri bertanya sekali lagi.
Dokter Zein pun segera menjawab.
"Nama saya? He he. Nama saya Zein Youssef Al-Ghifari. Bapak boleh memanggil saya Dokter Zein saja", kata Dokter Zein berbalik kemudian membuka pintu ruangan dan langsung menutupnya.
Duarrrrr...!!!
Entah kenapa Pak Hendri seolah merasa ada petir yang menyambarnya saat mendengar nama itu. Pak Hendri bergumam.
"Jadi dokter tadi yang ada dalam klausul kontrakku?", kata Pak Hendri yang sebenarnya sedikit ketakutan, apalagi melihat senyum dan warna mata dokter Zein tadi.
Tapi mengingat bahwa dirinya adalah seorang HRD, dan bahkan direktur saja tidak berkutik di depannya, segera Pak Hendri membuang jauh-jauh isi pikiran buruknya.
= = = = = = = = = = = = = = = = = =
Setelah 'mengunjungi' Pak Hendri, Dokter Zein pun akhirnya mengerti akan satu hal. Dokter Zein mengerti kenapa Pak Widodo, sebagai Direktur tidak bisa menolong apa-apa.
Pak Widodo bahkan meminta Dokter Zein sendiri yang melakukannya dengan cara sesuka hatinya. Dokter Zein kini terlihat semakin menyeringai lebar yang dikombinasikan dengan sedikit kekejaman.
Mungkin ini adalah saatnya menunjukkan siapa yang berkuasa di tempat ini.
(Suara Panggilan Telepon berbunyi)
Dokter Zein melihat smartphone nya dan membaca nama si penelepon. Zara. Itu panggilan masuk dari Zara.
Pucuk di cinta ulam pun tiba. Baru kali ini Zara berinisiatif untuk meneleponnya.
Sebelumnya, Dokter Zein dan Zara hanya saling mengirim dan membalas pesan saja.
Segera, Dokter Zein duduk di salah satu kursi tunggu RS.
Mumpung sedang tidak ada orang di sini. Sedetik kemudian, barulah Dokter Zein mengangkat telepon dari Zara.
"Halo, Assalamualaikum Zara". Kata Dokter Zein yang bahagia.
"Wa'alaikumussalam aa, sibuk gak?", kata Zara membalas perkataan Dokter Zein.
"Sekarang gak sibuk kok. Ada apa nih tumben telepon? he he", kata Dokter Zein kemudian.
"Emmm", kata Zara yang hanya berkata begitu. "Tapi jangan marah ya a?", lanjut Zara menambahkan.
"Ada apa Ra? Ngomong aja!", kata Dokter Zein agak penasaran.
"Gini a.. Hampura, hampura. Masalah yang kemarin Bang Hamid ngomong, kita gak jadi aja ya?", kata Zara dengan hati-hati dan takut perkataannya akan menyinggung Dokter Zein.
"Maksudnya gak jadi? Ko aku jd tambah penasaran", kata Dokter Zein yang benar-benar tidak mengerti saat ini.
"Gini, kan waktu itu Zara teh ngomong ke bang Hamid, lagi nyari jodoh. Terus Bang Hamid rekomendasiin aa Zein ini", lanjut Zara menjelaskan dari awal.
"Terus?", balas Dokter Zein dengan perasaan yang sudah tidak enak dan juga hati yang deg-degan.
"Saya baru tahu kemarin, kalo aa zein ini, umurnya.. hampura ya aa, udah 43 tahun?", kata Zara mencoba menjelaskan agar Dokter Zein tidak tersinggung.
"Iya memang umurku udah segitu, terus kenapa? Apa ini alasannya Ra? Ngerasa aku udah sepuh gitu?", kata Dokter Zein yang sedikit kesal dan sekarang mengerti ke arah mana obrolan Zara ini.
"Aiih, aa, Zara gak ngomong sepuh kok... Cuma agak tua aja", kata Zara memutar-mutar jawabannya.
"Sama aja dong, botol infus!!", kata Dokter Zein yang kali ini sudah merasa sangat kesal.
"Hah? Aa Zein lagi beli infus? Ya udah lanjutkan aja aa. Intinya gitu deh, umur aa Zein hampir sama kayak umur paman Zara. Jadi, jujur Zara ngerasa malu. Em.. kita udahan ya aa? Hampura pisan atuh. Kita temenan aja ya, Assalamualaikum", kata Zara yang langsung mematikan teleponnya.
"Eh Ra.. Ra.. Ra.. tunggu Ra.. Yahh.. udah dimatiin deh. Wa'alaikumussalam Ra", kata Dokter Zein menjawab salam dari Zara yang sudah mematikan teleponnya.
Dokter Zein hanya tersenyum masam sambil menggelengkan kepalanya. Dalam hati, Dokter Zein berkata 'aku harap kamu gak nyesel kalo udah liat aku, Ra'.
Akhirnya Dokter Zein berjalan berkeliling RS Derisa lagi. Memantau beberapa kerusakan yang ada di sana.
'Cinta memang aneh rasanya. Katanya cinta itu buta. Tapi kok bisa liat umur?'.
Begitu kira-kira yang ada di pikiran Dokter Zein saat ini setelah mendapatkan telepon dari Zara. Padahal Dokter Zein sudah hampir move on dari almarhumah istri.
Tapi ada saja hal yang tak terduga lainnya.
Dokter Zein terus saja berjalan hingga tak terasa sedang berada persis di depan pintu masuk Instalasi Farmasi.
'Hmm.. Instalasi Farmasi? Sudah lama juga aku tidak main ke sini', kata Dokter Zein kemudian memutuskan untuk masuk ke dalamnya.
=====================