Chereads / Doctor Z / Chapter 9 - Identitas

Chapter 9 - Identitas

Tap.. tap.. tap..

Dokter Zein terlhat sedang menaiki anak tangga menuju lantai paling atas RS Derisa di lantai 5. Kemudian berbelok ke arah kanan setelah menaiki anak tangga terakhir.

Dokter Zein berjalan lurus menuju ke ruangan terbesar di antara ruangan yang lainnya. Hari ini, Dokter Zein akan menemui Pak Widodo, Direktur RS Derisa.

Tok.. Tok.. Tok..

Pintu diketok. Dan Dokter Zein segera masuk ke dalam Ruang Direktur setelah mendengar sebuah suara yang mempersilahkan dirinya masuk.

"Oh.. Dokter Zein. Silahkan.. Silahkan duduk", kata Pak Widodo dengan sangat sopan.

Jika orang lain melihat begitu sopannya Pak Widodo kepada Dokter Zein, pasti orang itu akan mengira bahwa Dokter Zein adalah anak dari salah satu pejabat di kota ini.

Dokter Zein hanya mengangguk setelah di persilahkan duduk oleh Pak Widodo. Dokter Zein pun segera duduk di sofa tamu dan memulai pembicaraan.

"Apa sudah ada bukti tambahan, Pak?", tanya Dokter Zein kepada Pak Widodo.

"Sementara ini masih belum Dok. Saya masih berusaha mencari-cari informasi dari seseorang yang bisa dipercaya untuk menguatkan beberapa buktinya", kata Pak Widodo kepada Dokter Zein.

"Hati-hati Pak Widodo. Jangan sampai kita semua ketahuan", kata Dokter Zein menasehati.

"Anda tenang saja Dok. Informanku ini sangat bisa di andalkan", kata Pak Widodo meyakinkan Dokter Zein.

"Baiklah.. Terima kasih sudah bekerja keras", kata Dokter Zein mengangguk kemudian bangkit berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah pintu keluar.

Sebelum membuka pintu, Dokter Zein menoleh dan berkata, "Tetap jaga rahasiaku!", kata Dokter Zein lagi dan setelah itu barulah dia keluar dari ruangan direktur itu.

Pak Widodo kemudian menghela nafas lega. Sambil mengelap keringat dari dahinya, Pak Widodo kembali duduk di kursinya.

'Dokter Zein begitu rendah hati. Dia adalah pemilik sebenarnya RS Derisa ini. Tapi dia mempercayakanku untuk mengurus semuanya sesuai kehendakku. Benar-benar orang yang baik', kata Pak Widodo di dalam hatinya.

Saat ini Dokter Zein berjalan menyusuri ruangan lurus yang berwarna putih terang. Sangat kebetulan sekali Dokter Zein bertemu dengan Pak Hendri yang sedang berjalan dengan dokter baru itu, Dokter Zelena.

Tinggi badan yang tidak seimbang antara Dokter Zelena dan Pak Hendri, membuat Dokter Zein ingin tertawa saat melihatnya. 

Pak Hendri dan Dokter Zelena yang berjalan berdampingan saat ini di ibaratkan 'Seperti bunga mawar, tapi sayang dihinggapi lalat', begitu isi pikiran yang ada dalam diri Dokter Zein. 

Dokter Zelena yang berjalan bersama Pak Hendri melihat seseorang yang sedang berjalan santai ke arahnya. Dokter yang berbadan tinggi dan tubuh yang proporsional.

Dokter Zelena pun merasa untuk yang pertama kali dalam hidupnya melihat seseorang yang sangat begitu menarik di hatinya. 

Saat keduanya sudah berpapasan, kembali Dokter Zelena merasakan keterkejutan saat melihat wajah Dokter Zein dari dekat. Hanya ada dua kata dalam benak Dokter Zelena saat ini, yaitu 'Tampan dan Tinggi'.

Dokter Zein hanya mengangguk saja sambil melirik mereka berdua sebagai ungkapan salam. Kemudian segera melanjutkan jalannya tanpa melihat ke arah belakang lagi.

"Siapa Dokter itu?", kata Dokter Zelena bertanya kepada Pak Hendri.

"Dokter Zein Al-Ghifari, Dokter Umum di RS Derisa ini sekaligus tangan kanan Pak Widodo", balas Pak Hendri dengan satu tarikan nafas.

Sejak Pak Hendri berjumpa dengan Dokter Zein, Pak Hendri benar-benar membaca semua profil Dokter Zein. Pak Hendri sudah mengetahui semuanya kecuali identitasnya sebagai pemilik sah RS Derisa ini.

'Al-Ghifari? Berarti dia punya darah Timur Tengah? Sama sepertiku ternyata. Tapi kenapa dia malah terlihat seperti orang Eropa? Oh tidak tidak. Dia seperti campuran orang Persia, Arab, dan Eropa. Dia terlihat sedikit mirip denganku yang terlihat seperti orang Eropa juga. Ah.. Aku tidak percaya di kota kecil ini ada seseorang seperti dia', kata Dokter Zelena yang diam sambil berpikir dan bertanya dalam hati.

"Dokter Zelena, apa anda tidak apa-apa?", tanya balik Pak Hendri saat melihat Dokter Zelena langsung terdiam.

"Tidak.. Tidak ada apa-apa. Jadi di mana ruangan Pak Widodo?", kata Dokter Zelena mengalihkan pembicaraan.

"Sebentar lagi kita akan segera sampai Dok", kata Pak Hendri lagi. 

Dokter Zelena hanya mengangguk dan beberapa saat kemudian, keduanya sampai di depan ruangan Pak Widodo.

"Ini ruangannya Dok. Silahkan masuk saja. Maaf saya tidak ikut menemani masuk. Masih banyak pekerjaan saya", kata Pak Hendri menjelaskan. 

Setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Hendri, Dokter Zelena mengetuk pintu ruangan Pak Widodo.

"Silahkan masuk", kata Pak Widodo dari dalam.

Dokter Zelena pun segera masuk. Pak Widodo pun cukup terkejut saat melihat tamunya adalah Dokter Zelena.

"Oh.. Dokter Zelena? Apa ada yang bisa saya bantu, Dok?", kata Pak Widodo berkata dengan ramah dan sedikit penasaran ada apa Dokter Zelena mencarinya.

"Begini Pak, langsung saja ya. Sebenarnya saya ingin bertukar jadwal praktek dengan Dokter Amien (salah satu Dokter spesialis Obsgyn di RS Derisa). Bisa tidak Pak Widodo membantu saya untuk berbicara dengan beliau (Dokter Amien). Saya tadi sudah meminta bantuan kepada Pak Hendri, tapi beliau ragu. Beliau bilang masih pekerja baru di RS Derisa ini. Akhirnya Pak Hendri menyarankan saya untuk berbicara dengan anda", kata Dokter Zelena menjelaskan permintaannya.

'Dasar Hendri tidak berguna. Buat malu saja. Masalah sepele seperti ini saja aku yang mengerjakan. Padahal dia sudah berbuat semaunya sendiri dalam mengubah kebijakan RS ini. Dia tadi bilang apa? Masih baru? Bilang saja takut dengan Dokter Amien yang garang itu. Payah sekali', kata Pak Widodo menghujat Pak Hendri dalam hatinya.

"Bagaimana Pak.. Bisa?", tanya Dokter Zelena yang melihat Pak Widodo seperti orang yang sedang melamun.

"Bisa, bisa, bisa Dok. Tidak masalah. Saya akan menghubungi Dokter Amien segera", kata Pak Widodo ramah kepada Dokter Zelena.

"Terima kasih, Pak...", kata Dokter Zelena senang.

"Sama-sama dok, saya senang membantu..", kata Pak Widodo yang juga ikut senang.

"Oh iya, saya mau tanya, Dokter yang tadi itu, Dokter apa ya?", kata Dokter Zelena penasaran lagi.

"Dokter yang tadi? Maksud anda Dok?", kata Pak Widodo tidak mengerti dengan pertanyaan Dokter Zelena.

"Itu... itu... Dokter yang tinggi dan tampan. Oh tidak.. Dokter yang sangat tampan itu, yang wajahnya seperti orang luar negeri", kata Dokter Zelena yang secara tidak sadar mengatakan kalimat 'sangat tampan'  yang di tujukan kepada Dokter Zein dan kemudian sedikit membuatnya malu.

Pak Widodo tersenyum, "Oh, maksud anda Dokter Zein? Dia Dokter Umum senior di sini sekaligus orang kepercayaan saya", kata Pak Widodo menjelaskan lagi.

"Jadi begitu.. Em.. apa dia sudah menikah Pak?", tanya Dokter Zelena lagi-lagi keceplosan dalam pembicaraannya. 

"Oh maaf.. maaf.. Saya.. Saya.. Saya pamit dulu Pak Widodo. Selamat siang", kata Dokter Zelena sambil bangkit berdiri kemudian berjalan cepat meninggalkan ruangan Pak Widodo.

'Zelena.. kau sedang melakukan apa sih? Kenapa kau kepo sekali dengan orang?', kata Dokter Zelena dalam hatinya.

Sementara itu Pak Widodo hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya saja dan bergumam.

"Dokter Zein memang hebat!! Sekelas Dokter Zelena pun sampai penasaran", kata Pak Widodo yang kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =

(Di Ruang Instalasi Farmasi)

"Ini tulisan apa sih?! Gak bisa dibaca!!!", kata Riska, salah seorang apoteker senior yang sedang merasa kesal.

"Coba sini aku lihat", kata Dini mendekat kepada Riska. Sebagai kepala apoteker, dia mempunyai kewajiban untuk membantu rekannya itu. Setelah melihat tulisannya, Dini pun mengerutkan dahinya.

"Maaf aku juga gak yakin. Coba telepon ke ruangan praktek Dokter Zein", kata Dini menyarankan lagi.

Ya, itu adalah resep yang ditulis oleh Dokter Zein. Sudah terkenal sejak dulu. Jika Dokter Zein sedang melakukan praktek, yang benar-benar harus waspada tingkat dewa adalah para apoteker.

Bukan karena apa, tapi tulisan resep dari Dokter Zein itu memang benar-benar tidak bisa dibaca. Sangat membingungkan seluruh apoteker.

Jika dilihat, tulisan resep ini hanya seperti sebuah garis dan tiga segitiga kerucut. Bukan hanya satu tulisan, tapi bisa sampai empat bahkan lima "kaligrafi" itu.

Melati yang memang dari dulu sudah terbiasa membaca "kode morse" resep, kemudian maju untuk membantu.

"Kenapa ketawa Mel, coba kamu baca nih", kata Riska yang melihat Melati tertawa.

"Sini coba aku liat mba. Oh, ini P*********, terus antiobiotiknya A********, terus ini H*********, sama ini K********", jelas Melati.

"Wow.. emejing. Serius ini obat-obatannya Mel?", kata Riska kagum.

"Coba untuk memastikan tanya ke Dokter Zein, mba..", kata Melati memberi saran. 

Riska pun mengangguk. Riska kemudian menelepon ke ruangan Dokter Zein. Setelah memberi tahu nama pasiennya, Dokter Zein membuka catatan pemeriksaan pasien tersebut.

Dan memang benar. Resepnya sama seperti yang dikatakan Melati.

"Kita sekarang punya penyelamat di sini. Hahahaha...", kata Riska kegirangan sambil memeluk Melati.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =

(Di Rumah Kontrakan Dokter Zelena)

'Dokter Zein Al-Ghifari', kata Zelena dalam hatinya.

Sebuah nama yang terus terngiang-ngiang di pikiran Dokter Zelena. Mata itu, alis itu, hidung dan senyuman itu.

'Ayolah Zelena! Jangan bercanda!. Kau bahkan sebentar lagi akan menikah!', kata Dokter Zelena melanjutkan ucapan dalam hatinya.

Sepanjang sore tadi, Dokter Zelena terus saja mengingat saat Dokter Zein melihat ke arahnya. Lebih tepatnya saat kedua mata mereka saling beradu.

Mata Dokter Zein yang berwarna coklat dan sedikit kehijauan, membuat kesan misterius untuknya. Apa itu warna mata asli atau tidak, hanya Dokter Zein yang tahu.

Dokter Zelena yang tidak tahan karena terus memikirkan Dokter Zein, akhirnya memutuskan untuk mencari udara segar di luar.

Dia menggunakan aplikasi ojek mobil online yang sudah dia sewa. Kemudian mencari kafe terdekat untuk sekedar membeli minuman atau melihat pertunjukan sebuah musik. 

Saat sedang melihat band kafe yang membawakan lagu 'Kita' milik Sheila On Seven, tiba-tiba ada seseorang yang menyapanya.

Suasana yang cukup remang-remang membuat Dokter Zelena tidak begitu jelas melihatnya. Orang itu kemudian duduk di hadapan Dokter Zelena.

=======================