Matahari mulai memancarkan sinarnya membuat angin sejuk berhembus meraba para pejalan kaki yang memulai hari. Jalanan kota terlihat lebih sibuk dari biasanya. Antrian kendaraan roda empat membuat seorang gadis yang duduk di kursi sebelah pengemudi terus memperhatikan jam tangannya dengan gelisah.
"Astaga, ada apa sih sama jalanan kota pagi ini?" Teesha berdecak kesal ketika jam masuk sekolah tinggal lima belas menit lagi, "Aku udah hampir terlambat masuk sekolah! Gimana dong?" ia menjambak rambutnya frustasi.
Gavin menghela nafas panjang ketika mendengar gerutuan Teesha yang sudah ia dengar sejak mereka meninggalkan rumah. Entah sudah berapa kali adiknya itu mengoceh tidak jelas. Gavin pun menyadari begitu padatnya jalanan hari ini. Jujur saja, Gavin juga sudah hampir terlambat masuk kerja. Ia kemudian menarik rem tangan dan bersandar di kursi kemudi.
"Salah sendiri ngga bangun lebih awal." Gavin mengecek ponsel untuk melihat jadwal hari ini. Syukurlah tidak ada sesuatu yang mendesak di pagi hari jadi ia bisa sedikit santai.
Teesha kembali mendecak kesal, "Jam di kamar aku mati, nanti ingetin aku buat ganti yang baru ya."
"Berhenti ngeluh Teesha, keluhan kamu ga akan bikin kita cepet keluar dari kemacetan ini." Gavin melirik Teesha melalui ekor matanya.
Teesha menghembuskan nafas kasar, ia menatap kesal jalanan yang dipenuhi oleh kendaraan roda empat itu. Ia semakin kesal ketika melihat dua orang yang mengendarai sepeda melewati mobil mereka dengan santai. Ingin rasanya ia turun dari mobil dan meminjam sepeda itu untuk pergi ke sekolah, tapi tentu saja itu tidak mungkin, kan?
Sekali lagi ia melihat jam di tangannya, sudah tidak ada waktu lagi jika harus menunggu antrian kendaraan yang tidak tahu sampai kapan ini, padahal sekolahnya tinggal sekitar dua ratus meter lagi!
"Kak, aku turun disini aja." Pengusaha muda itu memandang heran sang adik yang tiba-tiba melepas sabuk pengamannya.
"Apa?" Gavin kembali memastikan pendengarannya.
Teesha bergerak menjulurkan tangannya ke kursi belakang untuk mengambil tas sekolahnya, "Aku ga punya waktu banyak, aku udah terlambat."
Setelah berhasil mengambil tas sekolah dan sedikit merapikan rambutnya, Teesha kemudian mengecup pipi Gavin, "Bye kak, hati-hati ya. Selamat menikmati kemacetan hari ini."
Tanpa basa-basi gadis berambut karamel itu langsung keluar dari mobil dan berlari kecil kepinggir jalan sebelum ia mendengar Gavin melayangkan protesnya. Sang kakak hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah random adiknya itu.
Teesha berlari secepat yang ia bisa. Rambut pendeknya menari tertiup angin. Sia-sia saja ia merapikannya di dalam mobil tadi kan
Gadis itu berlari secepat yang ia bisa membuat rambut pendeknya menari tertiup angin. Berkali-kali ia di tegur oleh orang yang dilewatinya, diminta untuk berhati-hati karena bisa saja ia menabrak salah satu dari mereka.
Melihat pintu gerbang sekolah yang mulai didorong oleh penjaga sekolah, Teesha semakin mempercepat laju larinya. Tidak usah diragukan lagi stamina gadis ini mengingat ia pernah menjadi juara lomba maraton di sekolahnya yang dulu.
"Pak Hari!" Teesha menahan gerbang sekolah sambil mengatur nafasnya, "Aku—"
Teesha masih terengah, ia mencoba meraup oksigen sebanyak yang ia bisa, "Aku boleh masuk kan?" tanya Teesha sambil berusaha tersenyum manis walaupun sulit karena ia masih berusaha mengatur nafasnya.
Pak Hari memandang Teesha dengan datar, memperhatikan penampilan gadis di hadapannya yang terlihat berantakan. Ia bertanya dalam hati, sebenarnya apa yang sudah dilaluinya?
"Sesuai sama peraturan yang ada—" Pria paruh baya itu kembali mendorong gerbang sekolah, "Udah jelas jawabannya tidak bisa."
"Ah! Pak Hari—" Teesha kembali menahan gerbangnya, "Kalau absensi aku jelek, aku bisa-bisa dikeluarin dari sekolah ini. Jadi tolong, bantu aku satu kali ini aja."
Teesha memasang wajah sedih, berharap bisa meluluhkan hati si oenjaga gerbang. Pria paruh baya itu masih memandang Teesha datar. Ia tahu betul siapa gadis di hadapannya itu. Tidak mungkin sekolah mengeluarkan salah satu putri dari keluarga yang juga merupakan penyumbang rutin untuk yayasan sekolah ini. Satu donatur sangat berarti, kalian tahu?
Pak Hari sedikit menggeser gerbangnya, "Oke, sekali ini aja." Dan membiarkan Teesha masuk.
Dengan cepat Teesha masuk melewati pagar, "Makasih banyak Pak Hari!" Teriaknya sambil berlari dengan senyuman yang mengembang di wajahnya.
Kecepatan berlarinya kini berkurang ketika ia melihat seorang pria berambut hitam tengah berdiri di depan pintu masuk gedung sekolah. Pria itu sedang menunduk membaca sesuatu di tangannya. Kalau tidak salah kau sudah pernah bertemu dengannya kan Teesha? Hm.. siapa ya namanya? Ah iya! William.
Masa bodoh dengan pria Jaya disana, prioritas terpenting sekarang adalah masuk ke dalam kelas agar tidak tertinggal pelajaran lebih jauh.
"Permisi." Teesha berjalan melewatinya dengan tergesa-gesa tetapi langkahnya tertahan saat tas yang ia bawa ditarik oleh pria itu.
"Kamu tahu udah jam berapa ini, nona?" Suara pria itu terdengar. Teesha sedikit menegang, ia kemudian berbalik menghadap William yang kini menatapnya dengan dingin.
Gadis itu melirik ke arah tangan kiri William, "Aku rasa jam di tangan kamu bisa ngasih tahu jam berapa ini, tuan." Jawaban Teesha membuat William mengerutkan keningnya.
Gadis itu berbalik dan langkahnya kembali tertahan saat tasnya kembali ditarik oleh William.
"Astaga! Oke aku kasih tau, sekarang jam delapan lebih lima belas menit. Kamu gak perlu berterima kasih."
"Kamu terlambat."
Teesha memutar matanya, "Aku tahu aku terlambat. Makanya biarin aku masuk, aku bakalan semakin terlambat kalau kamu nahan aku disini, aku udah ketinggalan jam pelajaran, William!" Hm.. Teesha, apa kau ingat apa yang dikatakan Divinia saat pertama kali kalian bertemu? Sebaiknya jangan berurusan dengannya! Dan tolong turunkan nada suaramu, kau terlalu keras padanya.
"Aku petugas keamanan siswa minggu ini."
"Oh, gitu?" Teesha berpura-pura terkejut, "Baguslah, Pak Hari punya partner yang bisa diandalkan. Sampai jumpa."
Teesha berusaha menarik tas nya tetapi William malah menggenggam pergelangan tangan Teesha dan menarik gadis itu pergi.
"Ikut aku ke ruang OSIS."
"A-apa?"
Sudah kuperingatkan tadi, jangan salahkan aku.
.
.
Teesha baru saja keluar dari ruang OSIS, menyelesaikan urusannya dengan William. Jam sudah menunjukan pukul sembilan lebih dua puluh menit, masih ada sepuluh menit lagi untuk pelajaran selanjutnya.
Berada di ruang OSIS selama satu jam lebih membuat Teesha jenuh. Bagaimana tidak, selama mereka berada di ruang OSIS William tidak mengatakan apapun padanya, pria dingin itu hanya memberinya buku peraturan sekolah, menyuruh Teesha membaca dan memahami apa yang tertulis disana.
Mungkin sekarang mengunjungi kantin untuk sekedar membeli cokelat panas adalah pilihan yang tepat agar pikiran sedikit tenang, atau mengunjungi ruang musik? Sepertinya Teesha lebih memilih opsi kedua karena sudah lama juga ia tidak bermain musik.
Ia langsung menuju ruang musik yang terletak di gedung belakang dekat dengan gedung olahraga. Setelah sampai ia sedikit mengintip lewat kaca di pintunya, memastikan tidak ada orang disana.
Ruangan ini cukup luas, sepertinya bisa menampung lebih dari lima puluh orang. Banyak juga alat musik yang tersedia disini, tetapi Teesha lebih tertarik pada grand piano yang berada di sudut ruangan. Sudah lama ia tidak bermain piano, terakhir ia memainkannya sekitar tiga tahun yang lalu ketika ayahnya masih ada di dunia.
Teesha menekan tuts piano, lagu Ruth B yang berjudul Lost Boys terlintas begitu saja di pikirannya.
..There was a time when i was alone
Nowhere to go and no places to call home
My only friend was the man in the moon
And even sometimes he would go away too
Seorang pria berambut ash brown menghentikan langkahnya ketika ia berjalan melewati ruang musik. Siapa yang bermain piano pagi-pagi begini? Seingatnya tidak ada jadwal bermain musik di jam ini.
..Then one night as i closed my eyes
I saw a shadow flying high
He came to me with the sweetest smile
Told me he wanted to talk for a while
Pria itu membuka pintu ruang musik perlahan, lalu berjalan menuju kursi yang terletak di belakang grand piano dengan hening agar siapapun yang bermain piano di depan sana tidak merasa terganggu akan kehadirannya. Sedangkan Teesha, saking asyiknya ia bernyanyi, ia tidak menyadari kehadiran seseorang yang kini tengah menyaksikan pertunjukan dadakannya.
..He said, "Peter Pan thats what they call me
I promise that you'll never been lonely"
And ever since that day
Pria itu terlihat sangat menikmati setiap alunan nada yang dimainkan oleh gadis di depan sana, yang masih belum menyadari kehadirannya. Pria itu tersenyum tipis.
..I am a lost boy from Neverland
Usually hanging out with Peter Pan
And when we're bored we play in the woods
Always on the run from Captain Hook
"Run, run, lost boys" they said to me
Away from all of reality
Neverland is home to lost boys like me
And lost boys like me are free
Teesha sudah lebih lega sekarang. Musik memang selalu bisa membuatnya tenang dan bisa sedikit membuatnya melupakan kekesalannya tadi. Jadi ingat ketika ayahmu masih ada ya, Teesha? Kau sering sekali di tegur olehnya karena bermain piano dan bernyanyi sampai tengah malam kan? Rasanya rindu sekali.
Suara tepuk tangan membawa Teesha keluar dari lamunan nya. Jantungnya seketika berdegup kencang, seingatnya hanya ada dia sendirian di ruangan ini. Ia juga tidak menyadari jika ada orang lain yang masuk. Apa jangan-jangan ada hantu di ruangan ini? Ah jangan berpikir yang tidak-tidak, coba balikan badanmu sekarang.
Dengan gerakan cepat Teesha berdiri dan berbalik untuk memastikan siapa yang ada di belakangnya. Jantungnya makin berdegup kencang ketika melihat seorang pria berdiri di belakangnya sambil bertepuk tangan.
"Suara kamu bagus. Baru sekarang aku lihat ada orang lain yang mainin piano itu selain William." Ucap pria itu yang masih tidak bergerak dari posisinya.
"Ma-maaf..."
"Kenapa kamu minta maaf?" Teesha masih tidak bergeming dari tempatnya.
"A-aku..."
Pria itu tidak mengatakan apapun lagi, begitupun dengan Teesha yang bingung harus memulai percakapan ini darimana. Suasana disini malah menjadi sangat canggung. Teesha merasa malu karena baru kali ini ada yang mendengarkan ia bernyanyi selain keluarganya.
Dering ponsel Teesha memecah keheningan mereka. Dengan cepat ia menjawab panggilannya.
"Halo."
"Kamu dimana? Pelajaran pertama udah beres nih, mau masuk kelas gak?" Kali ini Divinia menyelamatkan nya.
"Iya aku kesana." Panggilan pun terputus.
"Emm... maaf aku harus pergi, kelas selanjutnya udah mau dimulai. Permisi." Langkah Teesha terhenti ketika lengannya ditahan saat ia melewati pria itu.
"Boleh aku tahu nama kamu?"
"Te-Teesha." Kenapa kau jadi tergagap seperti itu?
"Aku Rey. Aku seneng bisa ketemu sama kamu, Teesha." Rey pun melepas genggaman nya.
Teesha kembali berpamitan kepada Rey dan meninggalkan ruang musik dengan sedikit berlari. Bukan, bukan karena kelas selanjutnya akan dimulai, entah kenapa Teesha merasakan jika Rey lebih berbahaya dari William. Sorot mata yang teduh namun tajam itu membuat jantungnya terus berdetak lebih kencang.
.
.
Suasana kelas mulai terdengar ribut, sebagian murid sudah beranjak meninggalkan kelas untuk pergi kantin. Divinia yang baru saja selesai merapikan mejanya dari alat-alat tulis memandang heran pada sahabat disampingnya. Sedari tadi gadis itu hanya diam menundukan kepalanya di atas meja.
Divinia beranjak dari kursinya dan menghampiri Teesha, ia memegang pundak Teesha pelan, "Teesha, kamu baik-baik aja?" tanya Divinia. Adrea yang penasaran langsung berbalik menghadap Teesha yang duduk tepat di belakangnya.
Gadis bercepol itu juga heran melihat tingkah Teesha hari ini, "Kamu kenapa Teesha?"
"Mati sudah." Ucap Teesha dengan nada pelan.
Divinia dan Adrea saling melempar pandangan tidak mengerti, "Maksud kamu apa?" Divinia sedikit membungkukan badannya untuk melihat wajah Teesha, "Kamu lagi ada masalah? Coba ceritain sama kita."
Teesha mengeluarkan sesuatu dari dalam laci mejanya kemudian menyerahkannya pada Divinia dan Adrea. Divinia heran mengapa Teesha memberikan buku sangsi miliknya? Buku sangsi memang diberikan kepada seluruh murid di Adyatama yang berfungsi untuk meningkatkan kedisiplinan. Setiap murid memiliki poin awal sebanyak seratus poin, jika mereka melanggar salah satu peraturan yang ada maka sekolah akan mengurangi poin mereka sesuai dengan pelanggaran yang dibuat. Jika poin yang mereka punya kurang dari lima puluh, kemungkinan besar mereka akan dikeluarkan dari sekolah.
Dan kini baik Adrea maupun Divinia terkejut ketika melihat poin Teesha berkurang sebanyak dua puluh.
"Astaga! Ada apa dengan angka di buku sangsi kamu?" Divinia membawa buku itu lebih dekat dengan matanya.
"Kamu baru terlambat satu kali kan? Kenapa poin kau bisa hilang sampai dua puluh?" Adrea melotot tak percaya.
Teesha mengangkat kepalanya dan langsung memandang dua sahabatnya, "Itu dia! Harusnya poin aku cuma berkurang sepuluh kan? Si Ice Man itu emang nyebelin!"
Divinia menaikan satu alisnya, "Ice Man? Siapa yang kamu maksud?"
"William lah, siapa lagi! Asli ya, dia orang paling nyebelin!"
Divinia menepuk jidatnya pelan, "Aku kan udah pernah ngasih tahu kamu, jangan berurusan sama dia."
Ketiganya menghela nafas panjang secara bersamaan.
Mungkin hari-harimu kedepan akan lebih menyenangkan Teesha. Kita lihat saja nanti.
.
.
To be continued