Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

I Really Don't Want to be Reborn

🇮🇩Enchanter_Shiroe
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
149
Views
Synopsis
Siapa yang sangka, Chen Hansheng, seorang elite masyarakat dan bujangan idaman, tiba-tiba terlahir kembali dan bangun sebagai lulusan SMA? Di persimpangan hidupnya, Chen Hansheng juga bingung: gadis harta karun Shen Youchu atau cinta pertama yang nggak terlupakan, Xiao Rongyu—siapa yang harus dia pilih? Ini adalah puncaknya novel rebirth urban, penuh kisah cinta yang bikin hati deg-degan dan nggak bisa lepas! Sebuah kisah yang wajib banget dibaca sama anak muda yang nggak mau ketinggalan cerita cinta penuh drama dan pilihan sulit!
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1: Jangan Minum Sambil Nyetir

Di sebuah ruangan mewah di Hotel Internasional Jianye, sekelompok pria dan wanita berpakaian rapi saling bersulang. Wajah mereka memerah karena alkohol, tapi suasana makin hangat.

"Pak Chen, tolong bantu urusan saya di masa depan ya."

"Pak Chen, saya toast lagi buat Anda. Apa pun yang Anda minta, pasti saya lakuin!"

"Pak Chen, semoga makin sukses dan banyak rezeki ke depannya!"

Semua pujian dan toast malam itu berpusat pada satu orang: Chen Hansheng.

"Saya heran, siapa ya perempuan beruntung yang bisa menikah sama pria sehebat Pak Chen?"

Seorang wanita dengan pipi merona angkat gelasnya sambil tersenyum manja.

Chen Hansheng, di usia 35 tahun, sedang berada di puncak hidupnya—punya energi, pengalaman, dan kemampuan luar biasa. Status sosialnya bikin dia kelihatan santai dan percaya diri. Ditambah lagi, cara bicaranya yang memikat sering menarik perhatian banyak wanita.

"Miss Zhang mungkin belum tahu, Pak Chen ini masih single, lho! Dia tuh bener-bener diamond bachelor sejati," tambah seseorang sambil ikut memuji.

"Ah, pasti karena standar Pak Chen terlalu tinggi, jadi kami yang biasa-biasa ini nggak masuk kriterianya," jawab wanita itu sambil tertawa kecil. Lalu, dia menyerahkan kartu nama dengan kedua tangannya. Matanya penuh pesona, sambil berkata lembut, "Pak Chen, Anda memang sibuk dengan bisnis besar, tapi jangan lupa cari keseimbangan antara keluarga dan karier ya."

Chen Hansheng menerima kartu nama itu dengan sopan, tapi saat tangan mereka bersentuhan, dia tiba-tiba merasa ada sensasi geli di telapak tangannya. Ternyata, Miss Zhang dengan nakal menggesekkan ujung jari telunjuknya ke telapak tangan Chen sambil menatapnya penuh arti.

Chen Hansheng hanya tersenyum tipis dan kembali duduk dengan tenang, seolah semuanya biasa saja baginya.

Setelah acara hiburan selesai, sebagian besar orang di meja minuman sudah teler. Saat wanita cantik bermarga Zhang pergi, dia melirik Chen Hansheng dengan tatapan penuh arti, seperti berat hati meninggalkannya.

Chen Hansheng ngerti maksudnya. Dia hanya mengangkat tangan, memberi isyarat bahwa dia akan menelepon nanti. Wanita itu tersenyum tipis dan pergi.

Salah satu bawahannya datang menghampiri dan berkata, "Pak Chen, biar saya antar Anda pulang."

"Nggak perlu," Chen Hansheng melambaikan tangan. "Saya baru beli rumah di kompleks seberang. Saya bisa nyetir sendiri, jaraknya kurang dari 100 meter kok."

Setelah bawahannya pergi, Chen Hansheng perlahan berjalan ke mobil Tigernya. Dia duduk bersandar di kursi kulit, wajahnya menunjukkan kelelahan yang dalam.

Setiap kali habis acara sosial, meskipun perut penuh dengan anggur mahal, ada rasa kosong yang nggak bisa dijelaskan. Semacam perasaan hampa yang bikin kehilangan arah.

"Kalau sudah terjebak di dunia ini, kadang memang susah buat mengelak," pikirnya.

Chen Hansheng menarik napas panjang. Kalau kebahagiaan diukur secara dangkal dengan uang, dia jelas jauh lebih bahagia daripada kebanyakan orang. Jadi, dia merasa nggak pantas mengeluh.

Dia menyalakan radio mobil, mengenakan sabuk pengaman, dan siap menyalakan mesin. Tapi tiba-tiba, dia merasa ada sesuatu yang keras di sakunya. Ternyata itu kartu nama Miss Zhang, wanita cantik dari acara tadi.

"Zhang Mingrong. Namanya lumayan juga," gumam Chen Hansheng sambil tersenyum kecil.

Dia memainkan kartu itu dengan jari, lalu melemparkannya keluar jendela. Kartu nama itu melayang membentuk lengkungan di udara malam, sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Tanpa ragu, ban Land Rover-nya melindas kartu itu sampai hancur.

Dunia "pameran kesombongan" orang dewasa memang penuh drama. Siapa yang terlalu serius menanggapinya, dia yang bodoh.

Di dalam Land Rover-nya, alunan lagu "Five Hundred Miles from Home" memenuhi udara.

If you miss the train I'm on

You will know that I am gone

You can hear the whistle blow

A hundred miles away…

Lirik lagu itu mungkin jauh dari kehidupan Chen Hansheng yang sekarang, tapi suasana yang diciptakan lagu itu menyentuh hatinya. Angka dan pengulangan dalam liriknya seperti menyuarakan beratnya hidup.

Di mana pun, kapan pun, orang-orang yang meninggalkan kampung halaman untuk mencari penghidupan akan selalu membawa rasa kehilangan di dalam hati mereka—baik mereka kaya ataupun miskin.

"Aku udah lama nggak ketemu orangtuaku. Gimana kalau malam ini aku pulang ke rumah mereka?" pikir Chen Hansheng sambil menatap ke luar jendela.

Mikir kayak gitu, Chen Hansheng tanpa sadar memutar setir mobil di bawah pengaruh sisa alkohol dari minuman tadi malam.

Tiba-tiba, ada cahaya putih yang menyilaukan datang dari samping, diikuti suara benturan keras. Setelah itu, semuanya gelap. Chen Hansheng nggak tahu apa-apa lagi.

"Xiao Chen, bangun dong, bus-nya udah mau berhenti."

Dalam keadaan setengah sadar, Chen Hansheng dibangunkan oleh sebuah suara. Matanya langsung terasa silau karena sinar matahari, dan kepalanya cenat-cenut gara-gara alkohol.

"Sial, gue nggak bakal minum sebanyak itu lagi," Chen Hansheng mengerutkan kening sambil ngomel sendiri.

"Yah, kemarin kan reuni terakhir kelas SMA. Semua orang minum banyak. Lagian, mabuk gara-gara cinta tuh nggak ada salahnya," kata seorang cowok berusia 17 atau 18 tahun, badannya agak gemuk, kulitnya gelap, dan senyumnya lebar.

Dia melanjutkan sambil bercanda, "Udah gue bilangin dari dulu, jangan nyatain cinta ke Xiao Rongyu. Tapi lo maksa nyoba gara-gara ujian masuk universitas udah selesai. Jadi, gimana hasilnya?"

Chen Hansheng hanya diam, sementara cowok itu ngejek lagi, "Lo suka banget sama dia, ya? Dasar mati gaya."

Setelah ngomong begitu, cowok itu lihat Chen Hansheng yang cuma diam bengong sambil menatap dia terus. Cowok itu akhirnya ngomong, dengan nada setengah nggak senang, "Apa lo marah gara-gara gue ngejelek-jelekin Xiao Rongyu?"

"Kita kan teman masa kecil. Gue tumbuh bareng sama dia. Lo cuma temen sekelas selama tiga tahun SMA. Saran gue, anggap aja kejadian semalam itu sebagai kenangan dan lupain aja semuanya."

Pas cowok itu mulai ngoceh panjang lebar, Chen Hansheng nggak tahan lagi dan akhirnya menyela, "Lo siapa sih?"

"Gue!?"

Muka cowok itu awalnya kaget, terus berubah jadi marah. Begitu bus berhenti, dia langsung narik Chen Hansheng yang masih kebingungan keluar dari bus sambil teriak, "Kebodohan tuh bukan amnesia! Gue ini sahabat lo, Wang Zibo. Lo lupa nama lo sendiri itu Chen Hansheng?!"

"Wang Zibo?"

Chen Hansheng memang punya seorang sahabat bernama Wang Zibo, tapi dia bukan di China.

"Bukannya Wang Zibo lagi di Irak?"

"Sialan lo, Chen Hansheng! Apa lo doain gue cepet mati?"

Kali ini Chen Hansheng nggak ngomong apa-apa. Dia malah bengong, menatap pantulan dirinya di kaca reflektif di halte bus. Yang dia lihat adalah seorang remaja, wajah yang terasa akrab tapi juga asing, dengan sedikit rambut halus di atas bibirnya.

Langit cerah tanpa awan, jalanan masih berlumpur, dan debu yang terbang terlihat jelas di bawah sinar matahari. Dari pengeras suara di tukang cukur di pinggir jalan, terdengar lagu dengan suara melengking:

"Menemani kamu melihat hujan meteor jatuh ke bumi ini, dan membiarkan air matamu jatuh di bahuku…"

Pemandangan jalanan dan lagu itu bikin Chen Hansheng sedikit pusing. Dia mulai sadar kalau kejadian aneh ini benar-benar terjadi padanya. Perutnya juga tiba-tiba terasa mual, dan tanpa bisa menahan diri, dia berjalan ke pinggir jalan dan muntah.

Wang Zibo, tanpa jijik sedikit pun, datang menghampiri. Dia menepuk-nepuk punggung Chen Hansheng sambil berkata, "Tenang aja, setelah muntah pasti lega."

Setelah semua isi perutnya keluar, kesadaran Chen Hansheng mulai jernih. Sosok Wang Zibo yang sekarang akhirnya terasa nyambung dengan ingatannya.

"Kita mau ke mana sekarang?" tanya Chen Hansheng dengan suara lemah.

"Ke sekolah, ambil surat penerimaan universitas."

Wang Zibo nggak lagi kaget dengan tingkah aneh Chen Hansheng. Lagian, sahabatnya ini tadi malam juga bikin pengakuan cinta panjang lebar yang nggak ada habisnya.

Chen Hansheng mulai mengingat pelan-pelan. Memang, dia dan Wang Zibo mau ke sekolah untuk ambil surat penerimaan. Dia sendiri punya dua salinan biasa, sementara Wang Zibo punya satu.

Tapi yang lebih mengejutkan, tahun ini bukan 2019. Ini 2002.