Sarah menatap rumah tua di hadapannya dengan campuran rasa takut dan penasaran. Bangunan dua lantai bergaya Victoria itu berdiri menjulang, cat putihnya mengelupas dimakan usia. Jendela-jendela hitam menganga seperti mata kosong yang mengawasi.
"Kau yakin mau melakukan ini?" tanya Mike, rekan kerjanya di stasiun radio lokal.
Sarah mengangguk mantap. "Ini kesempatan bagus untuk acara baru kita. Semalam di Rumah Berhantu akan jadi hit."
Mike menggeleng. "Aku tetap berpikir ini ide buruk. Kau tahu apa yang terjadi pada keluarga terakhir yang tinggal di sini?"
"Hanya rumor," Sarah menjawab cepat, meski getaran di suaranya mengkhianati keyakinannya sendiri.
Keduanya mulai menurunkan peralatan dari mobil van. Mikrofon, kamera, lampu, dan berbagai alat pendeteksi aktivitas paranormal. Sarah melirik matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat. Dalam hitungan jam, kegelapan akan menyelimuti rumah ini.
Pintu depan berderit mengerikan saat Sarah mendorongnya terbuka. Udara pengap dan bau apak menyergap hidungnya.
"Halo? Ada orang di sini?" Sarah berseru, suaranya bergema di ruangan kosong.
Hening. Hanya detak jarum jam tua yang menjawab.
Sarah menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mulai tak beraturan. Ia melangkah masuk, sepatu botnya meninggalkan jejak di lantai berdebu.
"Mari kita mulai dari ruang tamu," ujar Sarah, mengeluarkan mikrofon dari tasnya.
Mike mengangguk dan mulai memasang kamera.
Sarah memulai rekamannya. "Selamat malam para pendengar setia Dark Whispers. Malam ini, saya, Sarah Connor, akan membawa Anda menjelajahi salah satu rumah paling angker di kota ini..."
Tiba-tiba, suara gedebuk keras terdengar dari lantai atas. Sarah dan Mike saling pandang dengan wajah pucat.
"Mungkin hanya tikus," Mike berusaha menenangkan.
Sarah mengangguk, tapi tangannya gemetar saat memegang mikrofon. "Mari kita periksa lantai atas."
Mereka menaiki tangga perlahan, setiap langkah membuat kayu tua di bawah kaki mereka berderit. Udara semakin dingin dan Sarah bisa melihat uap nafasnya.
Di ujung tangga, sebuah lorong gelap membentang. Pintu-pintu tertutup berjajar di kedua sisi. Sarah menyalakan senter, cahayanya menyapu dinding berlapis wallpaper usang.
"Kau dengar itu?" Mike berbisik tiba-tiba.
Sarah menajamkan pendengarannya. Samar-samar, ia mendengar suara tangisan anak kecil.
"Dari sana," Sarah menunjuk pintu di ujung lorong.
Dengan jantung berdegup kencang, Sarah melangkah mendekati pintu itu. Tangannya Dengan tangan gemetar, Sarah meraih gagang pintu. Dinginnya logam membuat bulu kuduknya meremang. Ia menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian.
"Sarah, tunggu—" Mike berusaha mencegah, tapi terlambat.
Sarah membuka pintu itu perlahan. Engselnya berderit, memecah keheningan malam. Ruangan di baliknya gelap gulita. Sarah menyorotkan senternya ke dalam.
Cahaya senter menyapu ruangan yang tampaknya dulunya kamar anak-anak. Wallpaper bergambar beruang teddy terkelupas di sana-sini. Sebuah ranjang kecil berdiri di sudut, sprei putihnya berdebu. Di tengah ruangan, sebuah boneka porselen duduk menghadap dinding.
"Halo?" Sarah memanggil pelan. "Ada seseorang di sini?"
Hening. Suara tangisan yang tadi mereka dengar telah lenyap.
Sarah melangkah masuk, diikuti Mike yang tampak ragu-ragu. Udara terasa lebih dingin di dalam ruangan ini.
Tiba-tiba, pintu di belakang mereka menutup dengan keras. Sarah dan Mike terlonjak kaget.
"Apa-apaan—" Mike berbalik, mencoba membuka pintu. Terkunci.
Sarah merasakan kepanikan mulai menjalari tubuhnya. Ia menyorotkan senter ke sekeliling ruangan, mencari jalan keluar. Matanya tertumbuk pada boneka porselen di tengah ruangan.
Boneka itu kini menghadap ke arah mereka.
"M-Mike..." Sarah tergagap, menarik lengan rekannya.
Mike berbalik, wajahnya memucat saat melihat boneka tersebut. "Itu... tidak mungkin. Tadi dia menghadap dinding, 'kan?"
Sebelum Sarah bisa menjawab, suara tawa anak kecil terdengar memenuhi ruangan. Bukan tawa riang, melainkan tawa mengerikan yang membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Boneka itu perlahan mengangkat kepalanya, mata kaca hitamnya menatap lurus ke arah Sarah dan Mike. Bibirnya yang retak membentuk senyuman menakutkan.
"Mau main?" suara serak keluar dari boneka itu.
Sarah menjerit, menjatuhkan mikrofon dan senternya. Dalam kepanikan, ia dan Mike menggedor-gedor pintu, berusaha membukanya.
"Tolong! Siapapun, tolong kami!" teriak Sarah histeris.
Suara tawa itu semakin keras. Sarah merasakan sesuatu menyentuh kakinya. Ia menunduk dan melihat boneka itu kini berada di dekat kakinya, kepalanya terangkat menatap Sarah.
"Mainlah denganku selamanya," ujar boneka itu, tangannya yang dingin mencengkeram kaki Sarah.
Sarah menjerit sekuat tenaga, air mata ketakutan mengalir di pipinya. Tepat saat itu, pintu terbuka dengan keras. Sarah dan Mike terjatuh ke lorong, terengah-engah.
Mereka buru-buru bangkit dan berlari menuruni tangga, tak berani menoleh ke belakang. Suara tawa anak kecil masih terdengar menggema di belakang mereka.
Sarah dan Mike terus berlari hingga keluar rumah, nafas mereka tersengal-sengal. Tanpa banyak bicara, keduanya masuk ke dalam van dan Mike segera menyalakan mesin.
Saat van melaju meninggalkan rumah tua itu,
Sarah menatap ngeri ke arah rumah yang semakin mengecil di kaca spion. Jantungnya masih berdegup kencang, nafasnya tersengal-sengal.
"Kau lihat itu tadi?" tanya Sarah dengan suara bergetar. "Boneka itu... dia bergerak!"
Mike mengangguk, wajahnya pucat pasi. "Aku melihatnya. Tapi... itu tidak mungkin, kan? Pasti ada penjelasan logisnya."
Sarah menggeleng kuat-kuat. "Tidak ada penjelasan logis untuk apa yang baru saja kita alami, Mike. Itu... itu nyata."
Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat, hanya suara deru mesin van yang terdengar.
"Bagaimana dengan peralatan kita?" tanya Mike tiba-tiba.
Sarah tersentak. Dalam kepanikan mereka, mereka meninggalkan semua peralatan di dalam rumah.
"Kita harus kembali," ujar Sarah dengan berat hati.
Mike menatapnya tidak percaya. "Kau gila? Setelah apa yang terjadi?"
"Peralatan itu mahal, Mike. Kita bisa dipecat jika kehilangan semuanya," Sarah menjelaskan. "Lagipula... kita perlu bukti. Tidak ada yang akan percaya cerita kita tanpa bukti."
Mike menghela nafas panjang, lalu mengangguk. Ia memutar kemudi, membawa van kembali ke arah rumah tua itu.
Saat mereka tiba, rumah itu tampak sama menyeramkannya seperti sebelumnya. Sarah dan Mike turun dari van dengan ragu-ragu.
"Kita masuk, ambil peralatan, lalu pergi. Cepat dan hati-hati," instruksi Sarah.
Mereka melangkah masuk dengan hati-hati. Ruang tamu masih sama seperti saat mereka tinggalkan. Kamera dan beberapa peralatan lain masih tergeletak di lantai.
"Aku akan ke atas mengambil mikrofon," ujar Sarah.
"Jangan!" Mike menahannya. "Kita ambil yang ada di sini saja. Terlalu berbahaya ke atas."
Sarah hendak membantah, tapi suara langkah kaki dari lantai atas membuat mereka membeku.
Tap. Tap. Tap.
Suara itu semakin mendekat. Sarah dan Mike saling pandang dengan wajah pucat.
"Lari!" seru Mike.
Mereka bergegas mengambil peralatan yang bisa mereka jangkau dan berlari keluar rumah. Tepat saat mereka mencapai pintu depan, Sarah mendengar suara tawa anak kecil yang mengerikan itu lagi.
"Jangan tinggalkan aku..." suara itu berbisik tepat di telinga Sarah.
Sarah menjerit dan berlari sekuat tenaga menuju van. Mike sudah menyalakan mesin. Begitu Sarah masuk, ia segera tancap gas.
Mereka berkendara dalam diam selama beberapa menit, masih shock dengan kejadian barusan.
"Kau... kau dengar suara itu?" tanya Sarah akhirnya.
Mike mengangguk pelan. "Ya. Dan aku melihat... sesuatu. Di ujung tangga. Seperti bayangan anak kecil."
Sarah bergidik. Ia merogoh tasnya, mencari ponselnya untuk menghubungi kantor mereka. Tapi alih-alih ponselnya, tangannya menyentuh sesuatu yang dingin dan keras.
Dengan tangan gemetar, Sarah mengeluarkan benda itu dari tasnya. Mata Sarah terbelalak ngeri saat melihat apa yang ada di tangannya. Boneka porselen yang sama dari kamar anak-anak itu kini berada di pangkuannya, mata hitamnya yang kosong menatap lurus ke arah Sarah.
"Mike..." Sarah berbisik, suaranya bergetar hebat. "Berhenti... sekarang."
Mike menoleh dan nyaris kehilangan kendali kemudi saat melihat boneka itu. Ia segera menepikan van ke pinggir jalan yang sepi.
"Bagaimana bisa...?" Mike tergagap, matanya terpaku pada boneka menyeramkan itu.
Sarah menggeleng, air mata ketakutan mulai mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu. Aku tidak mengambilnya, Mike. Aku bersumpah!"
Tiba-tiba, kepala boneka itu bergerak perlahan, matanya kini menatap lurus ke arah Mike. Seringai mengerikan terbentuk di wajah porselennya yang retak.
"Kalian tidak bisa lari dariku," suara serak keluar dari boneka itu, membuat Sarah dan Mike terlonjak kaget.
Tanpa pikir panjang, Sarah membuka pintu van dan melempar boneka itu sekuat tenaga ke jalanan yang gelap.
"Ayo pergi dari sini!" teriak Sarah.
Mike tidak perlu diperintah dua kali. Ia segera menginjak gas, membawa van melaju kencang meninggalkan tempat itu.
Sarah menoleh ke belakang, jantungnya berdegup kencang. Di kejauhan, ia bisa melihat sosok kecil berdiri di tengah jalan, menatap ke arah mereka.
"Ini gila," gumam Mike, tangannya gemetar di kemudi. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Sarah menggeleng, masih berusaha menenangkan dirinya. "Aku tidak tahu, Mike. Tapi satu hal yang pasti, kita harus melaporkan ini."
"Melaporkan? Kepada siapa? Polisi? Mereka akan menganggap kita gila!"
"Bukan polisi," jawab Sarah. "Kita perlu bantuan profesional. Aku punya kenalan, seorang paranormal. Namanya Dr. Elena Reeves. Dia pernah menjadi narasumber di acara radio kita."
Mike mengangguk setuju. "Baiklah, kita hubungi dia besok pagi. Sekarang, kita perlu istirahat dan menenangkan diri."
Mereka akhirnya tiba di apartemen Sarah. Keduanya masih terlalu takut untuk berpisah, jadi Mike memutuskan untuk menginap di sofa.
Malam itu, Sarah tidak bisa tidur. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan boneka mengerikan itu muncul dalam benaknya. Suara tawa anak kecil itu terus terngiang di telinganya.
Pukul 3 pagi, Sarah terbangun karena mendengar suara aneh dari ruang tamu. Dengan hati-hati, ia keluar dari kamarnya.
"Mike?" panggilnya pelan.
Tidak ada jawaban. Sarah melangkah ke ruang tamu dan mendapati sofa dalam keadaan kosong. Mike tidak ada di mana-mana.
Panik mulai menyelimuti Sarah. Ia memeriksa seluruh apartemen, tapi Mike benar-benar menghilang.
Saat kembali ke ruang tamu, mata Sarah tertumbuk pada sesuatu di atas meja. Sebuah note kecil dengan tulisan tangan yang tidak dikenalnya:
"Permainan baru saja dimulai. Giliranmu, Sarah