Tahun ke-30.000.000
[ PERINGATAN!!! PERINGATAN!!! PERINGATAN!!! ]
"!!!"
[ PLANET/DUNIA ASTRALIS TELAH DISERANG OLEH MAKHLUK ASING TAK DI KENAL! ]
"Apa!? Yang bener saja!"
Kai, yang sedang dalam keadaan meditasi, tiba-tiba membuka matanya sedikit.
Namun, dia tidak langsung bereaksi.
Sebaliknya, dia hanya duduk diam, menarik napas dalam, lalu kembali menutup matanya.
Duduk.
Bermeditasi.
Menutup matanya.
Sementara itu, di sudut lain alam semesta…
Dunia/Planet Astralis
Di langit yang kelam, seseorang berdiri dengan angkuh.
Pria berjubah putih dengan rambut perak yang berkilauan itu menatap ke bawah, ke dunia yang kini berada dalam kekacauan.
Di belakangnya, ribuan pasukan berjubah hitam melayang di udara, mata mereka bersinar merah seperti bara api.
Sang pemimpin kemudian mengangkat tangannya, lalu berteriak dengan suara yang bergema ke seluruh penjuru dunia.
"Hahahahaha!!!!! Dasar makhluk lemah dan bodoh! Tunduk-lah kepada Heavenly Dao! Bayarlah dosa-dosa-mu dengan jiwa kalian!"
Suaranya menggelegar, seakan langit dan bumi sendiri tunduk kepadanya.
Ia melanjutkan,
"Kalian telah melakukan dosa yang besar! Manusia hanyalah makhluk hama! Merusak ekosistem dunia dan membunuh sesama! Apa kalian tidak malu?!"
Matanya menyapu penduduk yang ketakutan di bawah.
"Jadi tunduk-lah kepadaku! Aku yang memerintahkan langit dan bumi! Aku yang memerintahkan alam! Dan aku yang memerintahkan dunia ini!"
Tak ada yang berani melawan.
Tak ada yang berani menjawab.
Hanya keheningan yang menyelimuti dunia.
Di Dalam Suatu Kuil Di Planet Astralis.
Pendeta tua yang berada di dalam kuil menatap ke depan dengan cemas.
Di depannya, seorang pria dengan pakaian sederhana duduk dalam posisi meditasi.
Ia telah duduk seperti itu selama puluhan juta tahun.
Namun kali ini…
Matanya terbuka.
Pendeta itu tersentak kaget.
Napasnya tercekat, dan tubuhnya bergetar.
Ia tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Kai—sosok yang selama ini mereka tunggu—telah bangun.
Bersujud.
Pendeta itu langsung berlutut di hadapan Kai, tubuhnya gemetar, suaranya bergetar penuh harapan.
"Oh, Dewa! Selamatkan-lah kami dari penjajah asing!"
Ia memohon dan menangis, merendahkan diri sepenuhnya di hadapan Kai.
Melihat itu, Kai hanya menghela napas pelan.
Tatapannya tetap datar.
Namun, ada sedikit rasa iba yang tersirat dalam sorot matanya.
Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya berbicara.
"Angkat kepalamu, dan berdirilah. Biarkan aku saja yang melawan mereka."
Suaranya dingin, tetapi penuh dengan kepercayaan diri.
Pendeta itu mengangkat kepalanya perlahan, matanya penuh harapan.
Kai lalu bangkit berdiri.
Saat itu juga, dunia seakan berhenti berputar.
Angin berhembus kencang.
Langit yang mendung mulai bergemuruh.
Musim tiba-tiba berubah.
Seolah alam itu sendiri telah menunggu kedatangan Kai.
Duel di Langit.
Di tengah langit yang gelap, aura menakutkan bergemuruh, menekan seluruh area di bawahnya. Sosok bertubuh besar melayang angkuh di udara, tubuhnya bersinar dengan energi ilahi yang seakan memisahkan dirinya dari makhluk fana.
Namun, di bawah sana, seorang pemuda berdiri dengan santai, bahunya sedikit membungkuk, ekspresinya santai, namun matanya memancarkan kilatan penuh ejekan.
Kai mendongak ke langit, melihat pria botak yang menatapnya dari atas dengan tatapan meremehkan.
Dengan seringai kecil, Kai mengangkat tangannya—
Lalu, menunjukkan jari tengah.
"Hei, yang ada di langit!" teriaknya keras.
Dia menggerakkan tangannya dengan gerakan meledek.
"WOI, BOTAK!!!"
Teriakan itu bergema di seluruh area, membuat beberapa orang yang masih berada di kejauhan menahan napas mereka.
Di atas sana, pria botak itu akhirnya menoleh.
Wajahnya tetap tanpa ekspresi pada awalnya, tapi matanya memicing tajam saat melihat Kai.
Dari tubuh Kai, energi hitam menggeliat, seperti makhluk buas yang siap menerkam. Energi itu bukan sekadar tekanan biasa—ia memiliki kesadaran, seakan-akan hidup dan bernapas bersama pemiliknya.
Pria botak itu mendecak pelan.
"Tsk. Menjijikkan," katanya dingin, suaranya bergetar dengan kekuatan yang bisa meruntuhkan gunung.
Kai berhenti.
Dia berkedip beberapa kali, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.
Menjijikkan?
MENJIJIKKAN!?
Sudah sangat lama tidak ada yang berani menghinanya seperti itu.
Senyumnya perlahan memudar.
Mata emasnya menyipit.
Dengan suara rendah, dia menggumam, "Apa tadi yang kau katakan...?"
Pria itu melipat tangannya di dada, senyumnya menyeringai, matanya penuh dengan kesombongan.
"Aku bilang kau menjijikkan."
Kai menatap pria itu dengan ekspresi kosong selama beberapa detik.
Lalu...
"Hah...?"
BUMM!!!
Tanah di bawahnya tiba-tiba merekah lebar, gelombang energi mengamuk di sekitarnya.
Kai mengepalkan tangan, wajahnya dipenuhi kemarahan yang tertahan.
Tapi pria botak itu tampak tidak peduli.
Dengan suara santai, dia berkata, "Oh, aku mengerti sekarang..."
Tatapannya menyapu sekeliling, melihat puing-puing reruntuhan dan mayat yang berserakan akibat pertempuran sebelumnya.
Dia menyeringai.
"Kau yang selama ini membantu para hama ini, bukan?"
Hama.
Kata itu kembali menggetarkan telinga Kai.
Sebuah urat mulai menonjol di dahinya.
"Hama?"
Napasnya mulai berat, udara di sekelilingnya bergetar.
"Kau menyebut mereka hama?"
"Tentu saja," pria botak itu mengangkat bahu, "Makhluk-makhluk lemah yang hanya tahu mengemis kekuatan tanpa memahami makna kekuatan sejati."
"..."
Kai mengepalkan tangan.
Lalu—
BUM!!!
Seketika, tubuhnya menghilang.
Pria botak itu tidak sempat berkedip—
DUAK!!!
Kai sudah ada di depan wajahnya!
Dengan satu tangan, Kai mencengkeram kepala pria itu dengan kuat.
Pria botak itu tersentak, matanya membelalak.
"Apa—?"
DUAAARRR!!!
Sebuah ledakan dahsyat terjadi saat Kai membanting kepala pria itu ke bawah.
Kecepatan mereka menciptakan gesekan udara yang memunculkan percikan api, seolah ada meteor yang jatuh dari langit.
Dan kemudian—
DUUUMMM!!!
Tanah di bawahnya meledak terbuka!
Gelombang kejut menghancurkan sekitarnya, menciptakan kawah besar yang dalam.
Kai berdiri di tepi kawah itu, melihat ke bawah dengan ekspresi tidak terkesan.
"Hanya segitu?" katanya dengan nada mengejek.
Hening.
Lalu—
Tiba-tiba, terdengar suara pelan.
"Heh..."
Dari dalam kawah, sebuah tangan besar mencengkeram tanah.
Kemudian, tubuh pria botak itu bangkit perlahan.
Dia menepuk-nepuk jubahnya dengan santai, membersihkan debu dari pakaiannya.
Tatapannya kembali naik, menatap Kai dengan senyum kecil.
"Lumayanlah."
Kai menatapnya dengan tajam, lalu mengangguk.
Untuk pertama kalinya, dia mengakui sesuatu.
"Bagus. Sangat kuat. Kau cocok menjadi murid pertama-ku!" katanya sambil tersenyum.
Pria botak itu menatapnya, lalu tiba-tiba tertawa keras.
"Murid!? HAHAHA! Pantatku jadi murid!"
Dengan kecepatan kilat, dia melompat dan menyerang Kai dengan tendangan tinggi.
Namun, Kai hanya mengangkat satu tangan.
PLAK!
Tendangan itu tertahan dengan mudah.
Mata pria itu melebar.
Namun dia tidak menyerah.
Dia langsung meluncurkan serangan beruntun—pukulan, tendangan, siku, lutut—semuanya dengan kecepatan dan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan gunung.
Namun, Kai tidak bergerak sedikit pun.
Serangan demi serangan menghantam tubuhnya, namun tidak ada satu pun yang berhasil melukainya.
BOOM! BOOM! BOOM!
Tanah di sekitar mereka hancur berantakan, menyebabkan gempa lokal di daerah itu.
Kai hanya berdiri, diam di tempatnya, menerima semua serangan dengan ekspresi datar.
Pria botak itu mulai kehabisan napas.
Namun dia tidak menyerah.
Dia melompat ke udara, kedua tangannya bersinar dengan cahaya suci.
"Teknik Surgawi: PUKULAN PENGHANCUR!!!"
Dia menghantamkan tinjunya ke bawah—
BOOOOOOMMMMMM!!!
Serangan itu membelah langit dan menciptakan celah sepanjang 10 kilometer di tanah.
Kai terpental jauh!
BUK! BUK! BUK!
Tubuhnya menghantam beberapa gunung, sebelum akhirnya—
DUAAARRR!!!
Menancap di dinding gunung dengan keras!
Asap dan debu mengepul di udara.
Dari kejauhan, pria botak itu menyeringai.
"Hah! Cuman segitu!?" katanya dengan nada meremehkan.
Namun, saat dia menatap gunung yang baru saja dihancurkan-nya...
"!!"
Sebuah tangan mencengkeram dinding gunung.
Kai menarik kepalanya keluar, berdiri perlahan, lalu menepuk bajunya untuk membersihkan debu.
Dia mendongak, menatap pria botak itu dengan senyum dingin.
"Kau pikir itu cukup?"