Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

The singular anomaly

🇮🇩Aefel
--
chs / week
--
NOT RATINGS
288
Views
Synopsis
Arthur, seorang pria biasa, menjalani hidupnya dengan merawat ibunya yang sakit. Namun, setelah bencana dahsyat yang mempersatukan dunia manusia dan dunia sihir, kehidupan Arthur berubah selamanya. Ibunya tewas di tangan sosok misterius, yang membawa mayatnya melalui portal ke dunia lain Terpukul oleh kehilangan, Arthur bersumpah untuk membalas dendam. Namun, saat ia semakin mendalami penyebab kematian ibunya, ia menyadari bahwa kekuatan yang merenggut hidup ibunya ternyata merupakan Sosok yang menjaga keseimbangan dari tatanan dunia. Arthur harus menghadapi dilema berat: setelah membalas dendam, bagaimana dia bisa mengatasi ancaman yang lebih besar dan menyelamatkan dunia dari kehancuran total?
VIEW MORE

Chapter 1 - Awal dari Akhir

Malam itu, dalam keheningan yang memeluk kota, Arthur berjalan pulang dari kantornya. Langkahnya menyusuri jalanan yang dihiasi cahaya remang-remang dari lampu jalan. Keheningan malam terpecah ketika gerimis mulai turun, perlahan mengundang dingin.

Arthur melangkah santai, tak peduli meski ia tak membawa payung. Rumahnya sudah dekat, pikirnya. Tak ada alasan untuk terburu-buru—lagi pula, ini hanya gerimis. Namun, hujan yang semakin deras memaksanya untuk mencari perlindungan.

Matanya tertuju pada minimarket di sisi kiri jalan, yang seakan memanggilnya untuk berhenti. Tanpa banyak berpikir, Arthur bergegas ke minimarket itu, mencari tempat berteduh.

Sesampainya di sana, sambil menunggu hujan mereda, Arthur merogoh sakunya, mencari-cari apakah ada rokok yang tersisa. Namun, malangnya, yang ia temukan hanyalah bungkus kosong. Ia mencoba menahan diri, bertekad untuk berhemat, namun kebosanan segera melahapnya. Menunggu hujan tanpa ditemani sebatang rokok terasa seperti sebuah siksaan kecil.

Dengan langkah yang berat, Arthur mendorong pintu minimarket, disambut oleh aroma pengharum ruangan yang bercampur dengan wangi makanan ringan. Ia melangkah menuju meja kasir, matanya terarah pada rak di belakangnya. Deretan rokok tersusun rapi, menawarkan kehangatan yang kontras dengan dinginnya hujan yang mengguyur di luar.

Satu bungkus Filt, ujarnya dengan nada datar. Tangannya merogoh saku, memastikan uangnya cukup.

Petugas kasir, seorang pria muda dengan seragam minimarket yang tampak kebesaran, hanya mengangguk. Sebungkus rokok dengan cekatan berpindah tangan, tanpa sepatah kata tambahan.

Arthur mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, menyelesaikan pembayaran dengan cepat. Tanpa banyak basa-basi, ia membalikkan badan dan melangkah keluar dari minimarket, kembali ke dinginnya malam.

Di bawah atap luar minimarket, ia bersandar pada tembok dingin, menurunkan tas kerjanya ke bangku logam di samping. Dengan gerakan perlahan, ia membuka bungkus rokok dan mengambil sebatang. Tangan kirinya menyelipkan rokok di bibir, sementara tangan kanannya mengeluarkan korek api dari saku. Namun, koreknya basah—terlalu lama terpapar hujan.

Ia mencoba menyalakannya berkali-kali. Satu kali. Dua kali. Hingga akhirnya, di percobaan kelima, api kecil muncul, melawan dingin dan basah yang menguasai malam.

Isapan pertamanya tipis, hampir ragu-ragu. Asap mengepul, hangat, seolah memberikan sedikit kenyamanan di tengah udara dingin yang menyengat. Di bawah atap yang melindunginya dari hujan deras, pikirannya mulai melayang, terbang jauh ke tempat lain.

Pikirannya kembali ke ibunya. Sepuluh tahun yang lalu, tubuh wanita itu mulai kehilangan fungsinya, perlahan tapi pasti, seolah sedang melawan dirinya sendiri. Dokter tidak pernah menemukan jawaban. Mereka hanya memberi anggukan dan kata-kata kosong yang tidak bisa mengobati ketakutan yang menggerogoti keluarganya.

Arthur menarik napas dalam-dalam, asap rokok tipis mengepul ke udara dingin. Setiap tarikan seperti mengingatkan pada beban yang tak pernah hilang—sebuah penyakit tanpa nama, dan kenangan akan senyum ibunya yang perlahan memudar.

Arthur menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tidak ingin tenggelam dalam kesedihan. Tanpa sadar, rokoknya telah habis. Ia mengambil sebatang lagi dari saku, bersiap menyalakannya. Namun, sebelum api dari koreknya menyala, bumi di bawahnya berguncang hebat.

Dinding minimarket tempatnya bersandar mulai retak, suara gemuruh bercampur dengan ledakan petir yang memekakkan telinga. Arthur tersentak, matanya membelalak. Ketakutan menyergapnya, membuat pikirannya kacau.

Tanpa banyak berpikir, ia berlari meninggalkan tempat itu. Langkah-langkahnya tergesa, nyaris tanpa arah, tetapi satu hal memenuhi pikirannya: ibunya.

Ia bahkan melupakan tas kerjanya yang tertinggal di bangku. Rasa takut mengalahkan segalanya. Ibu... gumamnya, napasnya terputus-putus.

Sepanjang perjalanan, kekacauan menyambutnya. Bangunan-bangunan di sekitar mulai rubuh, puing-puing berserakan di jalan. Lampu-lampu padam, meninggalkan kota dalam kegelapan yang mencekam. Jeritan terdengar dari kejauhan, bercampur dengan suara alarm kendaraan yang tak henti-henti berbunyi.

Arthur terus berlari, tubuhnya gemetar, kakinya terasa berat. Tapi ia tidak peduli. Hanya satu hal yang ia inginkan: sampai di rumah dan memastikan ibunya selamat.

Di tengah perjalanan, langkah Arthur terhenti ketika kakinya tergelincir. Trotoar yang licin menjadi musuhnya. Tubuhnya jatuh keras ke tanah, dan kepala bagian sampingnya menghantam trotoar. Sakit yang tajam menghantam kesadarannya, dan darah mulai mengalir dari luka di pelipisnya, hangat, bercampur dengan dinginnya hujan.

Arthur menggeram pelan, menggigit bibir untuk menahan rasa sakit. Meski tubuhnya gemetar, ia memaksakan diri untuk berdiri. Dengan langkah tertatih, ia terus maju, tekadnya lebih kuat daripada rasa sakit yang menghantui. Namun, pusing yang semakin menggulung kepalanya, ditambah gempa susulan, membuatnya kehilangan keseimbangan. Tubuhnya kembali ambruk ke tanah.

Saat ia terbaring di sana, napasnya berat, sesuatu di langit menarik perhatiannya. Matanya terbelalak.

Langit di atasnya... terbelah. Dari barat ke timur, sebuah celah raksasa menganga, menyayat langit malam. Di tepinya, petir menyambar tanpa henti, menari dengan kekuatan yang liar. Dari celah itu, energi aneh—sihir, atau sesuatu yang lebih mengerikan—mengalir keluar, seperti angin kencang yang membawa rasa takut ke seluruh kota.

Arthur tertegun. Jantungnya berdegup kencang, dan dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Pemandangan itu seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Tapi satu pikiran terus menggema dalam benaknya: Ibu. Apapun yang terjadi, ia harus kembali ke rumah.

Dengan tubuh yang lemah dan rasa sakit yang terus menyiksa, Arthur memaksakan dirinya berdiri. Kakinya bergetar, tapi tekadnya tak tergoyahkan. Ia berlari lagi, jatuh beberapa kali, tetapi setiap kali ia jatuh, ia memaksa dirinya bangkit. Napasnya terengah, tubuhnya seperti terbakar, tetapi ia terus maju.

Dari kejauhan, rumahnya muncul di antara bayangan kegelapan. Masih berdiri kokoh, terlihat utuh. Sebuah rasa lega yang tipis menyelinap ke dalam hatinya. Tapi itu tak bertahan lama.

Dengan langkah lemah, ia akhirnya mencapai pintu depan. Tangan gemetar meraih gagang pintu, mendorongnya perlahan. Udara di dalam terasa aneh—bau logam yang tajam menyerang hidungnya. Matanya langsung terpaku pada bercak darah di dinding sebelah kiri. Tubuhnya membeku.

Ibu… bisiknya, hampir tanpa suara. Kekhawatirannya berubah menjadi ketakutan murni. Ia berlari masuk, mendapati ruang tengah yang kacau balau. Dan di sana, di tengah ruangan, berdiri lima sosok berbaju hitam, dua wanita dan tiga pria, dengan darah mengering di tangan mereka. Salah satu dari mereka, seorang pria tegap, menggendong tubuh ibunya yang tak bernyawa.

Arthur berhenti, napasnya tercekat. Pandangan matanya membara. Kelima sosok itu menoleh, kaget oleh kehadirannya.

Sial, salah satu wanita mendesis. Ia melesat maju dengan dua bilah pisau, menyerang Arthur tanpa ragu.

Arthur menghindar, tubuhnya bergerak lebih cepat dari yang ia bayangkan. Pisau itu hampir menyentuh jantungnya, tetapi ia mampu memutar tubuh, membuat serangan itu meleset. Wanita itu mundur, matanya menyipit, terkejut melihat gerakan Arthur yang begitu cekatan meski dalam kondisi lemah.

Menarik… gumam wanita itu sambil memutar pisaunya, tubuhnya bergerak seperti penari maut, bersiap untuk menyerang lagi.

Ia meluncur ke arah Arthur, serangan pisau diarahkan ke jantungnya sekali lagi. Tapi kali ini, Arthur tak hanya menghindar. Ia menangkap tangan wanita itu, memutar pergelangannya, dan merebut pisaunya. Dalam satu gerakan cepat, ia menusukkan pisau itu ke jantung wanita tersebut. Tubuhnya terjatuh, tak bernyawa.

Arthur berdiri dengan susah payah, napasnya memburu. Rasa percaya diri menyala di matanya. Ia berbalik, berniat menyerang wanita lain yang tampaknya sedang membuka portal. Cahaya dari portal itu berpendar liar, mengeluarkan aura gelap yang mengancam, seperti angin badai yang menderu.

Namun, sebelum ia sempat bergerak, tubuhnya mulai menyerah. Luka di kepalanya membuat pandangannya kabur, darah yang terus mengalir melemahkannya. Kakinya lunglai, dan ia terjatuh ke lantai.

Dia sudah berakhir, ucap seorang pria dengan postur tubuh yang agak bungkuk. Dengan gerakan santai namun mengerikan, dia mencabut sehelai rambut dari kepalanya, yang seketika berubah menjadi pisau tipis. Tanpa ragu, dia melemparkan pisau itu dengan presisi, menancapkannya ke tangan Arthur hingga tertancap di lantai.

Arthur mengerang kesakitan, tetapi suara itu teredam oleh rasa perih yang menusuk dan darah yang mengalir deras. Ia mencoba menarik tangannya, tetapi tubuhnya terlalu lemah, dan pandangannya mulai kabur.

Dari sudut matanya yang hampir tertutup, ia melihat keempat sosok itu melangkah ke dalam portal, membawa serta mayat ibunya. Aura gelap dan mengerikan dari portal itu memenuhi ruangan, seakan meninggalkan bekas luka tak kasat mata di udara. Perlahan, cahaya portal memudar, bersama dengan suara langkah mereka yang menghilang di balik dimensi.

Arthur mencoba bertahan. Ia meronta, mencoba menggerakkan tubuhnya yang berat, tetapi semua sia-sia. Tubuhnya melemah, pandangannya gelap.

Ia tidak bisa lagi menahan diri—kesadarannya perlahan menyerah pada rasa sakit dan kelelahan. Dengan helaan napas terakhir yang tertahan, Arthur pingsan di lantai rumahnya, dikelilingi oleh bayangan kesedihan dan kehancuran.