Dibawah langit dari kota yang hancur. Arthur terbangun kebingungan menyadari semua luka yang dia terima sudah sembuh. Ingatan samar samar muncul dalam benaknya, wajah asing dan tangan yang menyentuhnya dengan lembut sebelum akhirnya semuanya berubah gelap.
Sepertinya mereka yang kulihat sebelumnya sudah menyembuhkanku.
Katanya pelan seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Arthur mencoba untuk berdiri, tubuhnya terasa lebih ringan dari sebelumnya semua energinya sudah kembali dia sekarang berada dalam kondisi terbaiknya.
Tapi walaupun sihir penyembuhan sudah menyembuhkan tubuhnya hal itu tidak berefek kepada rasa laparnya. Perutnya mulai berbunyi, beruntungnya tidak jauh dari tempatnya terdapat sebuah reruntuhan toko roti.
Dia berjalan perlahan mendekati toko itu berharap ada sesuatu yang bisa dia makan, di depan toko itu ada beberapa mayat yang tertimpa puing puing bangunan. Dengan perasaan jijik Arthur memasuki toko.
Semua yang ada di dalam sudah hancur, interiornya rusak ditimpa puing-puing yang jatuh dari langit-langit. Hanya tersisa beberapa roti yang terletak di lantai. Dia mengambil beberapa roti dan membersihkannya kemudian dengan lahap memakannya.
Bukannya mencuri itu dosa?
Suara seorang wanita terdengar dari luar toko, itu suara yang sangat lembut namun tajam yang memecah kesunyian. Arthur yang kaget membalikkan badannya ke arah suara itu berasal, di sana di depan pintu berdiri seorang wanita cantik yang memegang sebuah pedang.
Arthur terdiam, seakan waktu melambat saat dia melihat wanita itu. wajahnya sangat cantik yang membuat setiap lelaki pasti akan jatuh cinta dalam pandangan pertama. Dia berpakaian sederhana layaknya seorang petualang, dia menggunakan sebuah jubah dengan tudung yang melindunginya dari panas matahari, rambutnya yang panjang dan putih bersih bagaikan salju terurai dibawah tudung yang hampir menutupi sebagian wajahnya. Matanya berwarna oranye seperti langit senja, hidungnya lurus dan bibirnya yang tipis terlihat seperti diukir dengan kesempurnaan, tidak terlalu pucat atau terlalu mencolok.
Tangannya yang ramping dan kuat menggenggam sebuah pedang yang tak terlalu panjang, bilahnya yang tajam bersinar kebiruan dengan gagang yang terbuat dari campuran baja dan mithril.
Arthur terpesona dengan kecantikannya, tapi dia tidak membiarkan dirinya terjatuh lebih dalam. Dia menenangkan dirinya dan melanjutkan makannya.
Aku hanya lapar, apakah itu salah?
Walaupun kau lapar tapi roti itu bukan milikmu!
Dia mulai melangkah perlahan ke dalam toko. Setiap langkahnya terdengar ringan, namun penuh kewaspadaan..
Dunia sudah hancur apakah itu penting? Arthur dengan tenang mencoba membenarkan tindakannya walaupun dia tau kalau itu salah.
Ini hanya kehancuran sesaat, semuanya akan kembali baik dalam waktu singkat. Manusia tak selemah yang kau kira. Wanita itu menjawab dengan tenang wajahnya terlihat meyakinkan.
Arthur tersenyum kecil, mencemooh logika yang menurutnya naif.
Kau mengatakannya seakan kau tau segalanya. Arthur mengatakannya dengan perasaan kesal. Matanya melirik wanita itu yang semakin dekat dengan dirinya.
Wanita itu tidak menanggapi. Dia terus melangkah, mendekatinya dengan sikap penuh percaya diri. Ketika jarak mereka sudah dekat, dia mengangkat pedangnya dengan tenang, bilahnya yang berkilauan biru berhenti hanya beberapa senti dari leher Arthur.
Arthur tidak bergerak, hanya menatap bilah pedang itu dengan pandangan tenang. Dia menghela napas, lalu dengan gerakan halus menurunkan pedang wanita itu dengan tangannya.
Kau bisa setenang itu bahkan dengan pedang dilehermu? Sepertinya mereka benar soal dirimu.
Wanita itu tersenyum tipis melihat tindakan Arthur.
Mereka? Arthur mengulangi kata itu dengan nada datar, meskipun matanya menyipit penuh curiga. Siapa kau sebenarnya? Dan apa yang kau tahu tentangku?
Semuanya, wanita itu mengulang kata itu dengan suara yang lebih rendah, seakan menguji ketenangan Arthur. Aku tahu semuanya tentang dirimu. Ekspresinya datar, namun matanya berbicara lebih dari sekadar kata-kata.
Arthur mendengus, bibirnya melengkung, senyuman sinis yang tidak sepenuhnya menunjukkan kekuatan, hanya keraguan. Benarkah? Kalau begitu katakan apa yang kau tahu, ujarnya, suara tak lebih dari bisikan tajam yang mencoba menutupi ketegangan di dalam dadanya
Wanita itu menghela napas pelan, kemudian menarik pedangnya dengan gerakan terampil, menggesekkan ujung bilahnya di atas lantai sejenak sebelum menyarungkan pedang itu kembali. Wajahnya tetap datar saat dia berbalik, tanpa memberi Arthur kesempatan untuk berkata lebih. Tanpa menoleh, dia mulai berjalan keluar, langkahnya ringan dan penuh keyakinan..
Kalau kau memang ingin tau kemari dan ikuti aku.
Arthur tersenyum tipis mengabaikan perkataan wanita itu.
Ibuku memberitahu ku agar tidak percaya dengan orang asing.
Wanita itu tersenyum dan melirik Arthur kebelakang.
Aku tau siapa yang membunuh ibumu, bukankah itu hal yang sedang kau cari tau?
Arthur terkejut mendengar ucapan wanita itu. Kata-katanya menghantam seperti badai, menyisakan kebingungan dan kemarahan yang saling bertarung dalam pikirannya. Namun ketika ia mendongak, wanita itu sudah tidak lagi di tempat. Dengan hati yang masih berdebar, Arthur berlari keluar. Puing-puing di bawahnya ia injak tanpa peduli, nyaris tergelincir dalam prosesnya.
Hei tunggu! Serunya dengan dengan suara yang sedikit terengah-engah. Apa maksudmu tadi?
Wanita itu berhenti sejenak, menoleh perlahan. Matanya memancarkan kekeselen yang membuat Arthur terdiam sejenak. Sudah kubilang ikuti aku jika kau memang ingin tau!
Arthur masih belum bisa mempercayai ucapan wanita itu, sebaliknya dia malah tersenyum sinis.
Aku bahkan tidak tau siapa kau, kenapa aku harus mempercayai mu?
Wanita itu tak menjawab, dia mengabaikan Arthur dan berjalan meninggalkannya. Arthur yang melihat hal itu, Arthur merasa kesal dia tak memiliki pilihan lain selain mengikuti wanita itu. Walaupun rasa curiga masih menyelimuti dirinya.
Baiklah, Katanya, setengah menyerah. Kemana kita akan pergi?
Wanita itu tak menjawab, dia mengeluarkan pedangnya dan tampak seperti mewaspadai sesuatu.
Hei apa yang terjadi? Arthur bertanya kebingungan melihat sikap wanita itu.
Diam!! Bentaknya, suaranya tegas namun rendah.
Arthur mengikuti arah pandangan wanita itu dan langsung tertegun. Di atas mereka, melayang seekor naga raksasa dengan sayap yang begitu lebar hingga bayangannya menelan kota yang sudah rapuh. Sisik merah naga itu berkilauan, seperti bara yang dipahat menjadi bentuk makhluk hidup. Lima garis hitam membentang dari ujung kepalanya hingga ke ekornya, berdenyut seperti pembuluh darah yang dipenuhi energi gelap.
Mata naga itu, seperti dua bara api yang membara, menatap dengan niat membunuh yang menusuk hingga ke tulang. Napasnya yang berat terdengar seperti badai yang tertahan, dan ketika ia membuka mulutnya, kobaran api melesat keluar, menghancurkan apa pun yang disentuhnya. Bangunan-bangunan yang sudah retak kini ambruk sepenuhnya, serpihan batu beterbangan, dan jalanan menjadi lautan api yang menelan sisa-sisa kehidupan.
Jerit tangis dan pekikan terdengar dari segala arah, memantul di antara reruntuhan yang berdiri seperti monumen kematian. Bau daging terbakar bercampur dengan aroma debu dan belerang memenuhi udara, membuat napas terasa berat dan menyesakkan.
Arthur terpaku. Tubuhnya membeku dalam ketakutan, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dunia di sekelilingnya berubah menjadi neraka yang menyala, tetapi kakinya seperti terbelenggu, tidak mampu bergerak meskipun nalurinya memerintahkan dia untuk lari.
Wanita itu menarik napas panjang dan menatap naga itu dengan pandangan tajam. Hei, fokus! serunya sambil menarik pergelangan tangan Arthur, membangunkannya dari keterpakuan. Dimana aku bisa menemukan buku?
Buku? Untuk apa!! Arthur kebingungan mendengar pertanyaan wanita itu
Cukup beritahu aku dimana tempatnya, buku apapun itu terserah!! Wanita itu tampak kesal karena Arthur malah balik menanyakannya
Dengan gerakan yang tergesa-gesa, Arthur mengeluarkan sebuah buku catatan kecil kira kira sebesar telapak tangan dari sakunya.
Apakah ini tak cukup?
Wanita itu menatapnya, lalu merebut buku itu.Ya, itu sudah cukup.
Tanpa menjelaskan apapun dia membuka beberapa halamannya dan mengucapkan beberapa kata aneh. Buku itu memancarkan cahaya biru terang, setiap lembarannya terlepas dari sampulnya dan mengelilingi mereka berdua. Kemudian disekitar mereka berdua muncul kabut aneh yang menutupi pandangan mereka. Lalu terdengar suara dentuman keras bersamaan dengan kilatan cahaya yang menyilaukan mata.
Kabut perlahan menghilang, Arthur takjub dengan apa yang dia lihat. Dia berdiri di tengah tengah angkasa, dikelilingi oleh bintang-bintang yang bercahaya terang. Di depan mereka sebuah pintu raksasa yang berdiri megah di hadapan mereka. Warnanya putih cemerlang, tetapi setiap inci permukaannya dihiasi ukiran yang begitu rumit, seakan-akan kisah dunia terukir di sana.
Di tepiannya, huruf-huruf kuno terukir dengan rapi. Di tengahnya, ukiran sebuah buku terbuka menjadi pusat perhatian. Halaman-halamannya yang terpahat dengan sempurna tampak seperti melayang-layang, meski hanya sekedar ilusi dari detail ukirannya.
Di bawah buku itu, terdapat pemandangan epik, makhluk-makhluk dari berbagai ras—manusia, elf, dwarf, raksasa, bahkan monster—terlihat saling bertarung. Mereka meraih ke arah buku itu, wajah mereka dipenuhi ketamakan, dan pengkhianatan. Detail ukiran begitu tajam hingga setiap ekspresi tampak hidup, seolah mereka akan keluar dari permukaan pintu kapan saja.
Pintu itu terbuka perlahan dengan suara derit rendah yang menggema di sekitar mereka. Di baliknya, seorang lelaki tua berdiri dengan tenang, rambutnya memutih seperti salju, dan janggutnya panjang menjuntai hingga dada. Matanya tajam, menyiratkan kebijaksanaan yang diperoleh dari usia yang melampaui generasi. Dalam genggaman tangan kanannya, ada sebuah buku tua, kulitnya lusuh namun memancarkan aura kekuatan yang tidak biasa.
Lelaki tua itu tersenyum tipis, seolah senang namun sedikit terganggu. Aku sudah lama menunggumu, Arthur, katanya dengan suara berat namun ramah. Namun, senyumnya segera memudar, digantikan ekspresi serius yang seolah memikul beban dunia. Masuklah. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.
Arthur menatap lelaki itu dengan curiga, kakinya terpaku di ambang pintu. Suasana di dalam ruangan terasa berbeda—udara di sana lebih berat, seolah dipenuhi rahasia yang siap meledak. Keraguannya semakin besar, tapi wanita di sampingnya menyentuh lengannya, mendorongnya perlahan. Percayalah, katanya lembut. Ini demi kebaikanmu.
Dengan napas panjang, Arthur melangkah masuk, meskipun hatinya masih dipenuhi kebimbangan. Begitu dia melewati ambang pintu, dunianya berubah. Dinding ruangan itu dipenuhi rak-rak yang menjulang tinggi, setiap rak penuh dengan buku-buku yang tampaknya hidup—beberapa beterbangan perlahan di udara, seperti burung yang melayang mencari tempat hinggap. Cahaya biru lembut memancar dari langit-langit, menerangi ruangan dengan keanggunan yang magis.
Lelaki tua itu mengangkat tangannya dengan gerakan ringan, dan tiba-tiba sebuah kursi kayu yang berukir rumit muncul di sebelah Arthur. Duduklah,katanya dengan nada memerintah.
Arthur duduk perlahan, tubuhnya kaku. Suasana di dalam ruangan itu sangat tegang, seolah menuntut perhatian penuh dari setiap orang yang berada di dalamnya. Namun, ketika dia hendak bertanya sesuatu kepada wanita di sampingnya, dia menyadari bahwa dia sudah tidak ada di sana.
Arthur menoleh dengan cemas. Hei, kemana wanita itu? tanyanya, suaranya bergetar.
Lelaki tua itu menjawab tanpa ragu, tatapannya tetap tertuju pada Arthur. Putriku tidak ada hubungannya dengan ini. Aku menyuruhnya pergi, katanya, suaranya kini lebih dingin. Kemudian, dia menatap Arthur dengan sorot mata yang tajam, seperti sedang menilai seseorang yang tidak memenuhi harapannya. Arthur, lanjutnya, sebaiknya kau tidak mengejar dendam ibumu. Lupakan semua itu. Lebih baik kau melanjutkan hidupmu, mencari kedamaian, dan meninggalkan masa lalu.
Perkataan itu menghantam Arthur seperti pukulan telak. Tubuhnya kaku, dan napasnya tertahan. Apa maksudmu? tanyanya dengan suara pelan, nyaris berbisik. Tapi tatapan lelaki tua itu tidak berubah—dingin, tidak tergoyahkan, seolah-olah dia sedang menghakimi pilihan Arthur bahkan sebelum ia membuatnya.
Di dalam ruangan itu, keheningan menggantung seperti tirai berat, menandakan bahwa percakapan yang baru saja dimulai akan mengubah segalanya.