Cahaya pagi yang redup menerobos jendela rumahnya yang kini retak. Arthur terbangun dengan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya.
Dia mencoba menggerakkan tangan kanannya untuk mencari pegangan agar dia bisa berdiri saat di tersadar bahwa ada pisau yang tertancap di tangannya. Dia mencoba menarik keluar pisau itu dan saat tangannya bersentuhan dengan gagang pisau, pisau itu menghilang kedalam bayangan .
Apa ini, sihir?
Ahg.. apa yang sebenarnya terjadi tadi malam?
Dia mengambil pegangan kemudian duduk bersandar di dinding rumahnya. Dalam lamunannya, kilatan peristiwa semalam muncul dalam benaknya.
Ibu..,Kemana mereka membawanya?
Dan siapa mereka? Mengapa mereka mengincar ibuku?
Rasa frustrasi menguasai dirinya. Nafasnya terasa berat, dadanya sesak oleh emosi yang meluap. Dengan langkah goyah, ia berusaha berdiri, menyandarkan tubuhnya pada dinding untuk mencari keseimbangan.
Wajah ibunya terlintas dalam ingatannya. Senyuman lembut yang selalu memberinya semangat setiap hari terasa seperti jarak yang tak terjangkau. Kesadaran bahwa ia mungkin tak akan pernah melihat wajah itu lagi menghancurkan pertahanannya.
Tubuhnya luruh ke lantai. Tangisnya pecah, memenuhi ruangan menghilangkan keheningan yang menyelimuti rumahnya .
Arthur hanya memiliki ibunya. Ayahnya telah lama pergi, meninggalkan mereka saat ia masih bayi. Ia tumbuh tanpa sosok panutan, tanpa seorang yang mengajarinya bagaimana menjadi kuat. Kini, kehilangan ibunya adalah luka yang tak bisa ia pahami, apalagi sembuhkan.
Ibunya adalah alasan dia untuk tetap hidup, berusaha dan melangkah maju semua itu hanya untuk ibunya. Namun, kini ibunya sudah tak ada. Dunia yang dia kenal sudah runtuh.
Apa lagi yang harus kulakukan? pikirnya ditengah tangis
Keputusasaan itu, perlahan berubah menjadi bara. Perasaan duka berubah menjadi amarah dia mengingat bayangan sosok-sosok yang berpakaian hitam. Orang-orang yang merenggut salah satu alasannya untuk hidup.
Arthur mengepalkan tangan yang berlumuran darah, rasa sakit itu tak lagi berarti dibandingkan kemarahan yang membakar di dadanya. Di tengah keheningan rumah yang hancur, ia bersumpah.
Aku akan menemukan mereka. Aku akan membuat mereka membayar. Aku tidak peduli harus melewati neraka sekali pun.
Tangisnya berhenti. Mata yang tadi penuh kesedihan kini dipenuhi tekad yang dingin. Ia tahu jalannya tidak akan mudah, tapi ia tidak punya pilihan. Ini bukan hanya soal balas dendam—ini tentang menemukan kembali arti dari hidupnya yang telah direnggut.
Arthur menenangkan dirinya, mencoba menarik napas panjang ditengah kekacauan yang terjadi. Namun, saat matanya tertuju pada mayat wanita yang tergeletak di lantai, wanita yang ia bunuh semalam. Pikirannya berputar, kilatan adegan semalam muncul di ingatanya. Darah dan rasa dingin dari gagang pisau yang ada di tangannya.
Seketika, tubuhnya merespon. Rasa mual melanda bagaikan gelombang pasang.
Aku.. membunuh manusia... Bisikan itu keluar dari bibirnya nyaris tak terdengar
Kakinya gemetar dan ia tersungkur ke lantai. Dengan tangan yang gemetar dia mencoba menutup mulutnya, tapi tak bisa menahan rasa mual yang semakin menjadi. Ia muntah di sudut ruangan, tubuhnya terguncang oleh rasa jijik yang tak terkontrol.
Setelah itu ia terdiam, keringat dingin membasahi dahinya. Ia masih tak percaya dengan apa yang sudah dia lakukan tangannya menggenggam erat lantai yang kini ternoda oleh muntahan dia sendiri.
Bukan aku yang melakukannya.. dia yang menyerang ku duluan jadi yang kulakukan adalah bentuk pertahanan diri... Iya aku hanya melindungi diriku..
Dia mencoba mencari pembenaran atas tindakannya. Kata-kata itu terdengar goyah pada awalnya, namun semakin sering dia mengulanginya, semakin stabil suaranya.
Perlahan tubuhnya merespon, napasnya mulai stabil, tangannya yang sebelumnya gemetar kini mulai tenang. Dia menyandarkan punggungnya ke dinding, melepaskan penatnya.
Baru saja Arthur berfikir untuk istirahat tiba tiba lantai dibawahnya mulai bergetar, semakin lama getarannya semakin kuat.
Apa lagi sekarang? gumamnya panik.
Tiba-tiba, langit-langit di atasnya retak, disusul dengan suara gemuruh. Arthur dengan cepat bangkit meskipun tubuhnya masih lemah. Ia berlari menuju jendela yang setengah pecah, dan mencoba mengintip keluar.
Ini mustahil.. bisiknya, matanya tidak memercayai apa yang dia lihat.
Seekor Raksasa dengan tinggi sekitar tiga belas meter, dengan kulit kecoklatan dan mata merah menyala, menghancurkan bangunan disekitarnya. Tangannya yang kuat mencengkram puing-puing dan melemparnya ke segala arah.
Dari dalam reruntuhan bangunan seorang wanita berlari keluar mencoba melarikan diri, tapi wanita itu masih terlalu lamban dia ditangkap oleh raksasa itu.
Teriakkan histeris terdengar, dia tak henti hentinya meminta tolong. tapi sudah terlambat, dengan tangannya yang besar raksasa itu meremukan badan wanita itu. Seketika suara teriakan minta tolong itu menghilang.
Raksasa itu memasukkan tubuh wanita yang sudah remuk kedalam mulutnya. Arthur terkejut dia mengambil langkah mundur mencoba menjauh dari jendela.
Tapi raksasa itu sudah menyadari keberadaan Arthur, Dia mencengkram puing-puing di sekitarnya dan melemparkannya ke arah Arthur. Seketika, sebagai rumahnya hancur. Arthur terhempas kebelakang bersama dengan puing-puing rumahnya.
Rasa sakit menghantamnya tapi Arthur tak menyerah, dia bangkit dari puing-puing dan melarikan diri keluar dari rumahnya. Dari belakang raksasa itu mengikutinya, langkah kaki raksasa itu membuat tanah dibawahnya bergetar. Arthur kehilangan keseimbangannya dan terjatuh dia mencoba bangkit untuk melarikan diri, tapi raksasa itu sudah berada dibelakangnya.
Mau lari kemana kau.. ucap raksasa itu dengan ekspresi membunuh yang sangat kuat.
Mendengar pertanyaan itu Arthur tak mampu berkata apa apa, dia terdiam tak mampu bergerak.
Kau.., bagaimana kau bisa memiliki mana core sebesar ini? tanya raksasa itu, suaranya terdengar berat dan mengintimidasi, sementara tangannya menangkap Arthur.
A.. apa.. maksudmu dengan mana core? Jawab Arthur kebingungan saat tubuhnya gemetar ketakutan
Kau tak tau mana core? kamu punya hak yang bagus tapi kau tak tau apa itu? Manusia memang mahluk yang bodoh...
Raksasa itu mulai meremukan tubuh Arthur dengan seluruh kekuatannya. Arthur berteriak kesakitan, dalam keputusasaannya tiba-tiba datang sebuah pedang yang melesat laju dari belakang raksasa itu dan langsung menembus kepalanya.
Raksasa itu terjatuh, cengkraman tangannya mulai melemah. Walaupun Arthur berhasil selamat tapi tangan kanan dan beberapa tulang rusuknya patah. Dia mencoba untuk bangun tapi karena terlalu memaksakan tubuhnya, dia memuntahkan darah dari mulutnya.
Dari arah pedang itu berasal, datang tiga sosok elf, mereka bergerak dengan cepat bagaikan angin yang berhembus. Sosok lelaki dengan rambut perak memimpin pergerakan mereka dia bergerak dengan tangan kosong, sementara dua wanita cantik mengikutinya dari belakang. Salah satu wanita berambut perak sama dengan lelaki itu, membawa sebuah busur yang dia taruh di punggungnya dan wanita satunya dengan rambut coklat membawa sebuah tombak di tangan kanannya.
Saat mereka berhenti di atas mayat raksasa itu, mata mereka tertuju kepada Arthur yang sedang terbaring sekarat di atas telapak tangan mayat raksasa. Melihat kondisi Arthur yang sekarat, hati mereka tergerak untuk membantunya. Tapi si elf lelaki tampak tak ingin menolongnya, karena elf dan manusia sudah bermusuhan sejak lama.
Lupakan dia, keselamatannya bukan urusan kita! Kata lelaki itu dengan suara yang tegas tapi ekspresinya menunjukkan keraguan.
Tapi Reynard dia sedang sekarat. bukannya, nenek pernah bilang untuk membantu orang yang sedang kesulitan bahkan jika mereka adalah manusia? Ucap wanita berambut perak, mencoba meyakinkan Reynard untuk menolong Arthur.
Tapi.. dia dari ras yang sama dengan orang orang yang menyerang desa kita.. Jawab Reynard dengan ragu ragu menanggapi pertanyaan adiknya itu.
Tuan.. sepertinya dia berasal dari seberang, karena jika dia berasal dari tanah yang sama dengan kita tak mungkin untuk manusia seumuran dia bisa kalah dari raksasa. Jawab wanita berambut coklat dari belakang mencoba mendukung wanita berambut perak
Tch.. baiklah tapi hanya kali ini kita membantu manusia, sana lakukan apa yang kau mau Yla ucap Reynard sambil membalikan badannya dan mulai merobek mayat raksasa itu dengan pisau kecil di pinggangnya.
Baiklah, ayo Leyna Yla meloncat ke bawah diikuti oleh Leyna dari belakang.
Mereka berdua berjalan mendekati Arthur yang sekarat. Leyna memasang kuda kuda untuk melindungi Yla sementara Yla mulai membaca sebuah mantra.
Dengan berkah semesta dan kekuatan dari pohon dunia, melalui tubuhku yang lemah ini kumohon sembuhkan jiwa yang sedang terluka ini..
Disaat dia merapal mantra rambutnya mulai bersinar bagaikan rembulan matanya memancarkan cahaya hijau terang di dahinya terukir bentuk pohon dunia dan di kedua tangannya terukir tato berwarna kuning yang bersinar terang saat mantra selesai dirapalkan.
Tubuh Arthur mengeluarkan cahaya kuning terang dan perlahan lukanya mulai sembuh, tulang-tulangnya yang patah mulai membaik dan luka di tangannya perlahan menutup tapi luka itu meninggalkan bekas berbeda dengan luka di kepala dan bagian tubuh lainnya yang menutup tanpa ada bekas.
Yla merasa senang ketika dia sudah menyembuhkan Arthur tapi ekspresinya mulai berubah ketika dia melihat bekas luka ditangan Arthur yang tidak menghilang. Dia menyadari kalau luka itu bukan hanya luka fisik tapi itu juga berakar di mentalnya. Bekas luka yang tak menghilang ketika disembuhkan dengan sihir menandakan bahwa orang yang terluka memiliki trauma atau dendam kepada orang memberi mereka luka itu.
Dari atas Reynard melihatnya dia menunjukkan ekspresi kasihan bukan cuman kepada Arthur tapi juga kepada Yla karena dia tau adiknya pasti merasakan perasaan tak berdaya karena dia tak mampu menyembuhkan bekas luka itu.
Yla itu bukan salahmu, luka psikologis hanya bisa disembuhkan oleh dirinya sendiri. Jangan memikirkan hal yang tak penting Kata Reynard dengan nada datar tapi tetap tegas mencoba menyemangati Yla
Itu benar tuan putri, kau tak perlu memikirkannya ucap Leyna mencoba mendukung pernyataan Reynard
Yla menunjukkan ekspresi kasihan ketika dia mulai berjalan meninggalkan Arthur yang sedang pingsan.
Sudahlah ayo kita pergi aku sudah selesai mengambil mana core raksasa ini.. Kata Reynard dengan nada datar dan dengan gerakan yang tenang dia mengangkat tangan kanannya
Percikan petir muncul dari tangannya dan dari kejauhan datang pedang yang tadinya menembus kepala raksasa itu. Mereka bergerak meninggalkan Arthur yang sedang pingsan namun Yla masih memiliki keraguan di dalam hatinya.
Yla dia cuman orang asing dia tak punya hubungan apa apa dengan kita, lupakan kejadian hari ini anggap saja ini tak pernah terjadi.. Reynard dengan tegas menyadarkan Yla agar tak terlalu mengkhawatirkan kejadian ini. Dan dengan begitu mereka pergi meninggalkan Arthur