Chereads / Belahan Jiwa Ina / Chapter 3 - Trauma Masa Lalu

Chapter 3 - Trauma Masa Lalu

Trakt.

Pintu kamar mandi terbuka. Mas Feri datang mendekat sembari mengambil segelas teh hangat yang ada didepanku.

"Ina.. Baju kantor mas Mana? " tanyanya, reflek aku tersintak dari lamunanku dan bergegas mengambilkannya di lemari.

"Mas, mungkin aku harus kembali pulang? " ucapku lirih,untuk sejanak Mas Feri menatapku datar sembari menyambar kemeja di tanganku.

"Kamu mau apa pulang? Yang ada kamu akan semakin trauma, " ujarnya. Aku mendegup dan berkata

"Aku gak mau ada diantara kalian, lebih baik aku kembali saja kepada orang tuaku," ujarku.

"Gak ... Kamu gak boleh pulang. Kamu fikirkan gak sih bagaimana tanggapan keluarga saat aku menikah lagi," kesalnya, aku terdiam sesaat.

"Aku akan jelaskan pada Mama, " ujarku Mas Feri tampak berdesih.

"Tidak ada Ina, kamu harus tetap disini. Lagian ngapain kamu risih. Bukankah ini keinginan kamu? Apa kamu cemburu? Tapi setau aku, kamu gak normalkan? Seperti yang selalu kamu katakan?" Aku mendegup serek kerongkongan Melihat binar matanya.

"Jadi gak usah terbebani dengan kehadiran Rara.. ," ucapnya lagi dan berlalu meninggalkanku sendiri. Aku menghela nafas sedikit sesak.

"Aku tidak cemburu, tapi aku tidak tau rasa apa yang berkecamuk didalam dadaku," lirihku dengan mengelus dada. Tak terasa air mataku merintik. Ada rasa sakit yang tak bisa aku utarakan dan aku jelaskan bagaimana wujudnya.

Dua hari beralalu, aku dan Rara sudah semakin akrab, namun mereka berdua terlihat begitu sibuk karna mempersiapkan hari resepsi untuk pernikahan Rara dan Mas Feri di bandung.

Malam ini saat aku beberes di kamar, Mas Feri datang bersama Rara aku tidak tau mereka dari mana, aku menghela nafas dan coba beranjak ke depan membukakan pintu untuk mereka karna memang aku belum mau menyewa pembantu, karna aku rasa merawat Mas Feri itu tidak susah. Yang susah itu hanya melayaninya lebih intim, mungkin mulai dari sekarang aku harus fikirkan lagi untuk menyewa pembantu karna, aku gak mau jadi babunya Rara.

"Kalian dari mana saja , " tanyaku.

"Aku dan Rara habis pesan catring, kita mau kasih yang speesial buat tamu yang di bandung," ujarnya. Aku menghela nafas sedikit ,dan berkata.

"Oh, sibuk banget berarti?" lirihku dengan nada sedikit meledek

"Iya, dan ya. Mungkin besok aku akan berangkat, karna acaranya'kan tinggal beberapa hari lagi. Rara mau mengahabiskan banyak waktu bersama keluarganya," jelasnya

"Oh terserah sih? Untuk berapa hari tapi? Aku gak mungkin donk sendirian?" ujarku.

"Gak lama kok, palingan seminggu."

"Apa seminggu? "

"Ya seminggu."

" Tapi kan mas …-" ucapanku di cegat karna mas Feri menimpal

"Kamu ngerti donk Ina," tegas Mas Feri, aku bungkam dengan melirik keduanya bergantian.

" Okey terserah kalian," ujarku membalik kembali masuk kedalam rumah. Keduanya tampak membuntutiku masuk.

"Mba, mba gak ikut apa ke resepsi kami di bandung?" tanya Rara, aku reflek menggeleng dan berkata

"Gak usah Ra, Mba dirumah aja, Mba gak perlu kesana," ujarku,

"Huum, ya udah deh Mba. Tapi beneran gak apa di pinjem Mas Feri untuk beberapa hari?" ucapnya dengan sedeikit meledek.

"Udah jangan bahas lagi, kamu jangan keseringan becanda gitu aku gak suka," bentakku.

"He he maaf Mba." Nyengirnya, sedikit aku lirik dengan sedikit sinis dan kembali melangkah kearah kamar.

"Mba mau Kemana gak temenin kami makan?" aku menoleh dan reflek menggeleng.

"Yah Embak … ," rengeknya. aku berdengus sedikit pelan dan berkata.

"Emang kalian bawakan makanan?" tanyaku dengan datar. Rara merekahkan senyum.

"He he gak ada sih Mbak," ucapnya nyengir

"Trus?" singkatku tak habis pikir.

"Ya, makan masakan kamu? Kamu gak masak apa?" timpal Mas Feri. Nafasku tersengal dan berkata

"Ya kali Mas, aku harus masak tiap hari, sekali-Sekali Rara juga donk yang masak, aku lagi gak mood," ujarku. Dua orang itu otomatis nanar.

"Tapi kan Mbak, aku gak bisa masak," rengeknya. Aku membuang nafas sedikit dan berkata.

"Itu makanya belajar. Dah sana kedapur kamu masakinn apa aja buat Mas Feri," titahku. Rara tampak manyun dan coba melirik pada Mas Feri.

"Tu kan mas, aku bilang apa tadi kiita makan diluar aja palingan Mba Ina udah pesen makanan duluan," rengeknya. aku membuang nafas dan beranjak. Pergi dari sana.

"Tapi sayang? Beneran kamu dah makan?" tanya Mas Feri menghentikan langkahku aku menoleh menatap pasti raut wajahnya,

"Bener."

"Kalo belum, aku mau ngajak kamu juga, mungkin aku dan Rara bakalan keluar lagi buat makan.

"Ya udah kamu pergi aja aku dah makan kok.," ujarku. Padahal sehari ini aku gak ada mood buat ngapa-ngapain termasuk makan.

"Ya udah Ra, kita pergi," singkat Mas Feri menyeret tangan Rara aku hanya bisa bungkam melihat drama itu,

"Ufffth…," sontak aku buang nafas kembali ke kamar, aku menghenyak di atas ranjang sembari menatap kosong dinding kamar, fikiranku melayang jauh ke masa yang tlah lalu.

FLASBACK

Plakk

Tamparan keras melayang ke pipi ibuku, bisa aku lihat jelas ayahku yang begitu bringas berusaha menyakiti ibu memaksa untuk berhubungan badan tak peduli padaku, anak mereka satu-Satunya yang masih kecil dan sangat takut akan keadaan rumah yang tak pernaah aman.

Berkali-kali mata gadis kecil ini melihat adegan kasar sexual. Ayahku memiliki penyakit hiperseks, karna kelakuannya itu, aku trauma akan masalah ini, aku mengidap penyakit anti seks kalo bahasa dokternya frigid atau bisa dikatakan aku phobia. Karna sepanjang yang aku tau, seks hanyalah penyiksaan, hingga waktu berlalu aku tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, dan pintar, tapi aku suka menutup diri dari teman-teman dan warga sekitar, ibuku bekerja sebagai kurir pengantar makanan delivery, juga terbiasa menyibukkan diri di luar rumah ketimbang harus bertemu ayah di rumah.

Ayahku pengangguran, bukannya dia bodoh hanya saja. Dia tak mau berusaha dia lulusan terbaik sarjana ekonomi. Pernah bekerja sebentar habis itu dia memilih ongkang-ongkang kaki dirumah dan menyuruh ibuku bekerja. Dan herannya setelah semua kejahatan itu, ibuku selalu patuh dan taat pada suaminya, aku benci akan sikap ibuk yang terlalu memprioritaskan ayah, yang notabennya pemalas. Mungkin ini salah satu alasan aku benci akan cinta, ibukku terlalu manut di perbudak cinta yang membuat aku sulit mengerti kata cinta, logikaku tak bisa memahami apa itu cinta, alhasil kata cinta bagiku adalah satu kata yang memuakkan,

Hingga sore itu saat aku duduk di atas sofa sembari belajar, ayah tampak bolak-balik di pintu menunggu ibu pulang, merasa terganggu akan tingkah ayah aku coba mencegat.

"Yah, ayah ngapain sih disitu Ina tergaggu yah mau ngerjain tugas," gerutuku ayah menoleh dengan wajah kesel.

"Ayah kesel ini ibumu belum pulang juga, ayah pusing mau merokok gak ada duit," timpalnya, aku menghela nafas dan berkata.

"Lagian Ayah, buat duit rokok kok masih mintak ibuk, ibuk sudah terlalu banyak beban Yah!" bentakku, seketika orang tuaku itu nanar, aku menantang tatapannya dengan bola mata terbuka, sama sekali aku tidak takut lagi padanya, yang ada dalam diriku hanya kebencian.

"Kamu sudah berani seperti ini sama Ayah sekarang?" tanyanya. aku sedikit menghela nafas dan berkata,

"Berhenti menjadi parasit untuk Ibuk kalo Ayah punya otak, gak usah jadi beban buat kami. Apa Ayah gak malu?" teriakku, pria paruh baya itu mendekat dan berkata.

"Kamu maunya apa bocah tengil berani-beraninya kamu ngomong seperti itu padaku ha!" teriak Ayah, dia medekat dan menyeretku kekamar mandi, seperti yang sudah sering aku lihat. Ayah mnceburkan ibu kedalam bak, menyiksanya hingga menyeretku kekamar tidur aku beronta saat Ayah memukul dan membuka paksa pakaianku, dia tampak sangat bringas seolah siap mengunyah semua dagingku, berkali-kali dia coba layangkan pukulan agar aku diam'

"Dasar iblis, kamu bukan ayahku kamu iblis!" teriakku. Pria itu tampak kesetanan meraba semua organ vitalku, aku merintih jijik menahan rasa sakit karna telah dianiaya tadi. Reflek aku coba jangkau vase bunga yang ada di laci dan menghujam kepalanya. Sontak darah dikepala ayahku itu muncrat hingga mengenai wajahku, aku gemetar saat melirik batang hidungku yang sudah merah kembali aku hujam berkali-kali. Sudah seperti orang kesetanan melepaskan sakit hatiku selama ini.