TUT…
Bunyi klakson mobil bergema, ku coba mengangkat tanganku untuk melambai pada mereka berdua yang sudah melaju pergi bersama mobil, aku nanar melihat jejak mobil itu berlalu, sejenak aku merasa sepi, namun aku coba hapuskan semua rasa canggung di hatiku dan beranjak masuk lagi kerumah.
"Eh Ina tunggu" cegat salah seorang tetanggaku yang yang tak lain ibuk RT rumahnya tidak begitu jauh dari rumah kami.
" Ya buk Rt ada apa?" tanyaku.
"Itu siapa ya? yang dibawa si Feri beberapa hari belakangan, semua warga pada ngomongin ini?" ujarnya aku menarik ujung bibirku untuk tersenyum
"Itu Rara buk RT Istri keduanya Mas Feri," singkatku, seketika mata buk RT membulat.
"Lah kok bisa? Tega ya itu si Feri sama kamu Ina," ucap buk RT terdenger greget.
"Gak kok Buk, mas Feri gak salah, itu aku yang nyuruh buat nikah lagi," ucapku dengan santai, mata buk RT kembali membulat dan kali ini sedikit terbalak dengan mulut sedikit mengaga.
"Tt-api Ina? Kok bisa? Ada apa," lirihnya sembari menatap wajahku nanar.
"Gak ada apa-apa kok Buk, maaf ya buk ini privasi keluarga, aku gak bisa cerita banyak, intinya dia bukan kekasih haramnya mas Feri Rara itu istrinya," ujarku, buk RT tampak terheran dan tak habis pikir.
"Dan sekarang mereka itu kemana Na?" tanyanya lagi.
"Oh, itu ke bandung keluarganya Rara lagi ngadain resepsi," ujarku lagi, nafas Buk RT tampak tersengal, dia hanya bisa-bisa geleng geleng, dan beranjak pergi dengan wajah tak habis pikir, aku kembali kerumah tak pedulikan lagi wajah buk RT tadi.
Trakt
Aku menyapu pandangan pada setiap sudut rumah. Sedikit aku tersenyum simpul, tak terasa sekarang rumah ini sudah ada anggota baru, bagaimana nanti saat Rara mengandung melahirkan dan mempunyai banyak anak, apa aku masih dibutuhkan?
"Ufffth… kenapa takdirku selalu buruk Tuhan," bisikku sendiri. Aku kembali kekamar untuk menenangkan diriku, karna memang selama ini aku suka menyendiri, aku bisa tenang dengan kesunyian seperti ini. Namun yang membuat fikiranku kalud adalah, mungkin sekarang Mas Feri masih butuh aku, tapi bagaimanaa nanti jika rasanya padaku lambat laun berkurang dan tercurah seluruhnya untuk Rara, huuh. Sepertinya aku harus siap-siap jika suatu saat nanti itu terjadi.
Bagaimanapun, walau aku tidak bisa melayaninya aku mencintainya aku tidak terbiasa tanpa dia , dia sudah seperti bagian dari jiwaku, kali ini sepertinya aku harus siapkan mental untuk kehilangan Mas Feri, di atas ranjang atau di hidupku, karna tatanan hidup tak sewajarnya begini, aku tengah menjalani hidup yang tidak normal, dan hanya aku wanita aneh yang mampu membagi suamiku dengan wanita lain.
Malam yang dingin di balut selendang sutra berwarna hitam, aku tatap langit malam dengan ribuan bintang bertebaran, sejenak terfikir di benakku kenapa aku tidak ikut saja dengan Mas Feri dan Rara tadi, ternyata tidak menyenangkan sekali sendirian begini, jujur kehadiran Mas Feri sangatlah berarti untukku terlepas dari hubungan badan aku sangat nyaman bersamanya tapi sepertinya sekarang dia di sibukkan oleh Rara, sejenak aku merasa keputusan aku salah menyuruh Mas Feri menikah lagi, tapi jujur aku tidak sanggup harus melayaninya lebih intim.
Drrrrrt…
Bunyi ponselku berdering reflek aku meraba saku piyamaku dan melihat siapa yang telpon, mataku sedikit terbuka melihat Mas Feri yang telpon,
"Ya Mas?" ucapku saat menempelkan ponsel kedaun telingaku.
"Sayang kamu dah makan?" tanyanya.
"Udah mas."
"Oh, ya sudah Mas udah kirim Lastri kesana buat nemenin kamu, kebetulan di rumah mama. Ada pembantu baru. Gak apa kan buat nemenin kamu dirumah?" ujarnya aku tersenyum tipis dan mengangguk,
"Iya mas, makasih. Oh iya mas Rara mana? Gimana resepsinya?" tanyaku.
"Ada, dan kayaknya dia capek deh gak bisa di ganggu," jawabnya.
"Oh, ya udah gak apa, sampaikan salamku buat keluarganya Mas," lirihku.
"Ya sayang," singkatnya, lama kami terdiam hingga Mas Feri kembali berkata
.
"Kamu tidur gih, nanti sakit," titahnya aku mengangguk dan tersenyum..
"Makasih ya Mas, ya udah aku istirahat dulu," ujarku. Aku beranjak kekamar tidur, ku coba mengatuur nafas saat tiba-tiba relungku sakit membayangkan Mas Feri mendatangi Rara dengan hasratnya.
Andai aku bisa melawan phobia ini sedikit saja, mungkin aku tidak perlu meminta orang lain untuk kebutuhan suamiku, tiba-tiba air mataku merintik sontak aku duduk dan kembali mengambil ponselku, entah kenapa aku ingin bicara lagi dengan Mas Feri. Tapi kembali aku urungkan niatku takut ganggu mungkin saja mereka sedang menikmati malam-malamnya, fikiran di benakku selalu bertanya-tanya.
Kenapa aku berbeda kenapa aku tidak bisa seperti mereka yang juga haus akan sentuhan dan kecupan manis, aku bisa gila jika harus memahami ini, kenapa yang aku rasakan hanya tekanan dan rasa sakit, ku coba menghela nafas. Dan mengotak atik ponselku melihat situs orang dewasa, kali aja, aku bisa kuat melihatnya karna berkali-kali pernah aku coba, aku tidak sanggup melihatnya. Tanganku gemetar saat membuka situs, aku berusaha untuk bisa kuat dan candu seperti orang-orang melihat adegan romance pada umumnya, namun hanya bertahan beberapa menit, aku merasa mual saking jijiknya segera aku lempar ponsel itu dan berlari kekamar mandi untuk muntah.
Hari berlalu waktu yang di tentukan oleh Mas Feri berakhir juga, pagi ini kembali Mas Feri dan Rara balik pulang. Aku beringsut dari duduk saat mendengar bunyi bel bergema bisa aku lihat Lastri tampak bergegas ke pintu untuk membukakan pintu, aku berdiri dan beranjak menyambut mereka datang.
"Mba Ina…," teriak Rara datang-datang memelukku. Aku memaksakan senyum menyambut maduku itu dan mengahampiri Mas Feri yang tampak lelah.
"Mas..," lirihku menggapai tangannya untuk aku tempelkan didahi Mas Feri tersenyum hangat mengacak sedikit rambutku.
"Makasih ya sayang, Mas capek mau langsung istirahat, kamu bisakan siapkan air hangat untuk Mas," ujarnya aku mengangguk.
"Bantu ya Mba Ina, aku juga capek, mau langsung istirahat," timpal Rara
"Ya Ra, gak apa. Kamu istirahat aja," ujarku.
"Makasih ya Mbak."
Aku hanya bisa menyunggingkan senyum hangat melihat Rara berlalu kekamar. Aku menghela nafas dan menyusul Mas Feri kekamar
"Mas itu sudah, air hangatnya," panggilku saat mas Feri berbaring di ranjang, aku mendekat dan reflek duduk disampingnya.
"Mas..., " bisikku sedikit menggerakkan badanya, aku berfikir mungkin mas Feri masih terlalu capek kasian aja sih kalau di ganggu, aku kembali berdiri untuk kembali menghangatkan air lagi untuk nanti kalau Mas Ferri bangun. Namun seketika aku hendak berdiri, gerakku terhenti saat Mas Feri mencengkram erat lenganku reflek aku menoleh dan menarik tanganku secepat kilat.
"Syukurlah lah kamu bangun Mas, itu airnya sudah selesai," ujarku mas Feri tampak tersenyum sembari mengelus-ngelus pipiku, sedikit aku coba gerakkan leherku untuk menghindar. Mas Feri tampak menghela nafas dan mendekat dengan sedikit meremas kedua bahuku aku gemetar saat Mas Feri menatap intens dua bola mataku,
"Duduklah sebentar, temani aku disini aku rindu kamu Ina," Ujarnya aku coba mengatur nafas dan tertunduk.