Chereads / Belahan Jiwa Ina / Chapter 4 - Kepo

Chapter 4 - Kepo

Bug

Bug

Bug..

Aku belum puas, hingga aku coba hujam berkali-kali memastikan dia lenyap,

"Ina… " teriak ibuku yang datang tiba-tiba. Aku berdiri sembari mengibaskan senyum pada ibuk,

"Buk, ayah sudah mati?" ujarku dengan nanar mata ibu mebulat karna syock. Reflek dia membawa aku yang tengah basah kuyup itu kedalam pelukan, ia merintih coba memperbaiki bajuku yang tlah sobek

"Apa yang terjadi padamu?' rengek Ibu coba mendekati ayah yang tergeletak.

"Dia masih hidup, Ina cepat panggil warga!" bentaknya. Aku makin tak habis pikir, Ibuk begitu peduli pada pria kurang ajar itu.

"Ibuk, ayah baru saja menyiksa dan bahkan memperkosa Ina, ibu tidak perlu cemas berlebihan, dia memang lebih baik mati," ujarku dengan wajah tak habis pikir,

"Cepat panggilkan dokter Ina!" Bentak Ibuk. Aku terpernjat dan kesal mengambil handuk di gantungan dan membalut tubuhku yang terbuka.

Satu jam berlalu beberapa warga sudah membantu, untuk membawa ayah kerumah sakit, sedangkan aku dan ibuk belum bicara sepatah katapun, hingga dua hari berlalu ayah dirawat intens dirumah sakit karna luka yang lumayan parah karna aku timpuk dengan membabi buta

"Ina bisa ikut ibuk sebentar?" pinta ibuk saat kami masih dirumah sakit,

"Ya buk," singkatku akupun membuntuti ibuk keluar kami naik taxi dan menuju kesuatu tempat.

Setelah beberapa waktu kami sampai juga di sebuah panti asuhan sontak aku nanar saat melihat bangunan itu dari dalam taxi.

"Ayo Ina turun!".

Tukas ibuk, aku masih tak habis pikir kenapa kami datangi tempat ini. Lama aku menunggu di luar, setelah merasa jenuh, akhirnya ibuk keluar juga dari ruangann pemilik panti itu.

"Ina, mulai sekarang kamu tinggal disini ya," ujar ibuk meremas kedua pundakku. aku menautkan alis karna tak habis pikir.

"Maksud Ibuk apa? Ibuk buang aku kepanti karna Ibuk lebih memilih ayah dari pada aku? Ibuk sadar gak sih. Aku anak ibuk satu- satunya," ucapku terasa berat.

"Ini demi kebaikan kita Ina,"ucap ibuk lirih dan berlalu.

"Ibuk berhenti! Aku tidak mengerti kenapa ibuk dibutakan oleh cinta Ibuk pada orang itu, sungguh aku tidak paham, apa cinta semenjengkelkan ini? Orang itu sama sekali tidak pantas di cintai!" bentakku.

"Orang itu ayahmu Ina!" bentaknya.

"Oh begitu, aku sama sekali tak ingin punya Ayah seperti dia, pergilah! Aku tidak akan pernah mencarimu lagi dan bahkan aku tidak akan menganggap kamu ibuku!"

"Sayang, ibuk akan berkunjung setiap ada waktu, kamu jangan sedih ini demi kebaikan, kamu harus tinggal disini," ujarnya berusaha membujuk namun aku bungkam seribu bahasa. Air mataku merintik saat ibu berlalu tanpa peduli padaku lagi.

Wanita yang malang seumur hidup yang aku tau cinta itu hanyalah omong kosong, setiap hari fikiran buruk dan perlakuan ibuku padaku menjadi momok yang begitu menyiksaku bahkan saat aku di pungut oleh keluarga baru aku juga mengalami pelecehan oleh ayah tiriku, dan tak berselang lama penderitaanku berakhir, aku bisa bernafas lega saat dia tiba-tiba meninggal karna serangan jantung, dan hidup sedikit berarti saat bersama Mama Rania.

Dia menyayangiku dan bahkan mengobatiku hingga ke luar negri, dulu waktu gadis aku terlalu introvert sepeti tak suka berinteraksi dengan orang hingga Mama mengira aku memang berbeda dengan anak-anak lainnya usahanya berhasil aku tidak terlau tertutup lagi pada semua orang dan mulai sudah percaya diri. hingga, saat Mas Feri meminangku, Mama Rania sangat senang karna Mas Feri adalah keponakannya sendiri, aku bahagia tentu saja, aku fikir ini adalah akhir dari penderita'anku, ternyata traumaku masih terlalu lekat, aku tidak bisa paksakan, hatiku yang sangat terbebani untuk kepuasan suamiku, dari awal aku sudah coba lawan namun aku tidak bisa, aku malah semakin phobia apa yang harus aku lakukan, Mas Feri mungkin lebih baik mencari wanita yang normal.

Malam semakin larut, aku mendengar mobil Mas Feri masuk ke garasi, aku diam tak menyambutnya datang karna dia sudah bersama Rara, wanita itu pasti tau bagaimana cara melayani suami dengan baik. Kembali aku tarik selimut dan memejamkan mata untuk tidur,

"Kamu istirahat ya Ra, besok kita akan berangkat," terdengar Mas Feri mengantar Rara kekamar, rumah ini di design terlalu kecil hingga aku bisa mendengar percakapan mereka dari kamar.

"Baik Mas," singkatnya. Aku diam saat Mas Feri terdengar datang dan membuka pintu

Trakt..

Pintu kamar terbuka aku menghela nafas berat dan kembali memejamkan mataku dengan rasa cemas

Bug..

Terasa Mas Feri menghenyak dibelakangku, perlahan dia mengibas rambutku dan memeluknya, sontak aku beronta dan membalik duduk untuk bisa melihatnya.

"Mas kamu mau apa?" Mas Feri tersenyum sembari melirik sekotak nasi di meja sofa.

"Kamu makan dulu," singkatnya, aku diam melirik makanan yang di beli Mas Feri dan beranjak mendekat. Mas Feri juga tampak menyusul.

"Kamu sama Rara tadi makan malam dimana?" ujarku.

"Ditempat biasa kita keluar, lagian aku mau sekalian beliin makanan kesukaan kamu. Jadi disana aja bareng Rara," ujarnya. sejenak aku menatap Mas Feri lekat dan berkata

"Ya udah, aku bakalan makan, kamu balik deh kekamarnya Rara 'kan besok kalian mau pergi," ucapku. Mas Feri tampak menggaruk sedikit batang hidungnya dan berkata

"Kamu beneran gak mau ikut?" tanyanya reflek aku menggeleng. Mas Feri menghela nafas sesak dan menghenyak di sampingku reflek pantatku beringsut saat Mas Feri menghenyak.

"Aku bakalan pergi seminggu dan pastinya aku bakal kangen kamu nanti, kamu hati-hati ya dirumah," ujarnya, aku mengangguk dengan sedikit menyunggingkan senyum hangat. Mas Feri mendekat memandang lekat manik mataku. Aku gemetar dan reflek buang muka saat wajah Mas Feri sudah dekat.

"Kamu bisa kekamarnya Rara sekarang aku mau istirahat," singkatku memalingkan wajah, Mas Feri terdengar berdesis, secara tiba-tiba ia daratkan ciuman di dahiku, sontak aku terdiam merasakan Mas Feri mencuri kesempatan itu,

"Aku pergi dulu," singkatnya aku hanya mengangguk diam, Mas Feri beranjak kepintu dengan ragu-ragu, langkahnya kembali terhenti saat dia memegangi knop pintu.

"Sayang, jangan lupa dimakan makanannya," ujarnya aku hanya bisa mengangguk.

Keesokan harinya aku terbangun karna di luar terdengar sibuk banget di pagi hari itu, aku bangun dari tidur dan coba melihat kesibukan mereka.

"Ra.. bantuin ambilin jas Mas yang semalam. Disana ada jam tangan," pinta Mas Feri.

"Ih, Mas aku lagi bedakan. Bentar," ujarnya, aku melirik jas Mas Feri yang di gantung di kamarku, bergegas aku ambil dan aku bawa padanya.

"Ini Mas," singkatku saat sudah dekat, mas Feri menoleh padaku dan tersenyum.

"Makasih ya Ina, ide kamu ternyata bagus banget, aku sekarang punya dua istri, yang punya perannya masing-masing," ucapnya. Aku berdegus dan menghenyak di sofa.

"Kamu juga, jangan manjain Rara gitu. Dia juga harus bisa merawat kamu Mas, " ujarku.

"Buat apa, kamu kan ada? Lagian Mas lebih suka kamu yang handle," ujarnya. aku buang nafas dan berkata.

"Tapi Mas, bagaimanapun di itu harus belajar, nanti kalo dia hamil dan kalian bakalan disibukkan dengan keluarga kecil kalian, aku bakalan pergi, Rara bakal repot kalau dia tak biasa."

"Emang kamu mau pergi kemana?" tanyanya, seketika aku bungkam.

"Kamu gak boleh kemana-mana Ina, jika kamu tidak bisa menjadi istri yang sempurna untukku jadi lah sahabat yang baik, kamu tau kan dari dulu aku gak bisa tanpa kamu, semenjak kamu di pungut oleh mama Rania, semenjak itu duniaku berubah," jelasnya, seketika aku diam, hatiku teranyuh dan pandangan mataku terasa berbinar, mengingat akan masa remaja dengan keluarga itu.

"Mas, kita bisa berangkat?" Tanya Rara yang membuyarkan lamunanku,

"Oh iya baik," sigap Mas Feri membantu Rara membawakan tasnya.

"Kami pergi dulu Ya Mbak?" ujar Rara, aku hanya bisa mengangguk. Dan mengantar mereka ke mobil.