Chereads / Toward Eternal Life / Chapter 2 - Fokus Berkultivasi.

Chapter 2 - Fokus Berkultivasi.

Setelah kakek pergi, Zhao Zhang pun melanjutkan kultivasinya. Ia duduk bersila di atas tempat tidurnya, memejamkan mata, dan memfokuskan pikirannya. "Sekarang aku berada di ranah Qi Gathering tahap awal," gumamnya dalam hati. "Untuk awal-awal, aku harus mencoba membuka kedelapan meridianku."

Zhao Zhang menarik napas dalam-dalam, merasakan energi di dalam tubuhnya. Qi murni dalam dantiannya berputar dengan lembut, seperti pusaran air yang tenang. Kemudian, dengan fokus yang tajam, ia mengarahkan aliran qi tersebut menuju salah satu meridiannya.

Zhao Zhang bersiap untuk menghadapi rasa sakit dan hambatan yang mungkin muncul. Ia tahu membuka meridian bukanlah hal yang mudah. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Qi murni yang mengalir ke meridian pertamanya langsung membuka meridian itu tanpa halangan! Rasanya seperti air yang mengalir deras melalui saluran yang sudah bersih dan lancar.

Zhao Zhang membuka matanya, terkejut sekaligus takjub. "Aku tidak menyangka semudah ini!" serunya dalam hati. "Jadi ini salah satu manfaat dari metode kultivasi Highest Grade Qi Purification!"

Ia merenung sejenak, lalu menyadari kebenarannya. "Ini masuk akal. Sebelum membentuk dantian, aku mempelajari metode kultivasi Highest Grade Qi Purification, di mana aku memurnikan qi yang tersebar di seluruh tubuhku hingga menjadi sangat murni. Itulah yang menyebabkan pembukaan meridian menggunakan qi murni ini menjadi sangat mudah."

Zhao Zhang tersenyum puas. Ia merasa semangatnya berkobar-kobar. Dengan tekad yang baru, ia melanjutkan kultivasinya, mengarahkan aliran qi ke meridian-meridian berikutnya.

Waktu berlalu, malam pun tiba. "Zhao kecil, berhentilah berkultivasi, kemarilah! Makanan sudah siap!" teriak kakek dari ruang makan.

Zhao Zhang, yang sedang asyik berkultivasi, perlahan membuka matanya. Ia merasakan energi hangat mengalir lancar di seluruh tubuhnya. Kedelapan meridiannya telah terbuka sempurna. "Baik, Kek, tunggu sebentar!" jawabnya, suaranya dipenuhi rasa puas.

Zhao Zhang bangkit dari tempat tidurnya, meregangkan tubuhnya yang terasa ringan dan segar. Namun, di balik rasa puasnya, ia menyadari sebuah tantangan. "Meskipun metode kultivasi Highest Grade Qi Purification sangatlah mengesankan, itu masih punya kekurangan," gumamnya dalam hati. "Untuk ke depannya, kultivasi ku akan menjadi sangat lambat. Aku harus mengumpulkan qi dari dunia luar dan memurnikannya sampai semurni qi yang kumiliki. Ini sangatlah merepotkan dan memakan waktu lama, kecuali..." Zhao Zhang terdiam sejenak, matanya berbinar. "Kecuali qi dari dunia luar memiliki kemurnian yang jauh melebihi standar!"

Ia mengepalkan tangannya, tekadnya membara. "Aku harus menemukan cara untuk mengatasi masalah ini!" pikirnya. "Aku tidak boleh puas hanya dengan pencapaianku saat ini."

Zhao Zhang melangkah keluar kamar, menuju ruang makan di mana aroma masakan kakek yang lezat telah menggugah seleranya. Namun, di benaknya, tantangan kultivasi masih terus berputar. Ia tahu, perjalanannya masih panjang.

Sesampainya di ruang makan, Zhao Zhang langsung disambut oleh aroma sedap masakan Kakek. Di atas meja telah terhidang sepiring besar nasi goreng udang yang mengepul, lengkap dengan acar mentimun dan kerupuk udang.

"Wah, Kakek! Ini nasi goreng udang terlezat yang pernah aku lihat!" seru Zhao Zhang dengan mata berbinar.

Kakek terkekeh, "Tentu saja! Kakek masak dengan sepenuh hati untuk cucu Kakek yang hebat ini."

Zhao Zhang langsung mengambil sepiring nasi goreng dan melahapnya dengan lahap. "Enak sekali, Kek!" pujinya di sela-sela kunyahan.

"Pelan-pelan, Nak," kata Kakek sambil tersenyum. "Masih banyak kok."

"Habis masakan Kakek selalu bikin ketagihan, sih," jawab Zhao Zhang sambil menyendokkan lagi nasi goreng ke piringnya.

Mereka melanjutkan makan malam dengan obrolan ringan. Kakek sesekali menceritakan kisah-kisah lucu dari masa mudanya, membuat Zhao Zhang tertawa terbahak-bahak. Suasana hangat dan penuh kasih sayang menyelimuti ruang makan sederhana itu.

Setelah menghabiskan makan malam, Zhao Zhang membantu Kakek membereskan meja. "Terima kasih atas makan malamnya, Kek," kata Zhao Zhang. "Aku kenyang sekali."

"Sama-sama, Nak," jawab Kakek. "Istirahatlah yang cukup. Besok adalah hari yang penting untukmu."

Zhao Zhang mengangguk dan kembali ke kamarnya dengan hati yang penuh syukur. Ia merasa beruntung memiliki Kakek yang selalu mendukung dan menyayanginya. Senyum tipis tersungging di bibirnya saat ia mengingat kehangatan dan kebahagiaan makan malam barusan.

Sesampainya di kamar, Zhao Zhang menutup pintu perlahan dan berjalan menuju tempat tidurnya. Cahaya bulan yang lembut masuk melalui jendela, menyinari ruangan dengan redup. Suasana hening dan tenang menyelimuti kamarnya, membuatnya merasa damai.

Zhao Zhang duduk bersila di atas tempat tidur, menarik napas dalam-dalam, dan memejamkan mata. Ia memusatkan pikirannya, menyingkirkan semua gangguan dan keraguan. "Aku akan mulai mengumpulkan qi dari dunia luar dan memurnikannya sedikit demi sedikit untuk memperkuat fondasiku," tekadnya dalam hati.

Zhao Zhang mulai menjalankan teknik pernapasan yang telah diajarkan Kakeknya. Ia merasakan energi di sekitarnya perlahan meresap masuk ke dalam tubuhnya, seperti embun pagi yang menyegarkan. Dengan sabar dan tekun, ia memurnikan qi tersebut, menghilangkan semua kotoran dan ketidaksempurnaan.

Waktu berlalu dengan tenang. Zhao Zhang tenggelam dalam kultivasinya, tak terganggu oleh apa pun. Napasnya teratur, seirama dengan detak jantungnya. Qi mengalir lancar di dalam tubuhnya, seperti sungai yang mengalir tenang menuju lautan. Ia merasakan kedamaian dan ketenangan yang mendalam, menyatu dengan energi di sekitarnya. Kekuatan... keabadian..., bisiknya dalam hati. Ia bertekad untuk menjadi seorang kultivator yang kuat, dan menjadi abadi.

Fajar pun menyingsing, melukis langit dengan semburat jingga dan merah muda. Suara ayam berkokok memecah keheningan pagi. Zhao Zhang membuka matanya, merasakan energi baru mengalir di dalam dirinya. Ia telah menyelesaikan kultivasinya, siap menghadapi hari yang baru.

Zhao Zhang bangkit dari tempat tidur dan meregangkan tubuhnya. Tulang-tulangnya berderak pelan. Ia merasa segar dan bersemangat. Setelah mencuci muka dan berpakaian rapi, ia melangkah keluar kamar.

Di meja makan, telah tersedia sarapan sederhana—semangkuk bubur hangat dan sepiring kecil acar. Zhao Zhang menyantap sarapannya dengan lahap, menikmati setiap suapan. Hari ini adalah hari pertamaku di akademi klan, pikirnya. Aku harus memberikan kesan yang baik.

Setelah selesai sarapan, Zhao Zhang merapikan peralatan makannya dan mencucinya. Ia siap berangkat ke akademi klan, memulai babak baru dalam hidupnya. Dengan langkah mantap ia melangkah keluar rumah, menyongsong masa depan yang penuh tantangan dan harapan.

Jalanan desa masih lengang saat Zhao Zhang melangkah keluar rumah. Embun pagi masih menempel di dedaunan, berkilauan seperti permata di bawah sinar matahari pagi. Udara segar dan sejuk memenuhi paru-parunya, membuatnya merasa bersemangat. Hari yang indah untuk memulai sesuatu yang baru, pikirnya.

Dari kejauhan, ia melihat sosok yang dikenalnya. "Zhao Li!" teriaknya, melambaikan tangannya.

Zhao Li menoleh, senyum lebar langsung terkembang di wajahnya. "Zhao Zhang! Kebetulan sekali! Ayo berangkat bersama!"

"Iya!" jawab Zhao Zhang, berlari kecil menyusul Zhao Li.

Zhao Li memperhatikan Zhao Zhang dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Wah, kau terlihat berbeda hari ini. Lebih bersemangat."

Zhao Zhang terkekeh. "Tentu saja! Hari ini adalah hari pertamaku di akademi klan!"

Mereka berjalan berdampingan, mengobrol tentang berbagai hal—mulai dari rencana mereka di akademi, guru-guru yang akan mereka temui, hingga teman-teman baru yang ingin mereka kenal. Tawa mereka sesekali pecah, menambah keceriaan suasana pagi.

"Aku dengar Zhao Lian juga akan masuk akademi tahun ini," kata Zhao Zhang, sambil melirik Zhao Li dengan senyum jahil.

"Oh ya?" Zhao Li mengangkat alis. Zhao Lian adalah anak pemimpin klan, dikenal karena kecantikan dan bakatnya. "Semoga saja kita bisa satu kelas dengannya," gumamnya, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Zhao Zhang.

Zhao Zhang tertawa. "Tentu saja! Siapa tahu kita bisa duduk sebangku dengannya!" godanya, menaik-turunkan alisnya.

Zhao Li mendorong pelan Zhao Zhang, "Diamlah kau!" Tapi senyum malu-malu tetap tersungging di wajahnya.

Semangat mereka berkobar-kobar, menyongsong hari pertama di akademi klan. Jalan di depan mereka mungkin penuh tantangan, namun mereka siap menghadapinya bersama, sebagai sahabat.

Sesampainya mereka di akademi, halaman sudah dipenuhi anak-anak yang riuh rendah. Sebagian tampak gugup, sebagian lagi bersemangat. Zhao Zhang dan Zhao Li saling berpandangan, merasakan debaran jantung mereka semakin cepat.