Sinar matahari siang yang terik menyinari halaman depan rumah, menyinari air terjun yang berkilauan dan pepohonan hijau di sekitarnya. Suara gemericik air dan kicauan burung menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Tetua Wu Hao berdiri tegak, menatap kedua muridnya dengan tatapan serius.
"Zhao Zhang," katanya, suaranya berwibawa, "apa kamu masih memiliki sepasang gelang besi bermotif naga seperti yang ada di tangan dan kakimu itu?"
Zhao Zhang mengangkat tangannya, memperlihatkan gelang emas yang melingkari pergelangan tangannya. Ukiran naga di gelang itu tampak hidup, seolah-olah siap untuk terbang. "Ya, Tetua. Itu ada di rumah."
Tetua Wu Hao mengangguk. "Bagus. Aku akan menjelaskan beberapa hal." Ia menghela napas, tatapannya mengarah ke air terjun. "Kalian sudah membangkitkan kultivasi pada usia sepuluh tahun, dan itu menunjukkan potensi yang luar biasa. Klan telah memerintahkanku untuk membimbing kalian secara khusus."
Zhao Zhang dan Zhao Lian mengangguk. Mereka sudah menduga hal ini sejak Tetua Yun membawa mereka ke gubuk Tetua Wu Hao.
"Sesuai waktu pembelajaran di akademi, aku akan mengajari kalian selama tiga tahun," lanjut Tetua Wu Hao. "Namun, kalian tidak akan tinggal di rumah kalian sendiri. Mulai besok, kalian akan tinggal di sini, bersamaku."
"Tinggal di sini?" ulang Zhao Zhang, sedikit terkejut. "Tapi bagaimana dengan keluarga kami?"
"Kalian hanya diizinkan pulang satu kali selama satu bulan," jawab Tetua Wu Hao, tatapannya kembali tertuju pada kedua muridnya. "Aku akan fokus melatih kalian berdua di sini, tanpa gangguan dari luar."
Zhao Zhang menelan ludah. Ia tidak menyangka pelatihannya akan se-intens itu. Ia melirik Zhao Lian, yang hanya mengangguk kecil dengan ekspresi datar. Sepertinya gadis itu tidak terlalu peduli harus tinggal di mana atau berpisah dengan keluarganya.
"Kalian boleh pulang sekarang," kata Tetua Wu Hao. "Besok pagi-pagi sekali, kalian harus sudah ada di sini lagi dan bawa juga pakaian serta kebutuhan kalian. Dan Zhao Zhang," ia menekankan, "bawa juga gelang besi itu."
Zhao Zhang mengerutkan kening. Ia melirik Zhao Lian, yang hanya mengangkat alis dengan acuh tak acuh. "Baiklah, Tetua," jawab Zhao Zhang patuh.
Tetua Wu Hao mengangguk. "Sekarang pergilah. Beristirahatlah yang cukup. Besok kita akan mulai latihan yang sesungguhnya."
Zhao Zhang dan Zhao Lian membungkuk hormat, lalu berbalik dan meninggalkan gubuk.
Sinar matahari siang yang hangat menembus celah-celah dedaunan, menciptakan pola-pola cahaya di jalan setapak yang mereka lalui. Suara gemericik air dari sungai kecil di dekatnya dan kicauan burung-burung menambah kedamaian suasana. Zhao Zhang berjalan di samping Zhao Lian, sesekali mencuri pandang ke arah gadis itu. Ia ingin memulai percakapan.
"Zhao Lian," panggil Zhao Zhang tanpa ragu.
Zhao Lian menoleh, alisnya terangkat sedikit, menunggu Zhao Zhang melanjutkan perkataannya.
"Pertarungan tadi cukup seru, ya?" tanya Zhao Zhang sambil tersenyum. "Aku tidak menyangka kau bisa mengendalikan air sungai untuk menyerang."
Zhao Lian hanya mengangguk singkat sebagai jawaban.
"Kau sangat lincah dan cepat," puji Zhao Zhang. "Aku hampir tidak bisa mengimbangimu."
Zhao Lian tidak menjawab, ia hanya melirik Zhao Zhang sekilas lalu kembali memandang ke depan.
Zhao Zhang merasa sedikit canggung, namun ia tetap berusaha melanjutkan percakapan. "Kau juga kuat," pujinya. "Aku terkejut dengan pengendalian qi milikmu."
"Hmm," gumam Zhao Lian acuh tak acuh.
Zhao Zhang menghela napas pelan. Ia mulai menyadari bahwa Zhao Lian memang seorang gadis yang pendiam dan sulit didekati. "Ya, aku akan berusaha," kata Zhao Zhang pada akhirnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Mereka pun melanjutkan perjalanan dalam diam. Zhao Zhang sesekali mencuri pandang ke arah Zhao Lian, namun gadis itu tetap fokus pada jalan di depannya. Akhirnya, mereka sampai di sebuah persimpangan.
"Sepertinya kita berpisah di sini," kata Zhao Zhang. "Rumahku ke arah sana." Ia menunjuk ke arah kiri.
Zhao Lian mengangguk. "Sampai jumpa besok," katanya singkat, lalu berbelok ke arah kanan tanpa menoleh ke belakang.
Zhao Zhang menatap kepergian Zhao Lian dengan perasaan campur aduk. Ia sedikit kecewa karena tidak berhasil lebih dekat dengan gadis itu, namun ia juga semakin penasaran dengan sifat misterius Zhao Lian. Ia bertekad untuk lebih mengenal gadis itu di kemudian hari.
Zhao Zhang melangkah riang menuruni jalan setapak, sinar matahari siang yang cerah menghangatkan kulitnya. Ia baru saja berpisah dengan Zhao Lian di persimpangan dan hatinya dipenuhi rasa penasaran tentang gadis itu. Tiba-tiba, ia melihat sosok familiar di kejauhan.
"Zhao Li!" seru Zhao Zhang, melambaikan tangannya.
Zhao Li menoleh, wajahnya langsung berseri-seri. "Zhao Zhang! Kukira kau sudah pulang duluan. Oiya, ke mana Tetua Yun membawamu tadi pagi?"
Zhao Zhang mengerutkan kening. "Tetua Yun membawaku bertemu Tetua Wu Hao."
"Kenapa Tetua Yun membawamu ke Tetua Wu Hao?" tanya Zhao Li, rasa ingin tahunya terpancar dari matanya.
"Aku diangkat menjadi murid Tetua Wu Hao," jawab Zhao Zhang, berusaha menyembunyikan rasa bangganya.
Zhao Li terbelalak, mulutnya sedikit terbuka. "Apa?!" serunya, tidak percaya. "Kau serius?"
Zhao Zhang mengangguk. "Ya, serius."
"Wow!" Zhao Li berseru kagum. "Kau beruntung sekali, Zhao Zhang! Tetua Wu Hao itu kan tetua terkuat di klan kita!" Ia menatap Zhao Zhang dengan tatapan iri. "Pasti dia melihat potensi besar dalam dirimu."
Zhao Zhang hanya tersenyum tipis, mencoba meredam rasa bangga yang membuncah di dadanya. "Mungkin," jawabnya.
"Aku jadi iri padamu," kata Zhao Li, cemberut. "Aku hanya belajar tentang pembagian tingkat kultivasi di kelas. Membosankan sekali."
Zhao Zhang tertawa melihat ekspresi Zhao Li. "Tenang saja, kau juga pasti akan mendapat kesempatan untuk berlatih bela diri nanti."
"Semoga saja," kata Zhao Li.
Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang sambil mengobrol tentang berbagai hal. Zhao Zhang menceritakan tentang Zhao Lian, gadis pendiam yang ditemuinya. Zhao Li menceritakan tentang teman-teman sekelasnya dan pelajaran yang ia dapatkan di akademi.
Ketika sampai di persimpangan jalan, mereka berpisah. Zhao Li melambaikan tangan. "Sampai jumpa, Zhao Zhang!"
"Sampai jumpa, Zhao Li!" balas Zhao Zhang.
Zhao Zhang melanjutkan perjalanan pulang sendirian. Ia merasa senang karena bisa bertemu dengan Zhao Li dan berbagi cerita. Ia juga merasa bersemangat sekaligus bingung untuk melanjutkan "pelatihannya" dengan Tetua Wu Hao.
Sesampainya di rumah, aroma masakan yang lezat langsung menyambutnya. Kakeknya sudah menyiapkan makan siang. Zhao Zhang langsung duduk di meja makan dan melahap hidangan yang tersedia dengan lahap.
"Bagaimana harimu di akademi, Zhao Zhang?" tanya Kakeknya sambil tersenyum.
Ia menceritakan semua yang dialaminya hari ini, mulai dari pertemuannya dengan Tetua Yun yang membawanya ke Tetua Wu Hao, hingga latih tanding dengan Zhao Lian yang membuatnya menyadari betapa banyak yang masih harus ia pelajari.
"Bayangkan, Kek, mulai besok aku akan dilatih oleh Tetua Wu Hao!" serunya dengan mata berbinar. "Aku akan tinggal di rumahnya dan berlatih setiap hari!"
Kakeknya mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk dan tersenyum. Wajahnya dipenuhi kebanggaan melihat semangat cucunya.
"Tapi, Kek," lanjut Zhao Zhang dengan nada sedikit sedih, "aku harus meninggalkan Kakek selama tiga tahun."
Kakeknya mengelus kepala Zhao Zhang dengan lembut. "Kakek mengerti, Nak. Ini adalah kesempatan besar bagimu. Jangan khawatirkan Kakek, Kakek akan baik-baik saja di sini."
Zhao Zhang tersenyum lega. "Benar juga, Kek." Ia menatap kakeknya dengan penuh rasa sayang. "Terima kasih, Kek. Kakek selalu mendukungku."
"Tentu saja, Nak," kata Kakeknya. "Kakek bangga padamu. Kau anak yang pintar dan berbakat. Kakek yakin kau akan menjadi kultivator yang hebat."
Zhao Zhang mengangguk mantap. "Aku akan berusaha keras, Kek. Aku tidak akan mengecewakan Kakek."
Kakeknya tersenyum dan menepuk pundak Zhao Zhang. "Kakek percaya padamu, Nak."
Setelah makan siang, Zhao Zhang beristirahat sejenak. Ia kemudian pergi ke kamarnya dan mulai mempersiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke gubuk Tetua Wu Hao besok. Ia juga mengambil gelang besi bermotif naga yang tersimpan rapi di dalam lemari. Ia mengamati gelang itu dengan saksama.
Bulan sabit menggantung tinggi di langit malam, sinarnya yang pucat menembus jendela kamar Zhao Zhang. Di atas ranjang bambu yang sederhana, Zhao Zhang berbaring telentang, matanya menatap langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu. Napasnya teratur, namun pikirannya berkelana jauh, membayangkan hari esok yang penuh tantangan.
Bayangan-bayangan latihan "khusus" yang akan dijalaninya menari-nari di benaknya. Ia merasakan semangat membara dalam dadanya, gairah yang tak pernah padam untuk mengasah kemampuannya. Senyum tipis tersungging di bibirnya, membayangkan dirinya semakin kuat dan tak terkalahkan.
Sebelum terlelap, Zhao Zhang duduk bersila di atas ranjangnya. Ia memejamkan mata, memusatkan pikiran, dan mulai mengatur pernapasannya. Energi di sekitarnya terasa berputar, memasuki tubuhnya melalui pori-pori kulit, mengalir deras bagai sungai menuju dantiannya. Ruangan sederhana itu seakan bergetar halus, dipenuhi aura mistis yang tak terlihat.
Setelah beberapa saat, Zhao Zhang membuka matanya. Ia merasakan tubuhnya segar dan ringan, siap menghadapi hari esok. Dengan perasaan tenang dan damai, ia kembali berbaring, membiarkan kantuk perlahan menyelimuti kesadarannya. Tak lama kemudian, dengkuran halus terdengar dari balik kelambu tipis yang melindungi ranjangnya, menandakan bahwa Zhao Zhang telah tertidur lelap.