Danil pemuda yang terlahir di tengah kemudahan. Paras rupawan, akal cemerlang, dan keluarga berada. Namun, ia tumbuh menjadi pribadi yang enggan berusaha. Bukan hanya enggan pelajar dan menambah skill, lebih parah ia juga sangat anti pada interaksi sosial dan membantu orang lain. Ia merasa cukup dengan apa yang ada, yakin segalanya akan beres tanpa campur tangannya dan sangat yakin bisa menatasi semua masalah sendirian.
"Nanti juga selesai sendiri, semuanya sudah ada takdirnya" gumamnya, sebuah mantra yang ia ulang-ulang.Di ruang kelas, matanya bergerak lincah, menyalin jawaban dari kertas di hadapannya. Tangannya menulis cepat, tak peduli tatapan jengkel di sekitarnya. Di rumah, kakinya jarang melangkah keluar kamar. Piring kotor menumpuk di meja, pakaian berserakan di lantai, sementara ia terpaku di depan layar ponsel berjam-jam setiap hari. Bahkan sekadar membalas pesan singkat pun jarinya enggan bergerak. Baginya, itu semua hanya pemborosan tenaga.Terkadang, ia berteriak dari dalam kamar, meminta tolong untuk hal-hal sepele. "Ambilkan minum, dong!" padahal botolnya hanya beberapa langkah dari jangkauannya. Kesalahan demi kesalahan pun kadang terjadi tetapi ia selalu menyalahkan orang lain akan hal itu, dengan segala sifat itu teman-temannya mulai menjaga jarak. Ajakan keluar tak lagi terdengar, sapaan pun kian jarang. Danil tak perduli sama sekali ia hanya mengangkat bahu, menganggapnya angin lalu.Waktu berlalu tanpa menunggu. Danil sudah dewasa, namun kebiasaannya tak berubah. "Nanti juga selesai sendiri" kini terdengar seperti ratapan kosong. Surat-surat penolakan kerja berserakan di mejanya. Tangannya meraih satu per satu, meremasnya kuat, lalu melempar semuanya ke lantai dengan kasar. Usaha yang sempat ia rintis kini terbengkalai. Laptopnya berdebu di pojok kamar, kata sandinya pun telah ia lupakan.Perubahan itu terlihat jelas di pantulan cermin. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin dalam, kulitnya pucat dan kusam. Rambutnya berantakan, beberapa helai jatuh menutupi dahinya. Tangannya menyentuh pipi, merasakan tekstur kasar yang asing di kulitnya. Ia menarik napas panjang, menghembuskannya dengan berat.Ia benar-benar sendirian. Ponselnya sunyi senyap. Tak ada dering panggilan, tak ada notifikasi pesan. Ia mencoba menghubungi beberapa teman lama, namun panggilannya tak diangkat. Pesannya hanya bercentang satu. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berjalan gontai menuju cermin besar di kamarnya.Di kamar yang berantakan dan remang-remang, ia berdiri di depan cermin. Matanya terpaku pada bayangannya sendiri menyesali setiap waktu yang sudah terbuang. Tangannya mengepal erat, lalu menghantam permukaan cermin dengan sekuat tenaga, kini dia benar-benar membenci dirinya sendiri. Suara pecahan kaca menjadi sorot utama di ruanfan itu. Ia menatap pecahan kaca yang berserakan di lantai menatap wajahnya sendiri dari berbagai sudut, dia sendiri bahkan yakin setiap bayangannya yang banyak itu ikut menyalahkan kelakuannya, lalu hanya tertunduk dalam. Bahunya lemas letih tak berdaya. Semua sudah tidak bisa di ubah.