Eve~
Secara naluriah, aku memeluk lehernya saat kami bergoyang di lantai dansa. Aku tak tahan menatap sorot matanya yang intens, jadi aku menghindarinya. Panas yang terpancar dari tubuhnya sudah cukup. Mengapa tiba-tiba dia tampak tegang? Semuanya baik-baik saja hingga beberapa saat yang lalu.
"Pandanglah aku, putri," suara nya membelah pikiranku. Aku tidak bisa menanggung kekesalannya lagi, jadi dengan ragu-ragu aku mengangkat kepala. Aku disambut dengan ekspresi nya yang tidak terbaca.
Aku mengerutkan kening, tidak yakin. "Ada apa?"
Dia mengangkat sebuah alis gelap. "Maksudmu?"
Bukankah dia marah? Aku menggigit bibir. Sepertinya aku salah. Aku menatapnya lagi untuk mendapati dia sedang menungguku dengan harapan. "Mengapa kau... baik?" aku bertanya begitu saja.
Senyum separuh muncul di bibirnya. "Baik," dia mengulang kata itu seolah merasakannya. "Apakah itu yang kau pikirkan ini?"