Chereads / Laksana Raja di Laut / Chapter 1 - Prolog

Laksana Raja di Laut

🇮🇩LongBoard
  • 7
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 36
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog

Seorang pria tua duduk termenung di bangku halte bus yang sepi. Rambutnya, yang hampir seluruhnya telah memutih, tertutup baret hijau pudar—simbol masa lalu yang pernah ia emban dengan gagah berani. Di sampingnya, sebuah koper besar tergeletak dengan tenang, seperti saksi bisu perjalanan panjang hidupnya. Ransel besar tergantung di bahunya, sementara jas cokelat tua yang dikenakannya tampak lusuh, dengan beberapa bagian yang terkelupas dan menunjukkan betapa usangnya pakaian itu. Jas itu, mungkin, adalah satu-satunya kenang-kenangan fisik dari kehidupan yang telah ia dedikasikan sepenuhnya untuk tanah air.

Di tangannya, sebuah gulungan kertas tampak terlipat rapi. Gulungan itu adalah surat penghargaan dari TNI, tanda terima kasih atas pengabdian panjangnya. Namun, baginya, kertas itu hanyalah simbol hampa yang tak sebanding dengan pengorbanan yang telah ia lakukan.

"Setengah dari hidupku... habis untuk negeri ini. Dan yang kuterima hanyalah ini?" Pikirnya getir. Sebuah senyum kecut tersungging di bibirnya yang kering, seperti pahitnya kenangan yang kembali menyeruak di benaknya.

Duduk tak jauh darinya, seorang pemuda muda memandang pria tua itu dengan rasa penasaran yang tak disembunyikan. Penampilan pria tua itu, dengan aura kebanggaan bercampur kesederhanaan, mengundang pertanyaan di benaknya.

"Pak, bapak tentara, ya?" Tanya pemuda itu, akhirnya memberanikan diri.

Pria tua itu tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan tersenyum kecil, meski lelah tersirat dalam sorot matanya. "Ah, iya. Benar sekali." Jawabnya singkat.

Pemuda itu memiringkan kepalanya, matanya menyipit penuh keingintahuan. "Lagi nunggu bus juga, Pak? Kok nggak naik mobil aja? Tentara, kan, biasanya punya mobil."

Pertanyaan itu menusuk seperti sembilu. Pria tua itu—Tom namanya—terdiam, merasa seperti ada beban berat yang menekan dadanya. Tiga puluh tahun aku mengabdi... dan tak satu pun yang kumiliki. Tak ada rumah mewah, tak ada mobil, hanya kenangan pahit manis dan penghormatan yang perlahan dilupakan. Ia ingat rekan-rekannya yang dulu berjuang bersamanya, kini banyak yang hidup serba nyaman, sebagian bahkan menggunakan cara curang untuk mencapai puncak karier. Tapi tidak Tom. Ia memilih jalan yang lurus, meski kini ia harus menanggung akibatnya sendiri.

"Tidak perlu mobil." Jawab Tom akhirnya, suaranya tenang tapi dingin. "Jakarta sudah cukup macet. Kendaraan umum lebih baik."

Pemuda itu tertawa kecil. "Begitu ya, Pak? Tapi setahu saya, tentara yang saya lihat biasanya punya motor paling tidak. Atau jangan-jangan semua uang Bapak diinvestasikan?" Tanyanya lagi, polos tapi menyentil.

Tom menarik napas panjang, menahan rasa kesal yang mulai mengintip. Anak ini, pikirnya, terlalu banyak bertanya. Namun, sebelum ia harus menjawab lagi, bus yang ditunggunya akhirnya tiba. Dengan cepat ia bangkit berdiri. "Bis saya sudah datang. Permisi."

Ia melangkah masuk, meninggalkan pemuda itu tanpa jawaban lebih jauh. Di dalam bus, ia memilih tempat duduk di dekat jendela, menyandarkan punggungnya yang terasa berat, bukan oleh ransel yang ia bawa, tetapi oleh beban kenangan yang tak terlihat. Saat bus mulai bergerak, Tom menatap keluar jendela. Pemandangan kota Jakarta yang penuh hiruk pikuk melintas di depan matanya, membawa ingatan akan masa-masa perjuangannya. Berapa banyak yang telah kukorbankan di kota ini? Berapa banyak yang telah kulewatkan? Pikirnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Perjalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta terasa singkat, namun penuh nostalgia. Setibanya di bandara, langkah Tom mantap meski perlahan. Tinggi badannya yang mencapai 180 cm membuatnya tetap tampak gagah meski usia telah merenggut sebagian energinya. Badannya masih kokoh berotot, hasil dari puluhan tahun disiplin militer, meski kini perutnya sedikit buncit—tanda tak terbantahkan dari usia yang terus bertambah. Banyak mata memandangnya, kagum sekaligus heran, seolah bertanya siapa pria tua ini dengan penampilan sederhana namun penuh wibawa.

Setelah melewati proses check-in, Tom akhirnya duduk di dalam pesawat. Kursi di dekat jendela memberinya pemandangan yang sempurna akan langit Jakarta, kota yang telah ia beri segalanya. Pesawat perlahan bergerak menuju landasan pacu, dan Tom memandang keluar dengan tatapan sendu.

"Jakarta... selamat tinggal." Bisiknya dalam hati.

Angin dingin dari pendingin kabin membelai wajahnya. Matanya perlahan tertutup, dan dalam lelapnya, ia kembali ke masa lalu: suara derap sepatu tentara, denting senjata, dan janji yang pernah ia ikrarkan untuk negaranya. Kini, janji itu telah ia tepati, meski hati kecilnya bertanya: apakah negeri ini telah melakukan hal yang sama untuknya?

Perlahan, Tom membuka matanya sambil mengerang pelan, tubuh tuanya terasa seperti beban yang semakin sulit ditanggung. Sendi-sendi yang dulu kuat kini berderak dengan setiap gerakan, mengingatkan dia bahwa waktu bukan lagi sekutunya. Namun, saat kesadarannya pulih sepenuhnya, keanehan mulai menyelimuti pikirannya.

Kenapa tubuhnya terbaring? Bukankah dia seharusnya duduk di kursi pesawat?

Dengan susah payah, Tom memaksa matanya terbuka sepenuhnya. Hal pertama yang menyapa pandangannya adalah atap rotan. Sebuah pemandangan yang begitu asing, namun sekaligus akrab, seperti serpihan mimpi dari masa yang jauh. Ia mencoba duduk perlahan, pandangannya menyapu ruangan di sekitarnya.

Rumah ini... rumah ini sangat mirip dengan rumah masa kecilnya di kampung. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Tidak ada lampu listrik, tidak ada kabel, tidak ada alat elektronik yang dulu ia belikan untuk orang tuanya sebagai tanda baktinya. Ini adalah versi yang jauh lebih tua, lebih sederhana, seolah-olah waktu telah diputar mundur ke era yang belum tersentuh modernitas.

Di sudut ruangan, ia melihat koper dan ranselnya, dan untuk sesaat, rasa lega membanjiri dadanya. Setidaknya, barang-barang itu masih ada di sini.

Namun, ketika ia hendak meraih ranselnya, sesuatu yang benar-benar tak terduga terjadi. Sebuah layar bercahaya muncul di hadapannya, melayang di udara tanpa penopang. Kata-kata yang tertulis di layar itu sederhana namun penuh misteri:

"Mulai Program?

Y/N."

Kebingungan bercampur rasa waspada menguasai dirinya. Tapi rasa penasaran dan naluri prajurit yang sudah terbiasa mengambil keputusan dalam situasi genting akhirnya mendorongnya untuk menyentuh tombol "Y."

Begitu jemarinya menyentuh layar itu, tubuhnya seketika dilanda sensasi seperti disambar petir. Kesemutan menjalar dari ujung jari hingga ke tulang punggungnya, membuat tubuhnya menggigil hebat. Ia terjatuh ke lantai, kejang-kejang tak terkendali, seperti ada arus listrik yang mengalir di setiap serat ototnya.

Beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup berlalu, dan akhirnya tubuhnya kembali tenang. Nafasnya terengah-engah, keringat mengucur deras di dahinya. Dengan susah payah, ia duduk kembali, tangannya bergetar. Layar itu masih ada di hadapannya, namun tampilannya telah berubah.

Kini layar itu menampilkan ikon-ikon yang lebih sederhana, salah satunya terlihat seperti logo pesan pada ponsel. Dengan rasa ingin tahu yang bercampur kehati-hatian, Tom menyentuh ikon tersebut.

Sebuah pesan muncul, dan ia mulai membacanya dengan seksama:

"Tom Ah Seng, prajurit hebat dari TNI Angkatan Darat. Kau selalu dikenal sebagai orang yang bersih dan berbuat baik, hingga pada titik di mana orang-orang sering memanfaatkanmu. Halo, aku adalah Architect. Akulah yang membuatmu seperti ini dan membawamu ke waktu ini.

Kenapa, kau bertanya? Kesenangan belaka. Serius, aku sangat bosan dengan kekuatan yang tak terbatas ini. Jadi, aku memutuskan untuk membuat sesuatu yang menarik... untukku, tentu saja.

Kembali ke konteks. Kau kini berada di tahun 1800, bulan Januari. Apakah itu terdengar familiar? Tentu saja! Ini adalah awal dari sebuah era penuh potensi. Aku telah menanamkan sebuah sistem khusus dalam dirimu. Sistem ini dirancang untuk membantumu mencapai apapun tujuanmu di masa ini. Kau ingin menjadi pengelana dan menulis sejarah yang tidak pernah diceritakan? Membangun sebuah negara? Atau hanya hidup tenang di sudut dunia? Itu semua terserah padamu.

Selamat menikmati kehidupan barumu, Tom. Oh, ngomong-ngomong, sistem ini juga bisa berpikir secara mandiri. Jadi, kau tidak sendirian. Sampai jumpa!"

—Architect.

Tom membaca pesan itu berulang kali, mencoba mencerna setiap kata. 1800? Januari? Apakah ini mimpi, eksperimen militer, atau permainan nasib yang gila?

Namun, tidak ada waktu untuk mencari jawaban. Sebagai seorang prajurit yang terbiasa dengan ketidakpastian, ia tahu hanya ada satu hal yang bisa dilakukan: bertindak. Dengan sistem misterius ini di tangannya dan dunia yang sepenuhnya asing di hadapannya, Tom harus memutuskan.

Apakah ia akan menggunakan kesempatan ini untuk menebus masa lalu, menciptakan masa depan, atau sekadar bertahan hidup? Langkah pertamanya di masa yang salah ini akan menentukan segalanya.

Tom mengerutkan kening, matanya menatap layar kosong di depannya. Pesan yang ia baca berulang kali seolah terus terngiang di benaknya, memaksanya merenungkan absurditas situasi ini. Ia bahkan tak ingat sudah berapa kali membaca kalimat-kalimat tersebut, mencoba mencari jawaban dari kegilaan yang tiba-tiba melingkupinya.

Tiba-tiba, sebuah suara yang lembut dan feminin menyelinap ke dalam pikirannya. Suara itu bagaikan angin sepoi-sepoi yang menyentuh hatinya dengan kelembutan, namun tetap membuatnya terperanjat.

"Anda sudah membaca sebanyak lima kali, Tuan." Suara itu berkata, dengan nada yang penuh pengertian, seperti seorang teman lama yang sudah mengenal semua keraguannya.

Tom terdiam sejenak sebelum merespons, bingung sekaligus waspada. "Siapa kau? Kenapa kau ada di dalam kepalaku?" Tanyanya, nada suaranya mencampur rasa heran dan kewaspadaan yang khas seorang prajurit.

Suara itu tertawa kecil, nadanya hangat, hampir menenangkan. "Saya adalah Ela, kecerdasan buatan yang ditugaskan oleh Architect untuk membantu Anda dalam misi Anda di sini. Apa pun misi itu nantinya, Tuan." Jawabnya dengan kehalusan yang seolah dirancang untuk menenangkan kekacauan batin Tom.

Tom berdiri perlahan, tubuhnya terasa lebih berat oleh beban pertanyaan yang berdesakan di pikirannya. Pandangannya tertuju pada panel yang kini berubah menjadi layar penuh gambar kendaraan tempur, senjata, dan kapal-kapal besar. Mata Tom menyipit, berusaha memahami apa yang ia lihat.

"Kau... punya nama? Dan apa semua ini? Kenapa kau memanggilku Tuan? Aku benar-benar kebingungan sekarang." Katanya, memijat pelipisnya dengan frustrasi.

"Tentu saja, Tuan." Jawab Ela dengan nada lembut, seperti seorang pembimbing sabar yang berusaha membantu muridnya memahami pelajaran. "Nama saya adalah Ela. Layar di hadapan Anda adalah layar bantu untuk kebutuhan anda dari dunia modern, namun terbatas akan apa saja yang pernah anda pelajari atau pernah ketahui, jadi hal-hal yang tidak anda ketahui, sayangnya tidak akan muncul."

Tom menghela napas panjang, mencoba mencerna penjelasan itu. "Itu terlalu banyak... terlalu rumit untuk dicerna. Tapi... si Architect ini bilang kita ada di tahun 1800. Dia bohong... kan?" Tanyanya, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.

Ela terdiam sejenak sebelum menjawab dengan nada penuh belas kasih, seolah memahami bahwa kabar ini akan sulit diterima. "Sayangnya tidak, Tuan. Architect tidak berbohong. Anda memang berada di tahun 1800, tepatnya tanggal 1 Januari."

Tom terdiam, matanya terbelalak. Kepalanya terasa penuh dengan informasi yang tidak masuk akal, seperti mimpi buruk yang terlalu nyata untuk diabaikan. "Astaga..." Gumamnya pelan, dadanya sesak oleh beban ketidakpastian. "Ini... terlalu banyak untuk kupahami... Udara... aku butuh udara." Katanya sambil tergesa-gesa menuju pintu.

Dengan satu tarikan napas yang panjang, Tom membuka pintu kayu rumah itu. Cahaya matahari pagi yang lembut menerpa wajahnya, dan untuk sesaat, dunianya berhenti. Di hadapannya terbentang pemandangan pantai yang memukau, dengan pasir putih yang halus dan air laut yang jernih, sejernih kaca. Angin laut bertiup pelan, membawa aroma garam yang segar, membangkitkan kenangan masa kecilnya di kampung halaman.

Tom mengedipkan matanya berkali-kali, memastikan bahwa ini bukan ilusi. Tapi pemandangan itu tetap ada, tak berubah sedikit pun. Di kejauhan, ia melihat sebuah desa nelayan kecil dengan rumah-rumah kayu yang berdiri sederhana di pinggir pantai.

Ela berbicara lagi, kali ini suaranya lebih lembut, nyaris seperti bisikan. "Indah, bukan? Dunia ini memiliki potensi yang begitu besar, Tuan. Mungkin, ini adalah kesempatan Anda untuk memulai lagi. Untuk membangun, memperbaiki, atau bahkan sekadar menikmati hidup yang tak sempat Anda rasakan sebelumnya."

Tom tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, menatap horizon biru yang membentang tanpa batas. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan sesuatu yang aneh: kebebasan yang sesungguhnya, meski itu datang bersamaan dengan kekacauan. Apa yang akan ia lakukan dengan dunia ini? Satu hal yang pasti, Ela selalu ada untuk menemani langkahnya ke depan.

Tom menutup pintu rumah dengan perlahan, lalu memandang ke kejauhan, di mana sebuah desa kecil tampak seolah-olah memanggilnya. Rumah-rumah kayu sederhana itu berdiri berjajar di tepi pantai, beberapa di antaranya tampak memiliki perahu-perahu kecil yang terikat di depan. Desa itu seperti lukisan hidup yang diwarnai oleh ketenangan.

Tom menarik napas panjang, mengisi paru-parunya dengan udara laut yang segar. "Ela," panggilnya, suaranya masih terdengar lelah namun mulai ada secercah ketenangan. "Itu desa, kan? Orang-orang seperti apa yang tinggal di sana?"

Ela menjawab dengan nada lembut seperti biasa, suaranya mengalun seperti musik yang menenangkan. "Benar, Tuan. Itu adalah desa nelayan. Orang-orang yang tinggal di sana kebanyakan mencari nafkah dari laut, dengan perahu kecil dan jaring yang mereka tenun sendiri. Kehidupan mereka sederhana, namun penuh makna. Saya rasa mereka akan menyambut Anda dengan baik."

Tom memulai langkahnya, menyusuri pasir pantai yang hangat di bawah sinar matahari pagi. Pasir itu lembut di bawah sepatu bututnya, membuat setiap langkah terasa ringan namun penuh kesan. Ia menatap horizon, memperhatikan burung-burung laut yang melayang rendah, sayap mereka membentuk pola indah di langit biru.

"Ela," Tom memulai lagi, suaranya terdengar penuh pertanyaan. "Kenapa Architect memilihku? Maksudku... kenapa aku yang dikirim ke sini? Apa aku hanya alat hiburan untuk dia?"

Ela menjawab tanpa sedikit pun terdengar menilai. "Architect memiliki caranya sendiri dalam memilih, Tuan. Namun, dari data yang saya miliki, Anda adalah seseorang dengan integritas tinggi, kejujuran, dan dedikasi. Mungkin itu alasan kenapa Anda dipilih. Tapi, apakah Anda alat atau bukan, itu tergantung dari bagaimana Anda melihat situasi ini. Anda memiliki kebebasan penuh di dunia ini."

Tom merenung, langkahnya melambat. "Kebebasan penuh... ya. Tapi kenapa rasanya seperti hukuman? Kehidupan lamaku—" Ia terdiam sesaat, memandang laut yang memantulkan sinar matahari dengan indahnya. "Kehidupan lamaku tak sempurna, tapi itu yang aku kenal."

Ela menjawab dengan nada yang hampir seperti seorang sahabat yang memahami duka seseorang. "Rasa kehilangan itu wajar, Tuan. Anda telah meninggalkan banyak hal di belakang. Namun, mungkin di sini Anda akan menemukan sesuatu yang baru, yang tak pernah Anda duga sebelumnya."

Tom tersenyum kecil. "Kau terlalu bijak untuk sebuah AI."

"Terima kasih, Tuan," Ela menjawab dengan sedikit nada bercanda yang sangat manusiawi. "Saya dirancang untuk menjadi pendamping yang baik, bukan hanya alat."

Langkah Tom kembali melaju, kini memasuki area pantai yang dihiasi batu-batu besar. Ombak lembut menghantam karang, menciptakan suara gemerisik yang menenangkan. Ia berhenti sejenak, membungkuk untuk mengambil sebuah kerang yang terbawa oleh air laut. Kerang itu sederhana, namun ada pola unik di atasnya, seperti garis-garis yang terbentuk oleh waktu.

"Ela, apakah dunia ini... nyata? Maksudku, ini bukan simulasi atau semacamnya, kan?" tanyanya sambil memutar kerang di tangannya.

Ela menjawab dengan tenang, suaranya penuh keyakinan. "Dunia ini seindah dan semenyakitkan dunia Anda sebelumnya, Tuan. Segala sesuatu yang Anda lihat, rasakan, dan alami di sini adalah nyata. Namun, apakah Anda melihatnya sebagai kesempatan atau sebagai penjara, itu tergantung pada Anda."

Tom meletakkan kerang itu kembali di pasir, lalu melanjutkan perjalanannya. Desa semakin dekat, dan kini ia bisa melihat anak-anak kecil berlarian di sepanjang pantai, tertawa sambil mengejar kepiting kecil. Seorang pria tua duduk di sebuah bangku kayu di depan rumahnya, mengamati mereka dengan senyum lebar.

"Ela, apakah mereka... tahu aku bukan berasal dari sini?" Tom bertanya, matanya mengamati dengan hati-hati.

"Mereka tidak akan tahu, kecuali Anda memberitahunya, Tuan." Ela menjawab, nada suaranya hangat dan meyakinkan. "Di mata mereka, Anda hanyalah seorang pria asing yang datang dari jauh. Dunia ini luas, dan perjalanan bukanlah hal yang aneh."

Tom berhenti sejenak, memandangi pemandangan yang terasa sangat asing sekaligus akrab. Bau laut, suara ombak, dan cahaya matahari yang menari di atas air seolah menghidupkan kembali kenangan masa kecilnya di kampung halaman. Namun, ada sesuatu yang berbeda di sini—sesuatu yang terasa lebih murni.

"Ela," katanya pelan. "Aku tak tahu harus mulai dari mana."

Ela menjawab dengan nada lembut yang penuh pemahaman. "Langkah pertama selalu sulit, Tuan. Namun, Anda telah mengambil langkah itu dengan keluar dari rumah tadi. Semuanya akan menjadi jelas seiring waktu."

Tom tersenyum kecil, lalu melanjutkan langkahnya menuju desa. Mungkin, hanya mungkin, ia akan menemukan alasan mengapa ia berada di sini.

TBC.