Chereads / Laksana Raja di Laut / Chapter 2 - Chapter 1

Chapter 2 - Chapter 1

Tom akhirnya mencapai desa kecil itu, yang tampak lebih hidup saat ia mendekat. Deretan rumah kayu sederhana berdiri dengan tiang-tiang tinggi di atas pasir putih, beberapa di antaranya beratap daun kelapa yang dianyam rapi. Warga desa sibuk dengan aktivitas pagi mereka—wanita-wanita mencuci pakaian di tepi sungai kecil yang mengalir ke laut, sementara para pria sibuk menyiapkan perahu atau memperbaiki jaring. Bau asin laut bercampur dengan aroma ikan segar menyeruak di udara, membawa Tom kembali ke masa kecilnya di kampung halaman, meski dengan sentuhan yang jauh lebih primitif.

Namun, saat Tom melangkah masuk lebih jauh ke dalam desa, suasana berubah. Warga mulai memperhatikannya, tatapan mereka penuh kebingungan, sebagian bahkan terlihat cemas. Anak-anak yang tadinya tertawa ceria tiba-tiba berhenti bermain dan menatapnya dengan mata lebar. Seorang ibu muda dengan cepat menarik anaknya masuk ke rumah, sementara beberapa pria nelayan berdiri diam, memegang peralatan mereka dengan waspada.

Tom merasa canggung di bawah tatapan-tatapan itu. Ia menyadari bahwa penampilannya—pakaian modern, sepatu yang bersih, dan wajah yang tak dikenal—mungkin terlihat sangat aneh bagi mereka. "Ela." Bisiknya pelan, berharap suara itu hanya ia yang mendengar. "Kenapa mereka terlihat ketakutan?"

Ela menjawab dengan nada lembut namun profesional, seperti seorang pendamping yang memahami situasi dengan baik. "Penampilan Anda sangat berbeda dari mereka, Tuan. Pakaian, cara Anda berjalan, bahkan bahasa tubuh Anda. Anda seperti sesuatu dari dunia lain bagi mereka."

"Ya, aku bisa merasakannya." gumam Tom sambil mengusap tengkuknya. Ia mengedarkan pandangan, mencoba menemukan seseorang yang terlihat cukup ramah untuk diajak bicara.

Mata Tom akhirnya tertuju pada seorang pria tua yang sedang duduk di bawah pohon kelapa, dengan ikan-ikan segar berjajar rapi di atas tikar daun pisang di depannya. Pria itu tampak lebih tenang dibanding yang lain, meskipun ada kerutan kecil di dahinya saat melihat Tom mendekat.

Tom menarik napas panjang, mencoba menghapus gugup dari suaranya. Ia berjongkok pelan di depan pria itu dan memberi senyum sopan. "Selamat pagi, Pak. Maaf mengganggu, saya orang baru di sini. Apakah Bapak bisa membantu saya?"

Pria itu mengerjapkan mata, tampak ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk perlahan. "Selamat pagi... Tuan." Jawabnya dengan suara parau, jelas tidak terbiasa berbicara dengan orang asing. "Apa yang Tuan butuhkan?"

Tom menatap ikan-ikan segar di depan pria itu, mencoba mencairkan suasana dengan berbasa-basi. "Hasil tangkapannya bagus sekali. Ikan-ikan ini pasti dari laut dekat sini, ya?"

Pria itu mengangguk lagi, kali ini sedikit lebih santai. "Ya, Tuan. Laut kami kaya, tapi... siapa Tuan ini? Dari mana asal Tuan?"

Tom tersenyum kecil, berusaha untuk tidak terdengar terlalu mencurigakan. "Saya... seorang pengelana. Baru tiba di sini tadi pagi. Saya ingin bertemu dengan Kepala Desa, mungkin beliau bisa membantu saya menyesuaikan diri di sini."

Pria itu mengerutkan kening lagi, tampak bingung dengan jawaban Tom, namun tidak berani bertanya lebih jauh. "Kepala Desa? Oh, tentu, Tuan. Rumahnya ada di ujung desa, dekat pohon beringin besar. Tuan tinggal ikuti jalan setapak itu." Katanya sambil menunjuk arah dengan tangannya yang kasar dan berkeriput.

Tom mengangguk dengan sopan. "Terima kasih, Pak. Semoga tangkapan hari ini laku semua."

Pria itu tersenyum tipis, tapi masih terlihat ragu. "Hati-hati, Tuan. Orang-orang di sini... mereka mudah curiga pada orang asing."

Tom mengangguk lagi, berterima kasih, lalu melangkah menuju arah yang ditunjukkan. Saat berjalan di antara rumah-rumah desa, ia masih merasakan tatapan penduduk yang mengintai dari balik pintu atau jendela. Anak-anak yang tadi bermain sekarang bersembunyi di belakang ibu mereka, memandangnya seperti melihat sesuatu yang asing dan mungkin menakutkan.

"Ela." Gumam Tom pelan, "Sepertinya aku sudah membuat kesan pertama yang buruk. Apa ini akan menjadi masalah besar?"

Ela menjawab dengan lembut, seperti seorang teman yang mencoba menenangkan. "Wajar, Tuan. Mereka tidak pernah melihat seseorang seperti Anda sebelumnya. Namun, Kepala Desa mungkin lebih bijak dan terbuka untuk berbicara. Tetaplah sopan dan tunjukkan bahwa Anda bukan ancaman."

Tom mengangguk, meskipun ia tidak tahu apakah Ela bisa melihatnya atau tidak. Langkahnya semakin mantap, meskipun hatinya masih dipenuhi kegelisahan. Ia tidak tahu apa yang menantinya di rumah Kepala Desa, tapi satu hal yang pasti: ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang tidak ia minta, namun kini harus ia jalani.

Tom akhirnya sampai di rumah Kepala Desa, sebuah bangunan sederhana namun lebih kokoh dibanding rumah-rumah lain di desa itu. Dindingnya terbuat dari papan kayu yang telah dipernis dengan baik, atapnya rapi dengan daun nipah yang dijalin erat, dan di depan rumah terdapat teras kecil dengan beberapa bangku dari bambu. Sebuah pohon beringin besar berdiri kokoh di samping rumah, menjadikannya penanda yang jelas seperti yang dikatakan nelayan tadi.

Dengan langkah mantap namun penuh sopan santun, Tom menaiki anak tangga kayu ke teras. Ia mengatur napas sejenak sebelum mengetuk pintu dengan tiga ketukan tegas. Tidak terlalu keras, tapi cukup jelas menunjukkan bahwa ia serius.

Pintu berderit terbuka, dan sosok pria muncul. Kepala Desa itu tampak berusia awal 40-an, lebih muda dari yang Tom bayangkan. Rambutnya hitam dengan sedikit uban di pelipisnya, wajahnya memancarkan ketegasan sekaligus keramahan. Pakaiannya sederhana, baju kurung dari kain katun cokelat dengan sarung melilit pinggangnya. Ia memandang Tom dengan sorot mata tajam namun penuh rasa ingin tahu.

"Selamat pagi, Tuan." Ucap pria itu dengan nada formal namun tenang. "Siapakah Anda, dan ada keperluan apa datang ke rumah saya?"

Tom berdiri tegak, refleks dari kebiasaan militernya, lalu sedikit membungkukkan badan sebagai tanda hormat. "Selamat pagi, Pak. Nama saya Tom Ah Seng, seorang pengelana. Saya baru tiba di desa ini pagi tadi dan melihat bahwa desa ini sangat tenteram dan indah. Saya ingin meminta izin kepada Bapak Kepala Desa untuk tinggal sementara di sini. Jika diperbolehkan, saya juga siap membantu apa pun yang bisa saya lakukan."

Kepala Desa itu mengangkat alis, tampak mempertimbangkan ucapan Tom. "Tuan Tom, benar-benar seorang pengelana? Anda tampak berbeda dari kebanyakan orang yang saya temui, pakaian Anda, cara bicara Anda... semuanya terasa asing. Dari mana sebenarnya Anda berasal?"

Tom menghela napas, merasa bahwa jawaban yang benar terlalu sulit dijelaskan. "Pak, jujur saja, asal saya mungkin sulit dipahami. Saya datang dari tempat yang sangat jauh. Namun, saya tidak berniat membawa masalah atau menimbulkan kekhawatiran di desa ini. Saya hanya ingin tinggal dengan tenang untuk beberapa waktu dan membantu masyarakat jika dibutuhkan."

Nada suara Tom, yang tegas namun rendah hati, menunjukkan bahwa ia adalah orang yang berpengalaman dan tulus. Cara berdirinya, bahasanya yang teratur, serta sorot matanya yang penuh kebijaksanaan, memancarkan aura seorang veteran yang sudah kenyang pengalaman hidup.

Kepala Desa mengangguk pelan, tampaknya mulai menerima kehadiran Tom. "Baiklah, Tuan Tom. Saya bisa merasakan bahwa Anda bukan orang sembarangan, dan saya percaya Anda tidak berniat buruk. Namun, Anda harus tahu bahwa warga di sini masih curiga terhadap orang asing. Jika Anda ingin tinggal, Anda perlu perlahan-lahan menunjukkan kepada mereka bahwa Anda bukan ancaman."

Tom mengangguk dalam, menempatkan satu tangan di dadanya. "Tentu, Pak. Saya memahami kekhawatiran itu. Jika Bapak mengizinkan, saya akan memulai dengan membantu apa pun yang diperlukan di desa ini. Mungkin di ladang, di laut, atau di mana saja saya bisa berguna."

Sang Kepala Desa tersenyum kecil, kali ini terlihat lebih santai. "Baik, Tuan Tom. Anda bisa tinggal sementara di desa ini. Namun, saya perlu memperkenalkan Anda kepada warga lain secara resmi, agar mereka tidak terus-menerus merasa takut atau curiga. Bagaimana menurut Anda?"

"Itu ide yang bagus, Pak." Jawab Tom mantap. "Saya juga ingin menunjukkan kepada mereka bahwa saya datang dengan niat baik."

Kepala Desa mengangguk lagi. "Bagus. Saya akan mengatur pertemuan sore nanti. Sementara itu, Anda bisa kembali ke tempat Anda tadi, beristirahat, atau berjalan-jalan di desa. Jika Anda butuh sesuatu, jangan sungkan untuk bertanya pada saya."

Tom mengulurkan tangan dengan tegas namun penuh hormat. "Terima kasih banyak, Pak. Saya berjanji tidak akan membuat masalah di sini."

Kepala Desa menjabat tangannya dengan erat. "Saya percaya Anda, Tuan Tom. Selamat datang di desa kami."

Tom tersenyum kecil, mengangguk lagi sebelum berbalik dan melangkah pergi. Dalam hati, ia merasa lega dan sekaligus penuh tekad. Pengalaman panjangnya sebagai prajurit telah mengajarkannya bahwa kepercayaan tidak bisa diburu-buru, namun harus diperoleh perlahan dengan tindakan nyata. Dan itulah yang ia niatkan untuk dilakukan di desa kecil ini.

Tom kembali ke gubuk sederhana tempat ia muncul, berjalan dengan langkah mantap meskipun pikirannya masih bergulat dengan kenyataan baru yang ia hadapi. Setibanya di gubuk, ia duduk di atas balai-balai bambu di pojok ruangan, menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya. Pandangannya beralih ke tas dan koper besar yang masih tergeletak di sudut. Namun, pikirannya segera beralih ke sesuatu yang lebih mendesak: caranya membaur dengan penduduk desa.

"Ela." Panggilnya dengan nada rendah tapi jelas.

"Ya, Tuan?" Suara lembut Ela menjawab, seolah berbicara dari sudut hatinya.

"Aku butuh pakaian yang cocok untuk tinggal di sini. Sesuatu yang tidak mencolok, yang sesuai dengan budaya Melayu. Apa kau bisa membantuku?"

"Tentu, Tuan." Jawab Ela dengan nada penuh kehangatan. "Berikan saya beberapa saat untuk mempelajari gaya pakaian lokal di daerah dan waktu ini."

Tom menunggu dengan sabar, memperhatikan langit-langit rotan di atasnya. Tak butuh waktu lama, sebuah layar transparan kecil muncul di hadapannya, menampilkan beberapa pilihan pakaian tradisional pria Melayu.

"Ini beberapa opsi yang saya temukan, Tuan." Ela melanjutkan. "Baju kurung sederhana dengan kain sarung untuk kesan santai, atau baju teluk belanga yang lebih formal. Jika Anda berencana untuk bekerja atau berjalan-jalan, saya juga bisa menyediakan celana kain longgar dan kemeja berbahan katun. Semua akan terlihat alami di mata warga desa."

Tom meneliti pilihan tersebut, lalu menunjuk baju kurung putih sederhana yang dipasangkan dengan kain sarung bermotif tenun cokelat tua. "Ini kelihatannya cocok. Buatkan untukku."

"Selesai, Tuan." Jawab Ela. Dalam hitungan detik, pakaian itu muncul di atas balai-balai. Tom memegang kain itu, kagum dengan kualitasnya yang nyata meskipun berasal dari teknologi yang terasa mustahil di zamannya.

Setelah berganti pakaian, Tom duduk kembali. "Ela, sekarang aku ingin memanfaatkan waktu ini untuk memahami bagaimana sistem ini bekerja. Jelaskan padaku langkah-langkah dasarnya."

"Tentu, Tuan." Ela menjawab lembut. "Sistem ini dirancang untuk membantu Anda mencapai tujuan apa pun yang Anda pilih. Fungsinya beragam, dari menganalisis situasi, hingga memberikan saran strategi. Saya juga dapat memberikan peta, informasi sejarah, atau bahkan melatih keterampilan tertentu melalui simulasi mental. Semua ini bertujuan untuk mendukung keputusan Anda tanpa menggantikan kehendak bebas Anda."

Tom mengangguk pelan, mencoba menyerap informasi tersebut. "Tapi bagaimana dengan batasannya? Apakah ada hal yang tidak bisa kau lakukan?"

"Ya, Tuan." Ela menjawab. "Ada batasan dalam hal pengaruh langsung terhadap waktu dan ruang. Saya tidak dapat mengubah peristiwa besar secara instan atau mengungkapkan informasi yang dapat menyebabkan gangguan besar pada garis waktu ini. Semua keputusan dan tindakan tetap berada di tangan Anda."

Tom merenungkan jawaban itu. Sistem ini tampak seperti alat yang luar biasa, tetapi juga mengharuskannya tetap bertanggung jawab atas pilihan yang ia buat.

Menjelang sore, setelah cukup memahami cara kerja sistem, Tom beranjak dari gubuknya. Matahari mulai condong ke barat, langit berwarna oranye keemasan menghiasi cakrawala. Dengan pakaian barunya, ia merasa lebih percaya diri untuk kembali ke desa.

Ketika tiba di desa, suasananya terasa berbeda. Penduduk berkumpul di depan rumah Kepala Desa, dan sorot mata mereka kini lebih ramah meski masih diliputi rasa ingin tahu. Tom melangkah mendekat, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat kepada mereka yang ia lewati.

Sang Kepala Desa, yang sudah menunggunya di teras, tersenyum dan mengangkat tangan menyambutnya. "Ah, Tuan Tom, Anda tepat waktu. Mari, kita berbicara dengan warga agar mereka lebih mengenal Anda."

Tom mengangguk, melangkah dengan sikap tenang namun penuh wibawa, sebagaimana seorang prajurit veteran yang memahami pentingnya meraih kepercayaan orang-orang di sekitarnya.

Tom berdiri di hadapan para warga desa yang berkumpul di bawah pohon besar di tengah desa. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma asin laut bercampur dengan bau kayu bakar dari dapur rumah-rumah panggung sederhana di sekitarnya. Sang Kepala Desa, yang ia ketahui bernama Encik Ibrahim bin Daud, seorang lelaki berusia awal empat puluhan dengan pakaian tradisional berwarna hijau zamrud, mengangguk sebagai isyarat bahwa ia dapat mulai berbicara.

Tom menarik napas dalam-dalam, kemudian dengan suara tegas namun ramah, ia memperkenalkan dirinya. "Nama saya Tom Ah Seng. Saya berasal dari negeri yang jauh di ujung samudera. Saya seorang pengembara, mencari tempat baru untuk tinggal dan memulai hidup sederhana."

Penduduk desa mulai saling berbisik, mata mereka memancarkan rasa ingin tahu. Ada seorang lelaki tua bersarung dengan kain lusuh, tampak bijaksana meskipun tubuhnya kurus, yang memperkenalkan dirinya sebagai Tok Penghulu Hasan bin Salleh, salah satu tetua desa. "Encik Tom, negeri manakah yang kau maksudkan itu? Apakah ia sejauh tanah Hindustan atau lebih jauh lagi ke arah Timur?"

Tom tersenyum kecil, berusaha menjaga kebohongannya sederhana namun cukup masuk akal. "Lebih jauh, Tok Penghulu. Sebuah negeri kecil yang mungkin tak banyak dikenal, tempat asal saya dahulu."

Seorang ibu-ibu paruh baya dengan senyum hangat bernama Makcik Siti Zaharah binti Yunus bertanya sambil menggendong cucunya, "Encik Tom, bagaimana Anda sampai ke desa kami? Tak pernah kami dengar ada kapal singgah di pulau belakangan ini."

Tom menjawab hati-hati, "Saya seorang pengembara, Makcik. Takdir membawa saya ke sini. Ketika sampai, saya merasa tempat ini memiliki kedamaian yang sudah lama saya cari."

Seorang pemuda yang terlihat tangkas, dengan kulit kecokelatan akibat bekerja di laut, memperkenalkan dirinya sebagai Saudara Amin bin Ishak, salah satu nelayan muda yang terlihat paling penasaran. "Encik Tom, apakah di negeri asalmu ada lautan sebesar ini juga? Atau berbeda?"

"Lautannya sangat berbeda, Saudara Amin." Jawab Tom sambil tersenyum, kali ini dengan nada lebih personal. "Namun, ketenangan dan keindahannya sama seperti yang saya lihat di sini. Itu yang membuat saya tertarik untuk tinggal."

Encik Ibrahim, sang Kepala Desa, akhirnya angkat bicara untuk menenangkan para warga yang semakin ramai bertanya. "Baiklah, semuanya. Encik Tom adalah tamu kita, dan dia telah meminta izin untuk tinggal di desa kita. Kita tidak bisa mengabaikan orang yang membutuhkan tempat berlindung. Saya minta kalian semua menyambutnya dengan baik."

Para warga akhirnya mengangguk setuju, meski beberapa di antaranya masih menatap Tom dengan rasa penasaran.

Makcik Siti Zaharah berkata, "Encik Tom, jika Anda butuh apa-apa, jangan sungkan mampir ke rumah saya. Kami di desa ini tidak punya banyak, tapi kami saling membantu."

Tok Penghulu Hasan menambahkan dengan nada penuh kebijaksanaan. "Ingatlah, Encik Tom, di desa ini, setiap orang adalah bagian dari keluarga besar. Jaga tingkah laku, dan segala sesuatunya akan baik-baik saja."

Tom menundukkan kepalanya dengan hormat. "Terima kasih, Tok Penghulu. Saya berjanji untuk menghormati adat dan kebiasaan desa ini."

Encik Ibrahim lalu berkata, "Kalau begitu, Encik Tom, silakan kembali besok ke rumah saya. Saya akan memandu Anda lebih lanjut tentang kehidupan di sini."

Tom mengangguk, lalu berpamitan kepada warga desa dengan penuh rasa hormat. Ia kembali melangkah menuju gubuknya dengan perasaan lebih lega, meskipun ia sadar bahwa kebohongannya harus ia jaga dengan hati-hati. Penduduk desa ini adalah orang-orang sederhana, tetapi mereka juga cermat dan penuh perhatian.

Minggu-minggu berlalu dengan cepat sejak Tom mulai tinggal di desa nelayan itu. Kehidupan barunya sebagai seorang nelayan telah membawanya ke dalam ritme yang sederhana namun penuh arti. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, ia bangun untuk melaut bersama Saudara Amin dan beberapa nelayan lainnya. Mereka mengayuh perahu kecil dari kayu yang diukir dengan tangan, mengarungi laut yang biru dan tenang. Meski tubuhnya lebih tua dari mereka, Tom bekerja tanpa keluhan. Tangan-tangannya yang kasar dengan cepat mempelajari teknik menangkap ikan menggunakan jala dan kail tradisional.

Hari itu, seperti biasa, Tom melangkah ke daratan dengan jaring penuh ikan segar. Wajahnya berseri-seri, senyum lebar terlukis di bibirnya saat ia melihat tangkapan mereka melimpah. Warga desa sering memandangnya dengan kekaguman yang tulus—tidak banyak pria seusianya yang mampu bekerja sekeras itu, apalagi seorang pendatang dari negeri yang jauh.

Namun, tidak semua hari berjalan tanpa gangguan pikiran. Suatu malam ketika ia memandangi bintang-bintang dari jendela gubuknya, ia mengajukan pertanyaan kepada Ela, AI yang kini menjadi teman sekaligus penuntunnya dalam kehidupan ini.

"Ela." Katanya sambil berbaring di tikar. "Mengapa tubuhku tidak terasa seberat dulu? Aku tahu usiaku, aku tahu batas-batas tubuhku, tetapi di sini... rasanya seperti aku diberi kehidupan baru."

Ela, dengan nada lembutnya, menjawab seperti biasanya. "Itu karena Architect telah memodifikasi tubuh Anda, Tuan. Ia memperbarui sel-sel tubuh Anda agar dapat bertahan lebih lama dari manusia biasa. Tubuh Anda kini lebih efisien, meski tampaknya usia Anda tidak berubah. Anda diberikan kesempatan untuk menjalani kehidupan lebih lama, mungkin untuk tujuan yang lebih besar yang hanya Architect yang tahu."

Tom terdiam sejenak, memandangi langit malam yang penuh bintang. "Apa aku hanya eksperimen baginya? Sebuah permainan untuk melawan kebosanannya? Aku tidak tahu harus merasa bersyukur atau marah..."

Ela menjawab dengan penuh pengertian. "Tidak ada jawaban yang benar atau salah, Tuan. Anda punya kebebasan untuk memaknai apa yang telah terjadi. Apakah Anda ingin marah pada Architect atau memanfaatkan kesempatan ini untuk menemukan makna baru, itu sepenuhnya keputusan Anda. Saya di sini hanya untuk membantu Anda menemukan jalan terbaik."

Kata-kata Ela, meskipun sederhana, terasa seperti pelukan hangat di tengah malam yang dingin. Tom menghela napas panjang. "Aku sudah terlalu tua untuk terjebak dalam krisis eksistensi ini... Terima kasih, Ela. Aku rasa, mungkin aku akan menerima hidup ini sebagaimana adanya."

Ela menjawab dengan nada riang namun tetap lembut, "Keputusan bijak, Tuan. Dan jangan lupa, Anda tidak sendiri. Saya di sini untuk mendampingi Anda."

Kini, pagi itu Tom berjalan menuju pasar di tengah desa, membawa keranjang penuh ikan segar hasil tangkapannya. Ia bersiul pelan, menikmati suasana pagi yang hangat. Penduduk desa menyapanya dengan senyuman hangat.

"Encik Tom! Ikan hari ini pasti melimpah, ya?" tanya Makcik Siti Zaharah, yang berdiri di depan kios kecilnya menjual kue-kue tradisional.

Tom tertawa kecil sambil mengangkat keranjangnya sedikit. "Iya, Makcik. Laut hari ini begitu baik kepada kami. Mungkin Makcik mau mencoba beberapa ekor ikan segar ini?"

Makcik Siti tersenyum lebar. "Ah, tentu saja! Bawa saja ke sini, saya akan ambil beberapa. Anak-anak saya pasti suka!"

Sementara itu, Tok Penghulu Hasan yang duduk di balai-balai tak jauh dari pasar, memanggilnya dengan suara beratnya yang khas. "Encik Tom, mari duduk sebentar! Jangan bekerja terlalu keras, nanti tubuhmu lupa beristirahat."

Tom melangkah mendekat, menaruh keranjang ikannya di samping balai-balai. "Tok Penghulu, saya ini bukan pemuda lagi, tapi rasanya tubuh ini belum mau menyerah. Saya malah merasa lebih kuat daripada beberapa tahun lalu!"

Tok Penghulu tertawa sambil menepuk pundaknya. "Syukuri nikmat itu, Encik Tom. Tidak banyak yang diberi kekuatan seperti dirimu. Tapi ingat, hidup bukan hanya tentang bekerja keras, tapi juga menikmati apa yang ada di sekitar kita."

Tom mengangguk sambil tersenyum. Kata-kata itu, meskipun sederhana, terasa menenangkan. Setelah beberapa menit berbincang, Tom melanjutkan langkahnya, menyapa beberapa warga lain yang ia kenal.

Pasar itu kecil, namun penuh kehidupan. Warna-warni kain sarung, aroma rempah-rempah, dan suara riuh anak-anak bermain membuat Tom merasa seperti bagian dari keluarga besar. Di tengah hiruk-pikuk itu, Tom berhenti sejenak, memandang sekeliling dengan penuh rasa syukur.

"Ela." Bisiknya dalam hati. "Mungkin aku mulai paham mengapa aku dikirim ke sini. Bukan untuk mengubah segalanya, tapi mungkin untuk belajar hidup kembali."

Ela menjawab lembut, suaranya seperti angin sepoi-sepoi di tengah hari. "Dan dalam perjalanan ini, Anda juga mungkin akan mengubah hidup orang lain, Tuan."

Tom hanya tersenyum kecil, lalu kembali berjalan. Di tangannya, ikan-ikan segar itu siap untuk dijual atau dibagi dengan para tetangganya. Meskipun ia tahu dirinya seorang pendatang, Tom mulai merasa bahwa desa ini mungkin adalah rumahnya yang baru.

TBC.