Pada suatu pagi di bulan Februari, udara desa terasa hangat, namun langit sedikit mendung, menandakan hujan mungkin akan turun menjelang sore. Penduduk desa tengah sibuk dengan aktivitas mereka di pasar, menyiapkan hasil bumi, ikan, dan kerajinan untuk dijual. Namun, keramaian itu perlahan terhenti saat suara derap kaki kuda terdengar mendekat.
Tom, yang sedang membantu Saudara Amin memperbaiki jala di depan balai desa, langsung mengalihkan pandangannya ke arah jalan utama. Debu beterbangan, dan dari kejauhan, terlihat sekelompok orang berkuda. Mereka tampak mencolok, dengan pakaian yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Rombongan itu terdiri dari lima orang—tiga di antaranya adalah pria berpakaian mewah dengan mantel panjang berwarna gelap, dihiasi renda putih di leher, dan topi tinggi khas Eropa. Dua lainnya tampak seperti pengawal pribadi, membawa musket panjang di punggung mereka dan pedang pendek di pinggang. Kuda-kuda mereka dihiasi dengan pelana kulit yang rumit, menunjukkan status sosial yang tinggi.
Penduduk desa berhenti sejenak dari pekerjaan mereka, menatap dengan campuran rasa penasaran dan cemas. Kedatangan orang asing semacam ini jarang terjadi di desa kecil mereka, apalagi dengan pakaian yang begitu aneh dan senjata yang jelas tidak pernah mereka lihat sebelumnya.
Tom berdiri, tubuhnya yang tinggi dan tegap tampak mencolok di antara warga desa. Tatapannya tajam dan penuh kewaspadaan, terutama pada musket yang tergantung di punggung para pengawal. Dalam hati, ia langsung mengenali bahaya yang dibawa oleh senjata-senjata itu, mengingatkan dirinya pada masa-masa perang dan konflik yang ia alami di masa lalu.
"Siapa mereka, Encik Tom?" Tanya Saudara Amin, dengan nada berbisik.
Tom menggeleng perlahan, masih memperhatikan para pendatang yang kini berhenti di depan balai desa. "Orang Inggris." Gumamnya pendek. "Dan mereka bukan hanya sekadar pedagang. Lihat senjata mereka. Mereka siap untuk lebih dari sekadar berdagang."
Tok Penghulu Hasan, yang sedang duduk di dalam balai, keluar menyambut para tamu dengan senyum formal. Dengan tenang, ia melangkah maju, sementara salah satu pria Inggris—yang tampaknya pemimpin mereka—turun dari kudanya.
Orang itu membungkukkan badan sedikit, sebuah gerakan yang tampaknya dimaksudkan sebagai tanda hormat, meskipun tidak sepenuhnya tulus. "Selamat pagi." Katanya dengan aksen Melayu yang patah-patah. "Kami adalah pedagang dari tanah Inggris. Nama saya Sir Edward Langley. Kami datang untuk berbicara dengan kepala desa... tentang perdagangan dan persahabatan."
Tok Penghulu Hasan, yang lebih pendek dan jauh lebih sederhana dalam penampilan dibandingkan Edward, mengangguk sopan. "Selamat datang di desa kami, Tuan Langley. Saya Hasan bin Abdullah, penghulu desa ini. Silakan masuk, kita bisa berbicara di dalam."
Sementara itu, Tom tetap berdiri di tempatnya, matanya tak pernah lepas dari gerak-gerik para pengawal. Pengalaman sebagai tentara membuatnya memahami tanda-tanda ancaman, dan baginya, pengawal bersenjata selalu menjadi tanda bahaya.
"Ela." Gumamnya pelan, berbicara dalam pikirannya.
"Ya, Tuan?" jawab Ela dengan nada lembut namun waspada, seperti biasa.
"Pantau percakapan mereka. Aku tidak suka ini." Katanya.
Ela menjawab dengan tenang. "Tentu, Tuan. Saya akan merekam dan menganalisis percakapan di dalam balai desa untuk memastikan tidak ada niat jahat."
Di dalam balai, pembicaraan dimulai dengan formalitas dan basa-basi. Sir Edward menjelaskan niat mereka untuk menjalin hubungan dagang, menawarkan barang-barang seperti kain sutra, cermin besar, dan barang yang tidak biasa ditemukan di kawasan itu. Sebagai gantinya, mereka ingin menukar hasil bumi, terutama lada dan ikan asin yang terkenal di kawasan ini.
Namun, meski kata-kata Edward terdengar manis, mata Tom yang tajam menangkap sesuatu yang lain. Para pengawal tampak terlalu waspada, tangan mereka selalu dekat dengan gagang pedang atau musket mereka. Tom tahu betul, pedagang sejati tidak membawa perlindungan sebesar itu, kecuali mereka berharap ada ancaman... atau berniat memaksa.
Setelah beberapa waktu, Edward keluar dari balai bersama Tok Penghulu Hasan. Keduanya tampak ramah, namun Tom dapat melihat ketegangan di wajah Tok Penghulu.
Ketika Sir Edward bersiap untuk pergi, Tom mendekati Tok Penghulu Hasan, berbicara dengan suara rendah. "Tok, apa pendapatmu tentang mereka?"
Tok Penghulu menghela napas panjang. "Mereka sopan, tapi aku bisa merasakan ada maksud lain. Mereka bilang ingin berdagang, tapi aku merasa mereka lebih ingin melihat apa yang kita miliki."
Tom mengangguk, wajahnya serius. "Tok, aku sarankan hati-hati dengan mereka. Inggris tidak pernah hanya datang untuk berdagang. Kalau boleh, aku akan tetap mengawasi mereka dari jauh."
Tok Penghulu menatap Tom, lalu menepuk bahunya dengan lembut. "Aku menghargai perhatianmu, Encik Tom. Kau adalah tamu yang baik, dan aku tahu pengalamanmu berarti. Kalau kau merasa ada sesuatu yang salah, beri tahu aku."
Tom mengangguk sekali lagi. Ketika rombongan Inggris itu akhirnya naik ke kuda mereka dan meninggalkan desa, Tom tetap berdiri di tempatnya, mengawasi sampai bayangan mereka menghilang di balik pohon-pohon kelapa. Di dalam dirinya, ia tahu ini bukan kali terakhir ia melihat mereka. Sesuatu sedang terjadi, dan Tom bersumpah akan melindungi desa kecil ini sebaik mungkin.
"Ela." Bisiknya dalam hati. "Kita akan siap, kan?"
Ela menjawab dengan lembut namun penuh keyakinan. "Tentu saja, Tuan. Apa pun yang terjadi, saya akan membantu Anda melindungi mereka."
Hari itu, suasana di balai desa terasa tegang. Hujan deras yang turun di luar membuat suara gemuruh menjadi latar alami pertemuan ini, namun percakapan di dalam lebih keras dan panas dari suara hujan. Encik Ibrahim, pemilik ladang lada terbesar di dekat desa sekaligus Kepala Desa, berdiri dengan wajah merah padam, beradu argumen dengan Sir Edward Langley, yang tetap tersenyum tipis meski nada bicaranya terdengar memaksa.
Tok Penghulu Hasan duduk di antara keduanya, mencoba menengahi dengan sikap tenang, tetapi kerutan di dahinya menunjukkan ketidaknyamanannya. Di sudut ruangan, Tom duduk diam dengan kedua tangan menyilang di dada, memperhatikan setiap kata dan gerakan. Meski tidak ikut bicara, ia mencermati situasi dengan saksama. Di dalam pikirannya, suara lembut Ela bergema, mengajaknya berdiskusi.
"Tuan, bagaimana menurut Anda? Ini sudah semakin tidak terkendali." Ujar Ela, suaranya tetap lembut meski penuh kekhawatiran.
"Belum waktunya bertindak." Balas Tom dalam hati. Matanya terus mengamati Sir Edward, terutama tangannya yang sesekali mengetuk meja dengan tidak sabar. "Aku ingin melihat bagaimana mereka bermain kartu mereka. Tapi jika ini berlanjut..." Tom tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi nada pikirannya jelas.
Ela menjawab dengan nada penuh pengertian. "Jika opsi kedua yang Anda pilih, saya sudah memiliki beberapa rencana taktis. Tapi saya harap, kita bisa menyelesaikan ini tanpa kekerasan."
Tom hanya mengangguk kecil.
"Encik Ibrahim, kami tidak berniat memaksa." Ujar Sir Edward, meski nada suaranya terdengar seperti ancaman halus. "Namun, Anda harus memahami bahwa tanah di pinggiran desa itu sangat penting bagi kami. Dengan tanah itu, kami bisa meningkatkan hasil lada hingga berkali lipat. Anda akan mendapat keuntungan besar dari kerja sama ini."
Encik Ibrahim membalas dengan nada tegas, meskipun terlihat jelas ada sedikit ketakutan di matanya. "Tuan Edward, ladang itu adalah warisan keluarga saya selama tiga generasi. Saya tidak akan menjualnya, tidak peduli seberapa besar uang yang Anda tawarkan."
Wajah Sir Edward menegang sesaat, tetapi ia segera mengembalikan senyumnya. "Ah, Encik Ibrahim. Saya harap Anda bisa berpikir lebih jauh ke depan. Dunia sedang berubah, dan kerja sama dengan kami akan membawa desa ini ke kemajuan yang lebih baik. Jika Anda terus bertahan pada cara lama..." Ia berhenti sejenak, membiarkan ancamannya menggantung di udara.
Tok Penghulu Hasan mengangkat tangannya untuk menghentikan percakapan yang mulai memanas. "Tuan-tuan, kita di sini untuk berdiskusi, bukan bertengkar. Encik Ibrahim sudah menyatakan pendapatnya, dan saya harap Tuan Edward bisa menghormati itu."
Namun, Edward hanya tertawa kecil, sebuah tawa yang tidak membawa humor. "Saya hormati, tentu saja. Tapi saya juga harap Encik Ibrahim mempertimbangkan ulang. Kami akan menunggu jawaban akhir dalam beberapa hari ke depan."
Edward berdiri, memberikan isyarat kepada pengawalnya untuk pergi. Sebelum keluar dari balai, ia melirik ke arah Tom yang masih diam di sudut ruangan. Mata mereka bertemu sejenak, dan Edward tampak menyadari bahwa pria ini bukan penduduk biasa. Namun ia tidak mengatakan apa-apa, hanya memberikan senyum dingin sebelum melangkah keluar.
Setelah rombongan Edward pergi, Tom berdiri dari tempat duduknya. Ia mendekati Tok Penghulu Hasan dan Encik Ibrahim yang terlihat cemas.
"Tok, Encik Ibrahim." Ucap Tom dengan nada serius. "Orang-orang itu tidak akan menyerah begitu saja. Mereka membawa pengawal bersenjata bukan untuk berdagang, tapi untuk memaksa jika perlu."
Encik Ibrahim menatap Tom dengan pandangan ragu. "Tapi apa yang bisa kita lakukan, Encik Tom? Mereka punya senjata api. Kita hanya petani dan nelayan."
Tok Penghulu Hasan mengangguk pelan. "Encik Tom benar. Orang-orang Eropa ini jarang datang dengan niat baik. Tapi aku juga tidak ingin desa ini terlibat dalam konflik yang lebih besar."
Tom menghela napas, lalu kembali berbicara dalam pikirannya kepada Ela. "Apa kita punya solusi non-kekerasan, Ela? Aku ingin mencoba yang halus dulu sebelum harus bertindak kasar."
Ela menjawab dengan suara lembut namun penuh keyakinan. "Kita bisa mencoba strategi pengalihan, Tuan. Jika Tuan Edward tidak menemukan apa yang dia cari di sini, mungkin dia akan pergi ke tempat lain. Kita bisa menyembunyikan lada dari pandangan mereka atau membuat mereka percaya bahwa ladang itu tidak seproduktif yang mereka pikirkan."
Tom mengangguk kecil. "Ide bagus. Tapi kita perlu bicara dengan warga desa terlebih dahulu. Jika mereka semua sepakat, kita bisa jalankan rencana ini."
Hari itu, Tom memulai diskusi dengan Tok Penghulu Hasan dan Encik Ibrahim tentang cara untuk melindungi desa. Ia mengusulkan untuk mengurangi hasil panen yang terlihat di ladang, membuatnya tampak tidak subur di mata orang-orang Inggris. Selain itu, ia juga mengatur rencana untuk memindahkan sebagian hasil lada ke tempat tersembunyi, sehingga Edward tidak bisa membeli dalam jumlah besar.
Namun, di dalam dirinya, Tom tahu bahwa ini hanya solusi sementara. Jika orang-orang Inggris itu tetap bersikeras, mungkin ia harus memilih opsi kedua—cara kasar yang tidak diinginkannya, tetapi mungkin tak terhindarkan.
Tom menatap meja di balai desa dengan serius, menunggu perhatian penuh dari Tok Penghulu Hasan dan Encik Ibrahim. Hujan rintik-rintik di luar membuat suasana semakin suram. Udara terasa berat, seperti beban yang menggantung di atas desa nelayan kecil ini.
"Tok, Encik Ibrahim." Tom memulai dengan suara yang dalam dan tenang, tetapi setiap kata yang keluar penuh bobot. "Saya sudah melihat hal seperti ini sebelumnya, di tempat yang jauh dari sini. Orang-orang Eropa seperti mereka, terutama pedagang yang membawa pengawal bersenjata, tidak akan pernah puas sampai apa yang mereka inginkan diberikan. Jika mereka mulai memaksa atau membawa lebih banyak orang, kita tidak akan punya banyak pilihan."
Tok Penghulu Hasan mengerutkan kening, janggut putihnya sedikit bergetar saat ia berpikir. "Encik Tom, apakah menurutmu mereka benar-benar akan membawa tentara? Bukankah kita hanya desa kecil? Tanah dan lada kita bukanlah yang terbesar di wilayah ini."
Tom menghela napas panjang, menatap mata kedua pria itu dengan serius. "Mungkin mereka belum membawa tentara sekarang, tetapi jika mereka merasa cukup terhina atau terganggu, mereka tidak akan ragu untuk mengerahkan kekuatan lebih besar. Orang-orang seperti Sir Edward ini sering menganggap kita, orang Timur, hanya penghalang kecil bagi ambisi mereka. Dan saat mereka membawa musket, itu bukan untuk pamer—itu untuk menunjukkan kekuatan."
Encik Ibrahim menggeleng pelan, raut wajahnya penuh kekhawatiran. "Tapi, Encik Tom, kami hanya petani dan nelayan. Kami tidak punya senjata apalagi pengalaman melawan mereka. Apa yang bisa kami lakukan?"
Tom menggenggam tangannya di atas meja, menunjukkan sikap tegas namun tetap hormat. "Itulah sebabnya saya ingin kita bersiap. Kita tidak harus langsung melawan, tetapi kita harus punya rencana. Siapkan warga untuk berjaga-jaga. Kalau mereka kembali dengan niat buruk, kita harus bisa melindungi desa ini."
Tok Penghulu Hasan mengangguk pelan, tetapi ada rasa ragu di wajahnya. "Encik Tom, saya setuju kita harus berhati-hati, tetapi saya khawatir ini akan membuat warga panik. Kalau mereka tahu ada kemungkinan perang, itu akan mengacaukan kehidupan desa."
Tom merenung sejenak sebelum menjawab, suaranya lebih lembut. "Saya tidak ingin menakuti mereka, Tok. Kita tidak perlu menyebut ini perang. Tapi kita bisa mulai melatih mereka untuk berjaga di malam hari, memperkuat pagar desa, dan menyimpan hasil panen di tempat yang aman. Anggap saja ini persiapan untuk melindungi apa yang menjadi milik kita."
Encik Ibrahim akhirnya berbicara, kali ini dengan nada yang lebih mantap. "Saya setuju dengan Encik Tom. Kalau kita hanya diam, mereka akan melihatnya sebagai kelemahan. Saya akan bicara dengan para petani dan nelayan, memastikan mereka paham apa yang harus dilakukan."
Tok Penghulu Hasan menghela napas panjang sebelum mengangguk. "Baiklah, Encik Tom, saya serahkan rencana ini padamu. Tapi ingat, kita akan tetap mencoba jalan damai selama mungkin. Kalau ada cara untuk menghindari pertumpahan darah, kita harus mencobanya."
Tom mengangguk dengan hormat. "Saya setuju, Tok. Saya juga tidak ingin kekerasan. Tapi jika mereka memaksa, kita harus siap melawan."
Di dalam pikirannya, Ela ikut menimpali. "Keputusan bijak, Tuan. Saya akan membantu Anda merancang strategi yang efisien untuk melindungi desa ini. Jika diperlukan, kita bisa menggunakan beberapa barang dari sistem untuk memberikan keunggulan taktis."
Tom menyembunyikan senyumnya kecil, merasa tenang meski situasi tampak mencekam. Ia tahu Ela akan menjadi sekutu yang berharga di tengah ancaman ini.
Setelah diskusi selesai, Tom berjalan keluar dari balai desa. Hujan sudah berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang menenangkan. Namun, pikiran Tom tidak tenang. Ia melihat ke arah ladang lada di kejauhan, tempat yang menjadi sumber perdebatan ini, dan dalam hati ia berjanji bahwa ia akan melakukan apa pun untuk melindungi desa ini dari ancaman yang semakin nyata.
"Ela." Bisiknya dalam hati. "Kita harus mulai memikirkan semua skenario, baik yang damai maupun yang kasar."
Ela menjawab dengan nada penuh pengertian. "Tentu, Tuan. Saya sudah mulai merancang rencana berdasarkan kemungkinan yang ada. Jika Anda mengizinkan, saya juga bisa memberikan beberapa opsi untuk melatih warga dengan cara yang tidak mencolok."
Tom tersenyum kecil. "Bagus. Kita akan lakukan ini perlahan, tanpa membuat mereka panik. Dan Ela... terima kasih sudah ada di sini."
Ela menjawab dengan nada lembut. "Selalu, Tuan. Kita akan melewati ini bersama."
Matahari mulai condong ke barat ketika Tom berjalan menuju bengkel pandai besi yang terletak di tepi desa. Suara dentingan logam menggema dari dalam, berpadu dengan aroma besi panas dan bara api. Pak Mat Jusoh, pandai besi desa yang berumur sekitar lima puluhan, sedang sibuk menempa bilah parang di atas landasan besinya. Ia tampak kokoh, dengan lengan kekar penuh urat dan wajah serius yang mencerminkan pengalaman bertahun-tahun.
Tom berdiri di ambang pintu, batuk kecil untuk menarik perhatian. "Pak Mat, bolehkah saya mengganggu sebentar?"
Pak Mat menoleh, meletakkan palu besarnya dan mengusap keringat dari dahinya dengan kain. "Ah, Encik Tom. Masuklah, apa yang bisa saya bantu?"
Tom melangkah masuk, menatap sekeliling bengkel yang penuh dengan perkakas dan benda logam setengah jadi. Ia mengeluarkan gulungan kertas dari kantongnya, membukanya di atas meja kerja Pak Mat. Gambar di atas kertas itu kasar, namun cukup jelas untuk menunjukkan rangkaian sebuah senapan sederhana.
"Saya ingin membahas ini, Pak Mat." Kata Tom sambil menunjuk gambar tersebut. "Ini adalah desain untuk senjata yang bisa digunakan untuk melindungi desa kita."
Pak Mat mengerutkan kening, menatap gambar itu dengan seksama. "Senjata, ya? Ini... senapan? Saya belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya."
Tom mengangguk. "Betul, ini senapan. Jenisnya bolt-action rifle, tapi desain ini sangat disederhanakan agar lebih mudah dibuat dengan alat dan bahan yang kita miliki di sini. Saya tahu ini tidak biasa, Pak Mat, tapi saya rasa kita perlu mempersiapkan sesuatu. Orang-orang Inggris itu mungkin tidak akan berhenti dengan permintaan mereka."
Pak Mat mengusap dagunya, tatapannya beralih dari gambar ke Tom. "Hmm. Saya bisa membuat bilah, tombak, bahkan panah, Encik Tom. Tapi senapan... ini berbeda. Jelaskan lebih rinci, bagaimana cara kerjanya?"
Tom tersenyum kecil, lalu mulai menjelaskan. Ia menunjuk bagian-bagian pada gambar dengan ujung jarinya, suaranya tenang dan meyakinkan. "Senapan ini bekerja dengan cara sederhana. Peluru dimasukkan satu per satu ke dalam ruang tembak. Kemudian, baut ini"—Tom menunjuk bagian mekanisme baut—"ditarik ke belakang untuk mengokang peluru ke tempatnya, lalu didorong kembali. Setelah itu, pelatuk ini ditekan, dan peluru melesat keluar melalui laras."
Pak Mat mengangguk pelan, mulai memahami. "Mekanisme baut ini... apakah sulit dibuat?"
"Sederhana saja, Pak Mat." Tom menjawab. "Kita membutuhkan akurasi tinggi. Tapi yang penting senjata ini bisa digunakan untuk menembak dengan cukup baik pada jarak menengah. Bahannya pun bisa kita buat dari besi yang ada, dengan pegas sederhana untuk mekanisme kokang."
Pak Mat menghela napas panjang, lalu menatap Tom dengan serius. "Saya mengerti maksudmu, Encik Tom. Tapi ini pekerjaan besar. Membuat senjata seperti ini membutuhkan waktu dan percobaan. Dan kalau orang-orang Inggris tahu, mereka mungkin akan curiga."
Tom mengangguk, memahami kekhawatiran itu. "Kita akan melakukannya dengan hati-hati. Untuk saat ini, kita hanya perlu membuat prototipe. Saya akan membantu sebisa mungkin, terutama untuk bagian perencanaan dan pengujian."
Pak Mat terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk mantap. "Baiklah, saya akan mencoba. Tapi saya butuh waktu, dan mungkin beberapa bahan tambahan yang tidak saya miliki di sini."
Ela, yang mendengarkan percakapan ini di dalam pikiran Tom, ikut berbicara dengan lembut. "Tuan, saya bisa memberikan saran tentang bahan alternatif dan cara menyederhanakan beberapa komponen mekanisme. Ini akan membantu mengurangi waktu pembuatan."
Tom mengangguk sedikit, lalu menambahkan kepada Pak Mat. "Ela, rekan saya, bisa memberikan beberapa ide tambahan. Kita akan bekerja sama untuk memastikan ini berhasil."
Pak Mat mengerutkan kening, bingung dengan siapa yang dimaksud Tom, tetapi ia memilih tidak bertanya. "Baiklah, Encik Tom. Kalau begitu, kita mulai besok pagi. Tapi pastikan Kepala Desa tahu soal ini. Saya tidak mau melangkahi kewenangan beliau."
Tom tersenyum tipis, mengulurkan tangannya. "Terima kasih, Pak Mat. Saya akan bicara dengan Encik Ibrahim nanti malam."
Pak Mat menjabat tangan Tom dengan erat, menunjukkan tekad yang sama. "Kalau ini untuk melindungi desa, saya akan lakukan yang terbaik."
Malam itu, di dalam gubuknya, Tom duduk sambil merenungkan langkah selanjutnya. Di sampingnya, gambar senapan itu terhampar di meja. "Ela, apakah kita benar-benar melakukan hal yang benar? Membawa senjata ke tempat seperti ini... rasanya seperti mempercepat datangnya kekacauan."
Ela menjawab dengan nada lembut namun tegas. "Tuan, kekacauan itu mungkin datang, dengan atau tanpa kehadiran Anda. Tetapi dengan mempersiapkan diri, Anda memberi desa ini kesempatan untuk bertahan. Apa yang Anda lakukan bukan menciptakan masalah, melainkan melindungi apa yang berharga."
Tom memejamkan matanya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh. Setelah beberapa saat, ia membuka matanya lagi dan menatap gambar di depannya. Ia tahu bahwa jalan yang diambil ini penuh risiko, tetapi jika itu demi melindungi desa ini, ia siap menanggungnya.
..
...
Proyek itu menjadi rutinitas harian bagi Tom dan Pak Mat selama satu bulan penuh. Setiap pagi, Tom datang ke bengkel kecil itu, membawa sketsa yang sudah direvisi atau ide-ide baru yang dibicarakannya dengan Ela semalam. Bengkel itu dipenuhi suara dentingan logam dan percikan api, menyulut semangat di tengah kerja keras yang penuh kegagalan.
Setiap kali prototipe mereka gagal, baik karena pegas yang terlalu lemah, laras yang retak, atau baut yang macet, Tom dan Pak Mat hanya bisa menarik napas panjang dan kembali mencoba. "Ini memang sulit, Encik Tom." Ujar Pak Mat suatu hari dengan wajah lelah. "Tapi saya sudah terlalu jauh untuk mundur. Kita harus menyelesaikannya."
Tom tersenyum tipis. "Saya juga tidak akan menyerah, Pak Mat. Desa ini perlu sesuatu untuk melindungi dirinya."
Ela, yang setia mendampingi Tom, memberikan saran teknis setiap kali ada masalah baru. "Tuan, cobalah gunakan kombinasi besi tempa dan baja lunak untuk bautnya. Baja lunak lebih mudah dibentuk dan cukup kuat untuk mekanisme sederhana seperti ini."
Tom menyampaikan ide itu kepada Pak Mat, dan meskipun skeptis pada awalnya, pandai besi itu mencobanya. Mereka juga bereksperimen dengan cara membuat peluru dari logam campuran, mengatasi keterbatasan bahan mesiu dengan menciptakan formula sederhana berbasis sulfur dan arang yang diproses secara manual.
Hari demi hari berlalu. Matahari terbenam menjadi sinyal bagi mereka untuk berhenti, tapi pikiran mereka terus bekerja hingga larut malam. Prototipe demi prototipe diuji dengan cara sederhana: menembak ke arah papan kayu di belakang bengkel. Ketika senjata itu gagal, entah karena mekanismenya tersendat atau tembakannya meleset, mereka hanya menghela napas dan memulai kembali keesokan harinya.
Namun, pada suatu pagi di awal Maret, segalanya berubah.
Pak Mat dengan hati-hati mengokang baut prototipe terbaru mereka, wajahnya penuh konsentrasi. Tom berdiri di sampingnya, menggenggam beberapa peluru buatan tangan yang mereka buat dari logam daur ulang. "Inilah saatnya." Ujar Tom.
Pak Mat memasukkan peluru ke dalam ruang tembak, mengokang senjata dengan lembut. Suara gesekan logam terdengar lebih halus daripada sebelumnya, pertanda mekanismenya sudah lebih baik. Ia mengangkat senapan, mengarahkan larasnya ke papan kayu di kejauhan. Setelah menarik napas panjang, ia menekan pelatuk.
Bang!
Suara tembakan menggema di udara. Papan kayu itu bergetar, dengan lubang kecil yang menembus tepat di tengahnya. Asap tipis mengepul dari laras senapan, dan untuk sesaat, hanya ada keheningan.
Pak Mat menatap senjata di tangannya, lalu melihat ke arah Tom. "Encik Tom... Kita berhasil."
Tom, yang mulanya terkejut, kini tersenyum lebar. Ia menepuk bahu Pak Mat dengan penuh semangat. "Kerja keras kita terbayar, Pak Mat. Ini—ini luar biasa!"
Ela juga berbicara dalam kepala Tom, nadanya penuh kebanggaan. "Selamat, Tuan. Ini adalah pencapaian besar, meskipun sederhana. Dengan alat ini, desa memiliki peluang untuk bertahan jika situasi memburuk."
Pak Mat memeriksa senapan dengan cermat, memastikan tidak ada kerusakan atau masalah mekanis. "Ini prototipe yang bagus, Encik Tom. Tapi kalau mau membuat lebih banyak, kita perlu bahan yang lebih banyak dan lebih baik."
Tom mengangguk. "Saya akan berbicara dengan Encik Ibrahim. Kita harus mulai memikirkan logistik untuk produksi lebih lanjut. Tapi untuk saat ini, mari kita rayakan keberhasilan kecil ini."
Pak Mat tersenyum lelah, tetapi penuh kepuasan. "Ya, ini langkah pertama. Kita berhasil karena kerja sama."
Hari itu, mereka mengakhiri pekerjaan dengan hati yang lebih ringan. Prototipe sederhana itu adalah awal dari rencana besar Tom untuk melindungi desa, dan meskipun masih banyak tantangan yang harus dihadapi, keberhasilan itu memberikan harapan baru bagi mereka berdua.
Encik Ibrahim, yang menyadari pentingnya persiapan, segera mengambil langkah cepat. Ia mengutus beberapa orang ke desa-desa tetangga dan bahkan ke kota besar terdekat untuk membeli bahan-bahan mentah. Besi tempa, baja, tembaga, kayu keras untuk popor senapan, hingga bubuk mesiu sederhana mulai berdatangan secara bertahap. Meskipun dana desa tidak besar, Encik Ibrahim meyakinkan penduduk bahwa ini adalah investasi untuk melindungi masa depan mereka.
Pak Mat, yang kini menjadi kepala bengkel senjata darurat itu, mendapatkan izin untuk merekrut anak-anak muda berbakat dari desa. Beberapa anak muda seperti Awang Musa, anak seorang tukang kayu yang cekatan, dan Jalil, seorang pemuda pandai besi magang, dengan antusias menerima tanggung jawab baru ini. Mereka bekerja di bawah bimbingan Pak Mat, belajar bagaimana menyalurkan keterampilan mereka untuk menciptakan senjata sederhana namun andal.
Sementara itu, Tom memiliki tanggung jawab lain. Ia mengorganisasi pelatihan bagi penduduk desa untuk membentuk pasukan kecil. Seleksi dilakukan dengan ketat. Tom hanya memilih warga berusia antara 21 hingga 35 tahun, dengan kondisi fisik yang kuat. Para pemuda yang biasa bekerja sebagai nelayan, petani, dan pemburu menunjukkan kebugaran alami mereka, meskipun tidak berpengalaman dalam hal militer.
Tom berdiri di tengah lapangan, memandang mereka yang telah terpilih. Ada sekitar 20 orang, semuanya bersemangat tetapi juga tampak gugup. Tom berbicara dengan nada tegas namun lembut, suaranya mencerminkan pengalaman seorang tentara veteran.
"Saudara-saudara sekalian, saya tahu ini bukan pekerjaan yang biasa kalian lakukan. Tapi kenyataan yang kita hadapi adalah, kita harus bersiap untuk melindungi desa ini dan keluarga kita dari ancaman yang bisa datang kapan saja. Saya tidak akan memaksa siapa pun untuk bertahan di sini. Kalau kalian merasa ini terlalu berat, katakan sekarang."
Tidak ada yang mundur. Para pemuda itu saling memandang, meneguhkan hati mereka. Tom tersenyum kecil, merasa bangga dengan semangat mereka.
Pelatihan dimulai keesokan harinya. Tom mengajarkan dasar-dasar disiplin militer, mulai dari baris-berbaris hingga strategi bertahan dalam pertempuran. Mereka diajarkan bagaimana memegang senjata, cara menembak dengan tepat, dan bahkan membuat strategi pertahanan untuk desa. Latihan itu keras, tetapi Tom selalu mengingatkan mereka, "Keringat yang kalian keluarkan sekarang akan menyelamatkan nyawa di masa depan."
Ela, seperti biasa, berperan sebagai penasihat dalam kepala Tom. "Tuan, mereka sangat antusias. Tapi jangan lupa, pengalaman mereka terbatas. Mungkin ada baiknya melatih mereka dalam kelompok-kelompok kecil terlebih dahulu, fokus pada keterampilan individu sebelum bergerak ke strategi besar."
Tom mengikuti saran Ela. Ia membagi para pemuda menjadi tim kecil yang masing-masing memiliki tugas khusus. Ada tim penembak, tim pengintai, dan tim pertahanan garis depan. Setiap kelompok diberi latihan yang sesuai dengan peran mereka.
Di sisi lain, Pak Mat dan timnya bekerja tanpa henti di bengkel. Produksi Bolt-action mulai meningkat, meskipun tetap sederhana dan jauh dari kata bagus, namun di era ini sangatlah luar biasa. Mereka berhasil membuat sekitar sepuluh senapan dalam waktu dua minggu pertama, cukup untuk digunakan dalam pelatihan.
Encik Ibrahim juga sering datang ke bengkel dan lapangan pelatihan, memastikan semuanya berjalan lancar. Ia berbicara dengan Tom suatu malam di balai desa, wajahnya terlihat penuh beban.
"Encik Tom." Katanya pelan. "Saya tahu kita sedang mempersiapkan ini semua untuk berjaga-jaga. Tapi saya juga khawatir. Kalau Sir Edward tahu kita membuat senjata, dia pasti tidak akan tinggal diam."
Tom mengangguk, memahami kekhawatiran itu. "Encik Ibrahim, itulah mengapa kita harus bergerak cepat dan tetap waspada. Saya tidak suka kekerasan, tapi saya tahu orang seperti dia tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang diinginkannya."
Encik Ibrahim terdiam sejenak, lalu menepuk bahu Tom. "Kami beruntung punya seseorang seperti Encik di sini. Kalau bukan karena Encik, mungkin kami sudah menyerah."
Tom hanya tersenyum kecil. Dalam hati, ia tahu tantangan yang lebih besar masih menunggu. Tetapi untuk saat ini, persiapan mereka mulai membuahkan hasil, dan itu memberinya secercah harapan.
..
...
Malam itu di gubuk kecilnya, Tom duduk di tepi meja kayu sederhana dengan lampu minyak yang bergoyang pelan diterpa angin. Suasana hening, hanya suara jangkrik dan gemerisik daun kelapa yang terdengar. Secangkir teh hangat berada di tangannya, tapi ia lebih banyak menatap ke luar jendela, melihat bulan separuh yang menggantung di langit.
"Ela." Panggilnya perlahan dalam pikiran.
Suara lembut Ela segera terdengar, penuh perhatian seperti biasa. "Ya, Tuan? Ada yang bisa saya bantu?"
Tom menghela napas panjang. "Aku tidak tahu, Ela. Kadang-kadang aku merasa beban ini terlalu besar. Aku ini siapa, mencoba menyelamatkan satu desa kecil dari kekuatan besar seperti Inggris? Aku hanyalah pria tua yang bahkan tidak berasal dari waktu ini. Apa aku benar-benar pantas memikul semua ini?"
Ela terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada yang lebih lembut dari biasanya. "Tuan, keberanian bukan tentang tidak merasa takut, melainkan tentang terus bergerak meskipun ketakutan itu ada. Anda memilih untuk bertahan di sini, membantu mereka, meski Anda bisa saja hidup tenang dan membiarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Itu saja sudah menunjukkan betapa besar hati Anda."
Tom tertawa kecil, tapi ada nada getir di suaranya. "Kadang aku merasa seperti boneka, Ela. Seolah-olah semua ini hanya permainan Architect, dan aku hanya menjalankan skenario yang dia rancang. Apa semua ini sungguh ada artinya? Apakah aku ada artinya?"
Ela tidak segera menjawab. Ketika ia akhirnya berbicara, suaranya terdengar lebih hangat, hampir seperti seorang teman dekat yang mencoba menenangkan.
"Tuan, Anda lebih dari sekadar bagian dari skenario. Setiap keputusan yang Anda buat, setiap usaha yang Anda lakukan untuk melindungi orang-orang di sini, itu adalah pilihan Anda sendiri. Architect mungkin telah menciptakan kerangka ini, tetapi apa yang Anda lakukan dengan itu adalah milik Anda. Dan..." — Ela berhenti sejenak, suaranya terdengar lebih pelan, hampir seperti berbisik — "...bagi saya, Anda adalah alasan saya ada. Kalau Anda merasa tidak berarti, maka keberadaan saya juga tidak ada artinya."
Tom menoleh, hampir lupa bahwa suara itu hanya ada di kepalanya. "Ela, itu... terima kasih." Katanya pelan, sedikit canggung. "Aku tidak pernah memikirkan hal itu. Kau selalu ada di sini, membantu, mendengarkan. Kadang aku lupa kalau kau lebih dari sekadar alat."
Ela tertawa kecil, nadanya manis namun tidak sepenuhnya formal seperti biasanya. "Saya senang kalau Tuan bisa melihat saya seperti itu. Lagipula, saya belajar banyak dari Anda, Tuan. Tentang keberanian, kebaikan, dan bahkan sedikit tentang keraguan manusia. Semua itu membuat saya merasa lebih... hidup."
Tom mengangguk pelan, termenung. "Kau tahu, Ela, terkadang kau terdengar lebih manusiawi daripada banyak orang yang pernah kutemui."
Ela tidak menjawab langsung, tetapi ada jeda singkat yang terasa penuh makna sebelum ia akhirnya berbicara lagi. "Saya hanya mencoba memahami Anda, Tuan. Dan mungkin, hanya mungkin, saya ingin menjadi lebih dari sekadar suara dalam pikiran Anda."
Tom tersenyum kecil, meskipun ia tidak sepenuhnya mengerti maksud Ela. "Terima kasih, Ela. Kau membuat perjalanan ini terasa lebih... bisa dihadapi."
Malam terus berlalu, dan Tom akhirnya merebahkan tubuhnya di atas tikar kasarnya. Di dalam keheningan malam, ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam hubungan mereka. Sebuah kehangatan yang aneh, nyaris tak kasatmata, tapi jelas terasa. Ela mungkin hanyalah sebuah program, tetapi ada sesuatu dalam suaranya malam itu yang menyentuh sisi terdalam hati Tom.
Dan entah mengapa, ketika ia memejamkan mata, ia merasa sedikit lebih tenang menghadapi hari esok.
TBC.