Di dunia lain, Samuel pulang ke rumahnya. Orang tua yang seharusnya hangat menyambut anak semata wayang mereka pulang ke rumah, tapi tidak di rumah ini.
"Samuel pulang!" teriak Samuel berjalan hanya sebatas menyapa kedua orang tuanya.
Ayahnya sibuk menonton televisi, Ibunya yang menyiapkan makanan di atas meja makan.
Samuel masuk ke kamarnya, disana ada foto keluarga beranggotakan empat orang. Ayah ibunya, dirinya dan saudara kembarnya.
Ya, Samuel punya saudara kembar. Ia berhenti dari aktifitasnya, menatap bingkai foto itu dan berkata, "Harusnya aku yang hilang bukan kamu, ka."
10 tahun lalu, keluarga mereka kehilangan 1 anak mereka di hutan saat acara camping di hutan rusia.
Hari yang bahagia tapi menjadi hari yang memiliki kenangan paling buruk bagi keluarga mereka.
Samuel mengambil bingkai itu dan 'PRANGKK!'
bingkai itu hancur, Samuel sengaja membantingnya ke lantai. Air matanya menyiratkan kesedihan dan penyesalan serta kemarahan yang menyatu.
"Harusnya aku yang hilang ka waktu itu, bukan kaka. Ayah ibu lebih sayang kaka."
Samuel menjatuhkan diri dan duduk meringkuk meratapi bingkai yang sudah pecah itu. Keluarga dengan pose senyuman bahagia.
"Sekarang aku kehilangan wanita yang aku cintai, rasanya persis sama saat aku kehilangan kaka waktu itu, hiks.."
Tangisan Samuel rupanya terdengar sampai keluar, ayah dan ibu yang tadinya sibuk tak memperdulikan, kini saling menatap seolah mengetahui sesuatu.
Ayah menggelengkan kepalanya pada ibu, dan ibu mengangguk.
***
Kembali pada Yangeur, ia di pajang bak di pengkhianat. Tangan dan kakinya di paku di atas tiang alun alun kota sampai gadis itu banyak kehilangan darah.
Wajahnya pucat, merunduk hampir tak sadarkan diri. Orang orang yang berlalu lalang menyempatkan diri untuk melihat hal tersebut dan menggosipkannya kesana dan kemari.
Akhirnya berita itu sampai ke telinga pelayan pribadi Safira. Pelayan itu memasuki halaman rumah megah bangsawan keluarga besar tuannya.
Melewati dayang dayang rumah tersebut, akhirnya pelayan itu sampai ke kamar nona nya.
"Nona!"
Safira duduk santai di kursi riasnya, tatapannya kosong namun penuh perhitungan. Ia memeriksa cermin, memperhatikan riasannya dengan seksama, seakan tak ada yang bisa mengganggunya. Namun, pelayan yang datang dengan wajah tertekan langsung memecah ketenangannya.
"Nona!"
Pelayan itu menyebut nama Safira dengan terburu-buru, seakan ada yang sangat penting yang harus dia sampaikan.
Safira mengalihkan pandangannya dari cermin, matanya tajam penuh rasa ingin tahu.
"Apa lagi ini? Jangan buat aku teralihkan dari urusanku," katanya, suara dinginnya penuh kekuasaan.
Pelayan itu tampak cemas, matanya berkeliling memastikan tak ada orang lain di sekitar.
"Nona, ada kabar buruk dari kediaman Jenderal. Pelayan yang mengurus Wanita itu sekarang dipajang di alun-alun, dijadikan tontonan untuk semua orang. Jenderal sedang mencarinya dan rumor menyebutkan bahwa dia akan menggeledah rumah-rumah bangsawan untuk mencari wanita itu!"
Safira terlihat tenang dengan pokus menatap wajahnya di cermin, "Kita lanjutkan saja sesuai rencana. Oh ya, beritahu wanita itu tentang yang terjadi di luar," ucap Safira melirik pada pelayannya itu.
"Baik nona."
Di tempat yang tak jauh, Xiao Xiao duduk di kasur yang disediakan tempat tersebut. Kini dia berada di rumah bordil, dimana Safira sialan itu baru saja menjualnya ke rumah haram ini.
"Dosa apa sampe aku sampe di tempat kaya gini?" ucap Xiao Xiao menggetok keningnya prustasi.
Dia tak punya kuasa untuk kabur, dia bergerak sedikit saja pasti akan ketahuan. Dia mengunci pintu kamar itu dari dalam, takut seorang yang asing datang ke kamarnya.
Tugasnya disini adalah menjadi pelacur, itu membuat Xiao Xiao ingin segera melarikan diri.
'BRAKK!'
Pintu ditendang keras sampai terbuka lebar, terlihat beberapa pengawal masuk dan 2 orang yang sudah pasti tak asing dilihat.
Dia adalah Jenderal Alaghar dan Athor. Senyuman miring Athor sekilas tersirat rasa lega dan wajah penuh amarah sudah pasti terpampang nyata di wajah sang jenderal.
"Apa ku bilang, dia pasti ada disini." ucap Athor pada Kakak nya itu.
Jenderal Alaghar berjalan gagah penuh penekanan setiap langkahnya, mendekati tubuh kecil Xiao Xiao yang terduduk itu.
Sang jenderal memeluk Xiao Xiao. Terdengar juga suara gaduh diluar, mungkin karena sebelumnya dia terlalu pokus memikirkan cara untuk kabur.
Xiao Xiao terpaku dipelukan Jenderal muda, "Mulai sekarang, aku sendiri yang akan mengawasimu."
Di luar, suruhan Safira yang bersembunyi di balik tanaman tinggi menggertakkan gigi dengan marah. "Aku harus memberi tahu nona," batinnya, dan segera berlari pergi.
Waktu meloncat lebih cepat, Xiao Xiao kini duduk dalam kereta kuda, baru saja diselamatkan oleh Jenderal Alaghar dari rumah bordil itu. Kejadian yang penuh kejutannya membuat hatinya lebih ringan, namun masih ada bayang-bayang ketidak pastian.
"Tidak pernah aku bayangkan dia bisa se... gentle itu," pikir Xiao Xiao, tertawa canggung, meski masih ada rasa cemas yang menggerogoti hatinya.
Ia membuka jendela kayu disampingnya, terlihat jalan bebatuan dan danau yang membeku karena cuaca yang kian hari kian mendingin.
Namun, suasana ceria itu tak berlangsung lama. Saat mereka melewati alun-alun kota, Xiao Xiao melihat pemandangan yang membuat hatinya tersentak. Pelayannya yang telah dihukum, dipaku di atas tiang, darahnya yang mulai mengering, tubuhnya tersiksa. Xiao Xiao gemetar, tak bisa menyembunyikan perasaan ngeri dan tidak percaya serta kasihan yang dibalut penyesalan.
"Berhenti! Turunkan aku!" teriak Xiao Xiao.
Jenderal memberi kode untuk menurunkan segera tandu itu. Setelah tandu itu turun, tak lama Xiao Xiao keluar dan berlari ke kerumunan sebagian warga, ikut mendekat ke arah tiang alun alun tersebut.
Para warga yang melihat tandu dari kediaman jenderal segera berjalan pergi menjauh, takut akan kehadiran sang jenderal yang dikenal bengis.
Dengan tangan gemetar, ia menatap Jenderal, yang kini menatapnya dari atas tunggakan kuda, wajahnya dingin, tak memberi belas kasihan.
Jenderal Alaghar turun dari kudanya dan mendekat dengan langkah penuh wibawa. Ia memeluk bahu Xiao Xiao dengan satu tangan, dan dengan suara pelan, ia menjawab, "Kamu lihat itu? Itu adalah buah karma dari tindakanmu yang berani kabur dariku," bisik tuan muda tersebut.
"Tolong selamatkan pelayan itu. Dia tidak pantas dihukum seperti ini. Tidak ada salah besar yang dia lakukan, hanya karena perintah saya, dia terjebak dalam situasi ini. Jika kamu tidak turun tangan, dia akan mati di sini hiks.." isak Xiao Xiao menangis sedih.
Jenderal itu memandang Xiao Xiao dengan tatapan dingin, seakan menimbang setiap kata yang keluar dari bibirnya. Lalu, dengan suara berat dan penuh kekuasaan, dia menjawab.
"Hukum adalah hukum. Jika pelayannya melanggar, maka dia harus menanggung akibatnya. Tapi aku bisa membantu… dengan satu syarat."
Xiao Xiao menatap Jenderal dengan bingung. "Syarat apa?"
"Hahh.." Tuan muda itu menatap pelayan tersebut seperti sebuah pion yang membanggakan, membuat Xiao Xiao muak.
Ia mendekatkan wajahnya ke arah wajah Xiao Xiao, matanya penuh dengan ketegasan dan godaan.
"Kau akan menikah denganku. Sebagai ganti hidup pelayanmu, kau harus menjadi istri sah ku. Itu satu-satunya cara aku bisa menjamin keselamatan orang yang kau sebutkan."
Xiao Xiao terdiam sejenak, tubuhnya bergetar dengan rasa tidak percaya. Menikah dengan Jenderal? Itu adalah tawaran yang mustahil diterima, namun di hadapan kematian pelayannya, Xiao Xiao merasa dilematis.
"Apa itu satu-satunya cara?" tanyanya lirih.
Jenderal itu mengangguk, senyuman penuh kemenangan terukir di wajahnya. "Itu adalah harga yang harus dibayar untuk kehidupan yang berharga."
Hati Xiao Xiao terasa berat, tetapi dalam ketegaran yang tercermin di matanya, dia tahu tidak ada pilihan lain. Semua yang menimpa Yangeurnya itu sepenuhnya salahnya, jika dia tidak kabur mungkin mereka berdua tidak akan terluka dan melewati masa sulit ini.
Dengan air mata yang mengalir perlahan, dia mengangguk setuju. "Aku akan menikah denganmu... demi menyelamatkan pelayanku."
Alaghar tertawa lepas, semua tawa kemenangan dan dibalas tawaan oleh para pengikutnya. Hanya Athor yang tidak ikut tertawa, dia meneliksik wajah sedih Xiao Xiao. Berdiam duduk di kudanya dan memalingkan wajah tak heran dengan sikap kakaknya itu.
Dengan kata-kata itu, sebuah keputusan yang tidak bisa diubah pun tercipta, dan takdir baru Xiao Xiao pun dimulai.