Chereads / The Prince I'm Looking For / Chapter 10 - Mencari Kebebasan

Chapter 10 - Mencari Kebebasan

Malam ini begitu panjang, sang Jenderal nekat bertamu di waktu tengah malam, jam istirahat orang tuanya. Ia berangkat dari istana jenderalnya segera hingga sampai di istana menteri, tempat tinggal ayah ibunya.

Kini, sang jenderal Alaghar berdiri tegak di hadapan orang tuanya, ekspresi wajahnya tegas dan penuh tekad. Langkah-langkah besar yang biasanya mengarah ke medan perang kini dibawa ke dalam ruang keluarga yang sunyi, tempat dimana janji-janji masa lalu masih bergema.

"Saya telah menemui wanita yang saya cintai," ucap Alaghar dengan suara berat.

"Dan dengan itu, saya menuntut janji yang kalian buat untuk membatalkan pertunangan saya dengan Nona Safira."

Ayahnya, seorang pria berwibawa dengan rambut putih yang berkilauan di bawah cahaya, menatapnya dengan mata yang tajam. "Alaghar, apakah kau yakin?" suara ayahnya penuh keraguan. "Safira adalah pilihan yang baik untuk kita, keluarga kita membutuhkan hubungan ini."

Alaghar menghela napas panjang, "Saya tidak peduli dengan apa yang keluarga kita butuhkan. Saya tidak akan mengorbankan kebahagiaan saya demi kepentingan politik," jawabnya, tegas.

"Janji yang kalian buat pada masa lalu harus ditepati, bukan hanya untuk kepentingan keluarga, tetapi untuk saya sebagai individu. Saya tidak ingin hidup dalam kebohongan, ayah."

Ibu Alaghar, yang selama ini mendukung keputusan keluarga, kini terlihat ragu. Wajahnya penuh kecemasan, dan ia menundukkan kepala. "Tapi, Safira... dia adalah sosok yang lembut, anggun. Keluarganya bisa memberikan kestabilan untuk masa depan kediaman Jenderalmu."

"Dia memang lembut dan anggun, ibu." kata Alaghar, suaranya mulai lembut.

"Tapi hal itu tidak bisa menggantikan cinta yang tulus. Saya sudah menemukan seseorang yang membuat hati saya tenang, yang membuat saya merasa utuh. Saya ingin menghormati perasaan saya, bukan hanya mengikuti tradisi."

Ayahnya terdiam sejenak, lalu menatapnya dengan tatapan yang lebih lembut, "Baiklah, Alaghar. Jika itu yang kau inginkan, kami akan menghormati keputusanmu. Namun ingat, jalan yang kau pilih tidak selalu mudah. Tidak semua orang akan memahami pilihan ini."

Alaghar mengangguk, "Saya siap menghadapi konsekuensinya. Saya tidak akan hidup dalam bayang-bayang janji yang tidak sesuai dengan hati saya."

Dengan itu, keputusan telah diambil. Jenderal Alaghar akhirnya menagih janji yang telah dibuat orang tuanya. Namun, meskipun langkahnya mantap, ia tahu bahwa perjalanan di depan tidak akan mudah. Apalagi dengan Safira, wanita yang cerdik dan manipulatif, yang pastinya tidak akan menyerah dengan obsesinya.

Kini, sang Jenderal dengan wibawanya lanjut berkuda beserta bawahannya ke rumah bangsawan Ramier, kediaman keluarga nona Safira Ramier.

Sesampainya disana, ia bertemu hendak menemui Safira. Tujuannya sekarang hanya menyampaikan keinginannya, sisanya bisa di urus oleh keluarga masing masing.

"Jenderal? Ada gerangan apa sampai kamu menemuiku malam malam begini? Ini sudah hampir pagi, apa kamu merindukan ku?" ucap Safira genit.

Wanita muda itu berjalan mendekat dan gelendotan, terpaksa Alaghar memberikannya peringatan tegas sedikit.

Ia menepis lengan Safira dari lengannya, "Aku harap nona bisa menjaga sikap nona," ungkap Alaghar tegas.

"Ah maafkan aku," Safira mendengus kecil, ia selalu diperlakukan seperti ini. "Jadi ada hal apa?" tanya Safira masih menunjukan wajah serianya.

Alaghar menghela nafas panjang, "Keluarga ku akan membatalkan pertunangan kita. Aku harap kamu tidak kecewa dengan keputusan ini, jujur saja aku akan menikah dengan orang yang aku cinta, Safira. Dan itu bukan kamu," ungkap Alaghar.

"Maksudnya?"

Safira terhenyak, dia seakan mimpi ditimpa batu besar. Apa pendengarannya tidak salah dengar? Ini mustahil. Wajahnya memucat, nafasnya bergetar, kebingungan tercermin dengan jelas.

"Wanita itu masih berani menggodamu ya?" tanya Safira dengan emosi memuncak. "Sudah ku suruh dia untuk menjauhimu, padahal sudah ku ancam, tapi dia masih menemuimu. Sudah pantas dia ku jebloskan ke rumah bordir itu, kenapa harus kamu selamatkan segala hah?! Kamu tidak bisa membatalkan pertunangan kita hanya karena dia__"

Ucapan Safira terhenti saat dia menyadari sesuatu. Dilihatnya wajah bengis jenderal dengan kepalan tangan yang diremas begitu kuat. Safira menutup mulutnya, matanya terbelalak.

Sebelum Jenderal itu mengucapkan sesuatu, pengawalnya tiba tiba saja mendekatinya untuk membisikan sesuatu.

Wajah marah itu seketika berubah panik, dia tak lagi memperdulikan Safira. Segera berlari ke kudanya dan pergi dari sana tanpa perkatakan apapaun, di ikuti para pengikutnya.

Safira yang merasa ini akan sangat menarik, segera dia memanggil pelayannya, "MALA!"

Pelayan yang sedari tadi bersembunyi, segera menghampiri nona nya itu, "Saya disini, nona!"

"Siapkan kereta kuda ku, bawa beberapa pengawal, kita ikuti perginya Jenderal Alaghar, sekarang!"

Pelayan bernama Mala itu bergerak cepat mengangguk, "Siap, Nona!"

.

.

.

Di kediaman istana kekuasaan jenderal, Xiao Xiao, seorang putri yang terkenal karena kecantikannya, berlari dengan cepat melalui lorong-lorong istana, tangan kecilnya menggenggam erat tangan pelayannya yang setia, Pelangi.

Mereka berdua melangkah cepat, berusaha menghindari deteksi. Terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat, tanda bahwa pengawal istana mulai menyadari kepergian mereka.

"Yangeur, kita harus cepat!" seru Xiao Xiao, wajahnya tampak tegang, namun ada secercah kebahagiaan di matanya.

Keinginan untuk bebas dari belenggu istana membuatnya tidak peduli dengan bahaya yang mengancam. Xiao Xiao rupanya tidak menerima takdirnya, ia memilih membawa pelayannya ikut kabur bersamannya. Xiao Xiao dan pelayan itu dengan pakaian pelayan yang sederhana, berlari di samping Xiao Xiao, matanya penuh tekad.

"Tenang, Nona. Jenderal katanya sedang keluar, kita punya waktu untuk kabur."

Namun, saat mereka berbelok di sudut koridor, tiba-tiba suara langkah kaki keras terdengar semakin dekat. Seorang pengawal muncul di depan mereka, wajahnya serius dan tegas. Dia memandang mereka dengan ekspresi seperti sedang mencari barang hilang.

"Mau kemana kalian berdua?" tanya pengawal itu dengan nada penuh kewaspadaan, menghalangi jalan mereka.

Xiao Xiao, meskipun wajahnya tegang, langsung menyunggingkan senyum paling manis. "Kami hanya ingin... jalan-jalan! Tidak ada yang salah dengan itu, kan? Tapi... eh, kita mau ambil napas dulu!" ucapnya mengambil nafas banyak banyak.

Pengawal itu menatap mereka dengan ragu. "Jalan-jalan? Kamu baru saja kabur dari kamar dan…" dia mengerutkan dahi, "Berpakaian pelayan? Kalian mau kabur?!"

Xiao Xiao diam, tersenyum lebar, mencoba menyembunyikan kegelisahan. "engga lah, aku merasa lebih bebas begini, lebih… praktis, gitu. Ya kan yangeur?"

Pelangi, yang seharusnya membantu, malah kebingungan. "Iya! Sangat praktis, bukan, Nona?" jawabnya terbata-bata, dengan tangan yang terangkat, seakan ingin menunjukkan kepraktisan gaya baru mereka.

Namun, pengawal itu tidak tampak terkesan. "Kalian tidak bisa pergi tanpa izin. Kembali ke istana sekarang juga."

Dia menarik pedang dari pinggangnya dengan gaya dramatis. Tentu saja, gerakan itu sedikit terhalang karena pedangnya terlalu panjang dan hampir tersangkut di dinding.

Xiao Xiao memandang Pelangi, kemudian berbisik, "Yangeur?"

"Ayo, Nona!" jawab Pelangi dengan suara keras, sambil hampir terjatuh karena terburu-buru.

Tanpa pikir panjang, Xiao Xiao melangkah maju dengan cepat, hampir seperti berlari zig-zag, sementara Pelangi mengikuti di belakang, dengan gaya pelayan yang lebih mirip olahragawan profesional. Mereka melewati pengawal itu dengan kecepatan yang mengesankan. Tapi, tentu saja pengawal itu tidak tinggal diam.

"Kejar!" seru pengawal itu mengejar, diikuti pengawal lainnya.

Namun, Xiao Xiao dan Pelangi sudah terlalu cepat. Mereka hampir bisa mendengar pengawal itu tersengal-sengal mengejar mereka. Mereka berdua akhirnya berhasil lolos, meninggalkan pengawal yang terengah-engah. Pelayan itu menoleh ke belakang, lalu menatap nonnanya sambil tertawa kecil.

"Sepertinya kita harus beri mereka pelatihan lari, ya, Nona?"

Xiao Xiao tertawa terbahak-bahak, "Mungkin lebih baik kita ajari mereka cara kabur lebih cepat lagi."

Mereka tertawa bersama, seolah teman lama.