Chereads / Kisah Putih dan Abu / Chapter 18 - Retribution Part 3

Chapter 18 - Retribution Part 3

Setelah kemarin gue menghajar si Bimo dan kawan-kawannya, hari ini gue mulai jalanin rencana buat pastiin si Bimo nggak bakal bikin masalah lagi untuk keluarga gue. Gue nggak mau ambil risiko. Terakhir gue liat mata si bangke itu, gue tahu dia bukan tipe orang yang bakal takut sama hukum atau ngerasa kapok karena dihajar. Itu mata orang gila yang percaya kalau dia di atas segalanya. Dia yakin abang preman dan backingan polisinya bisa nge-cover semua kelakuan bejatnya.

Gue nggak bisa santai. Kalau gue biarin orang kayak Bimo bebas, gue takut kemungkinan terburuk bakal kejadian. Gue nggak mau Chika atau nyokap gue jadi korban dari dendam atau ulah gilanya. Apalagi setelah denger ancaman dan ejekan dia kemarin.

Hari ini, gue nggak cuma mikirin soal balas dendam atau hajar-hajaran. Gue harus mikir panjang. Gue harus main lebih cerdas dari dia. Kalau si Bimo ngerasa dia punya kekuatan dengan abang preman dan backingan polisi, gue harus cari cara buat ngeblok semua itu. Gue udah pegang satu senjata utama: rekaman video handycam dari kemarin. Rekaman itu bakal jadi kunci gue buat ngancurin semua omong kosong Bimo soal backingannya. Tapi sebelum gue bergerak, gue harus pastiin semua langkah gue aman dan nggak bikin keluarga gue malah jadi target lebih parah.

Langkah pertama gue adalah ceritain semua kejadian kemarin ke bokap. Gue nggak mau ada hal yang disembunyiin, apalagi soal ancaman dari si Bimo. Reaksi bokap? Jelas, beliau murka. Wajahnya memerah, dan gue bisa liat tangan beliau mengepal erat. Tapi di balik kemarahan itu, bokap tetap mikir jernih. Kita duduk bareng, ngebahas bahaya yang mungkin terjadi kalau semua ini gue biarin begitu aja. Bokap langsung bilang kalau dia nggak akan tinggal diam, karena ini bukan cuma soal gue, tapi soal keselamatan keluarga kita.

Bokap cerita kalau Om Adi, yang punya kafe kemarin, punya koneksi yang lumayan kuat di kepolisian. Ternyata, Om Adi itu teman baik Kapolres kota gue. Nggak cuma itu, beliau juga punya beberapa kenalan penting di Polda Jabar. Bokap langsung kontak Om Adi, ngajak beliau buat ngobrol santai soal masalah ini.

"Rek, kalau kita mau bergerak, kita harus pastiin dulu bahwa bukti kita kuat dan langkah kita legal. Kalau nggak, situasi malah bisa berbalik nyerang kita," kata bokap dengan nada tegas.

Gue angguk setuju. Gue kasih tau soal rekaman video handycam yang Adit ambil kemarin. Bokap langsung manggut-manggut.

"Bagus. Itu bisa jadi bukti utama. Tapi kita nggak cukup hanya dengan itu. Kita harus pastiin orang-orang kayak Bimo dan 'abang premannya' ini nggak punya celah buat balik ngehajar kita."

Hari itu, gue, bokap, dan Om Adi mulai nyusun rencana. Om Adi bakal bawa masalah ini langsung ke Kapolres, karena ancaman Bimo soal "bekingan polisi" bukan cuma gertakan kosong. Om Adi yakin Kapolres nggak akan tutup mata kalau ancaman itu udah masuk ranah hukum berat, apalagi udah melibatkan kekerasan dan pelecehan.

"Kalau dia punya bekingan, kita lawan dengan bekingan yang lebih tinggi," kata Om Adi sambil nyengir. Gue nggak bisa bohong, ucapan beliau bikin gue lebih tenang. Setidaknya, sekarang gue tau keluarga gue ada di tangan orang-orang yang ngerti cara main di dunia ini.

Malam itu, gue, bokap, sama Om Adi melangkah masuk ke sebuah ruangan yang terasa megah tapi tetap sederhana di rumah dinas Kapolres. Di sana, Pak Hari, Kapolres kota gue, udah duduk santai sambil menyambut kami dengan senyuman ramah. Setelah salaman dan basa-basi tentang masa lalu mereka, suasana pelan-pelan mencair. Obrolan awal lebih banyak nostalgia, cerita tentang masa muda bokap sama Om Adi waktu kuliah dulu, dan beberapa lelucon ringan.

Tapi Om Adi nggak buang waktu terlalu lama di nostalgia. Setelah beberapa menit, beliau langsung bawa obrolan ke inti masalah.

"Har, seperti yang udah aku ceritain sebelumnya, ini Reno, temen kuliahku dulu, dan anaknya, Reka," Om Adi mulai, sambil nunjukin gestur ke arah gue dan bokap. "Mereka punya sebuah laporan yang nggak bisa dilaporkan secara formal lewat prosedur yang seharusnya."

Pak Hari sedikit mengernyitkan dahi, tanda dia mulai serius. Dia duduk lebih tegak, nunjukin kalau dia benar-benar siap dengerin.

"Kenapa nggak bisa lewat prosedur biasa?" tanya Pak Hari sambil melirik ke arah gue.

Bokap akhirnya mulai bicara. Dengan nada tegas tapi nggak berlebihan, dia ngejelasin dari awal tentang masalah ini. Tentang si Bimo, ancaman yang dia lontarkan, klaim soal backingan polisi, dan keterlibatan abang preman yang katanya punya jaringan kuat. Bokap nggak lupa nyebutin soal video rekaman handycam sebagai bukti.

"Masalahnya, Har," lanjut Om Adi, "si anak ini nggak cuma sekadar ngomong besar. Dari apa yang Reno ceritakan, dia beneran berani buat jalanin ancamannya. Dan kalau dia punya koneksi kayak yang dia klaim, kita semua tahu ini bisa jadi lebih rumit daripada sekadar kasus remaja berantem."

Pak Hari diem sebentar, matanya tajam ngelihat ke arah gue. "Reka, kamu bawa rekaman itu?" tanyanya langsung.

"Iya, Pak," jawab gue sambil ngeluarin handycam dari tas gue. Gue kasih ke Om Adi, yang lalu menyerahkan ke Pak Hari.

Pak Hari langsung muter rekamannya. Di ruangan itu, suasana jadi tegang saat suara Bimo mulai terdengar jelas. Semua ancaman, hinaan, sampai klaim soal backingan polisi terputar tanpa jeda. Gue perhatiin wajah Pak Hari yang semakin serius seiring berjalannya rekaman. Ketika video selesai, dia naruh handycam itu di atas meja dengan gerakan pelan tapi penuh arti.

"Kalau apa yang dia bilang soal Pak Cecep itu benar, ini bisa jadi masalah serius. Tapi tenang, aku akan urus ini," katanya sambil ngelirik ke Om Adi. "Aku nggak bisa janji semuanya selesai dalam semalam, tapi yang jelas, aku nggak akan biarkan anak ini terus-terusan merasa dia di atas hukum."

"Ada yang mau saya minta dari Pak Hari," ujar gue sambil menatap Pak Hari dengan serius. "Saya mau minta perlindungan saksi buat keluarga saya."

Pak Hari mengangguk pelan, matanya penuh perhatian. "Nak Reka, permintaan itu wajar, dan pasti akan bapak urus. Situasi ini memang sudah menjadi masalah besar, bukan hanya untuk keluarga kamu, tapi juga buat institusi kepolisian."

Dia bersandar di kursinya, tangannya mengepal ringan di atas meja. "Masalah seperti ini sudah lama menggerogoti kota kita. Beberapa polisi korup seperti Pak Cecep yang disebutkan tadi, terus terang, adalah duri dalam daging. Ditambah lagi dengan premanisme yang semakin menjamur, membuat pekerjaan kami semakin sulit."

Pak Hari menarik napas dalam-dalam, seolah sedang merangkum semua frustrasinya. "Pak Kapolda dan Pak Walikota sudah berkali-kali menekan saya untuk menyelesaikan persoalan ini. Tapi kalau memang ada musuh di balik selimut seperti yang Nak Reka bilang, itu menjelaskan banyak hal. Terutama kenapa setiap operasi besar yang kami lakukan selalu bocor dan gagal."

Om Adi ikut menimpali. "Nah, itulah kenapa aku pikir masalah ini nggak bisa selesai dengan cara biasa. Kalau kita cuma lapor formal tanpa ada rencana yang matang, kita sama saja kasih tahu lawan kita untuk bersiap-siap. Har, ini waktunya kamu bersih-bersih, nggak cuma soal kasus abangnya si Bimo ini, tapi juga jaringannya."

Pak Hari tersenyum tipis, tapi ada ketegasan di balik itu. "Kamu benar, Di. Ini adalah kesempatan buat kita untuk bongkar semua ini dari akarnya. Nak Reka, kamu dan keluarga kamu jangan khawatir. Bapak akan pastikan kalian aman." 

"Dan ada satu lagi permintaan saya, Pak," gue melanjutkan dengan nada serius.

"Apa itu, Nak?" tanya Pak Hari, matanya penuh perhatian.

Gue menarik napas dalam-dalam, lalu mulai menjelaskan rencana gue untuk menyelesaikan masalah ini sepenuhnya. Semakin gue bicara, semakin serius reaksi mereka bertiga. Bokap mulai mengerutkan dahi, Om Adi sesekali melirik ke arah Pak Hari, sementara Pak Hari menatap gue tanpa berkedip, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut gue.

"...jadi begitu, Pak," gue menutup penjelasan gue dengan tegas. "Bapak bisa bantu kan?"

Bokap langsung bereaksi, wajahnya penuh kekhawatiran. "Reka! Ayah nggak setuju dengan rencana kamu!"

Pak Hari mengangguk setuju dengan bokap, ekspresinya cerminan dari keprihatinan seorang penegak hukum. "Betul, Nak Reka. Sebagai seorang polisi, bapak juga menolak rencana kamu. Itu terlalu gegabah dan berisiko tinggi. Kita harus hati-hati."

"Tapi, Pak..." gue mencoba membela diri, tapi bokap langsung memotong.

"Nggak ada 'tapi', Reka. Kamu nggak tahu seberapa besar risikonya kalau sampai rencana itu gagal!"

Yang nggak gue sangka, Om Adi tiba-tiba angkat bicara, dan kata-katanya bikin gue kaget. "Tapi apa yang dikatakan Reka benar juga, Har, Ren. Kita harus menyelesaikan masalah ini sampai ke akar dan tunasnya. No loose end"

Bokap menatap Om Adi dengan tatapan tak percaya. "Adi, kamu serius? Kamu tahu rencana ini terlalu berbahaya, kan?"

Om Adi mengangguk pelan tapi mantap. "Aku tahu, Ren. Tapi kadang kita harus mengambil risiko kalau kita benar-benar ingin menyelesaikan sesuatu. Lagi pula, percaya sedikit sama anakmu. Reka ini nggak akan menyusun rencana seperti itu tanpa pemikiran matang."

"Iya, Yah," gue menimpali, berharap bokap bakal sedikit melunak. "Percaya sama Reka. Aku udah mikir semua ini matang-matang. Aku tahu risikonya, tapi aku juga tahu manfaatnya kalau rencana ini berhasil. Kalau kita nggak ambil langkah besar sekarang, masalah ini nggak akan pernah selesai."

Bokap menatap gue lama, seolah mencari kepastian di mata gue. Gue nggak mundur, gue tetap berdiri tegak, menunjukkan keyakinan gue.

Pak Hari akhirnya bicara, suaranya pelan tapi tegas. "Reka, bapak hargai keberanian dan pemikiran kamu. Tapi kalau bapak setuju dengan rencana ini, kamu harus janji bahwa kamu akan patuh dengan setiap instruksi dari kami. Ini bukan cuma soal keberanian, tapi juga soal disiplin dan strategi. Kalau kamu setuju dengan itu, bapak akan bantu kamu."

Gue mengangguk cepat. "Saya janji, Pak. Apa pun yang bapak instruksikan, saya akan ikuti."

Bokap masih terlihat ragu, tapi akhirnya dia menghela napas panjang. "Baiklah, Reka. Tapi ingat, kalau ada sesuatu yang melenceng sedikit saja, kamu harus langsung mundur. Ayah nggak mau kehilangan kamu."

"Iya, Yah. Aku janji."

Malam itu, rencana besar mulai terbentuk. Gue tahu jalan di depan nggak akan mudah, tapi dengan dukungan mereka, gue merasa lebih siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.