Chereads / Kisah Putih dan Abu / Chapter 23 - Please Don't Leave Me Again

Chapter 23 - Please Don't Leave Me Again

Udah jadi kebiasaan gue kalau tiap hari Minggu adalah jadwal gue untuk bangun siang. (Kebo banget ya?) Dan gak ada anggota keluarga gue yang berani mengganggu ritual mingguan gue itu. Kecuali sebuah benda yang dinamakan Hape yang berbunyi terus-menerus.

Gue liat ada 10 missed calls dan 5 SMS dari Febi. Semua itu masuk tanpa henti, dan setiap kali gue buka layar, isinya cuma pesan-pesan dari dia.

Semalam gue ribut sama Febi, cuma gara-gara alasan sepele. Malam Minggu kemarin, gue memang gak sempat datang ke rumah Feby buat ngapelin dia. Bukan karena soal kesibukan, tapi si item—motor kesayangan gue—udah nggak bisa diajak kompromi lagi. Beberapa hari terakhir, si item udah mulai ngadat, dan akhirnya tadi malam dia mogok total. Mesin mati, dan semua rencana jadi berantakan.

Gara-gara mogoknya motor, gue harus ngerelain malam minggu yang biasanya mesra, berubah jadi perjalanan penuh drama. Tapi yang lebih bikin kesal adalah komunikasi yang nggak lancar dengan Febi. Dari semua SMS dan panggilan waktu itu, rasanya ada kesenjangan yang bikin gue jadi lebih frustasi. Hubungan ini, yang awalnya manis, tiba-tiba terasa lebih rumit. Bahkan hanya untuk hal kecil ngapel aja bikin drama sepanjang ini.

Malem tadi ribut gede banget sama Febi. Dia gak terima alasan yang gue kasih. Katanya alasan gue terlalu klise, padahal ya itu bener-bener kejadian yang lagi gue alami. Awalnya, dia yang marah-marah banget sama gue, terus gue coba buat ngedeketin dia, minta maaf, tapi malah gue yang beneran kesel sama sikapnya yang kekanak-kanakan itu.

Gue mulai baca satu per satu SMS dari Febi.

Febi: Sorry soal semalem. Aku minta maaf. memang aku udah childish banget

Febi: Maafin aku yang. aku janji gak bakalan gitu lagi

Febi: Kalo emang kamu marah sama aku, seenggaknya kamu bales SMS aku

Febi: Sebegitu parahnya kesalahan aku sampe kamu gak mau angkat telepon aku?

Febi: Yang, please maafin aku...

 Isinya hampir sama terus—minta maaf. Dia bener-bener minta maaf dengan tulus, tapi kata-katanya kayak kurang greget aja buat gue. Tapi gue lama-lama ga tega ngeliat isi SMS-nya. Bagaimanapun juga, gue sayang sama Feby. Meskipun gue agak kesel sama kelakuannya semalam, gue ga bisa benar-benar marah lama-lama. 

Walaupun begitu, gue ga bales SMS-nya. Bukan karena gue mau diem-diemin dia atau main "ngambek". Tapi gue pengen ketemu langsung buat benerin semuanya. Gue percaya, ngobrol langsung jauh lebih baik buat selesain permasalahan kayak gini.

Karena gue bangun siang dan perut udah mulai protes, akhirnya gue turun ke bawah buat cari makanan. Rumah kali ini bener-bener sepi. Bokap ada urusan sama temen-temen kerjanya, soalnya bakalan ada proyek besar katanya. Sedangkan Nyokap sama Chika berangkat ke Rumah Om tadi pagi. Jadi cuma gue sendiri di rumah yang sepi ini.

Gue lihat meja makan kosong, ga ada makanan. Akhirnya, gue masak sendiri. Sedikit bangga sih sama kemampuan masak gue. Sering kali gue bercanda ke Chika kalau suatu saat gue ikutan kompetisi masak di TV, seenggaknya gue bisa masuk babak awal. Meskipun begitu, gue tahu diri kalau level gue masih jauh di bawah kemampuan masakan Chika yang kayaknya bisa bersaing dengan koki restaurant. Rasanya bisa bikin lidah orang ketagihan. Lalu, masakan Nyokap? Ya, itu sih di atas segalanya. Bahkan kalau ditaruh di Michelin Guide pun pasti bisa bersaing. Gak aneh kalau setiap kali Nyokap masak, kita sekeluarga pasti berasa lagi liburan ke surga kuliner.

Tapi, walaupun gue masih kalah dari mereka berdua, hasil masakan gue cukup lah buat bikin orang-orang sekitar gue kenyang dan senyum puas. Angga bahkan sering nyaranin gue buat buka bisnis kecil-kecilan di bidang makanan. 

Setelah selesai makan nasi goreng buatan sendiri, gue siap-siap buat ke rumah Febi. Gue tahu kalau weekend pasti Bonyok-nya ada di rumah. Jadi, gue mau penampilan gue sedikit beda dari biasanya. Pake baju kaos + kemeja casual dan celana jeans. Bahkan, rela buat sedikit merapikan rambut gue yang biasanya berantakan. Setelah nyemprot parfum di sana-sini, gue pacu si motor kesayangan, yang abis rawat inap di bengkel, ke arah rumah Febi.

Beberapa puluh meter sebelum rumah Febi, si item (motor) mendadak mati lagi. Terpaksa gue dorong sampai ke depan rumah Febi. Untungnya, gue inget ada bengkel deket rumahnya. Jadi, setelah nyampe, gue simpen motor di bengkel itu untuk diperiksa. Setelah itu, gue mulai jalan kaki ke rumah Febi. Pas udah di depan pintu, gue ketok-ketok dengan cukup hati-hati. Dalam pikiran gue, kemungkinan besar yang bakal buka pintu adalah bokap atau nyokapnya Febi. 

"Ya bentar," jawab seorang cewek dengan suara lembut.

Pintu perlahan dibuka, dan yang terlihat adalah Febi. Wajahnya sedikit terkejut saat melihat gue di depan rumahnya hari itu. Matanya agak kemerahan dan masih basah karena air mata. Dia baru saja menangis.

"Reka?" tanya Febi dengan nada lembut.

"Kamu abis nangis, Feb?" tanyaku, sedikit khawatir.

"Nggak kok," jawabnya cepat sambil mengusap matanya yang masih basah. "Tadi kelilipan debu," tambahnya, mencoba tersenyum meski matanya masih bengkak.

"Oohh," jawab gue dengan ragu-ragu, mencoba mempercayai ceritanya.

"Eh, kok keringetan gitu?" tanyanya dengan penasaran.

"Capek dari tadi dorongin si item ke bengkel. Mana panas lagi," jawab gue sambil mengelus kepala yang sedikit pusing.

"Ya udah masuk dulu," ajaknya sambil memberi jalan masuk.

Febi mengekor di belakang gue, langkahnya perlahan tapi mantap menuju sofa di ruang tamu setelah menutup pintu depan dengan lembut. Ruangan terasa hangat dengan cahaya dari lampu-lampu kecil yang menghiasi meja dan sudut-sudut ruangan.

"Mau minum apa?" tanya Febi sambil melangkah ke dapur.

"Biasa aja. Teh manis anget," jawab gue sambil meraih tempat duduk di sofa. Suasana rumah yang tenang membuat gue sedikit lega.

Febi kembali beberapa menit kemudian dengan nampan yang berisi dua gelas teh manis hangat. Dia meletakkannya di atas meja kecil di depan gue sebelum duduk di sebelah.

"Ibu sama Ayah pergi ke undangan," jawabnya saat gue bertanya tentang orang tuanya. "Tunggu bentar ya, aku buatin minum dulu," tambahnya sambil tersenyum kecil.

Setelah beberapa tegukan teh hangat, gue mulai berbicara panjang lebar tentang permasalahan yang bikin ribut semalam. Gw ceritakan semuanya, tanpa menyimpan amarah sedikit pun. Febi mendengarkan dengan tenang, sesekali mengangguk atau memberikan komentar kecil. 

"Aku sama sekali nggak marah sama kamu, Feb," ujarku akhirnya, mencoba mengurai ketegangan di antara kita. Setelahnya, kami mulai berbicara lebih santai, mengingat kenangan lucu, dan sesekali tertawa bersama. Suasana berubah menjadi lebih nyaman, seperti kita kembali ke masa-masa awal perkenalan kita.

Maafin aku feb udah buat kamu nangis

Aku nggak akan biarin air mata kamu jatuh lagi

Sejenak gue menatap lekat mata Febi, yang masih berceloteh tentang kelakuan saudaranya yang bikin pusing. Ada sesuatu dalam tatapannya yang terasa berbeda, seperti dia sadar akan perhatian gue yang tiba-tiba berubah serius. Lama kelamaan, kita berdua terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri.

Jarak antara wajah kami semakin menipis, detik demi detik berlalu dengan intensitas yang sulit diungkapkan. Febi akhirnya menutup matanya dengan lembut, seolah pasrah pada apa yang akan terjadi. Dan akhirnya, "pertemuan" itu terjadi.

Febi melepas kecupan hangat itu, lembut namun penuh makna, sebelum memeluk gue erat-erat. Tubuhnya yang hangat terasa begitu nyaman, menenangkan.

"Jangan pergi lagi," ucapnya lirih, hampir seperti bisikan.

"Nggak, Feb. Nggak akan," jawab gue, menatapnya dalam-dalam. "Aku cinta kamu, Feb."