Hari ini gue datang ke sekolah dengan mata layaknya 5 watt—gelap dan lelah. Tidur sekitar jam 2 pagi gara-gara keasikan nonton film, ditambah tadi pagi gue juga kesiangan sehingga nggak sempat sarapan. Akibatnya, sepanjang kelas gue cuma bisa tidur sambil pegangin perut yang keroncongan.
Waktu istirahat yang seharusnya gue manfaatin buat makan buru-buru batal total. Fahmi tiba-tiba muncul dan menarik gue paksa untuk bantuin dia nembak cewek yang udah lama dia suka. Berkali-kali gue nolak dengan alasan belum sarapan dan perut yang keroncongan, tapi dia ngemis-ngemis terus di depan gue. Akhirnya, setelah liat mukanya yang memelas, gue nggak tega juga. Lagipula, dia nawarin makan gratis kalo gue sukses bantu dia. Ya udah, akhirnya gue setuju aja.
Acara penembakan Fahmi benar-benar bikin gue bosen setengah mati. Selain itu, gue cuma jadi kambing 'ganteng' yang duduk di sana, pura-pura sok mendukung, padahal yang sebenarnya pikiran gue udah penuh dengan satu hal—perut yang keroncongan dan sakit.
Berkali-kali perut gue teriak-teriak minta diisi. Lama-lama rasa sakitnya semakin parah, melilit hingga gue cuma bisa pegangin perut yang terasa nyeri luar biasa. Bel akhirnya berbunyi, memberi isyarat bahwa gue harus kembali ke kelas. Tapi perut gue masih belum terisi sama sekali.
Selama pelajaran, gue cuma bisa pegangin perut sambil menahan rasa sakit. Asli, sakitnya nggak main-main. Lama-lama, sakit itu berubah menjadi pusing yang luar biasa. Gue sama sekali nggak konsen mendengarkan guru ngajar. Semakin lama, kepala gue terasa makin berat. Akhirnya, gue cuman bisa tiduran di meja. Beberapa kali guru menanyakan keadaan gue, bahkan beberapa kali menawarkan untuk pergi ke UKS. Tapi dengan halus, gue tolak semua tawaran tersebut. Gue yakin ini cuma sementara, dan kalo gue makan, pasti sembuh. Setelah beberapa saat, gue minta izin untuk pergi ke kantin—hanya untuk beli gorengan seadanya.
Gue jalan ke kantin dengan langkah yang gontai, kepala masih terasa pusing dan jalan di depan gue jadi sedikit kabur. Efek dari rasa sakit perut yang melanda. Pas gue terus melangkah, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundak gue.
"Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Febi dengan nada cemas, matanya sedikit berkerut, khawatir melihat keadaan gue yang lemah.
"Eh, Feb. Nggak, cuman telat sarapan aja," jawab gue dengan suara lemah, mencoba menyembunyikan betapa malas dan lemasnya tubuh gue.
"Muka kamu pucet banget gitu. Aku anterin ke UKS aja ya," tawar Febi, terlihat jelas bahwa cemasnya makin bertambah.
"Enggak, enggak. Paling makan juga udah sembuh," tolak gue dengan suara malas, mencoba tetap berdiri tegak meski tubuh terasa seperti kehilangan energi.
"Nggak, kamu tuh butuh istirahat," Febi tetap memaksa, tangan sedikit menggenggam lengan gue dengan lembut, berusaha membujuk agar gue tidak bersikap keras kepala.
"Enggak, Feb. Aku nggak mau ke UKS. Males kalau diem disana," tolak gue lagi, suara masih berat dan bergetar, tetapi kali ini dengan sedikit lebih tegas, meski dalam hati gue juga tahu tubuh gue benar-benar butuh perhatian lebih.
"Ya udah aku temenin kok."
"Aku nggak mau, Feb!" jawab gue dengan nada yang meninggi, suaraku terdengar lebih keras dari sebelumnya.
"Kamu tuh ngeyel banget sih," jawab Febi dengan nada yang sedikit meninggi juga, namun tetap berusaha tenang.
"Ya aku bilang nggak mau ya nggak mau, GA USAH MAKSA-MAKSA!" bentak gue, suaraku terdengar lebih tajam, hampir seperti teriakan.
" Aku cuman nggak mau lihat kamu sakit, HARUSNYA KAMU NGERTI!" balas Febi, suaranya naik sedikit, beradu dengan kekerasan suaraku.
"CUKUP FEB GUE PUSING!" bentak gue, suara gue kali ini melengking, hampir tidak bisa lagi menahan emosi yang sudah meluap.
"KAMU YANG MULAI!" balas Febi, matanya berbinar-binar, penuh emosi yang sulit disembunyikan.
Keheningan mengisi ruang di antara kami, masing-masing tenggelam dalam amarah dan kelelahan yang mendera. Suasana menjadi begitu tegang, seperti gelembung yang siap meledak kapan saja.
Gue rasa kepala gue mulai muter, dan berat banget. Lama-lama pandangan gue mulai kabur. Pusing yang luar biasa mengguncang tubuh gue.
"CUKUP!" bentak gue dengan suara parau yang terdengar berat dan lelah.
"Sejak kapan sih kamu jadi kasar gini?" tanya Febi, matanya mulai berair, terbebani oleh emosi yang sulit dia tahan.
"GUE BILANG CUKUP!" jawab gue sekali lagi, suara gue melemah, terasa seperti berusaha bertahan dari sebuah badai emosional yang semakin menghimpit.
Pusing yang gue rasakan semakin menjadi. Otak gue terasa seperti mau pecah. Kata-kata itu terasa tajam, seperti pisau yang mengiris dalam-dalam.
"Apa aku salah, sayang, selama ini mencintai orang yang salah? Aku kira kamu nggak bakal kasar seperti ini," suara Febi terdengar penuh dengan kekecewaan dan air mata yang membasahi pipinya.
"CUKUP!" jawab gue, kali ini suara gue hampir terdengar seperti bisikan, melemah, seolah-olah daya tahan gue sudah menipis.
Gue rasa perut gue mulai melilit lagi. Usus gue seperti sedang menggiling pecahan kaca, sakit yang teramat sangat. Tubuh gue semakin lemas, tak mampu menahan beban yang terus bertambah.
"Terakhir kali gue percaya sama cowok, dia kasar seperti ini," ucap Febi lirih, suaranya bergetar penuh kekecewaan, seperti menyudahi sebuah harapan yang sudah lama ada.
"Cuk..." Gue nggak bisa nerusin kata-kata gue. Pandangan gue mulai kabur, semuanya terasa semakin gelap. Badan gue terasa lemas, kayak nggak punya tenaga buat berdiri lagi. Keseimbangan gue mulai goyah, dan sebelum sempat melakukan apapun, gue ambruk di sana.
Semua terasa hening. Gelap. Hanya gelap yang gue rasakan. Tidak ada suara, tidak ada kehadiran, hanya ketiadaan yang membungkus pikiran gue. Waktu seakan terhenti, dan gue nggak bisa mengingat apa yang terjadi setelah itu. Hanya gelap.
***
Guebangun karena perut gue mulai ngamuk-ngamuk minta diisi. Rasanya kaya ada drum band lagi konser di dalem perut. Pas gue coba buka mata, kepala masih agak berat, tapi rasa laper ngalahin segalanya. Gue buka kedua mata pelan-pelan, liat sekeliling kamar yang ternyata kamar gue sendiri.
Selimut tebal yang nutupin badan gue geser perlahan, terus gue coba angkat kepala meskipun kerasa masih sedikit pusing. "Chik," panggil gue pelan, suara gue serak karena baru bangun.
Nggak lama, pintu kamar gue kebuka. Bukan cuma satu orang, tapi tiga orang sekaligus nongol di depan gue. Chika, Febi, dan...
"Ayu?" Gue agak kaget liat dia di situ, apalagi bawa tampang jutek khasnya.
"Iya, gue kenapa emang?" jawab Ayu, langsung sewot kayak biasanya.
"Ayu yang nganterin kamu pulang tadi pake mobil dia," kata Febi sambil mendekat ke sisi ranjang. Mukanya masih ada sisa kecemasan, tapi juga kayak lega liat gue udah bangun.
"Oh," jawab gue singkat sambil nyoba proses kejadian barusan. Laper udah nggak ketahan, akhirnya gue buka suara lagi, "Chik, ada makanan? Gue laper banget."
Chika, yang lagi berdiri di ujung tempat tidur sambil nyender di pintu, langsung gerak. "Ada, Nii-chan. Tunggu bentar, ya," jawabnya cepet, terus langsung ngeloyor keluar kamar.
Gue ngangguk sambil bersandar ke bantal. Febi duduk di kursi sebelah ranjang, masih diem tapi sesekali ngecek wajah gue kayak lagi baca ekspresi. Ayu berdiri aja di deket pintu, kayak nggak sabar mau ngomong sesuatu.
"Kenapa lo, Yu?" tanya gue akhirnya, karena jelas banget dia ada sesuatu di pikirannya.
"Besok-besok kalo mau pingsan, jangan di depan umum, oke?" jawab Ayu dengan nada setengah bercanda, tapi jelas ada sentuhan kekhawatiran di situ. Setelah beberapa lama jadi temen sekelas si jutek ini gue juga mulai paham di balik muka asem nya, si Ayu sebenernya care banget sama temen-temennya.
"Iya-iya bawel," Jawab gue bercanda. Ayu awalnya kelihatan mau lanjut nyerang gue dengan jurus seribu kata mautnya tapi melihat kondisi gue yang jelas lemah dia berhenti. Ngelihat itu gue tunjukan senyuman kemenangan gue.
"Tadi lu gue bawa ke dokter. Katanya lu kena gejala tifus," kata Ayu, langsung to the point dengan nada tegas, khas dia.
"Katanya juga kamu kecapekan sama kurang makan," lanjut Febi pelan, matanya masih penuh perhatian ke arah gue.
"Oh... iya sih. Tadi pagi emang gue nggak sempet sarapan," jawab gue sambil nyengir kuda, berusaha ngeringanin suasana yang mulai serius.
Ayu, dengan ekspresi yang nggak bisa ditebak, tiba-tiba nyeletuk, "Aku-kamu? Kayaknya ada yang deket nih?"
Gue langsung kaku. Wajah gue pasti udah memerah, panas banget rasanya. "Err... eh... itu... anu, gue..." Gue ngegagap, nyari kata-kata yang pas tapi malah makin salah tingkah.
"Gue sama Febi... cuman... cuman..." Gue liat Febi yang mukanya udah sama merahnya kayak gue. Dia cuma bisa senyum kecil, tapi jelas kelihatan ikut kikuk.
Ayu, yang dari tadi keliatan menikmati momen ini, akhirnya angkat tangan sambil ketawa kecil. "Oke, gue ngerti kok. Tenang aja. Gue nggak bakal ganggu lu pada," katanya sambil ngambil tasnya yang dia taruh di kursi.
"Eh, Yu, makasih ya tadi udah bantuin," kata gue buru-buru, walau masih dengan nada gugup.
Ayu ngangguk, terus jalan ke arah pintu sambil ngasih senyum jahil khas dia. "Santai aja, Rek. Tapi inget, lu harus beneran istirahat, ya. Gue cabut duluan," katanya sambil keluar kamar.
Gue cuman mematung aja, asli gue nggak tau harus ngapain. Sebenernya gue seneng ada orang lain yang tau hubungan gue sama Febi, tapi gue cuman malu aja.
"Duh gimana dong? Ayu kayaknya tahu kita pacaran deh. Terus gimana kalau jadi nyebar?" Ujar Febi dengan nada cemas, suaranya sedikit bergetar.
"Emang gawat yah kalau nyebar?" Tanya gue balik, agak kecewa mendengar perkataannya tadi. "Emang kenapa kalau semua orang tahu? Apa kamu malu pacaran sama aku?"
"Yah... gawat," jawab Febi sambil menggigit bibir bawahnya, ekspresinya terlihat cemas dan penuh keraguan. Dia terlihat memikirkan dampak yang bisa timbul jika semua orang tahu hubungan kita.
"Yah, aku sih enggak masalah," lanjut gue. "Kalau kamu takut, kita cari solusinya."
Febi terdiam, menunduk sejenak, sebelum akhirnya menatap gue dengan tatapan yang campur aduk antara ragu dan cemas. Sorot matanya seolah meminta kepastian akan apa yang akan terjadi jika semuanya terungkap.
"Aku cuma nggak mau semua orang jadi sibuk ngomongin kita terus," ucap Febi perlahan, suaranya nyaris terdengar bergetar. Gue nggak sepenuhnya percaya alasannya itu. Tapi gue putusin buat lupain dulu hal itu dan pindahin topik ke hal yang lain.
"Feb," seru gue dengan lembut. "Sorry yah."
"Buat?" tanya Febi dengan nada heran.
"Buat yang tadi siang."
Febi menghela napas pendek, sedikit mengernyitkan dahi, lalu menatap gue penuh perhatian. "Harusnya aku yang minta maaf. Kamu lagi sakit aku malah egois gitu."
"Nggak Feb," jawab gue. "Aku yang salah."
Febi menggeleng perlahan, menghela napas lagi sebelum melanjutkan, "Aku yang salah waktu tadi siang. Kamu cuman pusing dan nggak mau ribut kan? Malah aku yang panjang-panjangin masalah."
Gue tersenyum kecil, menggelengkan kepala dengan halus. "Ya udah, ga usah dibahas."
Febi memandang gue sejenak dengan tatapan yang masih sedikit cemas, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Iya, nggak usah dibahas."
Ga lama, Chika dateng bawa cream soup yang masih panas.
"Nih," kata Chika sambil menyimpan mangkuk soup di atas meja. "Nii-chan mau aku suapin?"
"Ga ah, gue makan sendiri aja," jawab gue sambil mengambil mangkuk soup tadi. "Aw, aw!"
"Hati-hati dong makannya, itu kan masih panas," tegur Febi dengan penuh perhatian. Dengan sedikit memaksa dia ambil mangkuk soup itu dari tangan gue. Sambil meniup beberapa kali sendok sebelum menyuapkannya ke mulut gue, dia berkata "Sini, aku suapin aja,"
"Asik di suapin," Ujar gue bercanda.
"Nih, aah," ucap Febi setelah ditiup sedikit biar agak dingin, lalu mulai menyuapin gue dengan penuh perhatian.
"Duh mesranya," ejek Chika dari sisi lain kasur sambil mengangkat alisnya. Terus dengan nada menyindir sambil tertawa kecil, Chika bertanya, "Perawatnya cantik ya?"
"Iya cantik deh, Niichan keenakan nih sakitnya," jawab gue dengan senyum tipis, sambil menikmati perawatan yang diberikan Febi.
"Mamam lagi," kata gue agak manja, sambil menunjuk mangkuk soup di tangan Febi.
"Dih, manja banget sih," jawab Febi dengan tatapan penuh kasih, senyumnya lembut, membuat suasana jadi lebih hangat dan romantis.
"Aku tinggal ya," kata Chika sambil melambaikan tangan sebelum keluar dari kamar.
Beberapa menit kemudian, gue menghabiskan soup itu sampai habis.
"Sekarang makan obat ya," ujar Febi dengan lembut, tangannya memberikan segelas air putih dan beberapa butir obat dengan penuh perhatian.
Gue langsung menenggak obat dari dokter itu.
"Bweehhh, pahit banget Feb," keluh gue dengan wajah meringis.
"Namanya juga obat, kan biar cepet sembuh," balas Febi sambil tersenyum manis.
"Give me a kiss, biar makin cepet sembuh," goda gue nakal.
"Mana yang mau di kiss?" tanya Febi sambil menyipitkan matanya dengan gemas.
"Nih," jawab gue sambil menunjuk bibir gue dengan sengaja, masih bercanda.
Ga disangka-sangka, Febi bener-bener mendekatkan wajahnya ke wajah gue. Perlahan-lahan, cuuupppp.
Adegan itu berlangsung cukup lama, namun tetap dalam batasan yang wajar. Ga ada yang melampaui ke hal-hal yang diinginkan.
Gue rela deh sakit terus kalau obatnya kaya gini.