Chereads / Kisah Putih dan Abu / Chapter 26 - Freshmen Camp: The Announcement

Chapter 26 - Freshmen Camp: The Announcement

Teman-teman gue masih seru banget godain Ayu soal Angga. Ayu yang mukanya udah mulai merah karena kesal, masih aja berusaha ngebantah dengan gaya khasnya yang jutek. Semua tertawa lepas, tapi gue justru memperhatikan sesuatu yang aneh. Febi duduk di pojok, diem aja sambil mainin sedotan di gelasnya.

Nggak biasanya dia kayak gitu. Biasanya, dia yang paling rame nimbrung, entah ikut ngeledek atau sekadar ketawa kecil. Kali ini, dia malah kayak tenggelam di dunianya sendiri. Rasa penasaran gue muncul, dan tanpa pikir panjang, gue pindahin posisi duduk ke samping Febi. Biarin aja teman-teman lihat. Toh, mereka udah tahu tentang hubungan gue sama dia, jadi nggak perlu ada yang ditutup-tutupin lagi.

"Kenapa diem aja, Sayang?" tanya gue pelan sambil nyengir, berusaha mencairkan suasana.

Febi ngangkat pandangannya ke arah gue, senyum tipis, tapi matanya kelihatan sedikit sayu. "Nggak apa-apa kok," jawabnya sambil nyengir balik, walau jelas banget itu senyum terpaksa.

"Nggak mungkin nggak apa-apa. Biasanya juga cerewet ikutan nimbrung" Ujar gue sambil menggoda Febi dengan mencubit kecil bibir imutnya itu. 

"Reka!" Seru Febi sedikit tinggi. Dia dengan malu melihat kearah temen-temen kita, seakan berharap ada reaksi dari mereka. 

"Santai aja kali, Feb. Mereka juga udah paham kok," kata gue sambil senyum, mencoba nenangin dia yang kelihatan gelisah.

"Justru itu masalahnya! Aku... khawatir semua orang tahu hubungan kita," balas Febi, nadanya lebih tinggi, ada campuran antara cemas dan frustrasi.

"Itu lagi yang dibahas. Emangnya apa sih salahnya kita pacaran? Apa yang perlu dikhawatirin?" tanya gue, sedikit penasaran tapi tetap santai.

Febi terdiam sebentar, kelihatan banget dia lagi nyari cara buat ngejelasin perasaannya. "Aku cuma... takut aja. Takut kalau orang-orang mulai ngomongin kita. Takut kalau ada yang nggak suka sama hubungan kita, terus malah bikin ribet."

Gue garuk-garuk kepala, agak bingung sama kekhawatiran dia. "Klise banget, Feb. Ada alasan lain nggak?"

Dia nunduk, mainin sedotan di gelasnya, sebelum akhirnya bicara lagi. "Aku... serius." Nada suaranya lebih pelan kali ini, tapi gue tahu itu keluar dari hati dia.

Gue tetap memperhatikan dia, mencoba nyari jawaban di wajahnya yang terlihat agak ragu. Jujur aja, gue ngerasa dia belum bilang semuanya. Gue yakin ada alasan lain yang dia sembunyiin, tapi dia nggak mau cerita itu ke gue. Kenapa, Feb? Kenapa sih elu nggak mau cerita ke gue? Gue cuma mau bantu, bukannya malah bikin elu tambah pusing.

Gue hela napas panjang, berusaha lebih sabar. "Feb, aku di sini buat kamu. Kalau ada apa-apa, aku pengen tahu. Nggak usah ditahan sendiri, oke?"

Febi nggak langsung jawab. Dia cuma ngangguk pelan, tapi tatapannya tetap nggak ke arah gue. Hati gue jadi makin penasaran sekaligus berat. Gue pengen banget dia terbuka, tapi mungkin dia cuma butuh waktu.

***

Kita semua buru-buru masuk kelas begitu bel tanda istirahat selesai berbunyi. Suasana kelas kembali seperti biasa. Teman-teman sibuk dengan kegiatan kecil mereka, ada yang ngobrol, main game di ponsel, atau sekadar baca buku sambil menunggu guru berikutnya datang.

Gue duduk di bangku gue, nyender santai sambil ngelihat Febi yang masih sibuk nyoret-nyoret buku catatannya. Mungkin dia lagi ngulang pelajaran buat mata pelajaran berikutnya. Gue sendiri lebih memilih ngelamun, menikmati waktu sebelum "serangan materi" guru berikutnya.

Tapi suasana kelas yang tadinya santai tiba-tiba berubah begitu pintu kelas kebuka. Bukan guru yang datang, melainkan beberapa kakak kelas yang masuk dengan gaya serius. Gue langsung ngeh, mereka kakak-kakak OSIS. Wajah mereka familiar banget, terutama dari kenangan MOS dulu. Mereka ini yang sempat ngatur-ngatur kita dengan segala aturan absurd waktu itu.

Suasana kelas mendadak serius begitu pintu kebuka dan beberapa kakak OSIS masuk. Mereka tampak berwibawa dengan postur tegap dan senyum tipis yang jelas-jelas cuma formalitas. Wajah mereka familiar banget buat gue—kenangan dari MOS dulu, waktu mereka sibuk ngatur-ngatur kita dengan segala peraturan aneh.

Kelas yang tadi rame langsung berubah hening. Semua mata tertuju ke arah mereka. Ada yang langsung pasang muka serius, ada juga yang sekadar pura-pura antusias. Gue? Cuma nyender santai sambil ngelirik Febi yang duduk di sebelah gue. Dia keliatan penasaran, tapi juga agak males.

"Selamat siang semuanya," salah satu dari mereka buka suara. Suaranya tegas tapi nggak berlebihan, cukup buat bikin semua orang fokus. "Kami dari OSIS datang ke sini buat menyampaikan informasi penting."

Gue lempar pandangan ke arah Febi, dan dia bales tatapan gue dengan ekspresi kayak bilang, 'Apaan lagi nih?' Gue cuma ngangkat bahu, tanda nggak tahu juga.

"Jadi, kita mau ngenalin acara tahunan sekolah kita yang dikhususkan untuk kelas satu," lanjut kakak OSIS yang lain dengan nada lebih ramah. "Namanya Kemah Harmoni. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan rasa kebersamaan, solidaritas, dan rasa kepemilikan terhadap sekolah di antara kalian semua."

Bisik-bisik kecil mulai terdengar dari beberapa sudut kelas. Ada yang keliatan semangat, ada juga yang udah ngeluh pelan-pelan sambil bisik-bisik ke temennya. Gue sendiri agak penasaran, tapi juga was-was kalau acara ini bakalan ribet.

"Nah, di Kemah Harmoni ini, kalian akan diajak untuk mengikuti berbagai aktivitas seru dan menantang, mulai dari kerja sama tim, diskusi, hingga kegiatan fisik di alam terbuka," tambah kakak OSIS itu dengan senyum yang makin lebar. "Ini kesempatan bagus buat kalian kenal lebih dekat sama teman-teman satu angkatan."

Sambil pura-pura ngedengerin si ketua OSIS ngejelasin tentang esensi dari Kemah Harmoni, perhatian gue malah beralih ke salah satu kakak kelas cewek yang berdiri di belakangnya. Wajahnya bener-bener nggak asing. Galak banget, dengan tatapan tajam yang kayak bisa nembus jiwa lu. Kalau Ayu itu kayak kucing garong, kakak kelas ini lebih kayak macan tutul. Aura galaknya bener-bener mendominasi, sampai gue yang biasanya cuek aja jadi agak merinding ngeliatnya.

Kenapa gue tahu dia galak? Karena gue udah pernah jadi korban waktu MOS dulu. Gue, yang waktu itu sok keras kepala dan nggak mau diatur, tentu aja sempet gesekan sama beberapa kakak kelas. Tapi yang paling gue inget, ya debat gue sama dia. Itu adalah momen paling gue sesalin sepanjang sejarah hidup gue di sekolah.

Kenapa nyesel? Karena berdebat sama dia tuh rasanya kayak elu lagi adu argumen sama ratu neraka. Bayangin aja, juteknya Ayu ditambah cerewetnya Vera, terus dicampur sama ngeselinnya mbak Dea, tapi di-KALI LIMA! Tiap kata yang keluar dari mulut dia berasa kayak peluru yang ditembakin tepat ke arah lu, dan nggak ada tempat buat sembunyi. Saking galaknya, bahkan gue yang waktu itu terkenal keras kepala aja sampai kalah telak. Gue cuma bisa diem, berusaha nggak bikin keadaan makin parah.

Saat itu, gue yang tadinya sibuk mengamati kakak kelas macan tutul itu, tiba-tiba perhatian gue beralih ke Febi. Ada yang aneh. Febi duduk di samping gue, tapi tatapan matanya nggak ke arah depan, nggak juga ke gue. Gue perhatiin dia lagi ngeliat ke arah salah satu kakak kelas yang berdiri di depan kelas.

Gue ngikutin arah tatapannya, dan di sana gue lihat seorang kakak kelas cowok. Tipikal banget anak basket: tinggi, badan kekar, muka ganteng dengan senyum pede yang entah kenapa bikin gue nggak nyaman. Si cowok ini juga kelihatan balas ngeliatin Febi, dengan tatapan hangat yang nggak biasa. Nggak cuma itu, gue bahkan nangkep dia kayak ngirim pesan isyarat lewat ekspresi atau gerakan kecil. 

Yang bikin hati gue makin panas, Febi bales isyarat itu dengan senyuman lebar. Senyuman yang biasanya gue dapet. Senyuman yang bikin hati gue selama ini anget dan nyaman. Tapi sekarang? Rasanya kayak dilempar ke jurang lava mendidih. 

Api cemburu gue langsung tersulut. Gue nggak bisa bohong, ngeliat pacar tersayang gue beradu kontak kayak gitu sama cowok lain yang jelas-jelas gue nggak kenal bikin dada gue sesak. Gue coba tahan diri, tapi jari gue udah otomatis ngetuk-ngetuk meja, tanda kalau emosi gue mulai memuncak.

"Feb," panggil gue pelan, mencoba nggak nunjukin kalau gue lagi kesel. "Kamu liatin siapa sih?"

"Hah? Nggak kok, cuma... liat-liat aja," jawabnya sambil buru-buru ngambil posisi lebih tegak. Tapi senyumnya tadi belum ilang dari wajahnya, dan itu bikin gue makin nggak tenang.

Si cowok itu masih berdiri di sana, sesekali melirik ke arah Febi. Gue nggak tahu apa hubungan mereka, tapi satu yang pasti: gue nggak suka. Apa gue harus tanya langsung? Atau tunggu aja sampai sekolah selesai? Di kepala gue sekarang cuma ada satu hal: gue harus tahu siapa dia dan kenapa dia bisa bikin Febi senyum kayak gitu.

Gue coba buat fokus lagi, meyakinkan diri kalau gak perlu terlalu mikirin Febi dan kakak kelas cowok itu. Untungnya, mereka berhenti saling pandang, dan gue bisa narik napas lega, meskipun cemburu masih terus menyelinap di hati gue. Tapi, ya, gue harus bertahan dan gak mau biarin perasaan gue merusak hari itu.

Si macan tutul mulai mengambil alih dan mulai menjelaskan. Suaranya yang tegas dan hampir seperti perintah bikin semua orang di kelas langsung diam, ngedengerin dia dengan serius. "Jadi, perlengkapan yang perlu kalian bawa adalah..." katanya, sambil membaca sesuatu di kertas yang dipegangnya.

Dia mulai nyebutin satu per satu barang yang harus kami bawa. Baju seragam, baju ganti, alat mandi, sampai alat sholat. Tapi ada beberapa barang yang mulai bikin gue ngerasa sedikit khawatir. Tali tambang, kayu bakar, dan beberapa benda yang biasa dipake orang yang pergi ke hutan—itu semua bikin otak gue mikir keras. Ada yang aneh dengan kegiatan ini, nggak kayak camping biasa. 

"Jangan sampe ada yang ketinggalan barang-barang penting ini," kata macan tutul itu, ngeliat sekeliling kelas. "Kalo ada yang lupa, siap-siap aja dihukum, dan kalian nggak bakal bisa ikut kegiatan berikutnya."

Setelah memastikan semua anggota kelas mencatat perlengkapan tersebut dan nggak ada lagi orang yang bertanya, para kakak kelas keluar dari kelas seiring dengan guru fisika yang masuk ke kelas. Mereka mencium tangan ibu guru dan berpamitan. lalu ibu guru memulai pelajaran seperti biasanya.