Chereads / Kisah Putih dan Abu / Chapter 13 - Febi, Backstreet Relationship and Biology

Chapter 13 - Febi, Backstreet Relationship and Biology

Udah seminggu berlalu sejak gue dan Feby resmi jadian. Rasanya waktu berjalan begitu cepat, mungkin karena setiap harinya gue selalu sibuk mikirin dia. Banyak hal yang udah gue lalui bareng dia, dari ngobrol sampai ketawa-ketawa soal hal-hal nggak penting, semuanya terasa menyenangkan. Gue juga sering main ke rumahnya. Rumahnya nyaman, bersih, dan punya aura hangat—kayak pemiliknya. Tapi, satu hal yang bikin gue heran, tiap kali gue ke rumah Febi, orang tuanya hampir selalu nggak ada di rumah. 

Gue masih inget kejadian hari Jumat minggu itu. Waktu gue datang ke rumahnya, untuk pertama kalinya gue ketemu sama nyokapnya. Jujur, gue langsung ngerti dari mana Febi dapet kecantikannya. Nyokapnya kelihatan anggun, dengan senyuman ramah yang bikin gue sedikit grogi. 

"Baru pulang, Nak?" tanya nyokapnya Febi sambil melirik ke arah gue. Pandangannya tajam, seperti sedang memindai setiap detail dari ujung rambut sampai ujung kaki gue. Bahkan, si Item—motor kesayangan gue—nggak luput dari perhatian beliau. Ada jeda kecil sebelum beliau melanjutkan, kali ini dengan pertanyaan yang langsung menusuk.

"Siapa ini, Nak?"

Gue udah siap banget buat ngenalin diri. Bahkan dalam kepala, gue udah latihan kalimat formal biar kesan pertama gue bagus di mata beliau. Tapi sebelum gue sempat buka mulut, Febi buru-buru motong.

"Temen aku, Mah," ujarnya dengan nada yang terburu-buru. Gue bisa lihat sedikit kepanikan di wajahnya, seakan takut nyokapnya tau hubungan kita sebenarnya. "Kebetulan kita pulangnya searah, jadi dia anter aku pulang."

Gue cuma bisa bengong, nggak nyangka dia bakal bilang itu. Hati gue rasanya agak nyesek, tapi gue tetap coba memasang senyum tipis biar nggak keliatan kecewa.

Febi lalu balik badan ke arah gue, ekspresinya berubah. Nada suaranya lebih cepat, sedikit memaksa, seperti berusaha "mengusir" gue sehalus mungkin.

"Dah, makasih banget ya udah nganterin. Kamu lagi buru-buru kan? Hati-hati di jalan ya," katanya sambil melontarkan alasan yang bahkan gue sendiri nggak ngerti dari mana asalnya.

'Buru-buru apaan sih? buru-buru mau ngawinin elu sih iya' pikir gue bingung. Gue cuma bisa bengong, nggak nyangka dia bakal bilang itu. Hati gue rasanya agak nyesek, tapi gue tetap coba memasang senyum tipis biar nggak keliatan kecewa.

***

Hari ini gue bangun lebih pagi dari biasanya. Rasanya agak aneh, karena biasanya gue selalu nunda alarm sampai detik terakhir. Kali ini berbeda bukan karena dikerjain lagi sama Mbak Dea, nggak ada suara alarm yang bikin telinga sakit, dan nggak ada suara ribut-ribut pagi. Tapi karena gue sengaja bangun pagi karena ada urusan yang harus gue selesaikan sebelum jam pelajaran dimulai. 

Semalem kepala gue hampir meledak. Bukan karena stres atau apa, tapi karena gue harus ngerjain tugas pelajaran yang paling gue benci di dunia: Biologi. Iya, pelajaran tentang makhluk hidup dan segala tektek bengeknya yang bikin pusing. Gue sadar banget kalau gue itu benar-benar payah dalam hal nginget sesuatu. Itu sebabnya Biologi jadi musuh terbesar gue. Nama-nama ilmiah makhluk hidup? Sistem organ tubuh? Ya ampun, kayaknya semua itu dirancang khusus buat bikin gue stress. 

Jadi, demi tugas Biologi ini, gue memutuskan buat datang lebih pagi ke sekolah. Bukan buat belajar sendiri—oh, jelas nggak mungkin—tapi buat minta bantuan Nadya. Semalem gue udah minta tolong dia lewat chat, dan untungnya dia mau bantu. Nadya itu orangnya pinter banget, terutama soal Biologi. Kalau ada satu orang di kelas ini yang bisa ngerjain tugas Biologi sambil tidur, itu dia. 

Mungkin lu bertanya, kenapa nggak minta bantuan Febi aja? Kan dia pacar gue. Jawabannya simpel: nggak mungkin banget. Gue sama Febi sebelas-dua belas dalam hal Biologi—sama-sama payahnya. Test Biologi kemarin aja gue dapet nilai 45, sementara Feby dapet 50. Bedanya cuma 5 poin, tapi dua-duanya sama-sama hancur. Jadi, kalau gue minta bantuan dia, rasanya kayak dua orang yang buta nyoba baca peta. 

Jadi, pagi ini, dengan membawa harapan tinggi dan tugas yang masih setengah kosong, gue melangkah ke sekolah lebih awal. Semoga aja Nadya bener-bener bisa nolongin gue, karena kalau enggak, gue bakal terpaksa ngarang bebas dan berharap guru nggak sadar.

Ternyata gue benar-benar datang kepagian. Sekolah masih sepi, nggak ada suara apa pun kecuali langkah kaki gue sendiri yang menggema di lorong. Yang ada cuma Pak Satpam yang lagi duduk santai di posnya, dan petugas kebersihan sekolah yang sibuk menyapu halaman depan. Gue sempat basa-basi sebentar sama Pak Satpam, ngobrol tentang hal-hal nggak penting hanya untuk membunuh waktu. Setelah itu, gue langsung melangkah menuju kelas gue yang ada di ujung lain sekolah.

Kelas gue kosong, seperti yang gue duga. Kursi-kursi berbaris rapi, papan tulis masih bersih tanpa coretan, dan udara pagi yang dingin bikin suasana makin hening. Gue lempar tas gue ke meja dan langsung rebahan di kursi favorit gue di pojok kelas, hasil nego dengan si Vera yang pengen duduk di tengah ruangan biar dekat sama temen-temennya. Otak gue akhir-akhir ini bener-bener penat. Rasanya kayak ada tumpukan file yang nggak pernah selesai di dalam kepala gue.

Banyak yang gue pikirin. Mulai dari kejadian waktu Febi "ngusir" gue di depan nyokapnya. Gue nggak ngerti kenapa dia tiba-tiba bersikap kayak gitu. Lalu ada Chika, adek gue, yang belakangan ini jadi pendiam banget, hampir jarang buka mulut cerewetnya yang biasanya 7x24 jam nyala terus. Setiap gue tanya ada apa dia selalu ada aja cara buat ngalihin topik, kayak ada sesuatu yang dia sembunyiin dari gue. Dan terakhir, masalah tugas Biologi ini—pelajaran busuk yang sukses bikin otak gue meleleh.

Gue menerawang ke langit-langit kelas. Seakan-akan gue bisa tembus ke atas sana, melampaui genteng sekolah ini, dan terbang menuju malam itu. Malam di mana semua terasa sempurna. Malam saat gue jadian sama Febi. Gue ingat jelas perasaan itu—campuran antara bahagia, gugup, dan harapan. Gue ingat gimana senyumnya waktu gue nyatakan perasaan, gimana dia akhirnya bilang "iya," dan gimana hangatnya pelukan pertama gue sama dia.

Lalu ingatan gue terbang lebih jauh, saat gue nganterin dia pulang dari kafe. Si Item melaju pelan di jalanan yang sepi. Angin malam menyapu wajah gue, tapi yang bikin hati gue hangat adalah pelukan Febi di punggung gue. Dia nggak pernah meluk gue seerat itu sebelumnya.

Sampai di depan rumahnya, dia turun dengan perlahan, berdiri di depan gerbang rumahnya yang tinggi. Gue ingat betapa cantiknya dia malam itu, bahkan dengan rambutnya yang sedikit berantakan karena angin. Gue mau memacu si Item untuk pulang, tapi tangan kecilnya menahan gue. Gue berhenti, menoleh, dan menatapnya.

"Thanks ya, malam ini indah banget," ucap Feby sambil tersenyum manis, matanya berkilau di bawah cahaya lampu rumahnya. 

Gue balas senyumannya, mencoba menyembunyikan debaran di dada gue. "Haha, aku yang seharusnya terima kasih sama kamu. Kamu udah mau jadi orang yang spesial buatku." 

Feby tertawa kecil, tapi ada jeda setelahnya. Wajahnya tiba-tiba berubah serius, seperti ada sesuatu yang dia pikirkan. Gue perhatikan dia, menunggu apa yang mau dia katakan. 

"Tapi…" katanya pelan. 

"Iya?" Gue mencondongkan tubuh sedikit, memastikan gue nggak melewatkan satu pun kata yang keluar dari bibirnya. 

"Tapi jangan bilang siapa-siapa dulu. Tentang kita."

Hening. Gue diam, mencoba memahami apa yang baru saja dia katakan. Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi bagi gue terasa rumit. Kenapa? Apa alasannya? Gue nggak bisa langsung menemukan jawaban. 

"Kita… backstreet?" tanya gue akhirnya, berusaha mengurai teka-teki di kepala gue. 

"Iya," jawab Feby sambil mengangguk pelan. Matanya menatap gue, seolah meminta pengertian tanpa perlu menjelaskan. 

Ada banyak hal yang pengen gue tanyain saat itu. Kenapa harus sembunyi-sembunyi? Apa yang dia takutkan? Tapi gue tahan semuanya. Gue nggak mau bikin suasana yang indah ini berubah canggung. 

"Oh… yaudah, kalau itu yang bikin kamu nyaman," balas gue akhirnya, meski dalam hati gue nggak sepenuhnya yakin. 

Feby tersenyum lega, seperti beban besar baru saja terangkat dari pundaknya. Senyumnya masih manis seperti biasanya, tapi kali ini ada sesuatu di baliknya—rasa tenang yang mungkin dia cari sejak awal. Dia menggenggam tangan gue erat, seolah ingin memastikan gue tetap di sisinya, tetap mendukung dia tanpa mempertanyakan apa pun. Gue balas senyumannya, mencoba meyakinkan dia kalau semuanya baik-baik aja.

Tapi, di balik senyuman itu, hati gue gelisah. Ada satu kata yang terus terngiang di kepala gue: kenapa?