Setelah mengumpulkan informasi tentang si monyet yang gangguin adek gue itu , sekarang gue udah siap buat memburu dia. Namanya Bimo, anak SMA swasta di kota gue. masih kelas 1 sama kaya gue. Gue udah tahu dimana dia biasanya nongkrong, kapan dan sama siapa aja. Dia biasanya nongkrong bareng beberapa temennya sore hari di warung jus yang nggak jauh dari tongkrongan gue dulu.
Gimana gue tahu soal semua ini? Jangan remehin seorang kakak yang marah. Gue tahu dia sekolah dimana dari adek gue. Dari sana gue langsung tanya temen SMP gue yang juga sekolah disana. Setelah gue ceritain apa urusan gue sama si bajingan Bimo ini, temen gue tanya temennya lagi, dan temennya itu tanya temen yang lain. Seakan alur takdir berjalan seperti gerigi yang berputar satu demi satu menyusun sebuah mesin penghukum untuk membalaskan dendam adek gue. Untungnya atau sialnya bagi si Bimo, reputasinya juga sangat jelek dan banyak orang yang memang nggak suka sama dia.
Malam itu, gue kumpulin sahabat lama gue Angga, Adit, sama Fahmi, temen baru gue di SMA di tongkrongan lama kita. Gue jelasin situasi sejelas mungkin tanpa lebay, tapi mereka udah langsung ngerti dari nada suara gue. Ini bukan sekadar ngajak ribut biasa, ini soal adik gue.
"Jadi dia nongkrong di warung jus itu?" tanya Angga, sambil ngunyah keripik dari meja.
"Iya, hampir tiap sore dia di sana. Gue nggak mau nunggu lama-lama. Sekarang kita samperin dia," jawab gue tegas.
"Lu yakin mau ngajak kita semua? Takutnya masalah malah makin ribet," Fahmi ngomong dengan nada serius. Dia emang tipe yang suka mikir panjang.
"Makanya lu ikut, Mi. Biar situasi nggak chaos. Gue cuma mau ngomong awalnya, tapi kalau dia macem-macem... ya lu tau lah," kata gue sambil nutup jaket.
Adit cengengesan. "Santai aja, bro. Lu ada kami. Kalau dia macem-macem, udah pasti kita backup."
Gue mengangguk. Ini bukan soal nunjukin siapa yang lebih jago atau nyari masalah baru. Gue cuma pengen si Bimo tahu dia nggak bisa main-main sama Chika, dan dia harus tanggung jawab atas perbuatannya.
Gue dan anak-anak mulai jalan ke arah warung jus itu. Langkah-langkah kita pelan, tapi penuh tujuan. Mungkin sebagian besar orang, kalau keluarganya disakiti, udah nggak bakal mikir dua kali buat langsung hantam orangnya sampai babak belur. Tapi gue beda. Bukan karena gue nggak marah—gue marah banget, bro. Kalau aja dosa dan hukum nggak jadi penghalang, mungkin sekarang gue udah bawa golok sambil siap-siap main hakim sendiri. Tapi pikiran gue anehnya justru lebih jernih dari biasanya. Rasanya kayak semua kemarahan itu malah bikin gue mikir lebih tajam.
Gue jalan paling depan, diikuti Angga dan Fahmi di belakang. Angga keliatan tenang, tapi tangannya udah ngekep sesuatu di saku jaketnya. Gue harap itu bukan pisau, tapi gue tau dia siap kalau situasi tiba-tiba berubah kacau. Fahmi, dengan gaya khasnya, cuma jalan pelan-pelan sambil sesekali melirik kanan kiri. Dia tipe orang yang nggak banyak omong, tapi sekali dia gerak, lo tau dia nggak main-main.
Adit beda lagi. Dari awal dia udah bilang nggak bakal ikut campur kalau berakhir ribut besar. Bukan karena dia pengecut, tapi lebih karena dia realistis. "Gue supir kalian, bro," katanya sambil nunjuk mobil bokapnya yang diparkir di ujung gang. "Kalau gue babak belur juga, pulang mau pake apa? Nggak mungkin gue nyetir sambil mewek kesakitan." Logikanya emang nggak bisa dibantah. Kita butuh dia buat bawa kita semua balik dengan selamat, kalau nggak ada yang remuk parah setelah ini.
Di kepala gue, bayangan kejadian ini malah bikin gue ngerasa kayak Genji Takiya di Crows Zero. Bukan karena gue mau gaya-gayaan, tapi suasananya bener-bener mirip. Gue jalan paling depan, kayak mimpin pasukan siswa Suzuran buat ngelawan musuh mereka. Bedanya, ini bukan film. Ini realita. Dan musuh gue cuma satu orang plus beberapa bajingan, bukan geng gede kayak di film. Tapi buat gue, satu orang ini lebih dari cukup buat bikin darah gue mendidih.
"Coy, jangan langsung gebrak ye. Sabar dulu, liat situasi, coy," kata Fahmi sambil melirik gue dengan ekspresi serius.
"Sip, gue juga tau," jawab gue singkat.
Kita masuk ke warung jus itu dengan langkah santai, sebisa mungkin nggak bikin heboh. Gue langsung cari tempat duduk yang strategis, cukup dekat sama segerombolan anak SMA yang lagi asik ngobrol. Dari seragamnya, gue langsung yakin mereka dari sekolah yang sama kayak si Bimo.
"Bu, jus alpukatnya satu," gue pesan minuman biar keliatan natural, seperti pengunjung biasa.
"Saya es jeruk, Bu," Angga ikut-ikutan mesen, berusaha menutupi kegugupannya.
Fahmi nggak bilang apa-apa, dia cuman duduk di ujung kursi sambil matanya awas, ngeliatin sekitar kayak agen rahasia. Sementara itu, gue duduk santai, nyender di kursi, tapi kuping gue kerja keras buat nangkep obrolan anak-anak SMA itu. Gue nggak mau gerak sebelum gue yakin betul mana si Bimo.
Dari pojokan, gue liat ada seorang cowok dengan rambut dicat pirang agak kusam, duduk sambil ketawa-ketiwi paling keras di antara temen-temennya. Gesturnya sok banget—kayak penguasa warung jus. Gue yakin, itu pasti dia. Si brengsek yang udah bikin adik gue nangis.
"Lu yakin itu dia?" Angga bisik pelan sambil nyeruput es jeruknya.
"Yakin banget," jawab gue tanpa suara, cuman gerakin bibir. Mata gue nggak lepas dari si pirang itu.
"Mi, gimana?" Gue ngelirik Fahmi, yang dari tadi duduk diem-diem.
"Tenang, bro. Kita tunggu momen yang pas. Jangan bikin ribut dulu," jawab Fahmi dengan suara rendah tapi tegas.
Gue angguk. Ini soal waktu. Gue nggak mau gegabah dan bikin semua orang di sini jadi saksi mata yang bisa ngelaporin kita ke pihak sekolah atau yang lebih parah, ke polisi.
Jus alpukat gue dateng, dan gue minum pelan-pelan sambil terus mantau gerak-gerik si pirang. Obrolannya mulai kedengeran. Dia lagi cerita sesuatu ke temen-temennya, ketawa-ketawa sambil nyengir sok. Gue tahan diri. Dalam hati, gue udah siap banget buat ngebantai dia, tapi gue harus sabar.
"Bim, cewek lu yang anak SMP itu gimana?" salah satu dari mereka yang berambut cepak nanya ke si pirang.
"Oh, yang itu?" Bimo jawab santai sambil nyender di kursinya. "Cantik sih, tapi masih bocah."
"Bocah gimana Bim?" tanya temannya
"Iya," lanjutnya, "Gue baru pegang toket dikit aja ngamuk, udah itu pake mewek segala. Apaan coba?"
Mereka semua ketawa, ngakak kayak orang nggak punya hati.
"Parah lu, men!" salah satu temennya nimbrung sambil tepuk bahu si Bimo.
Kedua tangan gue udah ngepal kuat di bawah meja. Tulang gue hampir bunyi. Gue liat Angga dari sudut mata gue, dia juga udah keliatan tegang, tapi dia nggak bergerak. Fahmi ngeliatin gue dengan kode, kayak mau bilang, Santai, Coy. Tunggu momen.
"Kata lu doi keturunan Jepun gitu ya, bray?" suara berat temannya yang bertubuh besar terdengar sambil terkekeh. "Minta gue fotonya dong, buat bahan coli, hahaha."
"Anj*ng lu! Hahaha..." sahut Bimo sambil ngakak. "Ntar gue kasih lah. Kalau dipikir-pikir, nyokapnya kan orang Jepang, ya? Eh, apa jangan-jangan dia tuh anaknya artis bokep? Pantesan cakep!"
Tawa mereka membahana, nggak peduli sama siapa pun yang denger. Kepala gue mendidih, rasanya kayak bom waktu yang udah detik-detik meledak. Semua kata-kata itu bukan cuma ngerendahin Chika, tapi juga nyokap gue, keluarga gue. Gue genggam erat gelas jus di tangan gue, mengambil nafas panjang dan membuat pikiran gue lebih tenang.
"Dit," kata gue pelan sambil bangkit dari kursi. Tatapan gue lurus ke arah mereka, napas gue mulai berat.
"Oi," jawab Adit santai, nggak terganggu sama ketegangan yang mulai naik.
"Lu bawa duit banyak, kan?" Gue ngelirik Adit sambil nunjuk gelas di tangan gue.
Adit ketawa kecil, udah ngerti arah obrolan ini. "Santai, bos. Sana lu pergi, nitip tonjokan sekalian buat muka brengsek itu, ya?" ujarnya sambil jalan ke arah penjaga warung. Sepertinya dia mulai negosiasi soal ganti rugi, seolah udah tau bakal ada keributan sebentar lagi.
Gue samperin meja si Bimo dengan langkah santai, meskipun dalam hati gue udah kayak gunung berapi yang siap meledak.
"Lu yang namanya Bimo?"