Kamu tau apa yang bisa membuat seseorang menjadi lebih baik? Teguran dari Allah. Setiap saat Allah selalu mengirimkan sesuatu yang membuatmu sadar dengan kesalahanmu, jika kamu merasa tidak menerima teguran itu maka artinya kamu dalam bahaya besar.
Aku merenung di malam yang sunyi, menghirup udara kota Malang yang dingin di malam hari membuatku menjadi lebih tenang. Kuingat kembali masa lalu yang memalukan dan sangat ingin kuhapus dari hidupku. Ah, setiap kali aku bengong ingatan memalukan itu selalu menghampiri pikiranku. Lagi-lagi rasa memalukan itu membuatku ingin sekali menyembunyikan diri dari dunia ini. Aku tidak ingin mengingat masa dimana aku dijadikan sebagai seorang selingkuhan oleh laki-laki biadab itu. Rasanya tidak adil perempuan yang sebelumnya tidak pernah berpacaran tiba-tiba menjadi selingkuhan di pengalaman cinta pertamanya.
Aku diam memandangi padatnya rumah di kota Malang dari atas komplek perumahan Citra Garden. Aku selalu melakukannya setiap selesai isya. Rasanya aku menjadi lebih tenang saat terdiam disana. Adakah orang yang semenderita diriku? Aku selalu bertanya-tanya sedemikian. Tapi, ada satu hal yang membuatku bersyukur meskipun sejak kecil memiliki hidup yang berat. Aku bersyukur menjadi Islam, aku bersyukur memiliki keluargaku meskipun mereka tidak bisa kuajak menjadi Islam, aku bersyukur memiliki orang-orang yang sekarang hadir di hidupku, aku bersyukur sampai di Malang yang membuatku seolah hidup dalam kedamaian. Entahlah, aku ingin menangis sambil bersyukur.
Baiklah akan kuceritaan hidupku di sini. Tempat dimana aku menemukan orang-orang yang membawaku dari keterpurukan, menghapus kegelapan yang menghalangi cahaya yang ingin masuk ke hatiku. Aku sangat ingin menceritakan seberapa banyak kebaikan Allah telah menitipkan aku hidup yang seberat sekaligus seindah ini. Dari segi apapun, setiap aku mengingat nama Allah, hatiku mekar seperti sedang jatuh cinta untuk pertama kalinya.
"Disini toh, Mbak Jessy. Saya lho dari tadi nanya Ustadz Adam tapi beliau bilang Mbak Sari nda ada keluar dari kantor tadi," sapa seorang perempuan berkerudung panjang menghampiriku. Suara itu sudah kukenal tanpa harus melihat sumbernya.
"Saya baru jam 4 tadi habis dari Surabaya dulu baru ke Malang. Biar bagaimanapun, rumah saya kan ada di Surabaya," tambahnya ikut duduk di sampingku. "Mbak Jessy ngapain toh disini?" Tanyanya dengan logat meddoknya yang khas Jawa banget.
"Mbak Ayu tuh yang ngapain disini," balasku dengan tawa kecil. "Saya Cuma suka aja sama pemandangannya, Mbak," tambahku tanpa menatap wajah perempuan lembut itu. "Gimana sama Mas Farid? Aman kan rumah tangganya, Mbak?" Tanyaku sebenarnya hanya ingin mengalihkan topik.
"Ya jelas toh Mbak. Mas Farid itu kan baik. Dia itu orangnya lembut dan penyayang, Mbak Jessy. Jadi, ojo khawtir sama saya," jawabnya sangat senang.
Ah benar sekali, aku sudah lama tidak bertemu perempua ini. Terakhir kali aku bertemu dengannya saat sebelum aku kembali ke Sumatera Utara setelah masa pertukaran mahasiswaku sudah habis. Saat itu dia sangat tidak rela membiarkan aku kembali ke Sumatera Utara karena takut keluargaku mungkin akan membunuhku. Dia sangat menyayangiku dan dia menganggapku seperti adik kandungnya sendiri. Aku selalu berharap dia akan mendapatkan hidup yang bahagia setelah pernikahannya 5 bulan yang lalu. Sayang sekali aku tidak bisa ikut saat itu, padahal 4 hari setelah akadnya, aku berangkat dari Medan ke Surabaya untuk melanjutkan hijrahku.
"Mbak Jessy nanti kalo sudah punya calon, kenallin dulu yo Mbak sama saya. Saya Ndak rela kalo Mbak Jessy menikah sama laki-laki yang salah," ujarnya dengan wajah yang lembut dan penuh kasih sayag. Meskipun sudah kepala 3, wajahnya memang selalu secantik dan seawet ini. Aku tidak tau kenapa dia dulu kesulitan mendapatkan pasangan. Tapi, Alhamdulillah sekarang dia menikah dengan laki-laki yang penyayang dan sabar. Mungkin itu adalah hadiah dari Allah karena sudah sangat sabar dengan apa yang dihadapinya selama beberapa tahun terakhir.
Ah, dia bilang dia tidak rela aku bersama laki-laki yang salah. Aku sempat melakukannya ketika aku sudah bertekat untuk hijrah. Laki-laki yang hanya kukenal dari virtual saja. Dia mengatakan semuanya seolah itu adalah kebenaran. Mengatakan dia tidak pernah berpacaran, dia tidak memiliki pacar, dia akan menikahiku. Bodohnya diriku yang percaya begitu saja pada kata-kata manis itu. Hingga suatu hari pacarnya sendiri yang menelponku melalui nomornya sendiri. Huh, seakan duniaku runtuh saat itu juga. Padahal aku berusaha untuk tidak melirik laki-laki manapun karna hatiku sudah dipenuhi olehnya. Bodohnya aku tertipu dua kali oleh pria brengsek itu. Sungguh apakah aku sejatuh cinta itu pada pria yang hanya kukenal dari game saja? Memangnya apa standar yang bisa membuatku jatuh cinta? Sebelumnya, aku sama sekali tidak peduli dengan pria manapun yang kutemui, tapi dia membuatku gila dalam beberapa waktu dengan sangat mudah.
"Mbak Jessy? Mikirin opo toh? Omongan saya dari tadi nda ada yang dijawab." Mbak Ayu membuyarkan pikiranku. Sial, aku malah terdiam memikirkan laki-laki bengsek itu.
"Nggak ada, Mbak Ayu. Saya cuma lagi mikir, laki-laki seperti apa ya yang akan saya pilih?" Jawabku berbohong.
"Saya tuh yakin, Mbak Jessy pasti dikasih jodoh yang baik. Mbak Jessy kan baik banget sama semua orang," ujar Mbak Ayu yakin.
Aku juga berharap seperti itu jika aku memiliki niat lagi untuk menikah. Ada banyak hal yang membuatku trauma menerima laki-laki. Apalagi laki-laki yang selalu menunjukkan dia adalah orang sholeh. Aku sudah tidak mau percaya pada laki-laki yang dicover dengan postingan-postingan dakwah dan sebagainya. Aku hanya berharap tidak akan ada laki-laki bajingan yang menghampiri hidupku lagi.
"Aku harap yang dikatakan oleh Mbak Ayu menjadi bagian dari hidupku, Mbak," ujarku lirih. Aku sangat tidak mempercayai laki-laki manapun lagi. Bahkan jika aku bertemu dengan laki-laki yang terkenal karna penghafal Alquran atau terkenal karena dia sholeh, aku bepikir itu hanya sampul yang menutupi keburukan mereka. Sekarang aku hanya ingin memberikan apapun yang sanggup kuberikan pada Allah. Hanya Allah yang mampu menerima semua kekurangan yang kumiliki. Setiap kali aku terpuruk, hanya Allah yang mau mendengar ceritaku tanpa mencemoohku. Hanya Allah yang mau mendengarkan cerita memalukan yang tak ingin kuceritakan pada siapapun. Aku akan terus ingat hari pertama aku jatuh cinta pada Allah, hari pertama aku belajar sholat sendiri hanya dengan mengandalkan youtobe, hari pertama aku mengucapkan syahadat dengan sungguh-sungguh. Aku akan ingat hari dimana ketika aku diperingati oleh Allah bahwa aku memiliki hubunga harom dengan laki-laki sialan itu, hari dimana Allah menyelamatkanku dari tanah yang tak mengizinkanku menggunakan jilbab, hari dimana Allah menghapuskan kegelapan yang saat itu membuatku berpikir untuk mati, hari dimana Allah memperkenalkanku dengan teman-teman yang baik yang memberikan dukungan agar aku tetap bertahan menjadi seorang Islam, hari dimana Allah terus membangunkan aku ketika subuh saat aku meminta agar tidak telat subuh karena mengerjakan tugas sampai begadang, hari dimana Allah terus mengizinkanku untuk sholat ketika aku berada di tempat yang tidak mengizinkanku untuk sholat.
Kurang baik apa lagi Allah padaku? Hanya satu orang laki-laki brengsek yang menyakitiku dan mempermalukanku di masa lalu tidak akan pernah membuat cintaku pada Allah memudar. Aku menganggapnya sebagai peringatan keras dari Allah karena Allah cemburu aku lebih mencintai manusia daripada-Nya. Allah tidak ingin perjuanganku jadi Islam sia-sia karena hubungan harom yang kumiliki. Begitulah aku selalu memikirkan kesalahanku yang fatal karena laki-laki.
***
"Mbak Jessy mau mampir dulu belanja? Aku nanti mau ngisi stok soale," ujar Mbak Nuri pada Jessy sembari mengeluarkan motor vespa dari garasi kantornya. Kami memang selalu pulang bersama menggunakan motor yang diberikan kantor pada Mbak Nuri. Kami bekerja di tempat pengurusan para mualaf sepertiku. Mbak Nuri yang mengurus pemasukan dan pengeluaran kantor, sementara aku bertugas mengatur tulisan-tulisan yang akan dimuat di website kantor.
"Boleh, Mbak. Paling mau beli odol sama detergen doang sih," balasku.
Kami menyusuri jalan perumahan Citra Garden dengan suara motor vespa yang memecah keheningan. Biasanya kami memang jarang mengobrol di jalan, apalagi kami pulang dari kantor setiap selesai maghrib. Saat di depan supermarket, Mbak Nuri memarkirkan motornya. Aku masuk lebih dahulu ke dalam supermarket.
"Aw!" Rintih seorang anak kecil yang tak sengaja menabrakku karena berlarian di dalam supermarket.
"Alif!? Kamu ngapain lari-lari di supermarket, adek!?" ujarku membantu dia berdiri. "Kamu sama siapa di sini?" Tanyaku lagi.
"Aku sama paklik," jawab anak itu mengarahkan pandangannya pada laki-laki yang berjalan menghampiri kami.