"Maaf, saya hanya melirik sesekali saja. Tampaknya, Mbak Jessy serius sekali mengerjakan tulisan itu. Saya tidak menyangka Mbak Jessy setidaknyaman itu," ujarnya dengan rasa bersalah.
"Apa sungguh anda tidak punya pekerjaan lain? Saya benar-benar risih dipandangi seperti itu sejak tadi. Lagi pula mengapa anda malah duduk disana?" Tanyaku meluapkan kekesalanku.
"Saya ingin melihat-lihat saja."
"Kembalilah ke rumahmu, Tuan. Saya sangat tertekan dengan kehadiran orang baru yang asing di sekitar saya." Pintahku seolah membujuk namun dengan raut wajah yang sangat kesal.
"Saya harap suatu saat kita bisa berteman. Saya yakin Mbak Jessy adalah orang yang baik hati," ucap Alzam dengan lembutnya.
Sialan, aku terdiam sejenak dengan kata-kata itu. Aku teringat laki-laki brengsek yang membohongiku itu. Dia juga berbicara selembut itu padaku. Melontarkan kata-kata hangat yang membuatku nyaman. Kata-kata yang selalu ingin kudengar dari orang yang berinteraksi denganku. Ada apa dengan laki-laki di depanku ini? Mengapa dia begitu pandai berbicara seperti itu? Ah sudahlah, aku sudah pernah merasakan kata-kata manis dari pria brengsek yang menutupi kebrengsekannya dengan agama. Aku sudah muak dengan laki-laki seperti ini.
"Mbak Jessy kalau capek monggo istirahat dulu. Soalnya dari tadi Mbak Jessy Cuma istirahat ketika mau sholat dzuhur sama ashar saja," ujar Ustadz Gading padaku. Memang dari tadi aku bahkan belum makan siang saking seriusnya. Aku ingin menyelesaikan 4 riwayat sekaligus yang akan aku upload ke website kantor. Minggu ini kami kedatangan 7 orang mualaf sekaligus. Itu adalah pencapaian yang tinggi dibandingkan dengan minggu-minggu biasanya.
"Iya Pak Ustadz. Ini juga sebentar lagi selesai," jawabku ramah. Aku memang tidak bisa membenci Ustadz Gading. Bagiku dia sudah seperti pengganti ayahku. Dia sangat baik dan memperlakukan semua orang dengan hangat. Dia berbeda dengan kebanyakan orang-orang yang kutemui.
"Mbak Jessy mau berjalan-jalan sebentar dengan saya?" Tanya Alzam padaku dengan ramah.
"Saya tidak suka berduaan dengan laki-laki," jawabku singkat sambil melanjutkan tulisanku.
"Bagaimana kalau kita mengajak Alif?" Tanyanya tak menyerah.
Ah sialan laki-laki satu ini. Apa mau anak ini? Mengapa dia begitu susah dijauhi? Apakah dia memang laki-laki yang tidak pernah berinteraksi dengan perempuan seperti yang dikatakan oleh Mbak Nuri? Aku rasa dia adalah laki-laki yang memberikan harapan palsu pada banyak perempuan. Aku tidak percaya dia adalah laki-laki yang tidak berbicara dengan dengan perempuan ketika dia mendekatiku dengan sangat pandai.
"Ndapapa Mbak Jessy, urusan pekerjaan itu bisa belakangan. Kalau mau jalan bertiga, monggo," ujar Ustadz Gading malah mendukung laki-laki yang satu ini.
Mengapa semua orang begitu ingin mendekatkanku dengan laki-laki aneh ini? Apakah mereka benar-benar ingin aku hidup bersama laki-laki aneh ini?Bukan hanya aneh, dia juga menyebalkan sekali.
"Saya masih ingin di kantor mengerjakan tulisan ini, Pak Ustadz." Aku berusaha mengelak. Aku sangat tidak nyaman dengan laki-laki yang satu ini.
Skip>>>
Baiklah. Apa sekarang? Apa aku harus membuat alasan untuk kembali ke kantor? Hanya keheningan yang menguasai perjalanan kami. Padahal hanya berjalan disekitar komplek perumahan ini saja, tapi canggungnya benar-benar membuatku ingin pingsan.
"Kenapa kalian berdua tidak menikah? Kata umi, kalian berdua umurnya sama." Ucap Alif memecah keheningan.
Aku melotot tak percaya dengan ucapan anak kecil berusia 6 tahun ini. Apa perlu kujewer telinganya karena sembarangan mengatakan hal yang tidak ingin kudengar?
"Umur bukan penentu segalanya. Kalau sehati, baru boleh menikah," jawab laki-laki gila itu begitu santainya.
"Ayo kembali ke kantor. Rasanya aku ingin mandi suci sekarang," ucapku menahan rasa kesal.
"Mbak Jessy nda mau sama Paklikku? Disini, dia sangat banyak disukai perempuan. Ada beberapa yang sampai membelikanku jajanan," ucap Alif. Aku mengalihkan pandanganku pada Alzam menyiratkan maksud agar dia menyuruh Alif untuk diam. Alzam seperti pura-pura tidak tahu apa maksudku. Dia malah tersenyum seolah meledekku bahwa kali ini akulah yang kalah. Ada apa dengan pria gila ini? Apa dia benar-benar sebodoh ini?
"Mbak Jessy mau mencoba ke sungai yang ada di atas sana? Pemandangannya sangat hebat soalnya," ajaknya padaku. Apakah dia buta? Dia tidak melihat wajahku yang sudah muak sedari tadi berjalan bersamanya dan anak kecil yang nakal ini!? Meskipun sudah setengah tahun lebih aku tinggal di Malang, sebenarnya aku memang belum pernah berjalan sampai sejauh ini mengitari komplek kantorku.
"Ayo, Mbak. Disana sangat cantik. Airnya sangat jernih sekali," ajak Alif langsung menarik tanganku tanpa persetujuanku. Alzam sialan itu malah tertawa di belakangku. Benar-benar dua laki-laki yang menyusahkan. Aku ingin sekali menjewer telinga anak nakal ini.
Kami benar-benar sampai di tempat itu. Sunyi sekali, tapi aku bisa merasakan hawa sejuk yang juga udara yang sehat disini. Apakah aku terlalu serius bekerja sampai tidak tau ada tempat yang sehebat ini di dekat kantorku? Aku tidak menyangka ini sangat hebat. Aku menarik gamisku menginjakkan kakiku di pinggiran sungai kecil yang mengalir begitu jernih. Airnya yang dingin tapi sangat menyejukkan kaki mungilku yang putih.
Aku tersenyum sekilas. Aku merasa tenang sekarang.
"Cantik, bukan?" Tanya Alzam berdiri di belakangku. Aku menoleh kearah Alzam. Aku mengangguk sembari tersenyum tenang. Dia benar. Ini adalah suasana yang sangat aku sukai. Yang sangat ingin aku rasakan setelah sekian lama selalu tersiksa oleh ingatan yang memalukan.
"Mbak Jessy itu selaras dengan sungai itu."
Bersambung....