Chereads / Cahaya di Balik Tirai / Chapter 3 - Menyebalkan...

Chapter 3 - Menyebalkan...

 "Aku sama paklik," jawab anak itu mengarahkan pandangannya pada laki-laki yang berjalan menghampiri kami.

 "Kamu iki lho, Lif. Sing hati-hati kalo jalan. Jangan mblayu koyo ngene lho, kan jadi jatuh." Pria itu mengomeli Alif. Aku baru melihat pria ini di daerah sini. Apalagi, Alif memanggilnya paklik. Apa dia adik dari Ustadz Gading? Padahal aku mengenal orang-orang yang dekat dengan keluarga mereka, mengapa aku baru kali ini melihat laki-laki ini!?

 "Maafin keponakan saya yo Mbak," ucapnya padaku dengan lembut.

 "It's okay. Aku ngga apa-apa," jawabku datar.

 "Mbak Jessy mau belanja? Sama Mbak Nuri juga toh?" Tanya Alif tiba-tiba menggenggam tanganku.

 "Kamu mau beli apa, tiba-tiba baik gini sama Mbak," tanyaku peka dengan sifat licik anak yang manis ini. Kami berjalan menuju rak jajanan mengabaikan laki-laki yang datang bersama Alif ke supermarket.

 "Maaf, biar saya aja, Mbak!" Sela laki-laki itu membuatku dan Alif menoleh kepadanya.

 "Mbak Jessy. Odolnya malah abis. Kita cari di tempat lain nanti, boleh tah Mbak?" Tanya Mbak Nuri dari belakang laki-laki itu. Laki-laki itu menoleh kea rah Mbak Nuri yang mendekat ke kami. "Mas Alzam!? Lho Mas Alzam toh. Dari tadi aku dari jauh lho perhatiin, iku koyo Mas Alzam rupa-rupane memang Mas Alzam." Mbak Nuri tampak bersemangat dengan kehadiran laki-laki ini. Namanya Alzam ternyata.

 "Mbak Jessy, ini Mas Alzam. Adeknya Mbak Aisyah. Selama ini beliau ini kuliah di Turkey. Kayaknya baru pulang," ujar Mbak Nuri memperkenalkan pria itu. "Mas Alzam, ini Mbak Jessy yang sekarang kerja di Al-Falaq ngurusin tulisan-tulisan website," tambahnya memperkenalkanku pada laki-laki itu.

 Aku membungkuk tersenyum simpul. Wajahku datar. Begitula aku tidak ingin berkenalan dengan laki-laki sebenarnya. Mungkin aku tidak ingin mengenal laki-laki manapun karena rasa sakit di hatiku masih tertinggal sampai sekarang. Aku lelah memikirkannya, tapi aku tidak bisa melupakan saat itu. Harusnya aku tidak membiarkan laki-laki itu masuk ke dalam kehidupanku. Aku sampai menyerah untuk melupakannya, padahal wajahnya saja aku tidak tau.

 "Mbak Jessy yang mualaf itu ya?" Tanyanya padaku saat kami menonton Alif memilih cemilan yang dia mau.

 "Iya," jawabku singkat seolah menunjukan bahwa aku tidak ingin melanjutkan obrolan dengan Alzam.

 "Semangat, Mbak," tambahnya seolah peka bahwa aku tidak ingin berbicara banyak.

 Setelah dari supermarket, kami berpisah karena ingin ke kedai lain mencari odol yang tidak diboikot. Kami menjauh dari tempat tadi sembari diperhatikan dua laki-laki yang berbeda usia itu.

 "Mbak Jessy tadi ngobrol sama Mas Alzam? Mas Alzamnya bilang apa karo Mbak Jessy?" Tanya Mbak Nuri sembari mengendara.

 "Cuma nanya apa aku yang mualaf itu, trus disuruh semangat. Itu doang," jawabku datar.

 "Padahal dia itu orangnya gamau ngajak orang ngobrol, Mbak. Kecuali kalo sesama laki-laki. Dia orangnya selalu menjauh dari lawan jenis. Bahkan dia gamau sekedar ngelirik perempuan. Liat aja tadi bahkan aku cuma disenyumin sekilas. Mana tau Mbak Jessy ad kesempatan, gapapa Mbak coba buka hati buat Mas Alzam," ujar Nuri seolah ingin mencomblangkanku dengan Alzam.

 "Belum kepikiran ke sana, Mbak. Aku lho baru 23 tahun," jawabku to the point.

 "Mbak Jessy iki lho, orangnya dingin tenan sama laki-laki. Sama laki-laki manapun selalu nda pernah ngebuka hati. Bahkan sama teman sekantor juga Mbak Jessy jarang banget ngomong. Kalo bukan karena penting gabakal ngomong. Mas Alzam tuh baik lho, Mbak. Dia benar-benar menunjukkan diri sebagai seorang Islam, bukan cuma seorang muslim." Mbak Nuri masih saja belum menyerah.

 "Masih terlalu muda buat berpikiran ke arah sana, Mbak Nuri. Jangan dibahas lagi ya!?" Pintaku.

 "Yowes lah Mbak," jawabnya kecewa.

 Sungguh, aku muak pembahasan tentang jodoh. Aku tidak ingin mempercayai laki-laki manapun lagi. Aku hanya ingin hidupku tenang tanpa adanya orang yang masuk dalam hidupku. Aku lelah lebih memperhatikan orang lain daripada diriku sendiri. Aku juga tidak ingin memberikan apa yang selama ini bahkan tidak aku dapatkan dari siapapun. Menjadi tulus adalah hal yang melelahkan. Ketika kita hanya memberi tanpa mendapatkan imbalan, ketika kita selalu mengharapkan seseorang benar-benar menyukai kita, ketika kita menjadikan seseorang lebih berharga dari Allah, dan yang mereka berikan hanyalah sakit dan luka yang membekas tanpa tau cara mengobatinya, disitulah kita akan menjadi orang yang sama sekali tidak mau memberikan ketulusan itu lagi.

 ***

 

 Aku sedang asyik mengetik. Aku memang sudah merasa diperhatikan sejak tadi. Sebenarnya aku ingin menegurnya, tapi aku tidak ingin kegeeran. Kutahan rasa kesalku sambil fokus pada komputer yang ada di depanku. Sudah sejam sejak aku fokus, aku tetap tidak bisa mengerti mengapa laki-laki yang satu ini tetap memandangiku dari tempat duduknya. Ah sialan. Rasanya aku ingin menegurnya. Bukankah Mbak Nuri bilang dia sama sekali sangat menghindari interaksi dengan perempuan? Mengapa dia terus menatapiku seperti itu tanpa rasa berdosa sedikitpun? Ah sialan. Lagi-lagi aku bertengkar dengan pikiranku. Aku tidak tau kenapa dia duduk disana. Apakah dia akan ikut bekerja di kantor kecil ini? Lalu apa gunanya dia kuliah di luar negeri kalau ujungnya hanya menjadi karyawan kantor kecil yang tugasnya adalah mengurusi para mualaf? Baiklah, sekarang aku mencoba menenangkan diri dulu. Sebaiknya aku pura-pura tidak tau saja.

 "Maaf, saya hanya melirik sesekali saja. Tampaknya, Mbak Jessy serius sekali mengerjakan tulisan itu. Saya tidak menyangka Mbak Jessy setidaknyaman itu," ujarnya dengan rasa bersalah.

Bersambung...