Di suatu dunia dalam abad pertengahan di semesta dimana dewa dan dewi mengurus dunia dan manusia bertarung dengan pedang, busur dan sihir yang diberikan dewa dan dewi yang disembahnya, lahirlah anak bangsawan pertama dari keluarga Arch Duke Cean di Kerajaan Thalassos. Kerajaan ini dikenal sebagai kerajaan yang menjaga laut dan seluruh rakyatnya menyembah Dewi Aqua, penguasa air dan kehidupan bawah laut. Kelahirannya disambut hangat oleh semua kalangan di kerajaan tersebut.
Hari kelahirannya menjadi hari perayaan besar. Di alun-alun kerajaan, para penduduk berkumpul, melantunkan doa dan pujian kepada Dewi Aqua. Air mancur besar di pusat kota memancarkan cahaya biru berkilauan, simbol restu dari sang dewi. Arch Duke Cean, dengan bangga, mengumumkan bahwa putranya kelak akan menjadi pelindung laut dan membawa kejayaan bagi Kerajaan Thalassos.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, ramalan seorang pendeta tua mengusik ketenangan. "Anak ini akan membawa gelombang besar, sebuah perubahan yang tak terelakkan. Gelombang itu bisa menjadi berkah atau kutukan, tergantung pada jalannya kehidupan," ujar sang pendeta dengan suara serak. Meski ramalan itu menyebarkan kecemasan, sang Arch Duke memutuskan untuk menjaga putranya dengan segenap jiwa, mempersiapkan dia untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang.
Meskipun Arch Duke Cean menganggap Aris sebagai putranya, ia tidak terlalu memedulikan sisi emosional hubungan mereka. Namun, ia tetap bertanggung jawab untuk merawat, membesarkan, dan mengajarkan ilmu bela diri, termasuk berpedang, dengan tegas dan disiplin. Baginya, Aris adalah pewaris yang harus dipersiapkan untuk menghadapi kerasnya dunia. Sebaliknya, ibu Aris adalah sosok yang penuh kasih sayang. Ia mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Aris, mengajarinya ilmu sihir pemberkatan dari Dewi Aqua, yang dipercaya dapat melindungi dan membawa keberkahan bagi sekitarnya. Dalam dekapan ibunya, Aris menemukan kehangatan yang melengkapi didikan keras dari ayahnya.
Seiring waktu, Aris tumbuh menjadi anak yang cerdas, tangkas, dan berbakat. Di bawah bimbingan ayahnya, ia menguasai seni bela diri dan berpedang dengan mahir, sementara ajaran ibunya membuatnya memahami pentingnya kasih sayang dan sihir pemberkatan. Hal ini membentuk kepribadiannya yang seimbang: kuat namun lembut, tegas namun penuh empati.
Ketika usianya menginjak 15 tahun, Aris diterima di Akademi Elit Kerajaan Thalassos, tempat para bangsawan muda dan calon pemimpin kerajaan belajar. Di sana, ia dengan cepat menjadi siswa yang populer karena bakat dan kepribadiannya yang bersinar. Ia tidak hanya mahir dalam seni bela diri dan sihir, tetapi juga dalam musik, seni, dan diplomasi. Meski begitu, ia tetap rendah hati dan ramah kepada semua orang, sebuah sikap yang membuatnya dihormati oleh teman-temannya.
Suatu hari, di perpustakaan akademi, Aris bertemu dengan seorang anak perempuan seusianya yang pendiam. Gadis itu duduk di sudut ruangan dengan tumpukan buku di sekelilingnya, seolah-olah berusaha menyembunyikan dirinya dari dunia luar. Rasa penasaran Aris mendorongnya untuk mendekati gadis itu. Dengan senyuman hangat, ia menyapa, "Salam hormat. Perkenalkan, saya Aris dari keluarga Arch Duke Cean. Bolehkah saya duduk di sini bersama Anda?"
Gadis itu mengangkat wajahnya perlahan, tampak sedikit terkejut dengan keramahan Aris. Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan. "Tentu saja, silakan," jawabnya dengan suara yang lembut namun hampir berbisik.
Aris duduk di kursi di sebelahnya, menjaga jarak yang sopan. "Jika boleh tahu, siapa nama Anda?" tanyanya dengan nada lembut yang mencerminkan sikap hormat.
"Nama saya Lysandra," jawab gadis itu, matanya kembali menatap buku di depannya. "Saya tidak sering berbicara dengan orang lain di sini."
"Tidak apa-apa, Lysandra. Saya tidak ingin mengganggu Anda. Namun, saya hanya ingin mengatakan bahwa Anda memiliki aura yang unik," kata Aris sambil tersenyum. "Apa yang sedang Anda baca, jika saya boleh tahu?"
Lysandra ragu sejenak sebelum menjawab, "Ini tentang sihir pengendalian air. Saya ingin memahami lebih dalam tentang anugerah dari Dewi Aqua."
Mata Aris berbinar. "Itu menarik! Saya juga diajari sedikit tentang sihir oleh ibu saya. Mungkin suatu saat kita bisa belajar bersama."
Lysandra tersenyum tipis, ekspresi yang jarang terlihat di wajahnya. "Mungkin itu ide yang bagus," ujarnya pelan.
Percakapan itu menjadi awal dari hubungan mereka yang semakin akrab. Dalam minggu-minggu berikutnya, Aris dan Lysandra sering bertemu di perpustakaan atau di taman akademi. Mereka saling berbagi pengetahuan tentang sihir, sejarah, dan seni. Aris, dengan kepribadiannya yang hangat, membantu Lysandra keluar dari cangkangnya, sementara Lysandra, dengan kecerdasan dan ketenangannya, memberikan perspektif baru bagi Aris.
Hubungan mereka pun menjadi perbincangan di antara siswa akademi. Banyak yang mengagumi kedekatan mereka, tetapi tidak sedikit pula yang merasa iri. Meski begitu, Aris dan Lysandra tetap menjalani hari-hari mereka tanpa terganggu oleh pendapat orang lain. Bagi mereka, persahabatan yang tulus jauh lebih berharga daripada sekadar popularitas di akademi.