Setelah pertemuan dengan Amanda, suasana di antara Dylan dan Zara terasa sedikit berbeda. Meskipun mereka tidak membahas pertemuan itu lebih lanjut, Zara bisa merasakan adanya jarak yang terbentuk. Mungkin karena cemburu, mungkin juga karena ketegangan yang dia rasakan saat melihat Amanda begitu dekat dengan Dylan. Namun, dia berusaha menahan perasaan itu. Dia tidak ingin terlihat canggung atau terlalu mudah tersinggung.
Namun, Dylan merasa ada yang berbeda pada Zara. Selama beberapa hari berikutnya, Zara tidak seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan lebih jarang mengobrol seperti dulu. Hal ini membuat Dylan penasaran dan sedikit khawatir. Sering kali, dia mencoba menggoda Zara dengan candaan atau ajakan untuk keluar makan, tetapi Zara hanya memberikan respons yang datar.
Suatu malam, ketika mereka berdua sedang duduk di taman kota setelah makan malam, Dylan memutuskan untuk berbicara langsung.
"Zara, ada apa sih? Lo kayaknya ada yang bikin lo nggak nyaman belakangan ini," tanya Dylan dengan nada serius, meski wajahnya tetap menunjukkan keceriaan.
Zara menunduk, berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya sedang mengganjal di hatinya. "Nggak apa-apa kok, Dylan. Gue cuma capek aja belakangan ini."
"Tapi gue bisa lihat lo nggak sepenuhnya oke. Lo biasanya nggak begini. Lo tahu kan, gue bisa jadi tempat buat lo cerita, kan?" Dylan mencoba meyakinkan Zara, walaupun dia merasa semakin cemas.
Zara menghela napas panjang. Dia tidak ingin membicarakan hal ini, tetapi perasaan cemburunya terhadap Amanda tidak bisa dipungkiri. "Gue cuma... bingung aja, Dylan. Kenapa lo bisa segitu deketnya sama Amanda? Itu kan mantan rekan kerja lo, dan lo kelihatan nyaman banget ngobrol sama dia. Kadang gue merasa kayak... nggak ada tempat buat gue di sisi lo."
Dylan terkejut mendengar itu. Tentu saja dia tidak menyangka bahwa Zara merasa seperti itu. "Zara, lo nggak perlu khawatir. Amanda itu cuma teman lama gue. Nggak lebih dari itu. Lo penting buat gue, dan gue nggak mau lo ngerasa seperti itu," jelas Dylan dengan sungguh-sungguh.
Tapi Zara tetap merasa ragu. "Iya, tapi kenapa lo nggak bisa lebih peka? Gue cuma nggak mau merasa kayak pengganti. Kadang gue merasa lo nggak ngelihat gue sebagai... sesuatu yang lebih dari sekadar teman."
Dylan merasakan kejujuran dalam suara Zara, dan untuk pertama kalinya, dia menyadari bahwa mungkin selama ini dia terlalu santai dan tidak cukup memperhatikan perasaan Zara. "Zara, gue... gue nggak pernah bermaksud kayak gitu. Gue cuma nggak tahu gimana cara nunjukin kalau gue peduli. Gue nggak pandai menunjukkan perasaan, tapi lo harus tahu, lo berarti banget buat gue."
Zara menatap Dylan dengan tatapan yang sulit dibaca. "Gue cuma nggak mau berharap terlalu banyak. Lo sering bikin gue bingung, Dylan. Terkadang, lo terlihat sangat peduli, tapi di waktu yang lain lo seperti menjauh. Gue nggak tahu harus gimana, karena gue nggak bisa terus-terusan nunggu lo tanpa ada kejelasan."
Dylan meraih tangan Zara dengan lembut. "Gue minta maaf kalau gue bikin lo merasa kayak gitu. Gue nggak pernah berniat buat ninggalin lo atau bikin lo merasa sendirian. Kita bisa mulai lagi, kalau lo mau. Gue bakal coba lebih peka, dan gue janji, gue nggak akan pernah menjauh dari lo."
Zara terdiam sejenak, mencerna kata-kata Dylan. Meski hatinya masih sedikit terluka, dia merasa sedikit lega mendengar penjelasan itu. "Gue nggak tahu apa yang gue harapkan, Dylan. Gue cuma nggak mau ada perasaan bingung yang terus-terusan kayak gini."
Dylan tersenyum, meskipun masih ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Kita bisa coba, kan? Gue janji, gue nggak akan bikin lo bingung lagi. Lo bisa percaya sama gue, Zara."
Zara akhirnya tersenyum tipis. "Oke, kita coba aja."
Tapi perasaan cemburu itu masih ada, dan Dylan tahu, dia harus lebih berhati-hati. Zara bukan tipe orang yang mudah mempercayakan hatinya. Mungkin dia terlalu santai, terlalu terbiasa dengan hubungan yang tidak jelas. Tetapi Dylan merasa, kali ini, dia ingin memberikan yang terbaik untuk Zara.
Hari berikutnya, Dylan kembali menjemput Zara seperti biasa. Mereka pergi ke sebuah tempat makan yang sederhana, tempat mereka sering berdua, hanya untuk ngobrol dan bercanda. Malam itu, Dylan merasa suasana mulai kembali hangat, meskipun masih ada banyak hal yang perlu dibicarakan.
Namun, saat mereka sedang berjalan keluar dari restoran, Zara mendapat telepon dari seseorang yang membuat suasana menjadi sedikit tegang.
"Zara, bisa nggak kamu datang ke kantor besok pagi? Ada hal penting yang perlu dibahas dengan klien kita," suara di telepon terdengar tegas.
Zara menatap Dylan dengan cemas. "Maaf, Dylan. Gue harus pergi ke kantor besok pagi. Ada pekerjaan mendesak."
Dylan hanya mengangguk, meski hatinya merasa sedikit kecewa. "Nggak masalah. Lo pergi aja. Kerjaan lo lebih penting."
Zara merasa bersalah. "Gue janji, setelah itu, kita bisa ketemu. Gue pengen ngobrol lebih banyak sama lo."
Dylan tersenyum tipis. "Gue tunggu, kok."
Namun, ada perasaan tak nyaman yang terus menggelayuti pikirannya. Zara sepertinya terlalu terfokus pada pekerjaannya, dan itu membuat Dylan khawatir. Namun, dia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, berharap suatu saat nanti Zara akan lebih terbuka tentang perasaannya.
Di sisi lain, Zara merasa ada sebuah ketegangan yang tak terucapkan antara mereka berdua. Mungkin dia memang mulai menyukai Dylan lebih dari yang dia kira. Tapi apakah dia siap untuk membuka hati dan memberinya kesempatan? Waktu akan memberi jawabannya.